"Aku sempat bilang ke dia, kalau bakal laporin ke polisi."
Nisha langsung melotot kaget sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Kamu udah gila ya? Gimana pun juga, utang piutang kan bisa dipidana.""Aku tau, tapi itu penting supaya si Matteo itu punya rasa takut," balas Zea santai."Ckckck. Dasar nggak punya hati," cibir Nisha. Ia cuma bisa geleng-geleng kepala menghadapi kelakuan temannya.Sudah keras kepala, kadang arogan pula. Salah satu sikap yang sering ditunjukkan Zea kepada orang-orang sekitarnya.***Kesibukan yang dilakukan Zea, membuat waktu bergulir begitu cepat. Dari pagi hingga petang, kegiatan CEO cantik itu sudah sangat padat. Meeting dengan klien, rapat bulanan, survey lokasi. Dan masih banyak hal yang dilakukan oleh Zea. Sebenarnya dia bisa menyuruh pegawainya yang lain untuk menghandel pekerjaannya. Tapi perempuan itu tidak akan puas, bila tidak turun langsung ke lapangan.Contohnya saja hari ini. Gadis berusia 25 tahun itu tiba di rumahnya sekitar pukul 10 malam. Pikirnya, ia bisa langsung istirahat karena Papa dan Mamanya mungkin juga sudah terlelap. Tapi sayangnya, malam ini sedikit berbeda. Sang Papa ternyata masih bangun dan menunggunya untuk pulang."Udah pulang kamu?"Zea yang tadinya berjalan mengendap ke lantai dua, begitu terkejut saat melihat sang Papa masih duduk anteng di sofa."Papa?! Papa belum tidur?" tanya Zea sambil balik badan. Ia mencoba untuk tersenyum happy meskipun dalam hati ia merasa tak nyaman karena sorot mata dingin Papanya."Kamu ini. Makin hari makin malam saja kalau pulang. Kenapa nggak sekalian aja, kamu bawa baju-baju kamu dan menetap di sana?" tukas sang Papa sinis.Zea menghela nafas panjang sebelum berucap, "Mau bagaimana lagi Pa. Akhir-akhir perusahaan lagi sibuk-sibuknya buat persiapan cabang baru.""Tapi kamu kan punya karyawan Zea. Kalau kamu terus yang turun tangan, apa gunanya kamu gaji mereka?"Perempuan berblouse warna ungu itu mendengkus. "Papa kan tau kalau aku nggak akan puas jika tidak turun tangan secara langsung.""Banyak alasan kamu Zee!" tukas Papanya lagi.Zea memutar kedua bola matanya. Inilah hal yang paling dia benci jika pulang ke rumah, dan bertemu kedua orang tuanya. Ada saja hal-hal yang membuat ia dan orang tuanya beradu argumen. Dan jujur ia muak karena hal ini."Aku mau istirahat Pa. Zea capek banget soalnya." Demi mengakhiri perdebatan di antara mereka berdua, akhirnya Zea pun berucap demikian.Namun belum sempat kakinya meniti tangga, sang Papa lebih dahulu berkata, "Akhir pekan nanti Papa pengen kamu kosongin jadwal."Zea mengurungkan niatnya dan berbalik menatap Papanya. "Buat apa Pa?""Papa mau ngenalin kamu sama seseorang."Jantung Zea seakan berhenti berdetak saat itu juga. Dia pikir Papanya sudah lupa mengenai perjodohan, tapi faktanya justru berbeda."Kok gitu sih Pa?" cicit Zea tak terima. "Kan dari kemarin-kemarin Zea udah bilang kalau nggak mau dijodohin?""Ya mau bagaimana lagi. Tenggat waktu kamu buat cari pasangan kurang seminggu lagi, dan kayaknya kamu juga nggak ada niatan buat ngenalin siapapun ke Mama ataupun Papa. Jadi apa salahnya kalau kita punya inisiatif seperti itu?"Zea memejamkan matanya sejenak. Rasanya ia pusing sampai kepalanya mau pecah. Inilah yang membuatnya malas jika ada di rumah, pertanyaan-pertanyaan