Denting pagi mengalun riuh rendah di sekitar rumah Rindu. Ada suara kicau burung pipit sedang berdiskusi di atas bunga padi yang hampir disiangi sebelah barat. Gemercik aliran kali jernih dengan benturan bebatuan. Menambah merdu not-not lagu dan irama ocehan rimbunnya pohon bambu sebelah timur. Celoteh gelak tawa para tetangga dengan mayoritas para Ibu berbelanja. Menambah gemuruh suasana pagi di depan rumah Rindu. Bercanda ringan para pelajar putih dan biru serta agak berat langkah pemuda-pemudi berseragam putih abu-abu. Ikut serta hiasi pemandanganku di luar pagar Rumah Rindu. “Sebenarnya rumah ini begitu indah ya Ayah. Lihatlah suguhan orkestra alam raya maya pada di sekitar kita ini. Bukankah Sang Pencipta langit dan bumi telah menyuguhkan nyanyian perdu pagi alam?” aku tersenyum kecil menatap mertuaku tengah menyeruput aroma secangkir kopi hitam. “Benar Nak Raja semua ini anugerah yang tak dapat ternilai oleh rupiah sekali pun. Semua begitu teduh alami dan apa adanya. Apa di
Bunga tampak ayu dibalut mukena warna biru berenda ungu. Parasnya teduh dibasahi air wudu yang masih menetes beberapa di dagunya. Jemarinya lentik memetik butiran tasbih di tangan kanan. Bibir tipis manisnya terus mengucap lafaz istigfar secara berulang-ulang hingga hitungan sembilan puluh sembilan. Lalu menggenapinya sampai hitungan seratus istigfar. “Astagfirullah Hal Adzim, Astagfirullah Hal Adzim,” begitulah dalam matanya yang terus menghayati dengan terpejam. Duduk iktiraf setelah dua kali sujud di rakaat terakhir belum ia ubah. Duduk di atas sajadah warna merah bata belum jua berubah. “Ndok ayu Bunga Rahayu anakku, apa boleh Ibu mengganggu keheningan zikirmu sayang. Ibu hendak menanyakan sesuatu hal padamu tentunya” ucap Ibu Fatma dan dialah bidadari yang melahirkan gadis teramat manis seperti Bunga. Bunga sekejap menoleh pada Ibunya yang duduk di sampingnya baru masuk beberapa saat lalu. Beliau baru saja menyelesaikan subuh bersama Abah Madun Ayah dari Bunga. Sebelum menj
“Jangan Om, jangan Om, jangan sakiti aku, tolong...!” Rindu terus menangis selayaknya anak kecil yang tengah ketakutan. Rindu sudah tak bisa merangkak atau bergeser mundur lagi. Sebab di belakangnya sudah berdiri tegak pagar pembatas paling belakang kebun kosong milik Pak Lurah. Mata Rindu akhirnya mengingat sesuatu hal di masa lalunya. Bahkan dia mengulas balik di kala ia masih memakai seragam putih biru. Sama persis seperti pagi ini kondisinya. Saat itu para preman di sekitarnya sekarang. Juga ada di masa lalunya dan sama ingin membuat noda pada Rindu. “Hai Aisyah Rindu Fatimah anak dari Abang Bandi. Dari dahulu saat daerah ini masih dipegang Abangku. Ayahmu itu selalu usil pada keluarga kami. Hingga akhirnya Abangku dipenjara karena Ayahmu. Bahkan dia Abangku tercinta mati di penjara lima tahun yang lalu. Sekarang akan aku balaskan dendam Abangku. Akan aku nodai anak dari Bandi tua jelek itu,” wajah menyeringai Komar Si Codet agaknya sangat ingin segera mengeksekusi Rindu yang se
