Aku lagi-lagi tersenyum bahagia kala kembali mengingat kejadian tadi, di mana Devan mengajakku untuk makan bersama di salah satu kedai makan yang tak jauh dari kampus. Meski bukan di tempat mewah, tetapi aku tetap menyukainya. Di mana pun ia membawaku, meski itu warung pinggiran jalan sekali pun asal bersama dengannya, semua terasa indah. Wah, perkataanku benar-benar hiperbolis. Aku harus berterima kasih kepada Mela, karena berkat dirinya sehingga aku bisa bersama dengan Devan.Aku berniat untuk mencari kado untuk Mela di pusat perbelanjaan yang sering kukunjungi, selain ramah di kantong, juga memiliki kualitas yang tak kalah jauh dengan brand ternama. Dua hari lagi ia akan ulang tahun, dan gadis itu sudah menentukan apa yang harus kami berikan. Terdengar lucu memang, pihak yang berulang tahun malah request kado ulang tahun sendiri. Ya, tapi bukan Mela namanya jika tak penuh dengan keabsuran.“Lo mau beliin Mela baju?” tanyanya saat aku memasuki salah satu toko yang menurutku cukup le
Dengan perasaan kesal, aku masuk ke rumah, berjalan ke dapur dan bersiap memasak untuk makan malam. Meski moodku sedang berantakan akibat kejadian tadi. Sebentar lagi, Lala akan pulang bersama Mama. Gadis kecil itu harus dijemput oleh neneknya karena aku dan Mas Rangga tak bisa menjemputnya. Ya, hari ini adalah jatahku untuk menjemput Lala, tetapi aku masih enggan untuk bertemu dengan ibu-ibu yang menganggap diri mereka memiliki kasta tertinggi di muka bumi ini. Setelah perdebatan tempo hari, mama-lah yang selalu menjemput Lala. Aku tak ingin bertemu dengan Mila, takut tanganku ini akan mencakar wajah sok polosnya yang selalu haus akan simpati dari orang lain. Kejadian siang tadi tiba-tiba terlintas lagi di otakku. Orang-orang yang kuanggap kawan malah mengatakan kalimat yang membuatku kecewa. Aku tahu ini salah, tetapi mereka tak pantas merendahkan dan menghinaku. Aku yakin ucapan Dewi tak mengandung unsur kebercandaan. Ia mengatakan dengan sangat serius, dan berasal dari hati yan
Aku benar-benar kesal, saat tahu tentang berita yang tersebar di kampus. Dari desas desus yang terdengar, Kinan dan Devan berkencan dan mereka berjalan bersama di salah satu pusat perbelanjaan. Kabar itu jelas membuatku kesal. Apa Kinan benar-benar ingin berkencan dengan laki-laki lain, saat hubungan kami sudah menjadi suami istri? Wah, dia benar-benar tak takut akan omongan orang lain. Bagaimana jika orang yang tahu tentang hubungan kami melihatnya, dan menyebarkan cerita tersebut? Aku juga akan ikut terseret karena tak becus membimbing seorang istri. Salahkan orang tuaku yang menjodohkan dengan gadis labil seperti dirinya. Kinan, masih sangat belia, ia sudah pasti masih ingin menikmati masa remaja yang menjadi masa kejayaan bagi seseorang. Masa itu adalah kondisi di mana mereka akan mengalami pendewasaan diri, mengenal dunia luar yang sesungguhnya, dan juga cinta. Namun, karena keegoisan orang tua, menjadikannya harus mengubur masa indah itu.Karena pikiranku yang amburadul, entah a