macam itu membuatnya muak saja."Papa... tolong kasih aku waktu lagi!""Daripada Papa yang terus-terusan sabar. Gimana kalau kamu sempetin waktu buat hari sabtu besok.""Pa..." rengek Zea lagi. Salah satu sisi yang tidak pernah gadis itu tunjukkan pada siapapun. "Please... Jangan kayak gini! Aku nggak mau dijodohin Pa.""Cukup Zea! Papa nggak mau dengar apapun!"Zea tak bisa membantah lagi saat papanya memilih pergi dan menyudahi percakapan di antara mereka. Meninggalkan sang anak yang terduduk lemas di ujung tangga sambil memijat pelipisnya."Sialan!" umpatnya dalam hati. Kenapa orang tuanya tidak bisa mengerti kondisinya.*Alasan kenapa Zea memiliki sifat keras kepala, itu karena turunan dari Papanya. Contohnya saja hari ini. Meskipun Zea berulang kali memohon pada pria paruh baya itu untuk membatalkan acara pertemuan mereka dengan keluarga dari pihak pria, namun keinginannya tersebut sama sekali tak digubris oleh sang Papa.Jadi, mau tak mau CEO cantik itu harus mengosongkan jadwalnya sabtu ini demi acara yang sangat tak penting tersebut."Pakai gaun ini, Zee! Mungkin gaun ini lebih cocok untuk kamu."Zea menoleh ke arah sang Mama. Ini sudah gaun keempat yang dia coba, tapi mamanya— terus menerus memintanya untuk mencoba gaun yang lain karena merasa kurang pantas di pakai olehnya."Aku capek Ma, gonta-ganti gaun terus," keluh Zea dengan lesu. "Lagian ini kan cuma pertemuan biasa, kenapa nggak pakai baju casual aja coba?""No! No! No!" Sang Mama menggelengkan kepalanya, kurang setuju dengan pendapat anak tunggalnya tersebut. "Kamu harus keliatan cantik di depan calon mertua Zea. Makanya Mama sengaja beliin beberapa gaun ini supaya bisa kamu pakai."Zea memutar kedua bola matanya. Rasanya ia bisa botak dengan cepat jika kedua orang tuanya tetap kekeh dengan pendirian mereka. "Mama... Kenapa sih harus kayak gini segala? Kenapa kalian nggak mau dengerin aku?""Papa dan Mama udah terlalu sering dengar alasan kamu Zea. Makanya, kali ini kami mau kamu nurut!" ucap sang Mama sambil memadupadankan warna tas dan gaun yang nanti akan Zea pakai. "Kamu kan tau, patuh sama orang tua pahalanya cukup besar.""Mama... Aku nggak mau kenalan sama siapa pun. Aku juga nggak mau nikah buru-buru. Please Ma... Tolong jangan kayak gini!" Zea yang masih mengenakan celana pendek dan tank top itu semakin merajuk.Perempuan itu tahu hanya mamanya yang bisa dia bujuk untuk menghentikan perjodohan ini. Jadi mau tidak mau, ia langsung bersimpuh di kaki sang mama, tak berharap wanita itu menjadi iba padanya."Mama, tolong bujuk Papa ya! Tolong minta ke Papa supaya acara ini batal!""Zea... Mau sampai kapan kamu nunda-nunda pernikahan kamu? Kamu nggak capek apa jadi bahan cibiran orang?""Tapi aku masih mau ngejar karir aku, Ma. Aku masih mau hidup bebas tanpa pasangan. Aku nggak mau terikat hubungan sama orang lain, Ma." Zea memeluk kaki Mamanya sambil menangis. Hal yang paling jarang dilakukan oleh Zea."Kamu nggak kasihan ama Mama?" Ia menatap sang putri yang sibuk bersimpuh di kakinya. Dia bingung harus mengambil sikap seperti apa kali ini."Emangnya ada orang tua yang rela ngorbanin anaknya demi kebahagiaan mereka sendiri?"Deg!Jantung wanita 50 tahunan itu seketika nyeri. Bukan karena kalimat yang Zea lontarkan, tapi...Jantung wanita 50 tahunan itu seketika