"Jalan satu-satunya untuk dapat uang, hanya dengan pinjam ke kantor. Tapi..." Matteo mengerutkan keningnya. Wajahnya tampak semakin lesu saja. "Tapi hutangku di sini udah banyak. Emangnya kantor mau ACC apa?"
Ia tampak ragu ketika memikirkan ide tersebut. Namun tidak ada cara lain lagi untuknya, bisa keluar dari masalah ini. Jadi dengan tekat yang kuat serta keberanian yang coba dikumpulkan banyak-banyak, ia pun memutuskan untuk ke ruang HRD guna mengajukan pinjaman.Namun sayangnya, realita tak seindah dengan apa yang ia harapkan. Sebab faktanya, bukan pinjaman yang ia dapat, melainkan amukan dari HRD tempatnya bekerja."Kamu ini gimana sih Teo? Hutang yang kemarin saja belum kamu lunasi, sekarang udah mau pinjam lagi?""Maaf banget Bu, tapi saya beneran butuh uangnya," lirih Matteo dengan kepala tertunduk dalam. Sebenarnya dia sangat malu saat mengajukan pinjaman sampai memohon seperti ini."Iya saya tau Matteo, tapi kalau kamu ngajuin pinjaman lagi, bisa-bisa kamu nggak nerima gaji karena habis untuk bayar potongan?" Wanita bertubuh sedikit berisi tersebut, hanya bisa menghela nafas panjang saat menghadapi Matteo.Kali ini Matteo terdiam. Dia terlihat bingung harus menjawab apa."Udah! Mending kamu balik kerja sana! Saya nggak ada waktu buat ngurusin kamu!" perintah sang HRD dengan ketusnya."Tapi Bu, saya mohon banget tolong bantuin saya. kali ini aja Bu! Saya janji setelah ini saya nggak akan pinjam uang lagi." Matteo menangkupkan kedua tangannya. Memasang ekspresi mengiba supaya sang HRD mau membantunya."Udah cukup ya Teo! Aku ini bukan ibu kamu yang bisa kamu mintai uang sesuka hati kayak gitu! Lagi pula ini perusahaan nenek moyang kamu apa, pinjam uang seenaknya! Kalau ada apa-apa, nggak cuma kamu aja yang kena, tapi saya juga!" amuk wanita itu. Alisnya sudah menukik tinggi saking kesalnya."Tolong saya Bu... Saya nggak tau lagi harus pinjam uang ke mana..."Namun bukannya merasa kasihan, HRD tersebut justru membentak Matteo dengan suara yang cukup keras, hingga terdengar sampai ke area luar. Beberapa orang yang kebetulan lewat pun langsung menengok ke ruangan itu karena penasaran. Termasuk Zea dan Nisha yang kebetulan lewat untuk makan siang."Ada apa sih? Kok berisik banget?" tanya Zea pada teman baiknya itu. Perempuan 25 tahun itu sedikit menyipitkan matanya untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana."Enggak tau nih, Zee. Dan nggak penting juga kan buat kita?" sahut Nisha dengan acuh tak acuh. "Itu urusan pegawai biasa, nggak ada urusannya sama kita."Zea yang mendengar jawaban Nisha, reflek mengerutkan keningnya. Ada sesuatu yang kurang dia suka dari ucapan teman baiknya ini. "Nggak bisa gitu dong Sha! Ini kan perusahaan milikku, jadi semua yang bekerja di sini adalah tanggung jawabku.""Terus kamu mau ngapain?" tanya Nisha dengan agak depresi.Bukannya menjawab, Zea justru menghampiri kedua orang itu dan mencari tau apa yang terjadi."Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut di kantor?"Suara tegas Zea membuat Matteo dan sang HRD terdiam seketika. Mereka mendadak segan sampai langsung menundukkan kepala ketika Zea muncul di hadapan keduanya."Kenapa diam? Jawab saya, ada apa ribut-ribut di jam istirahat kayak gini?""Maaf Bu. Ini gara-gara Matteo," ungkap sang HRD sambil menunjuk ke arah pria di sebelahnya."Emang apa yang dia lakuin?" tanya Zea lagi."Dia mau pinjam uang kantor lagi Bu, padahal hutangnya di sini sudah banyak. Bahkan sisa gajinya aja cukup beberapa ratus ribu aja."Jawaban sang HRD seketika membuat Zea langsung menoleh ke arah si pemuda. Dia perhatikan sosok Mateo lebih dari ujung kaki hingga ujung rambut. Pemuda itu cukup rapi dari segi penampilan, ia juga terlihat sederhana. Dan wajahnya juga cukup tampan untuk ukuran karyawan biasa."Emang buat apa uangnya?"Pertanyaan Zea itu membuat Matteo yang sejak tadi menunduk, akhirnya memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya. "I-itu..." Matteo tergagap, dia merasa malu untuk menceritakan yang sebenarnya.Zea menghela nafas saat dirasa, Matteo tak kunjung memberikan jawaban. "Ikut aku!" titahnya mutlak.Tidak hanya Matteo yang terkejut karena perintah Zea barusan. Tapi Nisha yang juga ada bersama mereka pun tidak menduga jika teman baiknya akan berucap demikian."Zee? Kamu mau ngapain? Bukannya kita mau makan siang? Kenapa kamu malah ngurusin karyawan itu sih?" cecar Nisha sambil mengikuti Zea yang berjalan di depannya."Ssst! Kita tunda dulu makan siangnya. Soalnya ada yang harus aku lakukan sama pemuda itu," jawab Zea dengan wajah datarnya."Apa?""Ra-ha-si-a."Nisha seketika mengerucutkan bibirnya ketika mendengar jawaban Zea. Perempuan itu makin lesu saat CEO cantik itu menyuruhnya untuk menunggu di lobby.*Matteo tidak tahu kenapa bosnya ini meminta ia untuk bicara berdua. Tapi feelingnya terus berkata jika Zea akan memecatnya. Itu sudah resiko menurut Matteo, apalagi ia punya hutang banyak di perusahaan yang mungkin akan membuat rugi kantor tempatnya bekerja ini."Sekarang kita udah berdua kan. Jadi cepet kasih tau alasan kamu terus menerus pinjam uang perusahaan?"Pemuda tampan itu menatap Zea yang duduk dengan gaya angkuh di atas sofa yang tersedia di dalam ruangan tersebut."Sa- saya... terpaksa pinjam uang perusahaan untuk bayar hutang, Bu," jawab Matteo pada akhirnya."Kamu berhutang untuk bayar hutang?" tanya Zea tak percaya. "Kamu ini bodoh atau gila?""Saya terpaksa, Bu.""Konyol," cibir Zea. "Itu bukannya menyelesaikan masalah, tapi justru menambah daftar masalah, ngerti nggak?" tukas perempuan 25 tahun itu dengan dingin."Cuma itu yang bisa saya lakukan Bu. Ibu saya sakit dan butuh biaya pengobatan yang banyak, sementara Ayah saya pergi dengan meninggalkan hutang yang cukup banyak. Jadi mau tak mau, jalan inilah yang terpaksa saya lakukan."Sejujurnya Matteo sangat malu harus mengumbar aib keluarganya yang mungkin tidak terlalu penting bagi orang lain. Tapi jika dia tak mengatakan yang sebenarnya, dia takut Bosnya ini menganggapnya sebagai pemuda yang gemar berhutang demi gaya hidup atau berfoya-foya.Zea lagi-lagi hanya bisa menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan. Raut wajahnya menunjukkan jika dia cukup jengah. "Bisa cari alasan lain nggak? Klasik banget hidup kamu?""Ibu pikir saya bohong?""Hm. Aku emang mikir gitu."Matteo menyipitkan kelopak matanya. Terlihat sakit hati saat Zea menuduhnya berbohong. "Tapi faktanya memang begitu, Bu," lirih Matteo."Emang berapa uang perusahaan yang kamu pinjam?"Matteo tampak mengingat-ingat sebelum berucap, "Sekitar 25 juta," jawabnya kemudian."Apa?!" Zea terbelalak kaget. "25 juta kamu bilang?"Matteo kembali menundu kepalanya, tapi kali ini lebih dalam dari sebelumnya. Aura kemarahan Zea berhasil membuat nyalinya menciut saat itu juga."Kamu udah punya hutang sebanyak itu tapi masih nekat pinjam lagi? Di mana akal sehat kamu, hah?!" maki Zea