Aku berjalan dengan penuh kekesalan yang sejak tadi sudah tak bisa tertahan lagi. Mas Rangga tiba-tiba meminta agar aku menemuinya saat kelasku telah selesai. Setelah menyimpan nomor masing-masing, ia seakan selalu punya alasan untuk mengganggu ketenanganku. Seperti sekarang, saat aku ingin makan siang, dia mengirimkan pesan yang berisikan perintah urgent yang tak boleh ditunda.Aku masuk tanpa mengetuk, membuatnya terlihat kesal. “Kau masih saja belum berubah. Mau sampai kapan kamu seperti itu?”“Lah, saya memang seperti ini, makanya jangan berekspektasi tinggi sama saya.” Aku duduk di kursi lalu menatapnya lekat-lekat. “Ada perlu apa?”“Tolong jangan terlalu dekat dengan Devan. Apa kalian tahu kabar yang beredar di kampus?”Aku mengerutkan alis heran. “Lah, kenapa? Toh, tidak ada yang tahu status kita,” jawabku santai. “Jadi saya berhak untuk terus dekat dengan siapa pun. Ingat, perjanjian kita.”Aku melirik ke arahnya, ia terlihat mengeraskan rahang. Marahkah? Namun, untuk a
Aku tak tahu mengapa setelah menikah orang-orang mewajibkan pasangan, terlebih pengantin baru untuk ikut serta dalam pertemuan keluarga. Adik sepupu dari Mas Rangga mengadakan acara syukuran atas kelahiran anak pertama mereka, sehingga ibu Mas Rangga meminta agar aku datang ke acara tersebut bersama dengan anaknya.Kami seperti pasangan normal pada umumnya yang terlihat harmonis dan sedang hangat-hangatnya. Lucu memang, tetapi begitulah kenyataannya. Kami sepakat untuk terus melakukan drama di depan orang-orang yang tak tahu menahu tentang kehidupan kami. Toh, mereka tak akan tahu tentang sandiwara yang kami lakukan. Mereka pikir aku dan Mas Rangga menjalani hari seperti biasanya.Akan tetapi, semuanya tak berjalan sesuai rencanaku. Aku paham betul jika berada di dalam acara seperti ini, pastinya akan ada mulut nyinyir dan julid dari para tamu atau tetangga. Ada saja yang akan mereka komentari tentang kekuranganku. Seperti sekarang, saat aku anteng duduk bersama Lala, ada saja ibu-ibu
Aku tak tahu mengapa diriku seperti ini? Apa yang terjadi? Mengapa aku tiba-tiba peduli dengan omongan orang lain yang merendahkan Kinan? Jantungku memompa dengan cepat, adrenalinku terpacu, dan emosiku meningkat pesat. Aku tak pernah seperti ini sebelumnya. Apa aku mulai gila? Ya, mungkin saja seperti itu. Ada-ada saja omongan para tamu yang membandingkan Winda dan Kinan. Padahal, aku dan Winda sama-sama menolak perjodohan itu. Dia memiliki seorang kekasih, dan dia pula tak suka dijodohkan. Meski Winda punya segalanya, elegan, dan cerdas, tetap saja aku tak merasa cocok dengannya. Padahal, usia kami tidak berbeda jauh. Akan tetapi, mengapa saat bersama Kinan aku merasa ada yang aneh? Dia wanita yang hampir membuatku gila. Tingkahnya absurd, pecicilan, dan kekanakan. Namun, mengapa akhir-akhir ini ada yang berbeda? Aku tak suka jika dia dekat dengan pria lain, tak suka jika ada yang bercerita tentang keburukannya, dan tak suka jika Bu Mega mengusik gadis kecil itu. Apa sekarang a
Dengan perasaan yang masih campur aduk, aku mengikuti kemauan Rangga. Tak kusangka ia benar-benar memesan tiket kelas velvet, tetapi hanya satu kasur saja. Mau tidak mau aku harus berbaring di sebelahnya. Padahal, tadi ia menolak. Sungguh, dia termasuk jajaran bapak-bapak labil. Usia boleh tua, otak ternyata tak kalah dengan Lala. “Cih, siapa yang katanya tidak mau berbaring bersamaku?” sindirku saat kami sudah masuk ke dalam ruangan. Aku menatap ke sekeliling, tak banyak orang yang datang. Dari dua puluh kasur, hanya ada beberapa kasur yang terisi. Apa karena hari ini bukan akhir pekan sehingga tak banyak orang yang berkunjung? “Aku hanya ingin mentraktir istri kecilku ini.” Aku menoleh dan melihat senyuman miring di bibirnya. Heh? Apa arti dari senyumannya itu? Apa dia sedang ingin menguji bagaimana responku? Apa dia berharap aku akan seperti gadis-gadis di luar sana yang akan klepek-klepek dan memanfaatkan situasi ini? “Istri?” Aku menyipitkan mata. “Saya mengira hanya di