nyeri. Bukan karena kalimat yang Zea lontarkan, tapi karena penyakit jantungnya yang kambuh secara mendadak."Aduh, Zee. Jantung Mama..."Tubuh wanita paruh baya itu langsung oleng, sementara tangan kanannya memegangi dadanya dekat erat. Siapa sangka, penyakit lamanya kambuh di saat seperti ini."Mama!" Zea langsung menangkap tubuh sang Mama. Tidak hanya itu, gadis 25 tahun tersebut juga langsung beeteriak meminta pertolongan."Mama! Bangun Ma!" pinta Zea di sela isaknya. Namun sayang, sang Mama sudah lebih dahulu pingsan.***Zea menundukkan kepalanya dengan begitu dalam. Ia tak berani menunjukkan wajahnya apalagi di hadapan sang Papa. Ia takut.Takut karena sudah membuat mamanya kolaps.Takut dituduh yang aneh-aneh oleh Papanya.Dan takut dimarahi karena acara yang sudah disiapkan oleh kedua orang tuanya menjadi berantakan.Ahh, untuk yang terakhir, sejujurnya Zea merasa lega karena hal perjodohan itu batal terjadi."Gimana? Udah puas kamu biki
Tiba-tiba Matteo ingat akan sesuatu, yakni ibunya.Tadi sebelum ia masuk ke ruangan dokter, ia meminta sang ibu untuk menunggu di Koridor. Tapi sekarang entah ke mana."Ibu! Ibu!" Matteo melihat ke kanan dan kiri, mencari keberadaan orang tuanya tersebut. Ia susuri koridor di lantai dua rumah sakit. Berharap ia dapat segera menemukan orang tuanya itu."Aduh, ibu ke mana ya? Di toilet juga nggak ada?"Matteo semakin panik. Apalagi beberapa orang yang ia temui juga tidak melihat keberadaan sang ibu."Apa ke kantin ya? Soalnya ibu bilang haus tadi." Sesuai dengan apa yang ia pikirkan Matteo pun langsung bergegas ke kantin rumah sakit.Dia edarkan pandangannya ke area kantin yang ramai pengunjung. Sedang begitu menemukan rasa sayang ibu di salah satu bangku yang ada di sana Matteo pun merasa lega."Ibu? Ibu ke mana aja? Dari tadi Teo—" suara pemuda tampan itu seperti menghilang ditelan udara ketika melihat siapa yang duduk d
Matteo menatap orang-orang yang sedang mengepungnya sebelum berkata, "Maaf, aku belum bawa u—"Bugh!Matteo seketika jatuh tersungkur saat berantem diri itu melayangkan tinjunya tepat di pipinya. Bukan hanya sekali saja, tapi beberapa kali. Bahkan, anak buah si rentenir juga ikut memukuli tubuh Matteo tanpa ampun."Bocah brengsek! Nggak tau diri sekali kamu jadi manusia! Sudah diberi keringanan, masih saja nggak mau bayar." Rentenir itu tampak begitu murka. Jauh-jauh ia menemui Matteo bukan untuk pulang dengan tangan kosong. Jadi wajar jika dia sangat emosi.Matteo tak bisa mengatakan apapun. Ia hanya melindungi wajah dan perutnya dan pukulan orang-orang itu."A— ampun Pak! Ampun!" rintih Matteo di sela rasa sakit yang mendera."Kali ini nggak ada ampun buat kamu, Teo. Bahkan aku berpikir untuk menghabisi nyawa kamu sekarang juga. Supaya aku bisa jual semua organ di dalam tubuh kamu di pasar gelap," ucap si rentenir dengan wajah