penuh emosi."Maafkan saya Bu. Tapi saya pasti akan melunasi itu semua kok. Toh, setiap bulan uang gaji saya juga sudah dipotong untuk membayar hutang-hutang itu.""Apa jaminannya? Kamu bisa aja kan kabur karena nggak bisa bayar?""Mana mungkin saya ngelakuin hal itu. Saya kan kerja di sini, tempat ini satu-satunya harapan saya buat cari nafkah.""Benar. Sekali, dua kali pasti pembayaran bakal lancar. Tapi selanjutnya gimana? Bagaimana kalau tiba-tiba kamu sakit terus nggak bisa kerja. Atau kamu mengalami kecelakaan dan terpaksa harus resign dari sini?" cecar Zea dengan tatapan tajam.Matteo tertohok dengan kalimat yang Zea lontarkan kepadanya. "Sa- saya..."Matteo tertohok dengan kalimat yang Zea lontarkan kepadanya. "Sa- saya..." Dia tergagap. Bingung harus menjawab apa."Pokoknya aku nggak mau tau. Dalam satu bulan ini, semua uang perusahaan yang kamu pinjam harus segera kamu kembalikan!"Demi apapun, Matteo nyaris lupa caranya bernafas ketika Zea mengultimatum dirinya dengan kalimat tersebut. Satu bulan? Mana bisa ia membayar semua hutangnya dalam waktu sesingkat itu? Sedangkan rentenir yang tadi menelfonnya saja sudah berisik dan memintanya untuk bayar hutang."Itu nggak mungkin, Bu," lirih Matteo pada akhirnya. "Saya nggak mungkin bisa melunasi hutang-hutang itu dengan cepat.""Ya itu kan urusan kamu." Zea membalas dengan acuh. "Pokoknya aku ingin uang itu segera kamu kembali kan, nggak peduli gimana caranya. Titik!"Karyawan berusia 25 tahun itu melirik Zea dengan sudut matanya. Sungguh dia merasa benci pada dirinya sendiri. Benci karena ia tidak bisa berbuat banyak untuk melawan sang Bos. Benci karena sebagai orang miskin ia terus
"Aku sempat bilang ke dia, kalau bakal laporin ke polisi."Nisha langsung melotot kaget sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Kamu udah gila ya? Gimana pun juga, utang piutang kan bisa dipidana.""Aku tau, tapi itu penting supaya si Matteo itu punya rasa takut," balas Zea santai."Ckckck. Dasar nggak punya hati," cibir Nisha. Ia cuma bisa geleng-geleng kepala menghadapi kelakuan temannya.Sudah keras kepala, kadang arogan pula. Salah satu sikap yang sering ditunjukkan Zea kepada orang-orang sekitarnya.***Kesibukan yang dilakukan Zea, membuat waktu bergulir begitu cepat. Dari pagi hingga petang, kegiatan CEO cantik itu sudah sangat padat. Meeting dengan klien, rapat bulanan, survey lokasi. Dan masih banyak hal yang dilakukan oleh Zea. Sebenarnya dia bisa menyuruh pegawainya yang lain untuk menghandel pekerjaannya. Tapi perempuan itu tidak akan puas, bila tidak turun langsung ke lapangan.Contohnya saja hari ini. Gadis berusia 25 tahun itu tiba di rumahnya sekitar pukul 10 ma
Jantung wanita 50 tahunan itu seketika nyeri. Bukan karena kalimat yang Zea lontarkan, tapi karena penyakit jantungnya yang kambuh secara mendadak."Aduh, Zee. Jantung Mama..."Tubuh wanita paruh baya itu langsung oleng, sementara tangan kanannya memegangi dadanya dekat erat. Siapa sangka, penyakit lamanya kambuh di saat seperti ini."Mama!" Zea langsung menangkap tubuh sang Mama. Tidak hanya itu, gadis 25 tahun tersebut juga langsung beeteriak meminta pertolongan."Mama! Bangun Ma!" pinta Zea di sela isaknya. Namun sayang, sang Mama sudah lebih dahulu pingsan.***Zea menundukkan kepalanya dengan begitu dalam. Ia tak berani menunjukkan wajahnya apalagi di hadapan sang Papa. Ia takut.Takut karena sudah membuat mamanya kolaps.Takut dituduh yang aneh-aneh oleh Papanya.Dan takut dimarahi karena acara yang sudah disiapkan oleh kedua orang tuanya menjadi berantakan.Ahh, untuk yang terakhir, sejujurnya Zea merasa lega karena hal perjodohan itu batal terjadi."Gimana? Udah puas kamu biki