Aku menatap layar laptop yang menghitam, pantulan wajah di dalam sana tampak tersenyum bahagia. Mataku melotot kala menyadari bahwa akulah yang melakukan aksi tersebut. Tanpa sadar aku tersenyum. Aish, sial, aku termakan jebakan sendiri. Awalnya aku hanya ingin menggodanya, tetapi mengapa sekarang aku sebahagia ini? Otakku sudah mulai tak waras. Setelah ucapan yang terkesan frontal tadi, Kinan segera keluar dari ruangan ini dengan wajah yang bersemu merah. Aku suka pemandangan itu, dan aku yakin dia sedang salah tingkah. Apa yang terjadi denganku? Aku bukanlah pria yang gampang luluh dengan gadis manja, dan pembangkang seperti dirinya. “Hei, sadarlah Rangga! Tipe idealmu jauh berbanding terbalik dari apa yang dimiliki gadis itu.” Suara-suara di kepala ini mulai menyadarkanku kembali. Ini bukan ketertarikan, hanya sebuah bentuk tindakan menggoda anak kecil. Meski kutahu hal itu sudah membuatku bahagia. Aku tidak menampik, kejadian tadi cukup menghibur. Apa yang terjadi barusan sa
Aku tersenyum masam saat menyadari pandangan orang lain terhadapku. Apa yang salah? Hanya karena aku berjalan dengan seorang pria, mereka lantas mengatakan bahwa aku adalah perawan tua yang haus kasih sayang. Seharusnya mereka senang, karena aku akhirnya bisa keluar dari belenggu kesesatan. Dosen-dosen muda itu malah mengejekku mengatakan bahwa aku perawan tua yang gatal. Mereka bahkan berdoa agar aku tak memiliki kekasih sampai tua. Dasar! Kukira mereka kawan, ternyata aku salah, merekalah lawan sesungguhnya. “Kau tahu siapa pria tampan yang berjalan bersama Bu Mega? Apakah pria itu pengganti Pak Rangga?”“Bu Mega benar-benar gila ya, muka pas-pasan, tapi gaetnya cowok elit. Dilihat dari pakaian dan postur tubuhnya, kemungkinan besar pria itu jauh lebih kaya dari Pak Rangga.”“Sekarang Bu Mega pasti gencar cari pengganti, wong usianya sudah tua. Bentar lagi kadaluarsa, kan?”Tawa keduanya membuat gendang telingaku terasa ingin pecah. Aku masih setia mendengarkan perbincangan panas m
Kutatap adegan yang tak pernah kuharapkan. Hatiku masih saja merasakan sensasi yang sama. Terluka, kecewa, dan iri. Padahal, aku sudah berusaha untuk terhindar dari kedua insan yang membuat perasaanku menjadi terguncang dan porak-poranda. Disana, Rangga dan Kinan sedang memamerkan kemesraan yang membuat dadaku sesak. Mengapa masih saja seperti ini? Kukira hatiku sudah berpaling, kukira tak akan terluka jika melihat keduanya, tetapi aku salah. Semuanya masih saja sama. Rangga masih saja berada di tempat yang sama di hatiku. Tersimpan dengan apik dan sempurna.Aku segera berpaling dan merubah haluan. Jika ada yang melihat, mungkin mereka beranggapan bahwa aku masih menyukai Rangga. Ya, meski itu benar, tetapi aku harus menutupinya. Aku tak berusaha memperbaiki pandangan orang-orang terhadapku, karena sebesar apa pun aku berusaha memperbaiki namaku, mereka tak akan mudah percaya. Ingat, ketika orang membencimu, mereka tak akan pernah melihat kebaikan yang kau lakukan. Karena kebaikan ter