"Aku mau kamu jadi suamiku."Matteo membeku, apa yang baru saja Zea ucapkan itu? Kenapa mendadak Bosnya itu meminta sesuatu diluar nalar begitu?"Maksud Ibu apa ya?" tanya Matteo dengan tampang kebingungan."Kamu nggak usah bayar hutang-hutang kamu padaku, asal kamu mau nikah sama aku," terang Zea dengan wajah tegasnya. "Nggak lama kok. Cuma setahun aja?"Matteo masih diam. Dia sedang meloading semua yang Zea katakan."Ke— kenapa tiba-tiba gitu Bu? Maksudnya, kenapa harus membuat perjanjian kayak gitu?""Anggap aja sebagai timbal balik, Matteo. Aku udah bantuin kamu lolos dari jeratan rentenir tadi, dan sekarang giliran kamu bantuin aku buat jadi suami pura-puraku.""Ta— tapi...""Aku udah pusing banget gara-gara terus dipaksa nikah, aku juga nggak mau dijodohin sama pria asing yang nggak aku kenal." Zea melipat kedua tangannya di depan dada. Wajah jengahnya saat menjelaskan permasalahan pribadinya pada Matteo a
"Matteo! Kamun dipanggil sama Bu CEO tuh! Dia meminta kamu untuk segera datang ke ruangannya."Matteo baru saja bersiap turun ke bawah saat untuk makan siang, seorang HRD datang menghampirinya, dan mengatakan hal tersebut. Matteo menjilat bibir bawahnya. Dia sudah bisa menebak apa yang ingin dibicarakan oleh wanita itu, saat memanggilnya. Tapi sejujurnya, dia belum punya jawaban yang tepat untuk menanggapi tawaran Zea."Hei! Kenapa masih di situ? Buruan sana ke ruangan Bu Zea! Kamu tahu sendiri kan gimana sikap Bu Zea sama orang yang lelet kayak kamu gini?" tukas HRD itu lagi. Memperingati Matteo agar segera pergi ke tempat yang diminta.Sepanjang perjalanan menuju ke ruangan Zea, Matteo tidak bisa menenangkan degup jantungnya. Dia bahkan terus memikirkan jawaban apa yang harus dia sampaikan pada Zea nanti."Aku bingung banget. Berhari-hari memantapkan hati buat pilih keputusan yang tepat, tapi rasanya susah sekali." Matteo menggumam dal
Beberapa minggu berlalu sejak hari terakhir Matteo bertemu dengan bosnya Zea. Setelah pembicaraan penting itu mereka tidak pernah bertemu lagi. Keduanya sama-sama saling menghindar dan tak bertegur sapa. Mereka bersikap seolah tidak saling kenal satu sama lain. Dan sekarang, Matteo sedang berkumpul dengan teman-temannya di kantin, mereka menikmati hidangan makan siang yang tersedia sambil mengobrol mengenai banyak hal. Tapi entah dimulai dari mana, salah satu teman Matteo tiba-tiba membahas masalah Zea."Tau nggak guys. Aku mendengar kabar kalau bu CEO mau lamaran."Matteo yang sedang menikmati makan siangnya dengan tenang langsung mempertajam pendengarannya, dia mendadak penasaran dengan pembahasan teman-temannya."Oh iya? Kata siapa?""Aku dapat info dari sumber terpercaya.""Wah, bagus dong kalau Bu Zea udah nemuin jodohnya.""Ya bagus sih, tapi masalahnya, jodohnya itu orangnya lebih tua 10 tahun dari Bu Zea lho."Matteo mendelik kaget. Tapi ia berusaha menutupi rasa keterkejutan
"Aku kasian deh ama Zea."Suara Nisha barusan membuat lamunan Matteo jadi buyar. Ia tatap perempuan di sebelahnya dengan alis berkerut karena bingung."Kenapa gitu Bu?""Ya bayangin aja, Matt. Dia dipaksa nikah sama laki-laki kasar dan playboy seperti Robby," jawab Nisha yang duduk di sebelah Matteo. "Padahal Zea puluhan kali minta ke mamanya buat batalin pertunangan mereka, tapi orang tuanya masih aja maksa.""Memamgnya, orang tua Bu Zea nggak tau kelakuan calon mantu mereka?" tanya Matteo penasaran."Mereka nggak tau. Nggak mau percaya juga karena si Robby ini anaknteman mereka. Jadi ya, dibandingkan percaya sama Zea, mereka lebih percaya ke si Robby itu." Nisha memperhatikan temannya yang masih tidur itu dengan wajah sendu. Dia tidak menyangka di balik kesuksesan Zea, ternyata ada satu masalah besar yang tengah mengintainya."Sumpah, Aku beneran nggak tega kalau sampai Zea nikah sama Robby. Dia— nggak seharusnya menderita karena pernikahan itu."Matteo tidak mengatakan apapun dan h
