Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Dulu, kandungan Bela yang masih belum terlihat, kini tepat berusia 9 bulan. Wanita itu akan berganti gelar dalam hitungan hari. Bela benar-benar tidak percaya, tapi... Hatinya sangat senang ketika dia ingat bahwa dia akan menjadi seorang ibu. "Bela, kamu tidak merasakan apa-apa?" tanya Deva sekali lagi. Ia sangat mengkhawatirkan istrinya yang kini memasuki minggu persalinan. Deva khawatir Bela tidak menyadari sedikitpun perasaan yang menandakan bayi mereka akan segera lahir karena mereka masih pasangan muda yang belum mengerti apa-apa. "Deva, aku sudah memberitahumu sepuluh kali. Apakah kamu ingin bertanya lagi setelah ini?" Balas Bela sedikit kesal. Dia hanya lelah menjawab lagi hal yang keluar dari bibir suaminya. Dia juga bisa merasakannya, dia adalah seorang ibu. "Aku hanya menjagamu dan anak kita, sayang. Aku tidak ingin terjadi apa-apa padamu. Ini sudah hari H. Kita harus tetap waspada." Bela terkekeh. Kata-kata Deva memb
“Aduh, kamu yang memintaku untuk berada di sini, tapi kamu juga yang mengusirku. Ucap Bela sambil bangun. "Tapi entah kenapa aku tetap cinta!" Lagi-lagi Bela mencubit pipi Deva. Ya Tuhan, jika ada bawahannya yang datang ke sini, otoritasnya akan hilang sekarang. Bela. Untungnya, Deva juga menyukainya. “Sampai jumpa Ayah! Saya ingin melakukan senam dengan ibu dulu!” Bela pamit menirukan suara anak kecil. Dia sekarang suka bertindak seperti itu. "Hati-hati, Sayang! Jangan lelah, oke?" Kata Deva sambil mencium perut istrinya dan juga kening Bela beberapa saat. Manis sekali. Membuat dada Bela berdesir senang. Sepertinya, dia tidak ingin melewati ini dengan cepat. Tapi tidak ada yang bisa memiliki waktu. Dia bergerak sesuai dengan sifatnya dan tentu saja, tidak bisa ditunda atau diputar ulang. Maka setiap saat dalam hidup adalah sesuatu yang sangat berharga. Tidak akan bisa terulang kembali untuk dikenang atau dikembalikan untuk hidup normal. Dan momen memalukan De
Deva yang menerima telepon itu pun langsung kaget. Jantungnya langsung terpompa kuat. Seluruh tubuhnya merinding karena kata-kata yang didengarnya dari instruktur senam Bela. "Be-Bela melahirkan?" Deva merinding mendengarnya, namun sesaat ia langsung tersadar dan mengambil kunci serta barang penting seperti dompet untuk langsung menuju ke tempat Bela berada sekarang. Sebelumnya, instruktur senam Bela belum mengumumkan keberadaan mereka. Dia akan mengirimkan alamatnya nanti. Saat di tempat parkir, Deva mendapat alamat rumah sakit. Detak jantung Deva berpacu dengan waktu. Ia pun memikirkan cara alternatif untuk tiba lebih cepat dari waktu biasanya yang hampir satu jam. Entah kenapa instruktur senam Bela membawa Bela ke sana, tapi yang pasti sekarang dia harus cepat sampai. "Oke fokus, Bela butuh kamu sekarang," gumam Deva. Di sisi lain, kini Bela mengatur napasnya yang berat dan juga terengah-engah. Dia merasa bahwa sekarang perutnya sangat sakit. Entah apa yang memb
Deva tidak tahu apa yang terjadi. Saat hendak menanyakan itu, namun urung karena Bela terlihat ingin dipeluk. "Akhirnya kamu tiba!" Deva memeluk Bela dengan erat namun juga dengan banyak tanda tanya. “Bela, apakah anak kita sudah lahir? Tapi kenapa perutmu masih besar?” Satu kalimat panjang yang didapat Bela dari Deva membuat perempuan itu terkekeh. "Bayinya hanya bercanda. Itu kontraksi palsu." Bela menjelaskan secara singkat sambil menyeringai. Sementara itu, Deva kini sangat tidak percaya dengan ucapan santai tadi. Jadi anak kita belum lahir? Bela mengangguk manis. Deva mengacak-acak rambutnya sambil menghela napas lega. "Aku lega kau baik-baik saja. Tapi sungguh, kenapa anak kita tidak keluar? Biarkan aku bertanya pada dokter." kata Deva sambil melihat ke segala arah. Dia mencari dokter. Dia tidak meragukan semua keahlian dokter di sini, tetapi dia sebagai seorang ayah, hanya tidak ingin mengambil risiko sebesar itu. Dia harus memastikan ini benar atau tidak.