Tiba-tiba Matteo ingat akan sesuatu, yakni ibunya.Tadi sebelum ia masuk ke ruangan dokter, ia meminta sang ibu untuk menunggu di Koridor. Tapi sekarang entah ke mana."Ibu! Ibu!" Matteo melihat ke kanan dan kiri, mencari keberadaan orang tuanya tersebut. Ia susuri koridor di lantai dua rumah sakit. Berharap ia dapat segera menemukan orang tuanya itu."Aduh, ibu ke mana ya? Di toilet juga nggak ada?"Matteo semakin panik. Apalagi beberapa orang yang ia temui juga tidak melihat keberadaan sang ibu."Apa ke kantin ya? Soalnya ibu bilang haus tadi." Sesuai dengan apa yang ia pikirkan Matteo pun langsung bergegas ke kantin rumah sakit.Dia edarkan pandangannya ke area kantin yang ramai pengunjung. Sedang begitu menemukan rasa sayang ibu di salah satu bangku yang ada di sana Matteo pun merasa lega."Ibu? Ibu ke mana aja? Dari tadi Teo—" suara pemuda tampan itu seperti menghilang ditelan udara ketika melihat siapa yang duduk d
Matteo menatap orang-orang yang sedang mengepungnya sebelum berkata, "Maaf, aku belum bawa u—"Bugh!Matteo seketika jatuh tersungkur saat berantem diri itu melayangkan tinjunya tepat di pipinya. Bukan hanya sekali saja, tapi beberapa kali. Bahkan, anak buah si rentenir juga ikut memukuli tubuh Matteo tanpa ampun."Bocah brengsek! Nggak tau diri sekali kamu jadi manusia! Sudah diberi keringanan, masih saja nggak mau bayar." Rentenir itu tampak begitu murka. Jauh-jauh ia menemui Matteo bukan untuk pulang dengan tangan kosong. Jadi wajar jika dia sangat emosi.Matteo tak bisa mengatakan apapun. Ia hanya melindungi wajah dan perutnya dan pukulan orang-orang itu."A— ampun Pak! Ampun!" rintih Matteo di sela rasa sakit yang mendera."Kali ini nggak ada ampun buat kamu, Teo. Bahkan aku berpikir untuk menghabisi nyawa kamu sekarang juga. Supaya aku bisa jual semua organ di dalam tubuh kamu di pasar gelap," ucap si rentenir dengan wajah
"Aku mau kamu jadi suamiku."Matteo membeku, apa yang baru saja Zea ucapkan itu? Kenapa mendadak Bosnya itu meminta sesuatu diluar nalar begitu?"Maksud Ibu apa ya?" tanya Matteo dengan tampang kebingungan."Kamu nggak usah bayar hutang-hutang kamu padaku, asal kamu mau nikah sama aku," terang Zea dengan wajah tegasnya. "Nggak lama kok. Cuma setahun aja?"Matteo masih diam. Dia sedang meloading semua yang Zea katakan."Ke— kenapa tiba-tiba gitu Bu? Maksudnya, kenapa harus membuat perjanjian kayak gitu?""Anggap aja sebagai timbal balik, Matteo. Aku udah bantuin kamu lolos dari jeratan rentenir tadi, dan sekarang giliran kamu bantuin aku buat jadi suami pura-puraku.""Ta— tapi...""Aku udah pusing banget gara-gara terus dipaksa nikah, aku juga nggak mau dijodohin sama pria asing yang nggak aku kenal." Zea melipat kedua tangannya di depan dada. Wajah jengahnya saat menjelaskan permasalahan pribadinya pada Matteo a
