Pintu kamar Sadewa diketuk. Seraut wajah cantik dengan hijab merah mudah serta gamis berwarna hampir senada muncul seraya mengulas senyum tipis dan segera menghampiri lelaki dengan garis wajah tegas itu, menyalami tangan Sadewa serta mencium bagian punggungnya dengan khidmat sebelum akhirnya memeluk erat tubuh kekar itu sembari menangis tersedu.“Jangan nangis, Sayang. Aku tidak apa-apa, kok. Hanya pusing sedikit dan sekarang liat kamu aku langsung merasa sehat,” ucap pria itu dengan intonasi sangat lembut, mengusap kepala sang istri yang terbungkus kerudung kemudian mencium puncak kepalanya dengan penuh cinta.Sania menarik kursi di samping ranjang, mengenyakkan bokongnya perlahan menggenggam jemari sang suami seraya menatap wajahnya yang terlihat pucat.“Maafkan aku ya, Ayah. Gara-gara aku sekarang Ayah jadi banyak sekali masalah. Dulu sebelum aku masuk di kehidupan Ayah, semuanya terlihat damai. Ayah dedek perut nggak pernah dapat masalah sampai seperti ini,” lirih si pemilik bulu
“Ada apa sih, Yah?” tanya Sania penasaran melihat wajah suaminya terlihat pias.“Ada yang menghubungi aku dan mengabari kalau Ica lagi sama dia. Aku disuruh ke sana tapi tidak boleh membawa orang lain. Apa itu tidak aneh? Menurut kamu bagaimana, Sayang?” Sadewa meminta pendapat kepada istrinya, sebab dia tidak mau gegabah apalagi sampai salah mengambil keputusan.“Ajak Bang Adit saja, Yah. Aku takut terjadi sesuatu sama Ayah. Apalagi keadaannya sekarang sedang genting begini.”“Aku telepon Adit dulu, biar dia bawa orang-orangnya juga. Siapa tahu Darmi ada di sana juga, biar sekalian dibawa tu perempuan meresahkan.”“Mbok Dar? Memangnya ada apa dengan Mbok Dar, Yah? Apa dia terlibat kasus ini juga?” Dahi perempuan bermata bulat dengan bulu mata lentik bernaung di atasnya itu berkerut-kerut, sedikit tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh suaminya.“Semua bukti mengerucut ke dia, Sayang. Baik teror yang kamu terima, orang yang hampir melecehkan kamu malam itu juga minyak tumpah di
“Kamu tidak usah takut, Seno. Kamu tidak bersalah dan kami akan membela kamu nanti!” sambung Aditya yang ternyata sejak tadi menguping di dekat pintu.“Maaf, saya datang ke sini tidak sendirian. Soalnya tadi saya takut kalau kamu salah satu dari orangnya Darmi yang sengaja ingin menjebak saya. Jadi saya bawa Aditya dan beberapa orang polisi, juga bersama para anak buah saya.” Sadewa berujar sambil menunjuk beberapa mobil yang terparkir tidak jauh dari rumah Seno.“Tadi saya meminta Om untuk tidak membawa orang lain sebab semenjak kejadian penusukan itu saya juga sering mendapatkan teror. Kemarin di kios ada yang tiba-tiba datang dan mengobrak-abrik dagangan saya. Saya juga sering mendapatkan ancaman dari nomor tidak dikenal, makanya saya langsung ganti nomor, Om. Saya benar-benar takut, apalagi saat ini istri saya sedang mengandung. Maaf juga kalau sudah hampir dua minggu saat kejadian itu tetapi saya baru menghubungi Om. Itu semua atas permintaan Ica dan karena keadaan Ica sekarang s
‘Ingat, Kevin. Kamu sudah berjanji akan berubah dan menjadi manusia yang lebih baik lagi. Jangan nodai kepercayaan ayah kamu dan jangan sakiti perasaannya.’ Hati kecilnya berbisik, membuat dia langsung melepaskan tubuh Sania yang terlihat gemetar dari pelukannya. “Maaf. Tadi spontan karena kamu mau jatuh. Aku tidak mau terjadi sesuatu sama calon adik aku, San.” Susah payah dia mengurai kata, menepis rasa sakit yang tiada terperi dalam dada. Andai saja dulu dia menjadi seorang penurut dan mau mendengarkan nasihat sang ayah untuk tidak mendekati zina, mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti ini. Sania akan menjadi pendamping hidupnya, bukan ibu tirinya. Kini, hanya tinggal penyesalan yang selalu menghakimi hati, apalagi setelah mendapati bahwa anak yang dikandung Lisa bukan darah dagingnya. Dia hanya dijadikan tameng karena ayah bayi yang dikandung Lisa tidak mau bertanggung jawab. Berbuat zina satu kali, tapi sial yang ia dapatkan berkali-kali dan hampir tidak pernah berhenti.