“Hati-hati, ibu! dan terima kasih banyak karena selalu ingin mengganggu Bela.” Ucap Bela dengan senyum manis dengan wajah bahagia. Dia saat ini menemani ibu instruktur senamnya yang akan pulang. Tadi hampir seharian dia ditemani instruktur senamnya setelah tiba-tiba Deva harus ke kantor lagi untuk mengurus sesuatu. "Kamu harus disini dulu ya? Di rumah dulu, karena suami kamu juga benar. Takut terjadi hal yang tidak diinginkan, bukankah kamu yang panik juga?" Bela tersenyum. Dia mengangguk. "Memang paling tau Bela. Sekali lagi terima kasih bu. Walaupun ke depannya mungkin Bela sudah lama tidak senam lagi, tetap harus maklumi Bela. Sering-seringlah main! Aku harus gitu atau nanti Bela main sama bayinya ya sayang?” Senyum Bela terukir, ia mengusap perutnya yang kini tinggal menunggu hari kempis. Instruktur senam Bela pun mengelus perut perempuan itu. Meskipun sebelumnya dia orang asing, entah kenapa dia mencintai Bela dan putrinya. "Aku seperti menunggu anak lahir dan
"Kamu bisa pulang sekarang?" tanya Deva dengan wajah gembira, dan tentu saja Bela menjawab dengan senyuman dan anggukan senang. "Ya, jadi kita bisa pulang dan menunggu sampai tanggal yang ditentukan dokter di atas kertas untuk datang ke sini lagi." "Satu minggu lagi ya? Apakah anak kita akan lahir dalam seminggu?" tanya Deva setelah melihat tanggal yang tertera di kertas itu. "Siapa tahu? Apapun itu, saya berharap bayi saya dan saya akan tetap sehat. Tapi kalau dilihat dari usianya, ini adalah usia kelahiran normal saya dalam satu minggu. Saya tidak tahu apakah bisa lebih cepat atau bisa lebih lama. ." Deva mengangguk dan mencium kening Bela sebentar. "Sekarang ayo kita pulang, ya? Aku tahu kamu tidak suka bau rumah sakit, tidak peduli seberapa bagus rumah sakit itu. Dan jika kita di rumah kita bisa bebas. Apakah kamu ingin pulang sekarang? Apakah kamu aman? Tidak ada keluhan?" Ren mengangguk. "Aman. Ayo pulang! Aku tidak sabar untuk menghirup udara rumah lagi." Mer
Bela mengangguk percaya diri. Dia tahu bahwa dia bukanlah seseorang yang berpengalaman tetapi jujur di dalam hatinya, dia percaya bahwa dia bisa. Dia memiliki petunjuk kemarin serta beberapa pengalaman dengan kontraksi palsu beberapa hari yang lalu. “Pegang tanganku, Ren, kalau kamu tidak kuat, bilang oke. Jangan terlalu memaksakan!” Kata-kata Deva membuat Bela tersenyum, Deva sangat perhatian padanya, dia juga menemani dengan sabar mengikuti semua hal yang diinginkan Bela. "Terima kasih," kata Bela pelan. Dia sekarang mengarahkan perhatiannya kembali ke persalinan. Bela terus berusaha mengatur nafasnya. Dia tidak boleh gugup dan juga mendorong keluar dari waktu yang ditentukan atau diinstruksikan oleh bidan. Sekarang bidan sedang mempersiapkan semua hal yang dibutuhkan Bela. Mulai dari hal kecil hingga hal besar, semuanya dilakukan secara tiba-tiba. Hal ini membuat waktu persiapan menjadi lama. "Tunggu dulu Bela! Kami siapkan semuanya dulu. Deva, bisa bantu aku meny