"Matteo! Kamun dipanggil sama Bu CEO tuh! Dia meminta kamu untuk segera datang ke ruangannya."Matteo baru saja bersiap turun ke bawah saat untuk makan siang, seorang HRD datang menghampirinya, dan mengatakan hal tersebut. Matteo menjilat bibir bawahnya. Dia sudah bisa menebak apa yang ingin dibicarakan oleh wanita itu, saat memanggilnya. Tapi sejujurnya, dia belum punya jawaban yang tepat untuk menanggapi tawaran Zea."Hei! Kenapa masih di situ? Buruan sana ke ruangan Bu Zea! Kamu tahu sendiri kan gimana sikap Bu Zea sama orang yang lelet kayak kamu gini?" tukas HRD itu lagi. Memperingati Matteo agar segera pergi ke tempat yang diminta.Sepanjang perjalanan menuju ke ruangan Zea, Matteo tidak bisa menenangkan degup jantungnya. Dia bahkan terus memikirkan jawaban apa yang harus dia sampaikan pada Zea nanti."Aku bingung banget. Berhari-hari memantapkan hati buat pilih keputusan yang tepat, tapi rasanya susah sekali." Matteo menggumam dal
Beberapa minggu berlalu sejak hari terakhir Matteo bertemu dengan bosnya Zea. Setelah pembicaraan penting itu mereka tidak pernah bertemu lagi. Keduanya sama-sama saling menghindar dan tak bertegur sapa. Mereka bersikap seolah tidak saling kenal satu sama lain. Dan sekarang, Matteo sedang berkumpul dengan teman-temannya di kantin, mereka menikmati hidangan makan siang yang tersedia sambil mengobrol mengenai banyak hal. Tapi entah dimulai dari mana, salah satu teman Matteo tiba-tiba membahas masalah Zea."Tau nggak guys. Aku mendengar kabar kalau bu CEO mau lamaran."Matteo yang sedang menikmati makan siangnya dengan tenang langsung mempertajam pendengarannya, dia mendadak penasaran dengan pembahasan teman-temannya."Oh iya? Kata siapa?""Aku dapat info dari sumber terpercaya.""Wah, bagus dong kalau Bu Zea udah nemuin jodohnya.""Ya bagus sih, tapi masalahnya, jodohnya itu orangnya lebih tua 10 tahun dari Bu Zea lho."Matteo mendelik kaget. Tapi ia berusaha menutupi rasa keterkejutan
"Semua bakalan baik-baik aja.""Semuanya pasti akan berjalan lancar."Zea berusaha untuk terus berpikir positif. Meskipun di luar sana keadaan sedang tidak kondusif, tapi ia yakin Matteo dan sang Ayah bisa menghentikan pernikahan ini."Bapak ini gimana? Kita ini udah mau tunangan lho? Masa batal gitu aja? Apa kata orang-orang Pak?""Saya lebih baik menanggung malu, Pak. Daripada harus melihat anak kesayangan saya menderita nantinya.""Ini nggak adil, Pak! Kalian harus ganti rugi?!""Ck!" Zea menggigit bibirnya. Belum apa-apa saja calon besannya sudah minta ganti rugi hanya karena masalah seperti ini. Bagaimana jika mereka benar-benar menikah nantinya? Apa Zea tidak harus menanggung banyak beban jika tinggal bersama keluarga arogan dan perhitungan seperti mereka?"Ya Tuhan, semoga aja masalah ini bisa selesai dengan lancar. Semoga nggak terjadi hal-hal yang enggak kami inginkan." Zea merapatkan kedua tangannya dan berdoa.Ia mondar mandir dengan gelisah di dalam kamarnya selama beberap
"Udah berapa lama kalian pacaran?"Kini Matteo dan Zea sudah duduk berdampingan dengan Ibu dan Pak Rendra yang berada di hadapan mereka. Kedua orang itu seperti sedang disidang saja."Hampir setahun, Tante," jawab Matteo dengan nada tegas."Setahun?!" Bu Rendra tersentak kaget. "Terus kenapa kalian selama ini nggak pernah bilang?""Waktu itu kami masih sama-sama ragu, Tante. Apalagi saya— saya khawatir karena sedang dalam hubungan jarak jauh.""Tapi Zea kan bisa jujur kalau kalian emang pacaran! Jadi kami nggak repot harus cari jodoh sampai begini?" pungkas Pak Rendra. Dia terlihat kesal karena ulah Zea dan Matteo yang tidak mau jujur mengenai hubungan mereka."I- itu Pa... Kita..."Zea belum sempat menyelesaikan ucapannya ketika Matteo lebih dahulu menyelama, "Sebenarnya kita memang sempat putus beberapa bulan terakhir Om. Lebih tepatnya break sebentar."Zea menatap ke arah Matteo dengan ekpresi heran. Tapi dia memilih untuk diam dan membiarkan pria di sebelahnya ini untuk melanjutk
