Kembali kumemulai aktivitas pagiku, menyiapkan sarapan sekaligus membersihkan dan merapikan setiap sudut ruangan. Kadang aku menertawakan diri sendiri yang sudah mirip ibu rumah tangga sungguhan. Pantas zaman sekarang banyak wanita yang tidak ingin menikah, apalagi jika sudah memiliki penghasilan tetap. Bagi wanita yang sudah memiliki penghasilan besar, pria tak ada gunanya, sehingga mereka tak perlu menikah yang akan menambah beban hidup. Sedangkan bagi pria, mereka tak akan bisa bertahan tanpa istri, karena mereka sudah terbiasa dilayani sejak lahir oleh ibunya. Jika nantinya aku memiliki anak laki-laki, aku akan mengajari mereka untuk lebih mandiri dalam urusan pekerjaan rumah tangga. Setidaknya kelak anakku akan mandiri dan tak bergantung kepada istri atau pembantu rumah tangga. Kalaupun nanti anakku menikah, istrinya tak terlalu lelah dengan semua pekerjaan rumah. Karena banyak laki-laki yang terlihat gengsi untuk membantu pekerjaan sang istri. Banyak suami-suami yang mengata
Trio Cecunguk lagi-lagi menertawakan kondisi mataku yang menghitam. Kata mereka aku terlalu bersemangat sehingga kurang tidur. Sumpah! Aku tak mengerti maksud mereka sebelum Mela kembali membahas masalah ranjang pengantin baru yang katanya harus terbuat dari bahan yang kuat. Apa otak mereka hanya dipenuhi hal-hal gila dan mesum? Seharusnya mereka yang menikah lebih dulu dan menempatkanku di posisi terakhir. Namun, Tuhan sepertinya tak mau bernegosiasi denganku yang bergelimang dosa ini.Seketika pikiran tentang semalam terlintas lagi di benakku. Di mana Lala yang tak mau melepaskan pelukannya, mengakibatkanku harus terjaga semalaman, begitu pun dengan Mas Rangga yang terpaksa harus tidur di ruang tamu. Aku berniat akan pindah ke kamarku setelah pelukan Lala terlepas, tetapi lagi-lagi alam tak pernah sejalan dengan harapanku. Dengan santainya aku tertidur di kamar pria itu, akibat terlalu lama menunggu dan jangan lupakan bahwa aku pun sudah terlalu lelah untuk memaksa agar mata ini te
Aku kembali dikejutkan dengan kedatangan Bu Mega di ruanganku. Dengan senyuman yang terlalu dipaksa mengembang, terkesan menakutkan, dia duduk di hadapanku sambil membawa sesuatu. Seperti tempat bekal. Apa dia kembali membawakanku makanan seperti tempo hari? Bu Mega dengan terang-terangan mengatakan bahwa ia siap menjadi ibu sambung bagi anakku. Namun, dia bukanlah tipeku. Meski otaknya cukup cerdas dan pekerjaannya juga tergolong baik, tetap saja tak ada niatan untuk memiliki pasangan dengan profesi yang sama. Sama-sama sibuk, memiliki masalah yang sama, dan tentunya dunia kami akan sama. Tak ada yang menantang dan tak akan ada hal baru yang akan kuperoleh selain dunia perdosenan dan segala turunannya.Selain cerewet, ia juga cukup tegas. Ralat, sepertinya ia terkesan galak di mata mahasiswi lainnya. Termasuk Kinan. Bu Mega cenderung bersikap aktif dan perhatian pada mahasiswa, dan akan bersikap pasif serta galak pada mahasiswi. Apa karena terlalu lama sendiri menjadikan dirinya ber