"Aku takut banget Sha. Aku nggak bisa bayangin harus nikah sama cowok kayak Robby."Nisha yang mendengar ucapan Zea langsung mendekati gadis itu dan memeluknya. Ia hanya bisa melakukan itu guna memberikan sahabatnya kekuatan. "Kamu jangan khawatir, Zee. Tuhan pasti bakal jagain kamu.""Aku pengen nyerah aja, rasanya. Aku nggak paham lagi kenapa Papa dan Mama nggak pernah mau dengerin aku." Manik Zea mulai buram karena air mata. Ia begitu khawatir dengan perjalanan hidupnya setelah resmi bertunangan dan menikah dengan Robby."Boleh nggak sih aku berharap sama Tuhan, di hari H ada kebakaran, gempa atau apapun yang bisa bikin pertunangan kami batal?"Nisha mendelik. "Hush! Jangan bicara gitu Zee.""Aku udah putus ada banget.""Daripada gitu, kenapa nggak berdoa minta di datangkan seorang cowok yang jadi pahlawan penyelamat aja? Yang bisa bantuin kamu bebas dari Robby si playboy itu?"Zea menutup wajahnya dengan lengan kanannya yang bebas dari infus. "Kalau itu, terlalu mustahil menurutku
"Semua bakalan baik-baik aja.""Semuanya pasti akan berjalan lancar."Zea berusaha untuk terus berpikir positif. Meskipun di luar sana keadaan sedang tidak kondusif, tapi ia yakin Matteo dan sang Ayah bisa menghentikan pernikahan ini."Bapak ini gimana? Kita ini udah mau tunangan lho? Masa batal gitu aja? Apa kata orang-orang Pak?""Saya lebih baik menanggung malu, Pak. Daripada harus melihat anak kesayangan saya menderita nantinya.""Ini nggak adil, Pak! Kalian harus ganti rugi?!""Ck!" Zea menggigit bibirnya. Belum apa-apa saja calon besannya sudah minta ganti rugi hanya karena masalah seperti ini. Bagaimana jika mereka benar-benar menikah nantinya? Apa Zea tidak harus menanggung banyak beban jika tinggal bersama keluarga arogan dan perhitungan seperti mereka?"Ya Tuhan, semoga aja masalah ini bisa selesai dengan lancar. Semoga nggak terjadi hal-hal yang enggak kami inginkan." Zea merapatkan kedua tangannya dan berdoa.Ia mondar mandir dengan gelisah di dalam kamarnya selama beberap
"Udah berapa lama kalian pacaran?"Kini Matteo dan Zea sudah duduk berdampingan dengan Ibu dan Pak Rendra yang berada di hadapan mereka. Kedua orang itu seperti sedang disidang saja."Hampir setahun, Tante," jawab Matteo dengan nada tegas."Setahun?!" Bu Rendra tersentak kaget. "Terus kenapa kalian selama ini nggak pernah bilang?""Waktu itu kami masih sama-sama ragu, Tante. Apalagi saya— saya khawatir karena sedang dalam hubungan jarak jauh.""Tapi Zea kan bisa jujur kalau kalian emang pacaran! Jadi kami nggak repot harus cari jodoh sampai begini?" pungkas Pak Rendra. Dia terlihat kesal karena ulah Zea dan Matteo yang tidak mau jujur mengenai hubungan mereka."I- itu Pa... Kita..."Zea belum sempat menyelesaikan ucapannya ketika Matteo lebih dahulu menyelama, "Sebenarnya kita memang sempat putus beberapa bulan terakhir Om. Lebih tepatnya break sebentar."Zea menatap ke arah Matteo dengan ekpresi heran. Tapi dia memilih untuk diam dan membiarkan pria di sebelahnya ini untuk melanjutk