"Maafkan aku sayang! Aku melepaskan tanganmu saat kau memperjuangkan putri kita. Maafkan aku, Bela. Aku tidak bisa menahan muntah saat melihat begitu banyak darah seperti sebelumnya. Aku tidak berguna, sayang ..." Air mata Deva pecah lagi. Bela kini malah tersenyum geli. Suaminya pun memeluk punggungnya tak kalah erat. “Aku juga sudah tahu bahwa hal seperti itu akan terjadi. Aku mengenalmu, jadi jangan minta maaf, oke? Meskipun kamu tidak bisa menemaniku, itu bukan salahmu. Ayo, jangan menangis! Waktunya kalah dengan anak kita yang baru lahir. Kamu menangis, bayi kita yang cantik menertawakanmu." Deva langsung bergerak dan membingkai wajah Bela. "Apakah kamu tidak marah padaku?" Deva meminta agar Bela tidak marah padanya. "Ya Tuhan, ya sayang... aku sama sekali tidak marah," kata Bela dengan nada lembut. Deva tersenyum. Dia senang istrinya bisa memaafkan kesalahan yang memalukan ini. "Deva udah abis nangis? Ini anaknya cantik, kamu mau kekeluargaan sama ibunya dulu?
Long weekend membuat Deva banyak waktu bersama keluarga nya. Setelah kemarin ikut mengantarkan sang buah hati ke mall untuk ikut lomba menggambar hari ini Deva memiliki rencana untuk ke panti asuhan dimana dulu ia dibesarkan. Deva ingin menanamkan rasa syukur dan berbagi pada kedua buah hatinya. Kalau Indra mungkin belum mengerti tapi saat ini ia ingin mengajak mereka semua untuk ke panti asuhan."Bu, kapan kita berangkat?" tanya Luna yang sedang antusias untuk berangkat ke panti asuhan. Deva memang sudah menyiapkan beberapa hal yang perlu dibawa ke sana seperti paket alat tulis, uang dan juga paket makanan yang akan diberikan pada penghuni panti asuhan dan ia juga sedang bersiap."Iya, tunggu kakek dan nenek. Kalau mereka sudah datang kita berangkat bersama," jawab Bela. Ia sedang bersiap dengan Indra juga. Tak berselang lama ternyata kakek dan neneknya Luna datang."Yey, kakek dan nenek sudah datang," ucap Luna begitu gembira menyambut kedatangan kakek dan nenek nya. "Apakah semu
Saat ini Bela sedang menemani Luna belajar. Luna adalah anak yang suka belajar tanpa disuruh. Bela senang melihat anaknya begitu. Meskipun masih duduk di bangku taman kanak-kanak tapi bakat Luna terlihat yaitu senang menggambar. Bela bangga padanya karena ia juga gigih dan sabar. Bela berencana ingin mencoba mengikuti sebuah perlombaan menggambar yang akan digelar di sebuah mall besar."Luna, besok ada lomba menggambar apa kamu mau ikut?" tanya Bela."Dimana, Bu?" balas Luna."Di mall. Ibu nggak minta kamu untuk bisa menang kok yang penting kamu berani saja itu sudah membuat ibu bangga," jawab Bela mencoba memberikan semangat untuk Luna."Iya, Bu, Luna mau ya? Tapi diantar Ibu ya?" pinta Luna."Ya, tentu saja. Besok kita berangkat sama-sama." Bela pun membiarkan Luna melanjutkan menggambar bunga.Keesokan harinya sesuai janji Bela akan mengantarkan Luna ke mall untuk mengikuti lomba. Perlengkapan seperti pensil warna dan alat lain juga sudah disiapkan. Karena hanya tempat menggambar
Bela sekarang disibukkan dengan mengurus dua anaknya. untung saja Deva selalu menorehkan perhatian lebih kepada Bela. Deva juga selalu membawa pekerjaannya ke rumah untuk menjaga Bela. Deva juga sering mengantar jemput anaknya di sekolah.Seperti saat ini, Deva baru saja pulang dari kantor dengan membawa setumpuk berkas di tangannya. Bela yang berada di teras rumah menatap suaminya dengan tatapan bingung. Setidaknya, Deva bisa mengerjakan berkas itu di kantor. Lagi pula, ini bukan pertama bagi Bela. Deva berjalan mendekat ke arah Bela lalu menaruh beberapa tumpukan berkas itu di meja samping Bela. Deva langsung mengecup kening Bela dengan penuh kasih sayang lalu beralih mengecu kening Indra yang berada di gendongan Bela. “Kenapa kamu membawa banyak tumpukan berkas itu ke rumah? Kamu bisa mengerjakannya di kantor, Dev. Jika seperti ini kamu akan kesusahan nantinya,” ujar Bela. “Tidak. aku tidak akan meninggalkan kamu dengan mengurus dua orang anak sendirian. Aku akan membantu kamu m