"Aku takut banget Sha. Aku nggak bisa bayangin harus nikah sama cowok kayak Robby."Nisha yang mendengar ucapan Zea langsung mendekati gadis itu dan memeluknya. Ia hanya bisa melakukan itu guna memberikan sahabatnya kekuatan. "Kamu jangan khawatir, Zee. Tuhan pasti bakal jagain kamu.""Aku pengen nyerah aja, rasanya. Aku nggak paham lagi kenapa Papa dan Mama nggak pernah mau dengerin aku." Manik Zea mulai buram karena air mata. Ia begitu khawatir dengan perjalanan hidupnya setelah resmi bertunangan dan menikah dengan Robby."Boleh nggak sih aku berharap sama Tuhan, di hari H ada kebakaran, gempa atau apapun yang bisa bikin pertunangan kami batal?"Nisha mendelik. "Hush! Jangan bicara gitu Zee.""Aku udah putus ada banget.""Daripada gitu, kenapa nggak berdoa minta di datangkan seorang cowok yang jadi pahlawan penyelamat aja? Yang bisa bantuin kamu bebas dari Robby si playboy itu?"Zea menutup wajahnya dengan lengan kanannya yang bebas dari infus. "Kalau itu, terlalu mustahil menurutku
"Aku kasian deh ama Zea."Suara Nisha barusan membuat lamunan Matteo jadi buyar. Ia tatap perempuan di sebelahnya dengan alis berkerut karena bingung."Kenapa gitu Bu?""Ya bayangin aja, Matt. Dia dipaksa nikah sama laki-laki kasar dan playboy seperti Robby," jawab Nisha yang duduk di sebelah Matteo. "Padahal Zea puluhan kali minta ke mamanya buat batalin pertunangan mereka, tapi orang tuanya masih aja maksa.""Memamgnya, orang tua Bu Zea nggak tau kelakuan calon mantu mereka?" tanya Matteo penasaran."Mereka nggak tau. Nggak mau percaya juga karena si Robby ini anaknteman mereka. Jadi ya, dibandingkan percaya sama Zea, mereka lebih percaya ke si Robby itu." Nisha memperhatikan temannya yang masih tidur itu dengan wajah sendu. Dia tidak menyangka di balik kesuksesan Zea, ternyata ada satu masalah besar yang tengah mengintainya."Sumpah, Aku beneran nggak tega kalau sampai Zea nikah sama Robby. Dia— nggak seharusnya menderita karena pernikahan itu."Matteo tidak mengatakan apapun dan h
Beberapa minggu berlalu sejak hari terakhir Matteo bertemu dengan bosnya Zea. Setelah pembicaraan penting itu mereka tidak pernah bertemu lagi. Keduanya sama-sama saling menghindar dan tak bertegur sapa. Mereka bersikap seolah tidak saling kenal satu sama lain. Dan sekarang, Matteo sedang berkumpul dengan teman-temannya di kantin, mereka menikmati hidangan makan siang yang tersedia sambil mengobrol mengenai banyak hal. Tapi entah dimulai dari mana, salah satu teman Matteo tiba-tiba membahas masalah Zea."Tau nggak guys. Aku mendengar kabar kalau bu CEO mau lamaran."Matteo yang sedang menikmati makan siangnya dengan tenang langsung mempertajam pendengarannya, dia mendadak penasaran dengan pembahasan teman-temannya."Oh iya? Kata siapa?""Aku dapat info dari sumber terpercaya.""Wah, bagus dong kalau Bu Zea udah nemuin jodohnya.""Ya bagus sih, tapi masalahnya, jodohnya itu orangnya lebih tua 10 tahun dari Bu Zea lho."Matteo mendelik kaget. Tapi ia berusaha menutupi rasa keterkejutan