"Aku takut banget Sha. Aku nggak bisa bayangin harus nikah sama cowok kayak Robby."Nisha yang mendengar ucapan Zea langsung mendekati gadis itu dan memeluknya. Ia hanya bisa melakukan itu guna memberikan sahabatnya kekuatan. "Kamu jangan khawatir, Zee. Tuhan pasti bakal jagain kamu.""Aku pengen nyerah aja, rasanya. Aku nggak paham lagi kenapa Papa dan Mama nggak pernah mau dengerin aku." Manik Zea mulai buram karena air mata. Ia begitu khawatir dengan perjalanan hidupnya setelah resmi bertunangan dan menikah dengan Robby."Boleh nggak sih aku berharap sama Tuhan, di hari H ada kebakaran, gempa atau apapun yang bisa bikin pertunangan kami batal?"Nisha mendelik. "Hush! Jangan bicara gitu Zee.""Aku udah putus ada banget.""Daripada gitu, kenapa nggak berdoa minta di datangkan seorang cowok yang jadi pahlawan penyelamat aja? Yang bisa bantuin kamu bebas dari Robby si playboy itu?"Zea menutup wajahnya dengan lengan kanannya yang bebas dari infus. "Kalau itu, terlalu mustahil menurutku
"Aku kasian deh ama Zea."Suara Nisha barusan membuat lamunan Matteo jadi buyar. Ia tatap perempuan di sebelahnya dengan alis berkerut karena bingung."Kenapa gitu Bu?""Ya bayangin aja, Matt. Dia dipaksa nikah sama laki-laki kasar dan playboy seperti Robby," jawab Nisha yang duduk di sebelah Matteo. "Padahal Zea puluhan kali minta ke mamanya buat batalin pertunangan mereka, tapi orang tuanya masih aja maksa.""Memamgnya, orang tua Bu Zea nggak tau kelakuan calon mantu mereka?" tanya Matteo penasaran."Mereka nggak tau. Nggak mau percaya juga karena si Robby ini anaknteman mereka. Jadi ya, dibandingkan percaya sama Zea, mereka lebih percaya ke si Robby itu." Nisha memperhatikan temannya yang masih tidur itu dengan wajah sendu. Dia tidak menyangka di balik kesuksesan Zea, ternyata ada satu masalah besar yang tengah mengintainya."Sumpah, Aku beneran nggak tega kalau sampai Zea nikah sama Robby. Dia— nggak seharusnya menderita karena pernikahan itu."Matteo tidak mengatakan apapun dan h
Beberapa minggu berlalu sejak hari terakhir Matteo bertemu dengan bosnya Zea. Setelah pembicaraan penting itu mereka tidak pernah bertemu lagi. Keduanya sama-sama saling menghindar dan tak bertegur sapa. Mereka bersikap seolah tidak saling kenal satu sama lain. Dan sekarang, Matteo sedang berkumpul dengan teman-temannya di kantin, mereka menikmati hidangan makan siang yang tersedia sambil mengobrol mengenai banyak hal. Tapi entah dimulai dari mana, salah satu teman Matteo tiba-tiba membahas masalah Zea."Tau nggak guys. Aku mendengar kabar kalau bu CEO mau lamaran."Matteo yang sedang menikmati makan siangnya dengan tenang langsung mempertajam pendengarannya, dia mendadak penasaran dengan pembahasan teman-temannya."Oh iya? Kata siapa?""Aku dapat info dari sumber terpercaya.""Wah, bagus dong kalau Bu Zea udah nemuin jodohnya.""Ya bagus sih, tapi masalahnya, jodohnya itu orangnya lebih tua 10 tahun dari Bu Zea lho."Matteo mendelik kaget. Tapi ia berusaha menutupi rasa keterkejutan