Jantungku kembali berdegup kencang, saat Bu Mega memanggilku ke ruangannya. Aku tak tahu apa lagi salahku sehingga beliau kembali meminta agar aku segera menghadap. Dengan segala keberanian yang telah dikumpulkan, aku mengetuk pintu, tak lupa membaca surah-surah pendek, agar terhindar dari gangguan makhluk tak kasat mata yang memberi energi negatif.“Permisi, Bu,” sapaku setelah masuk ke ruangannya. Aura ruangan ini tampak suram dan sedikit memberi kesan horor. Sepertinya bacaan ayat ayat alquran tak mempan lagi.“Duduk,” perintahnya tegas.Aku kembali ciut, keberanian yang telah kukumpulkan sepertinya menguap, setelah mendengar suara Bu Mega. Aku tak paham, mengapa Bu Mega tak menyukaiku sejak aku masuk di kampus ini? Ia seperti melihat seorang musuh jika aku berada di hadapannya, dan ia pula tak pernah memberiku keringanan jika menyangkut tugas. Kukira Bu Mega memiliki sifat profesional seperti Mas Rangga, tetapi seiring berjalannya waktu aku menyimpulkan bahwa kemungkinan ia tak me
Rangga POV***Lagi-lagi aku yang harus menghadapinya sendiri. Inilah risiko jika pernikahan kami dirahasiakan. Aku tak mungkin mengatakan bahwa Kinan adalah istriku. Kinan pun tak mungkin jujur kepada Bu Mega persoalan hubungan kami. Sepertinya Bu Mega memiliki umur panjang, sebab saat kami membicarakannya, ia pun tiba-tiba berdiri di depan pintu rumahku. Dari mana dia tahu alamatku ini, padahal belum ada satu pun pihak kampus yang tahu rumah ini, kecuali Devan dan teman-teman Kinan. Dengan napas yang masih memburu, segera kubuka daun pintu. Senyuman Bu Mega selalu seperti itu, mengembang sempurna. Senyuman yang sebenarnya tak membuatku terpesona. “Ada perlu apa, sehingga Bu Mega datang kemari?” tanyaku to the point. Aku bukanlah sosok yang suka berbasa basi.“Disuruh masuk dulu kek, tidak sopan sama tamu,” hardiknya lalu melangkah maju.Wanita ini tak mengindahkan laranganku sama sekali.“Istrimu mana?”Pertanyaannya membuatku tahu apa tujuan utamanya datang berkunjung. Dia ingin
Dengan kesabaran yang tinggi, aku duduk di pos tunggu khusus orang tua murid bersama dengan ibu-ibu lain yang kepo tentangku. Mereka tahu tentang statusku dan beranggapan bahwa aku adalah gadis beruntung sekaligus tak punya harga diri.Mengapa aku menikahi laki-laki yang pernah menjadi kakak iparku? Mengapa aku mau menjadi ibu sambung bagi keponakan sendiri? Dan yang lebih parahnya, ada pertanyaan yang sangat membuat frustrasi. Kenapa aku mau menikah dengan laki-laki bekas kakakku sendiri? Apa pertanyaan mereka tak berlebihan? Sebagai tetangga, sekaligus orang tua dari teman Lala, seharusnya mereka menjaga ucapan. Bagaimana jika mereka bergosip di depan anak-anak? Secara tidak langsung, mereka memberi informasi kepada anaknya untuk mengikuti jejak para orang tua masing-masing. Ya, menjadi penggosip. Jadi mau bagaimana lagi, di negara ini penggosip tak akan pernah punah, karena sejak dini mental anak-anak sudah terlatih dan terbiasa akan cerita-cerita miring yang menimbulkan sensasi m
lSetelah mengetahui statusnya yang telah menikah, aku benar-benar kalut. Mengapa Rangga menyembunyikan dan tak mengumumkan pernikahan keduanya? Otakku seketika berpikiran negatif, apa dia tak mengundang satu pun dosen karena Rangga menghamili gadis itu. Namun, sepertinya Rangga bukanlah laki-laki yang haus akan nafsu semata. Terbukti, saat aku pernah berpakaian seksi dan masuk ke ruangannya berniat untuk menggoda, tetapi lagi-lagi ia mengabaikanku. Apa yang salah dengan diriku? Di usia yang sudah lebih dari tiga puluh ini, tak satu pun laki-laki yang berniat menjadikanku istri. Dengan rasa penasaran yang tinggi, aku sengaja berkunjung ke rumah orang tua Rangga, meski dia tak ada di sana, setidaknya aku bisa mendapat alamat rumah barunya. Pembantu rumah tangga mereka, seolah menyembunyikan siapa istri Rangga. Ada apa ini? Mengapa pembantunya pun tak mau mengungkapkan siapa sebenarnya istri dari laki-laki yang sudah lima tahun ini kusukai. Mau tidak mau aku harus memastikan sendiri