“Sekarang aku tahu mengapa kau menyetujui perjodohan ini. Apa kau sangat menderita hidup di keluarga seperti itu?”Aku menoleh, menatap wajahnya dari samping. Dia tampak berkharisma saat duduk di balik kursi kemudi. Kacamata yang bertengger di hidung mancungnya tampak sangat sempurna, meninggalkan kesan dewasa. Ah, inilah definisi pria matang sempurna. Matang di pohon, bukan hasil karbitan.“Ya, begitulah. Aku sudah muak dengan tingkah keduanya. Kau ingin tahu apa yang diucapkan Aldrich tadi?”Dia sejenak menoleh, lalu kembali fokus ke jalan. “Memangnya dia berkata apa?”“Dia akan mencari cara agar hubungan kita bisa berakhir lebih cepat.” Aku menghembuskan napas kasar. “Aku ingin terbebas dari kukungan mereka, tetapi sepertinya keinginan itu sulit untuk kudapatkan.”“Mengapa kau terdengar pesimis. Aku akan membantumu untuk keluar dari situasi tersebut. Percayalah padaku.”Ada senyum tipis yang samar-samar terlihat di mataku. Apa aku bisa mempercayai pria ini? Pria yang baru kukenal b
“Kau dari bersenang-senang bersama Davin?” Aldrich duduk di sofa, menyilangkan kedua kaki sambil tersenyum masam.“Lihatlah! Dia terlihat sangat bahagia.” Tatapanku beralih pada Austin yang ternyata berdiri di tangga, ia pun menatapku tak suka. Selalu saja seperti ini. Aku selalu menjadi pihak yang tersudut. Mereka tak menyukai jika aku bersenang-senang bersama orang lain. “Ya, kalian benar. Aku bersenang-senang dengan calon suamiku.” Tak apa berbohong. Biarkan mereka kesal, karena saat aku bahagia bersama orang lain, mereka akan tersulut emosi. Entahlah, tetapi kedua saudaraku ini benar-benar berbeda.Austin melangkah dengan cepat, menuruni tangga dengan tatapan yang sulit kuartikan, seperti orang yang marah, atau terluka. “Kau tak bisa bersenang-senang dengan orang lain, Mega. Kau hanya bisa bahagia jika bersamaku.”“Apa kau bilang?!” Aldrich berdiri, mendekat dan merangkul pundakku. “Hei, Austin, jangan berkata seperti itu. Hanya aku yang bisa membuat Mega bahagia.”“Benarkah? Ap
Aku tak menyangka bahwa semuanya bisa berjalan dengan sangat cepat. Aku ingin menangis, berteriak sekencang mungkin, tetapi aku sadar bahwa semuanya tak akan berubah. Tak akan ada yang berubah jika aku melakukan tindakan anarkis yang mungkin hanya akan menjadi bumerang bagiku. Tak ada gunanya melakukan tindakan yang sudah kutahu hanya akan mendatangkan kesia-siaan. Aku tak berhak meminta hidup yang lebih nyaman, karena hidupku bukan aku yang mengatur. Tak apa, semakin cepat menikah, semakin cepat pula aku keluar dari rumah ini. Bahkan ayahku meminta agar aku berhenti mengajar, agar fokus ke pernikahan yang sudah mereka rencanakan. Sungguh, aku tak bisa berkata-kata lagi, di saat sang pengantin sibuk mengurusi pakaian, undangan, dan segala macam perlengkapan pernikahan. Aku justru duduk, diam, dan tak perlu mengurus semuanya. Mereka hanya memintaku untuk belajar menjadi istri yang baik, dan merawat diri sampai hari pernikahan tiba, sungguh hidupku memang miris. Tak bisa berjalan sesua
Kutatap langit-langit kamar yang terasa asing. Gorden abu yang benar-benar bukan warna kesukaanku. Dinding bercat putih tulang dengan beberapa potret garis abstrak yang tertempel. Selimut berwarna hitam jelas bukan milikku—selama hidup, aku tak pernah memiliki selimut seperti ini.Aku ada di mana? Pertanyaan itu terus terngiang di otakku. Sambil berusaha menggali ingatan-ingatan tentang semalam.Semalam, aku pergi ke bar, menikmati satu botol vodka, tak sengaja bertemu dengan Davin, dan saat aku ingin pulang, tiba-tiba kepalaku pusing dan semuanya tiba-tiba menjadi gelap. Memoriku hanya sampai di situ saja.Kusingkap selimut hitam yang terlihat tampak sangat suram. Netraku jelas membulat saat pakaian yang kukenakan sudah berubah. Apa ini? Siapa yang mengganti pakaianku?