Brem, brem, Beberapa motor trail dan motor modifikasi tampak mengiringi motor matik milik Pak Bandi yang dikendarai Raja saat membonceng Rindu pulang. Mereka gang Codet beserta para anak buahnya yang malah ikut mengantar Raja dan Rindu pulang. “Loh itu Pak mereka, bukannya itu Raja dan Rindu. Kenapa mereka malah bersama Bang Codet dan anak buahnya?” Bu Dian seketika ketakutan berwajah khawatir dengan tingkah bingung tak karuan. Plok, plok, plok, “Memang istimewa menantu kita, memang takdir Rindu tidak salah lagi bersama Raja. Memang takdir Allah tidak pernah salah berjalan. Lihat Ibu menantu lelakimu itu sangat istimewa. Bapak saja butuh bertahun-tahun untuk sekedar menggeser pangkalan Bang Codet keluar gang kita. Tapi hanya butuh waktu setengah jam Raja menaklukkan semuanya sangat istimewa,” Pak Bandi menghampiri Raja dan terus memujinya. “Bapak kok malah bangga ini loh! Apa memang benar-benar tidak masalah Bang Codet membuntuti Raja dan Rindu?” Bu Juariah masih sangat khawa
“Allahuakbar, Allahuma Shalli Ala Muhammad, sudah pagi lagi ya?” mataku kembali terbuka menatap ke arah Rindu yang masih saja tertidur. Sejenak aku palingkan pandangan ke arah jendela ternyata sudah terang.“Loh kok jendelanya sudah terbuka ya? Apa mungkin Ayah mertua atau Ibu Mertua tadi ke mari membukanya. Tapi mana bisa bukankah tadi setelah subuh aku menguncinya kembali. Lalu siapa yang membuka jendela sepagi ini?” aku mulai membuat spekulasi-spekulasi dalam otakku tentang siapa yang membuka jendela. Aku masih merebah di samping Rindu yang masih saja terlelap. Seperti biasanya aku sibakkan rambut yang tergerai beberapa helai di keningnya. Lalu dengan lembut aku mengecup keningnya secara perlahan. “Mungkinkah Rindu terbangun lalu membuka jendela. Tapi mana mungkin Rindu bisa melakukan hal itu. Makan, minum, mandi, buang air, bahkan mengganti bajunya saja aku yang membantunya. Apa ia Rindu yang membukanya? Aku rasa bukan,” aku terus berpikir keras tentang segala kemungkinan terbuk
Pagi setengah siang pukul sembilan tepat. Aku mencoba memulai terapi pemulihan ingatan sesuai yang dianjurkan oleh dokter spesialis teman lamaku kala SMK dahulu. Aku bawa Rindu jalan-jalan di taman dekat gang rumah Rindu. Tetap menggunakan kursi roda untuk tempat duduk Rindu.Bahwa aku tak ingin Rindu terlalu lelah berjalan. Sebab taman posisinya dua kilo meter dari rumah Rindu. “Dek kita main ya sebentar mencari udara segar. Biar kamu tidak di dalam kamar saja. Biar tubuhmu juga dapat asupan vitamin D tentunya. Hal ini bisa berdampak baik untuk kesehatanmu,” ucapku berbisik pada telinga Rindu sambil mendorong kursi Roda perlahan ke arah taman. Rindu hanya diam tak berkata sekali ucap saja. Pandangannya tetap kosong tiada tujuan hidup. Kadang aku bertanya pada diriku sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi pada Rindu. Terkadang ia terlihat seperti anak kecil tingkahnya penuh manja. Terkadang ia seolah-olah sadar memanggilku hanya dengan panggilan Mas tanpa embel-embel nama Mas Danang
Senja merah bata di ufuk barat selayang mataku memandang. Kebetulan rumah Rindu menghadap ke barat. Walau terhalang oleh beberapa rumah tetangga. Aku masih bisa menikmati redupnya matahari menguapkan kantuknya. Mungkin ia tengah lelah dan ingin beristirahat. Seperti jua aku yang ingin mengakhiri ini semua. Mengakhiri rangkaian semua cerita. Sebuah cerita tentang alkisah turun ranjang tentang aku dan Rindu. Otak dan tubuhku rasanya sudah terlalu penat menghadapi semuanya sendirian. Semalam Ayah dan Ibu menanyakan kabar tentang kondisi Rindu. Akhirnya ada satu masa mereka berdua tak menanyakan keadaanku malah menanyakan kabar menantunya. “Heh dasar Ayah dan Ibu!” tawa kecilku menyeringai dibius bias sinar surya kala senja matahari menjurus pada detik-detik menjelang magrib. Masih pukul setengah lima sore di teras rumah Rindu. Biarlah aku sejenak duduk menikmati jalan depan rumah Rindu. Menyapa para tetangga yang kebetulan lewat. Rindu tengah tertidur kembali setelah lelah bermain l