“Maaf, Bel. Aku belum bisa ke sana saat ini. Tetapi aku akan segera ke sana. aku menunggu Alvin pulang,” kata May di telepon. Wanita itu memang tengah bertelepon dengan Bela. Tentu saja untuk mengucapkan selamat karena kelahiran anak keduanya. May ikut senang akan hal itu. Tetapi bila bisa jujur, ia juga merasa sedih. Bagaimana tidak? Di saat dia mengharapkan anak kedua, justru takdir berkata lain kepadanya. Siapa pun wanita seperti May tentu saja akan merasa sangat sedih. Bagi May, ini bukan perkara yang mudah. Bohong bila ia berkata, bahwa ia bisa menerima keadaannya saat ini. Dari hari terdalam, May sangat iri dengan sahabatnya itu.“Tidak apa, aku tahu,” jawab Bela. “Hari ini aku juga sudah bisa pulang,” sambung Bela. “Aku ikut senang, Bel. Jika bisa, aku akan mendatangi kamu sendiri ke sana. Tetapi Alvin mau bersama menengok kamu,” kata May. Alvin juga tadi sempat memberi tahu May bahwa Bela hari ini melahirkan. Alvin juga mengajak May untuk menengok keponakannya itu setelah
Dua bulan sudah berlalu, kini May sudah bisa menerima keadaannya. Walau sempat kondisinya turun.Bela selama kandungannya tua juga sering berada di rumah Alvin saat suaminya tidak ada. Seperti saat ini, Bela sudah berada di rumah May. Mereka baru saja pulang mengantarkan anaknya pulang dari sekolahnya. Dan ini saatnya, mereka bersantai sambil membaca beberapa buku di ruang tamu. “Bel, lihatlah! Ada yang jual pakaian lucu untuk bayi perempuan,” kata May sambil menunjukkan ponselnya kepada Bela. Bela juga terkesima dengan satu set pakaian lucu yang ditinjukan May. “Sangat lucu!” pekik Bela. “Apakah kamu harus membelinya? Sepertinya, iya! Ini edisi terbatas, Bel. Cepat miliki,” kata May lagi. Bela terdiam. Apakah ia harus membelinya? Tetapi untuk apa? jika anaknya perempuan nanti, masih ada pakaian milik Luna. Bukannya berniat memberikan anak yang keduanya berang bekas, tetapi memang pakaian Luna yang dulu masih bagus dan ada beberapa yang baru. Jika membeli lagi bukankah sangat di
Makan malam hari ini terasa nikmat karena kebersamaan. Ibu Mike sejak tadi juga tidak henti-hentinya bercerita kepada kedua cucu tercintanya. Luna dan juga Inara. Sangat memenangkan! Netra Bela tidak sengaja menatap ke arah May. Wanita itu memegangi perutnya sambil keringat yang membasahi wajahnya. Apakah ada yang terjadi dengan May? “May?” panggil Bela.May langsung saja mengubah posisinya menjadi tegak. May menatap Bela dengan senyum yang wanita itu paksakan. Bela tahu itu! Lagi pula, Bela tidak satu atau dua bulan bersama May. Jelas sangat tahu bagaimana jika May tengah menyembunyikan sesuatu. “Ada apa, Bel?” tanya May. Deva dan juga Alvin kini juga ikut menatap Bela dengan tatapan bingung dan bertanya-tanya. Tidak hanya itu, pak Seno pun juga ikut menatap ke arah Bela. Bela menjadi canggung saat hampir semua netra menatap ke arah dirinya. Bela menggeleng, lalu kembali melanjutkan makannya tanpa jadi berbicara kepada May. Mau tentu sangat penasaran dengan Bela. Tetapi May juga