“Waw, lo makin cantik aja, Nan.” Mela mencolek lenganku lalu menaik turunkan alis. “Aura pengantin baru memang beda,” lanjutnya berbisik di dekat telingaku.Mataku melotot, membuat Mela tersenyum mengejek. Sebab, aku tak akan berani menjerit dan memukulnya dengan brutal.“Lo juga cantik, Mel.” “Idih, jangan menjilat. Lo lebih cantik.”“Iya, gue memang cantik sejak lahir.” Aku lebih baik mengiyakan saja, daripada perdebatan tak kunjung selesai.Mela tertawa. “Lo bener-bener pede.”Rara dan Dewi menghampiri kami yang masih berdiri di dekat pintu masuk, memang sengaja menunggu mereka yang datang bersama.“Tumben belum masuk,” kata Dewi sambil menaikkan alis.“Iya nih, kita nungguin ratu ngaret,” sahutku kembali menyindir.“Dih, nyindir. Salahin Rara yang dandannya lama banget. Padahal, hasilnya juga biasa aja.”Rara manyun sambil menghentakkan kakinya. “Kalian mah, gitu.” Rara merangkul tanganku. “Apa iya, gue nggak cantik, Nan. Dandanan gue nggak bagus, ya?”Aku menepuk-nepuk tangannya,
Aku tersenyum masam saat menyadari pandangan orang lain terhadapku. Apa yang salah? Hanya karena aku berjalan dengan seorang pria, mereka lantas mengatakan bahwa aku adalah perawan tua yang haus kasih sayang. Seharusnya mereka senang, karena aku akhirnya bisa keluar dari belenggu kesesatan. Dosen-dosen muda itu malah mengejekku mengatakan bahwa aku perawan tua yang gatal. Mereka bahkan berdoa agar aku tak memiliki kekasih sampai tua. Dasar! Kukira mereka kawan, ternyata aku salah, merekalah lawan sesungguhnya. “Kau tahu siapa pria tampan yang berjalan bersama Bu Mega? Apakah pria itu pengganti Pak Rangga?”“Bu Mega benar-benar gila ya, muka pas-pasan, tapi gaetnya cowok elit. Dilihat dari pakaian dan postur tubuhnya, kemungkinan besar pria itu jauh lebih kaya dari Pak Rangga.”“Sekarang Bu Mega pasti gencar cari pengganti, wong usianya sudah tua. Bentar lagi kadaluarsa, kan?”Tawa keduanya membuat gendang telingaku terasa ingin pecah. Aku masih setia mendengarkan perbincangan panas m
Kutatap adegan yang tak pernah kuharapkan. Hatiku masih saja merasakan sensasi yang sama. Terluka, kecewa, dan iri. Padahal, aku sudah berusaha untuk terhindar dari kedua insan yang membuat perasaanku menjadi terguncang dan porak-poranda. Disana, Rangga dan Kinan sedang memamerkan kemesraan yang membuat dadaku sesak. Mengapa masih saja seperti ini? Kukira hatiku sudah berpaling, kukira tak akan terluka jika melihat keduanya, tetapi aku salah. Semuanya masih saja sama. Rangga masih saja berada di tempat yang sama di hatiku. Tersimpan dengan apik dan sempurna.Aku segera berpaling dan merubah haluan. Jika ada yang melihat, mungkin mereka beranggapan bahwa aku masih menyukai Rangga. Ya, meski itu benar, tetapi aku harus menutupinya. Aku tak berusaha memperbaiki pandangan orang-orang terhadapku, karena sebesar apa pun aku berusaha memperbaiki namaku, mereka tak akan mudah percaya. Ingat, ketika orang membencimu, mereka tak akan pernah melihat kebaikan yang kau lakukan. Karena kebaikan ter