"Matteo! Kamun dipanggil sama Bu CEO tuh! Dia meminta kamu untuk segera datang ke ruangannya."Matteo baru saja bersiap turun ke bawah saat untuk makan siang, seorang HRD datang menghampirinya, dan mengatakan hal tersebut. Matteo menjilat bibir bawahnya. Dia sudah bisa menebak apa yang ingin dibicarakan oleh wanita itu, saat memanggilnya. Tapi sejujurnya, dia belum punya jawaban yang tepat untuk menanggapi tawaran Zea."Hei! Kenapa masih di situ? Buruan sana ke ruangan Bu Zea! Kamu tahu sendiri kan gimana sikap Bu Zea sama orang yang lelet kayak kamu gini?" tukas HRD itu lagi. Memperingati Matteo agar segera pergi ke tempat yang diminta.Sepanjang perjalanan menuju ke ruangan Zea, Matteo tidak bisa menenangkan degup jantungnya. Dia bahkan terus memikirkan jawaban apa yang harus dia sampaikan pada Zea nanti."Aku bingung banget. Berhari-hari memantapkan hati buat pilih keputusan yang tepat, tapi rasanya susah sekali." Matteo menggumam dal
"Aku mau kamu jadi suamiku."Matteo membeku, apa yang baru saja Zea ucapkan itu? Kenapa mendadak Bosnya itu meminta sesuatu diluar nalar begitu?"Maksud Ibu apa ya?" tanya Matteo dengan tampang kebingungan."Kamu nggak usah bayar hutang-hutang kamu padaku, asal kamu mau nikah sama aku," terang Zea dengan wajah tegasnya. "Nggak lama kok. Cuma setahun aja?"Matteo masih diam. Dia sedang meloading semua yang Zea katakan."Ke— kenapa tiba-tiba gitu Bu? Maksudnya, kenapa harus membuat perjanjian kayak gitu?""Anggap aja sebagai timbal balik, Matteo. Aku udah bantuin kamu lolos dari jeratan rentenir tadi, dan sekarang giliran kamu bantuin aku buat jadi suami pura-puraku.""Ta— tapi...""Aku udah pusing banget gara-gara terus dipaksa nikah, aku juga nggak mau dijodohin sama pria asing yang nggak aku kenal." Zea melipat kedua tangannya di depan dada. Wajah jengahnya saat menjelaskan permasalahan pribadinya pada Matteo a
Matteo menatap orang-orang yang sedang mengepungnya sebelum berkata, "Maaf, aku belum bawa u—"Bugh!Matteo seketika jatuh tersungkur saat berantem diri itu melayangkan tinjunya tepat di pipinya. Bukan hanya sekali saja, tapi beberapa kali. Bahkan, anak buah si rentenir juga ikut memukuli tubuh Matteo tanpa ampun."Bocah brengsek! Nggak tau diri sekali kamu jadi manusia! Sudah diberi keringanan, masih saja nggak mau bayar." Rentenir itu tampak begitu murka. Jauh-jauh ia menemui Matteo bukan untuk pulang dengan tangan kosong. Jadi wajar jika dia sangat emosi.Matteo tak bisa mengatakan apapun. Ia hanya melindungi wajah dan perutnya dan pukulan orang-orang itu."A— ampun Pak! Ampun!" rintih Matteo di sela rasa sakit yang mendera."Kali ini nggak ada ampun buat kamu, Teo. Bahkan aku berpikir untuk menghabisi nyawa kamu sekarang juga. Supaya aku bisa jual semua organ di dalam tubuh kamu di pasar gelap," ucap si rentenir dengan wajah
Tiba-tiba Matteo ingat akan sesuatu, yakni ibunya.Tadi sebelum ia masuk ke ruangan dokter, ia meminta sang ibu untuk menunggu di Koridor. Tapi sekarang entah ke mana."Ibu! Ibu!" Matteo melihat ke kanan dan kiri, mencari keberadaan orang tuanya tersebut. Ia susuri koridor di lantai dua rumah sakit. Berharap ia dapat segera menemukan orang tuanya itu."Aduh, ibu ke mana ya? Di toilet juga nggak ada?"Matteo semakin panik. Apalagi beberapa orang yang ia temui juga tidak melihat keberadaan sang ibu."Apa ke kantin ya? Soalnya ibu bilang haus tadi." Sesuai dengan apa yang ia pikirkan Matteo pun langsung bergegas ke kantin rumah sakit.Dia edarkan pandangannya ke area kantin yang ramai pengunjung. Sedang begitu menemukan rasa sayang ibu di salah satu bangku yang ada di sana Matteo pun merasa lega."Ibu? Ibu ke mana aja? Dari tadi Teo—" suara pemuda tampan itu seperti menghilang ditelan udara ketika melihat siapa yang duduk d