"Matteo! Kamun dipanggil sama Bu CEO tuh! Dia meminta kamu untuk segera datang ke ruangannya."Matteo baru saja bersiap turun ke bawah saat untuk makan siang, seorang HRD datang menghampirinya, dan mengatakan hal tersebut. Matteo menjilat bibir bawahnya. Dia sudah bisa menebak apa yang ingin dibicarakan oleh wanita itu, saat memanggilnya. Tapi sejujurnya, dia belum punya jawaban yang tepat untuk menanggapi tawaran Zea."Hei! Kenapa masih di situ? Buruan sana ke ruangan Bu Zea! Kamu tahu sendiri kan gimana sikap Bu Zea sama orang yang lelet kayak kamu gini?" tukas HRD itu lagi. Memperingati Matteo agar segera pergi ke tempat yang diminta.Sepanjang perjalanan menuju ke ruangan Zea, Matteo tidak bisa menenangkan degup jantungnya. Dia bahkan terus memikirkan jawaban apa yang harus dia sampaikan pada Zea nanti."Aku bingung banget. Berhari-hari memantapkan hati buat pilih keputusan yang tepat, tapi rasanya susah sekali." Matteo menggumam dal
"Aku mau kamu jadi suamiku."Matteo membeku, apa yang baru saja Zea ucapkan itu? Kenapa mendadak Bosnya itu meminta sesuatu diluar nalar begitu?"Maksud Ibu apa ya?" tanya Matteo dengan tampang kebingungan."Kamu nggak usah bayar hutang-hutang kamu padaku, asal kamu mau nikah sama aku," terang Zea dengan wajah tegasnya. "Nggak lama kok. Cuma setahun aja?"Matteo masih diam. Dia sedang meloading semua yang Zea katakan."Ke— kenapa tiba-tiba gitu Bu? Maksudnya, kenapa harus membuat perjanjian kayak gitu?""Anggap aja sebagai timbal balik, Matteo. Aku udah bantuin kamu lolos dari jeratan rentenir tadi, dan sekarang giliran kamu bantuin aku buat jadi suami pura-puraku.""Ta— tapi...""Aku udah pusing banget gara-gara terus dipaksa nikah, aku juga nggak mau dijodohin sama pria asing yang nggak aku kenal." Zea melipat kedua tangannya di depan dada. Wajah jengahnya saat menjelaskan permasalahan pribadinya pada Matteo a
Matteo menatap orang-orang yang sedang mengepungnya sebelum berkata, "Maaf, aku belum bawa u—"Bugh!Matteo seketika jatuh tersungkur saat berantem diri itu melayangkan tinjunya tepat di pipinya. Bukan hanya sekali saja, tapi beberapa kali. Bahkan, anak buah si rentenir juga ikut memukuli tubuh Matteo tanpa ampun."Bocah brengsek! Nggak tau diri sekali kamu jadi manusia! Sudah diberi keringanan, masih saja nggak mau bayar." Rentenir itu tampak begitu murka. Jauh-jauh ia menemui Matteo bukan untuk pulang dengan tangan kosong. Jadi wajar jika dia sangat emosi.Matteo tak bisa mengatakan apapun. Ia hanya melindungi wajah dan perutnya dan pukulan orang-orang itu."A— ampun Pak! Ampun!" rintih Matteo di sela rasa sakit yang mendera."Kali ini nggak ada ampun buat kamu, Teo. Bahkan aku berpikir untuk menghabisi nyawa kamu sekarang juga. Supaya aku bisa jual semua organ di dalam tubuh kamu di pasar gelap," ucap si rentenir dengan wajah
Tiba-tiba Matteo ingat akan sesuatu, yakni ibunya.Tadi sebelum ia masuk ke ruangan dokter, ia meminta sang ibu untuk menunggu di Koridor. Tapi sekarang entah ke mana."Ibu! Ibu!" Matteo melihat ke kanan dan kiri, mencari keberadaan orang tuanya tersebut. Ia susuri koridor di lantai dua rumah sakit. Berharap ia dapat segera menemukan orang tuanya itu."Aduh, ibu ke mana ya? Di toilet juga nggak ada?"Matteo semakin panik. Apalagi beberapa orang yang ia temui juga tidak melihat keberadaan sang ibu."Apa ke kantin ya? Soalnya ibu bilang haus tadi." Sesuai dengan apa yang ia pikirkan Matteo pun langsung bergegas ke kantin rumah sakit.Dia edarkan pandangannya ke area kantin yang ramai pengunjung. Sedang begitu menemukan rasa sayang ibu di salah satu bangku yang ada di sana Matteo pun merasa lega."Ibu? Ibu ke mana aja? Dari tadi Teo—" suara pemuda tampan itu seperti menghilang ditelan udara ketika melihat siapa yang duduk d