Aku kembali menatap gelas vodka yang tersisa setengah, es batu sebesar bola pimpong terlihat mengkilap terkena cahaya lampu remang-remang. Inilah tempat favoritku akhir-akhir ini. Menikmati waktu sendiri di tengah keramaian. Terdengar lucu, memang. Aku tak suka rasa sepi, tetapi aku pun ingin sendiri. Solusinya adalah berkunjung kemari. Aku bisa menikmati kesendirianku, tanpa harus merasa kesepian. Inilah aku, dengan segala kekurangan yang kumiliki. Aku tak pernah memperlihatkan kekurangan yang kumiliki kepada orang lain. Bukan tanpa sebab, aku hanya ingin terlihat lebih berani dan sempurna. Saat aku memperlihatkan kekurangan, saat itu pula mereka akan memiliki senjata untuk menyerangku. Aku lelah diperlakukan semena-mena, jenuh diperlakukan bak robot, dan tak ingin terus menerus menjadi tameng bagi mereka yang dengan mudah memanfaatkanku. Aku bosan terkurung dan terkekang. Terkadang aku iri pada burung, yang bisa terbang bebas ke manapun yang ia mau. Aku iri pada kupu-kupu yang bisa
BABAku masih menunggu di sini, duduk di salah satu kursi restoran yang cukup terkenal. Ibu angkatku benar-benar merealisasikan semuanya. Tak apa, setidaknya jika kelak aku menikah, aku akan keluar dari neraka yang terus mengurung dan mengekangku. Setidaknya mereka tak menjadikanku boneka lagi. Setidaknya aku bisa bebas melakukan apa pun sesuka hati, tanpa ada pengawasan dari mereka.Kutatap arloji yang menempel di pergelangan, sudah sepuluh menit berlalu dari waktu perjanjian dan pria itu masih belum muncul juga. Apa dia terlalu sibuk? Atau jangan-jangan dia tak akan datang kemari? Bisa saja hal itu terjadi mengingat pria itu juga tak menyetujui perjodohan ini—menurut analisaku saat melihat foto yang Ibu angkatku berikan tempo hari.Aku memilih untuk fokus pada ponsel yang kugenggam, daripada terus-menerus menatap pintu restoran, menunggu kedatangannya. Namun, saat aku larut pada ponselku, suara kursi berderit, membuat fokusku teralihkan. “Maaf, aku terlambat,” katanya sambil menggu
Perhatian!Untuk kedepannya, cerita ini akan berfokus pada sudut pandang Mega. ~~~~Apa aku harus menghentikan obsesiku pada Rangga? Tujuh tahun menunggu, tetapi dia tak pernah memandangku. Aku selalu ada untuknya, tetapi dia malah memilih wanita lain untuk menemani hidupnya. Bukankah itu tak adil bagiku? Aku yang selalu mendukungnya, tulus mencintainya, membantunya jika kesulitan, tetapi setelah dia berhasil melewati rintangan, aku dilupakan. Katanya dia tak pernah mencintaiku, dia tak pernah menaruh rasa padaku, dan sama sekali Rangga tak pernah tertarik denganku. Apa pengorbananku selama ini tak pernah ternilai di matanya? Apa bantuanku yang tulus tak sekalipun membuat hatinya tergerak?Seharusnya dari awal aku sudah sadar diri. Seharusnya sejak awal aku berhenti mencintainya. Bukankah tujuh tahun merupakan waktu yang cukup lama? 84 bulan kulewati tanpa balasan yang setimpal, 2556 hari yang terbuang percuma, 61.344 jam terlewat dengan sia-sia tanpa ada sedikit pun yang kudapatkan