Pagi bergulir menjadi siang dan siang berubah menjadi malam. Akhirnya aku mulai lelah dengan aktivitasku baru-baru ini. Mungkin aku sedikit membutuhkan hiburan. Aku yang biasanya bergaya hidup tanpa kekangan. Kini harus berkutat antara teras ruah tengah dan kamar Rindu. Tapi semua ini demi satu janjiku pada Almarhum Mas Danang. Walau janji itu terucap melalui mimpi yang aneh. Tapi aku merasa sungguh itu adalah Mas Danang. Malam ini sudah terlalu larut untuk aku sekedar minum kopi atau menyulut sebatang rokok di teras rumah Rindu. Akhirnya aku memilih duduk di dekat jendela. Membukanya sedikit dan pada akhirnya aku tahu. Memang jendela didesain bisa dibuka dari luar. Ada satu tempat kunci dari luar jendela. Mungkin maksud Ayah dan Ibu mertua. Agar mudah bila Rindu tengah mengamuk atau marah-marah. Tetapi selama denganku kenapa Rindu tidak pernah marah-marah entah. Entak karena lelah atau penatnya tubuh dan otakku. Entah karena semilir angin malam dari luar jendela yang terbuka sed
Raja membuka matanya perlahan dan keseluruhan badannya telah basah kuyup. Bahkan ia kembali dan kembali diguyur air satu ember. Satu ember air comberan yang berbau menyengat tak sedap. Bagai bau kotoran manusia yang sangat menyengat. Byur, “Bangun kau Raja sang legenda MMA kota Bangzo. Bangun jagoan yang selalu dapat mengalahkan lawan-lawanya dari alam nyata maupun alam gaib. Lihatlah sekelilingmu sekarang Raja dan perhatikan kau ada dimanah sekarang?” Oceh Nona Ana yang tengah berdiri bertolak pinggang. Sambil membawa satu ember berukuran tanggung bekas terisi penuh air comberan yang ia guyurkan pada Raja. Raja menatap sekitar ia berada dan kali ini Raja benar-benar tak bisa berbuat apa-apa. Sebab kedua tangannya terikat oleh pasung dan juga lehernya. Kedua kakinya terikat rantai besi dengan bandul bola besi besar di ujungnya. Raja melihat istrinya Rindu tak memakai apa pun di tubuhnya dirantai di kedua kaki dan tangannya dengan cara direntangkan. Matanya ditutup dan mulutnya dis
Langkah kaki Raja menapak kembali rumah kosong di belakang pos hansip. Tangannya meraih pintu pagar depan yang sudah hampir hancur. Membukanya dengan cepat dan mulai berjalan ke arah pintu depan rumah tersebut. “Sudah aku bilang padamu untuk berhenti Joni. Tetapi kau tetap saja tak mengindahkan perkataanku. Kalau demikian percuma aku menganggapmu saudara selama ini,” gerutu Raja yang mulai basah di beberapa bagian pakaian yang ia kenakan. Sebab kali ini tengah malam turunlah air mata langit. Berupa titik-titik gerimis dengan intensitas agak kerap. Ceklek, Gagang pintu depan rumah kosong belakang pos hansip. Segera terbuka oleh Raja hanya gelap menyeruak dari dalam rumah kosong. Tidak ada cahaya sama sekali yang bisa untuk menerangi mata. Agar seseorang bisa melihat apa yang ada di dalam rumah. Hanya sebatas satu penglihatan satu sentimeter saja. Tetapi ada satu cahaya lilin di tengah-tengah ruang tamu yang menyala. Ada satu tikar kecil yang digelar di belakang lilin. Ada satu soso