“Sekarang aku tahu mengapa kau menyetujui perjodohan ini. Apa kau sangat menderita hidup di keluarga seperti itu?”Aku menoleh, menatap wajahnya dari samping. Dia tampak berkharisma saat duduk di balik kursi kemudi. Kacamata yang bertengger di hidung mancungnya tampak sangat sempurna, meninggalkan kesan dewasa. Ah, inilah definisi pria matang sempurna. Matang di pohon, bukan hasil karbitan.“Ya, begitulah. Aku sudah muak dengan tingkah keduanya. Kau ingin tahu apa yang diucapkan Aldrich tadi?”Dia sejenak menoleh, lalu kembali fokus ke jalan. “Memangnya dia berkata apa?”“Dia akan mencari cara agar hubungan kita bisa berakhir lebih cepat.” Aku menghembuskan napas kasar. “Aku ingin terbebas dari kukungan mereka, tetapi sepertinya keinginan itu sulit untuk kudapatkan.”“Mengapa kau terdengar pesimis. Aku akan membantumu untuk keluar dari situasi tersebut. Percayalah padaku.”Ada senyum tipis yang samar-samar terlihat di mataku. Apa aku bisa mempercayai pria ini? Pria yang baru kukenal b
“Kau dari bersenang-senang bersama Davin?” Aldrich duduk di sofa, menyilangkan kedua kaki sambil tersenyum masam.“Lihatlah! Dia terlihat sangat bahagia.” Tatapanku beralih pada Austin yang ternyata berdiri di tangga, ia pun menatapku tak suka. Selalu saja seperti ini. Aku selalu menjadi pihak yang tersudut. Mereka tak menyukai jika aku bersenang-senang bersama orang lain. “Ya, kalian benar. Aku bersenang-senang dengan calon suamiku.” Tak apa berbohong. Biarkan mereka kesal, karena saat aku bahagia bersama orang lain, mereka akan tersulut emosi. Entahlah, tetapi kedua saudaraku ini benar-benar berbeda.Austin melangkah dengan cepat, menuruni tangga dengan tatapan yang sulit kuartikan, seperti orang yang marah, atau terluka. “Kau tak bisa bersenang-senang dengan orang lain, Mega. Kau hanya bisa bahagia jika bersamaku.”“Apa kau bilang?!” Aldrich berdiri, mendekat dan merangkul pundakku. “Hei, Austin, jangan berkata seperti itu. Hanya aku yang bisa membuat Mega bahagia.”“Benarkah? Ap
Aku tak menyangka bahwa semuanya bisa berjalan dengan sangat cepat. Aku ingin menangis, berteriak sekencang mungkin, tetapi aku sadar bahwa semuanya tak akan berubah. Tak akan ada yang berubah jika aku melakukan tindakan anarkis yang mungkin hanya akan menjadi bumerang bagiku. Tak ada gunanya melakukan tindakan yang sudah kutahu hanya akan mendatangkan kesia-siaan. Aku tak berhak meminta hidup yang lebih nyaman, karena hidupku bukan aku yang mengatur. Tak apa, semakin cepat menikah, semakin cepat pula aku keluar dari rumah ini. Bahkan ayahku meminta agar aku berhenti mengajar, agar fokus ke pernikahan yang sudah mereka rencanakan. Sungguh, aku tak bisa berkata-kata lagi, di saat sang pengantin sibuk mengurusi pakaian, undangan, dan segala macam perlengkapan pernikahan. Aku justru duduk, diam, dan tak perlu mengurus semuanya. Mereka hanya memintaku untuk belajar menjadi istri yang baik, dan merawat diri sampai hari pernikahan tiba, sungguh hidupku memang miris. Tak bisa berjalan sesua
Kutatap langit-langit kamar yang terasa asing. Gorden abu yang benar-benar bukan warna kesukaanku. Dinding bercat putih tulang dengan beberapa potret garis abstrak yang tertempel. Selimut berwarna hitam jelas bukan milikku—selama hidup, aku tak pernah memiliki selimut seperti ini.Aku ada di mana? Pertanyaan itu terus terngiang di otakku. Sambil berusaha menggali ingatan-ingatan tentang semalam.Semalam, aku pergi ke bar, menikmati satu botol vodka, tak sengaja bertemu dengan Davin, dan saat aku ingin pulang, tiba-tiba kepalaku pusing dan semuanya tiba-tiba menjadi gelap. Memoriku hanya sampai di situ saja.Kusingkap selimut hitam yang terlihat tampak sangat suram. Netraku jelas membulat saat pakaian yang kukenakan sudah berubah. Apa ini? Siapa yang mengganti pakaianku?