“Sayang, bagaimana dengan ini? Ini sangat menggemaskan,” kata Deva sambil menunjukkan sebuah baju kecil berwarna pink. Baju perempuan. “Adik Luna perempuan?” tanya Luna sambil menatap Deva bingung.Memang sampai detik ini, sudah tiga bulan berjalan. Deva dan Bela tidak mau melakukan USG. Bela mau nanti jenis kelamin anaknya menjadi kejutan. Sebenarnya Deva sudah sangat penasaran, tetapi Bela tetap tidak mau melakukan USG. Pada akhirnya, Deva yang harus mengalah. Deva atau pun Bela juga tidak pernah mempermasalahkan jenis kelamin anaknya nanti. Yang terpenting bagi Deva, anak dan istrinya sehat semua. Itu sudah cukup. Ia tidak banyak menunut. Menerima ada yang diberikan kepada Tuhan untuknya. Deva menggaruk kepalanya yang tiba-tiba saja terasa gatal. “Ayah, adik Luna perempuan?” ulang Luna lagi. “Belum tahu, Sayang. Nanti kita tahu jika sudah lahir,” jawab Bela. Deva tersenyum kepada anaknya, dia juga memasukkan baju itu ke dalam troli belanja. Bela menatap tak percaya ke arah su
“Sayang, ada apa?” tanya Deva kala melihat wajah Bela yang sangat begitu terkejut. Bela memang tengah menelepon seorang, entah apa yang orang itu katakan kepada Bela hingga membuat raut wajah istri Deva itu berubah terkejut. Tentu saja itu membuat Deva juga ikut penasaran. Siapa yang tengah istrinya telepon? Bela mengisyaratkan Deva untuk diam, sementara Bela terus melanjutkan teleponnya. Samar-samar, Deva dapat mendengar suara yang sangat dikenalinya. May? Ya! suara itu adalah suara May! Apa yang mereka bicarakan? “Aku akan ke sana setelah ini, kamu tenang dulu,” kata Bela. “Apakah sudah selesai?” tanyanya lagi. Deva terus saja mendengarkan apa yang istrinya bicarakan dengan saksama, walau suara lawan bicaranya sama sekali tak terdengar. Deva melahap makannya dengan netra yang fokus pada Bela. “Aku turut sedih. Semoga saja semua akan baik-baik saja,” kata Bela dengan nada sedih. Deva semakin penasaran. Apa yang sedang terjadi sebenarnya?“Baiklah. Aku akan ke sana nanti. Kamu
“Ibu, Inara merasa bosan di rumah terus,” kata gadis kecil itu kepada May-sang ibu. May yang sedang menyiram tanaman langsung saja menoleh ke arah anakannya. Saat ini hari Minggu, jadi May dan Inara bersantai di rumah. “Kamu mau ke rumah Luna?” tawar May. Inara tidak langsung menjawab pertanyaan sang ibu. Iya justru terdiam beberapa. Hal itu tentu saja membuat May penasaran. Apakah ada yang terjadi dengan Inara serta Luna? Biasanya anaknya itu selalu senang saat bermain bersama Luna. Namun berbeda kali ini. “Inara, ada apa? kamu sedang berantem dengan Luna?” tebak May. Inara menggeleng. “Tidak, Ibu. Aku hanya ingin bermain bersama Ibu. Aku bosan,” jawab gadis kecil itu. May yang mendengar hal itu bernafas lega. Setidaknya mereka tidak bertengkar, kan? May sudah berpikir yang tidak-tidak mengenai anaknya dan juga Luna. “Lalu, kamu mau ke mana?” tanya May. Wanita itu mematikan keran air dan menghampiri putrinya yang tengah bermain tanah dalam pot. May langsung saja membawa Inara