“Hai Joni temanku welcome selamat datang di Istanaku yang bisa dibilang ini hasil warisan Ayahku. Kau tahulah teman bahkan kau adalah salah satu teliksandi atau kaki tangan Ayahku dulu yang tak terlihat. Maaf aku tak bisa datang saat kematian Nenek Lembayung. Saya ikut mengucapkan bela sungkawa,” ucap Nyonya Lintang menyambut kedatangan Joni di taman sisi depan halaman rumahnya.Ternyata Joni selama ini merahasiakan hal sebesar ini dari Raja. Bahkan Raja tak mengetahui bila saudara sesusunnya Joni dari desa Lembayung yang kapan hari ia kunjungi. Ternyata ada hubungan erat dengan Nyonya Lintang. Bahkan Nyonya Lintang menyambut kedatangan Joni bagai kawan lama. Raja juga tidak mengetahui jikalau yang membunuh Nenek Lembayung bukan para dukun desa. Tetapi Joni dan istrinya sendiri agar seluruh aset rumah, sawah dan pekarangan Nenek Lembayung yang lebarnya hampir mencakup setengah desa menjadi milik Joni sendiri. Tanpa harus dibagi pada Raja yang hanya anak sesusuan saja. “Nona Lintang
Pagi itu Raja menemukan dua kantong belanjaan yang berserakan di depan pagar rumah terbengkalai samping pos satpam. Raja juga menemukan sobekan daster dua lengan dengan Rendra bunga-bunga. Dia tahu benar kalau itu adalah sobekan dari dua lengan daster Rindu. Sebab ia yang membelikan daster yang kini dikenakan Rindu. Tanpa pikir panjang Raja langsung melompati pagar depan rumah kosong. Pos hansip atau pos satpam di sampingnya juga belum jua ada penjaganya. Padahal hari sudah melewati pukul setengah enam lebih lima menit. Raja terus masuk ke area halaman rumah kosong yang kebetulan. Halamannya hanya sedikit selebar satu setengah meter. Kali ini Raja menemukan sandal jepit milik Rindu yang tersangkut di pot bunga dan yang satunya terlempar di sebelah kiri rumah kosong. Akhirnya Raja menemukan daster utuh milik Rindu. Tergeletak di lantai ubin warna merah di teras rumah kosong tersebut. Wajah Raja semakin memerah marah bercampur geram. “Kalau seperti ini kejadiannya dan ini sudah tida
“Nak pulanglah sekarang Bapak ini sudah lama mengenal tabiat anak itu. Nyonya Lintang itu tentu tak akan tinggal diam dengan apa yang kamu lakukan dua hari ini. Anggrek Hitam berbeda sistemnya dengan mafia orang tuanya dahulu. Bila orang tuanya dahulu lebih senang mengumpulkan satu titik kekuatannya. Pada satu tempat saja tak menyebarkannya di beberapa titik atau mereka sebut pos bagian. Sekarang mereka tersebar di seluruh kota. Termasuk di pos hansip tempat Pak RT yang kamu ajak kemarin. Belakang pos hansip itu ada rumah kosong di sana mereka juga ada,” tutur Pak Bandot mengingatkan Raja. “Yah saya sudah menduganya akan hal itu Pak Bandot. Baiklah saya pamit pulang terlebih dahulu. Semoga Bapak tetap sehat selalu dan lain kali kita dapat berjumpa lagi, Asallamualaikum,” ucap Raja mengucapkan salam lalu beranjak pergi dari Warkop Pak Bandot. Sementara itu di tempat yang dikatakan Pak Bandot. Belakang pos hansip tak jauh dari rumah Pak RT. Ternyata adalah sebuah rumah terbengkalai da
Pagi berikutnya, Brak, dar, pyar, Tiga algojo penunggu teras rumah mewah Nyonya Lintang terlempar ke arah jendela kaca pas di samping pintu masuk rumah. Bahkan tiga algojo yang dahulu menyeret-nyeret Rajo lalu membunuhnya. Tak mampu mengalahkan Raja yang hanya menggunakan tangan kosong. Raja sempat duduk di kursi ukir klasik khas orang kaya yang berada di sisi kiri teras. Sedangkan tiga algojo sudah tidak bergerak dengan kaca berserakan di sekitar mereka. Raja masih bergaya bak tamu yang datang berkunjung. Menyulut sebatang rokok dan menghembuskan asap ke udara dari bibirnya. “Lumayan juga dua hari saat pagi seperti ini berolah raga. Sudah lama otot-ototku kaku tak bergerak. Dua hari ini cukup membuat keringat. Hitung-hitung biar badan segar-bugar dan sehat kembali,” ucap Raja memandang ke arah taman. “Woi kalian berlima apa tidak ingin sedikit membuat keringat. Kemarilah kita berolah raga sejenak diam-diam saja. Buatkan aku kopi mendingan tamu ini,” teriak Raja memanggil lima aj