Aku kembali menatap gelas vodka yang tersisa setengah, es batu sebesar bola pimpong terlihat mengkilap terkena cahaya lampu remang-remang. Inilah tempat favoritku akhir-akhir ini. Menikmati waktu sendiri di tengah keramaian. Terdengar lucu, memang. Aku tak suka rasa sepi, tetapi aku pun ingin sendiri. Solusinya adalah berkunjung kemari. Aku bisa menikmati kesendirianku, tanpa harus merasa kesepian. Inilah aku, dengan segala kekurangan yang kumiliki. Aku tak pernah memperlihatkan kekurangan yang kumiliki kepada orang lain. Bukan tanpa sebab, aku hanya ingin terlihat lebih berani dan sempurna. Saat aku memperlihatkan kekurangan, saat itu pula mereka akan memiliki senjata untuk menyerangku. Aku lelah diperlakukan semena-mena, jenuh diperlakukan bak robot, dan tak ingin terus menerus menjadi tameng bagi mereka yang dengan mudah memanfaatkanku. Aku bosan terkurung dan terkekang. Terkadang aku iri pada burung, yang bisa terbang bebas ke manapun yang ia mau. Aku iri pada kupu-kupu yang bisa
BABAku masih menunggu di sini, duduk di salah satu kursi restoran yang cukup terkenal. Ibu angkatku benar-benar merealisasikan semuanya. Tak apa, setidaknya jika kelak aku menikah, aku akan keluar dari neraka yang terus mengurung dan mengekangku. Setidaknya mereka tak menjadikanku boneka lagi. Setidaknya aku bisa bebas melakukan apa pun sesuka hati, tanpa ada pengawasan dari mereka.Kutatap arloji yang menempel di pergelangan, sudah sepuluh menit berlalu dari waktu perjanjian dan pria itu masih belum muncul juga. Apa dia terlalu sibuk? Atau jangan-jangan dia tak akan datang kemari? Bisa saja hal itu terjadi mengingat pria itu juga tak menyetujui perjodohan ini—menurut analisaku saat melihat foto yang Ibu angkatku berikan tempo hari.Aku memilih untuk fokus pada ponsel yang kugenggam, daripada terus-menerus menatap pintu restoran, menunggu kedatangannya. Namun, saat aku larut pada ponselku, suara kursi berderit, membuat fokusku teralihkan. “Maaf, aku terlambat,” katanya sambil menggu
Perhatian!Untuk kedepannya, cerita ini akan berfokus pada sudut pandang Mega. ~~~~Apa aku harus menghentikan obsesiku pada Rangga? Tujuh tahun menunggu, tetapi dia tak pernah memandangku. Aku selalu ada untuknya, tetapi dia malah memilih wanita lain untuk menemani hidupnya. Bukankah itu tak adil bagiku? Aku yang selalu mendukungnya, tulus mencintainya, membantunya jika kesulitan, tetapi setelah dia berhasil melewati rintangan, aku dilupakan. Katanya dia tak pernah mencintaiku, dia tak pernah menaruh rasa padaku, dan sama sekali Rangga tak pernah tertarik denganku. Apa pengorbananku selama ini tak pernah ternilai di matanya? Apa bantuanku yang tulus tak sekalipun membuat hatinya tergerak?Seharusnya dari awal aku sudah sadar diri. Seharusnya sejak awal aku berhenti mencintainya. Bukankah tujuh tahun merupakan waktu yang cukup lama? 84 bulan kulewati tanpa balasan yang setimpal, 2556 hari yang terbuang percuma, 61.344 jam terlewat dengan sia-sia tanpa ada sedikit pun yang kudapatkan