Raja berjalan pelan dan tetap santai menuju gerbang besar warna merah dua sisi. Masih ada ukiran mawar hitam di setiap sisinya persis seperti setahun yang lalu. Ada juga ukiran naga dan tengkorak sebagai ornamen tambahan. Raja sempat menyulut sebatang rokok dari saku kemeja yang ia pakai dan kemeja itu milik Rajo. Persis seperti yang digunakan Rajo setahun yang lalu. Sebelum akhirnya langkah Raja dihentikan oleh beberapa penjaga di gerbang merah. “Woi mau ke mana kau anak muda. Apa kau tidak salah jalan menuju ke mari?” ucap salah satu penjaga gerbang merah. “Maaf Pak saya mau tanya, apakah benar ini kediaman Nyonya Lintang. Saya hendak menemuinya dan hendak menyampaikan sesuatu kepadanya?” jawab Raja masih bersopan-santun dan berlemah-lembut dalam tutur katanya. Namun penjaga gerbang merah di depannya menatap Raja agak mencincingkan mata. Seakan ia pernah melihat Raja sebelumnya. Bahkan mereka agak berbisik-bisik satu sama lain. “Bukankah dia yang datang ke mari setahun yang lal
“Apa benar kau akan melakukannya Ayah. Kenapa Bunda jadi khawatir ya Ayah. Apa tidak bisa dengan cara lain?” Rindu tampak kembali murung dengan niat Raja untuk melihat kediaman mafia Anggrek Hitam. Rindu takut akan terjadi tragedi yang sudah-sudah. Walau mereka selalu selamat dan selalu beruntung. Tapi perasaan wanita sungguh sangat lembut dan gampang sekali. Takut akan terjadinya sesuatu yang tak diinginkan. Sebab perasaan wanita sangat perasa jua. Pagi ini Rindu dengan kandungannya yang sudah membesar dan hampir melahirkan. Berdiri di teras bersama Bu RT melihat Raja berdandan ala Rajo anak dari Pak RT yang sudah meninggal. Bu RT terlihat terus menatap Raja dengan tatapan kerinduan pada almarhum anaknya. “Nak Raja kau sungguh mirip dengan almarhum anak kami Rajo. Baju itu dan celana itu pakaian terakhir yang dipakai Rajo. Saat malam itu ia berpamitan pergi untuk mengambil kembali calon menantu kami. Sayangnya Nak Raja bukan Rajo kalian dua orang berbeda. Anak kami Rajo yang selal
Brak, brak, Rajo tampak berdarah-darah terus dipukuli dua algojo dari Nyonya Lintang. Rajo sudah tak berdaya lagi dan sudah pasrah akan keadaannya. Memang Rajo mampu melewati penjaga gerbang merah. Mampu melewati lima bodyguard di taman. Tetapi melawan dua algojo di depan pintu masuk rumah mewah milik Nyonya Lintang. Rajo sudahlah habis tenaga dan tak mampu lagi melawan dua algojo yang berbadan kekar-kekar tersebut. Sehingga kini Rajo malah diseret ke arah ruangan dimanah calon istrinya tengah dieksekusi para lelaki hidung belang. “Kami akan membawamu menyaksikan calon istrimu menikmati kehangatan yang belum pernah ia rasakan. Kamu harus tahu kegadisannya sudah jebol sejak sore tadi. Istrimu sudah tak lagi gadis dan sekarang sedang dinikmati tiga orang lelaki tua secara bersamaan. Mari saya antar melihatnya agar kau tahu bagaimana rasanya kalau melawan Nyonya Lintang?” ucap satu Algojo sambil menjambak rambut Rajo yang memang agak panjang. Tubuhnya terus diseret walau berdarah-dar