Brak!Tanpa basa-basi lagi ia menendang pintu dan memejamkan mata mendapati pemandangan yang begitu menyesakkan dada. David tengah menggagahi Lisa yang terbaring dengan tali mengikat kaki serta tangannya.“Bajingan kamu, David. Biadab!” Sebuah tinju mendarat di rahang suami Clarissa hingga lelaki bertato itu jatuh tersungkur.David berusaha bangkit dan membalas tinjuan Kevin, namun, karena dia dalam pengaruh minuman keras membuat tenaganya tidak lebih kuat dari sang adik ipar. Tanpa ampun ditendangnya perut David hingga terbatuk sementara Lisa tengah menangis dan mencoba melepas ikatan yang melilit tangan serta kakinya.“Apa yang terjadi, Lisa?” tanya Kevin dengan suara parau.Lisa hanya bisa menangis tanpa mampu menjawab pertanyaan dari suaminya. Tubuhnya yang sudah penuh dengan luka lebam bergetar hebat. Ada ketakutan luar biasa yang terpancar di sorot mata beningnya.“Lisa.” Pelan-pelan tangan Kevin terulur, mengusap pipi istrinya yang basah menghapus air matanya dan melepas lilita
“Kamu jadi mau beli perlengkapan bayi, Sayang? Soalnya sudah deket HPL tapi kita belum punya persiapan sama sekali. Takutnya besok atau lusa kamu udah melahirkan malah perlengkapannya belum kebeli.” Sadewa berkata sambil mengoles selai kacang di atas permukaan roti kemudian menyodorkannya kepada sang istri. “Nanti aja kalo Ayah udah nggak sibuk,” jawab wanita yang tengah duduk di sebelahnya sembari menggigit pojokkan roti. “Kalau begitu nanti siang aku jemput setelah selesai rapat. Kamu siap-siap saja.” “Oke, Bos!” Sania menautkan telunjuk dengan ibu jari membentuk huruf O.“Makan yang banyak biar tambah bulet! Aku tambah cinta liat kamu gendut begini. Gemes. Pengennya liatin terus.” Kekeh Sadewa seraya menarik hidung istrinya gemas. Pria dengan garis wajah tegas itu lalu membungkuk, mendaratkan ciuman di perut gendut istrinya seraya membisikkan kata-kata sayang kepada calon anak yang ada di dalam perut Sania.Tangan Sania terulur membelai lembut rambut Sadewa yang basah. Merasa ba
“Kita jadi jalan ‘kan, Yah?”“Oh, iya. Kita jalan sekarang!” Sadewa yang sudah terbuai oleh suasana segera merapikan kemejanya dan merangkul pundak Sania keluar dari kamar. Rasanya sudah tidak lama bermesraan seperti itu dengan Sania membuat dirinya mudah terbakar gairah. Ada rasa rindu menggebu di dalam kalbu dan belum sepenuhnya terobati.Sadewa menggamit tangan Sania saat mereka sudah sampai di pusat perbelanjaan. Sepasang suami istri berbeda generasi itu berjalan menuju stand pakaian bayi, membeli beberapa pasang pakaian yang lucu-lucu serta membuat Sania ingin segera berjumpa dengan calon anaknya.“Nia!” Perempuan berhijab panjang menjuntai itu menoleh mendengar suara yang begitu dia kenali memanggil namanya dan tersenyum saat melihat seorang laki-laki berkemeja putih berdiri di hadapannya.“Gus, njenengan ada di sini?” tanya perempuan itu sambil melepas tangan sang suami yang terus saja menggamitnya.“Iya. Saya kebetulan sedang lewat dan ingin membelikan kado untuk teman saya. E
Denting jam terdengar berbunyi nyaring. Sania masih saja terjaga menahan sakit di perut yang kian terasa. Disambarnya benda pipih persegi yang tergeletak di atas kasur, mencoba menghubungi Sadewa akan tetapi dering ponsel sang suami malah berbunyi di dalam kamar. Sania akhirnya memutuskan untuk turun dari tempat tidur dan mengetuk pintu kamar ibunya.“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Maryam dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.“Sakit!” Hanya itu yang keluar dari mulut wanita berusia dua puluh dua tahun itu.“Dewa ke mana? Apa dia pergi?”Sania tidak menjawab pertanyaan dari ibunya. Mana mungkin dia membeberkan masalah keluarganya kepada orang lain, meskipun orang itu wanita yang telah melahirkan dia.Romi segera mengenakan kaos dan memapah Sania keluar dari rumah, berniat membawa putri semata wayangnya je rumah sakit.“Sania kenapa, Mam, Pak?” Sadewa yang sedang duduk di pos satpam bersama Barja dan Sapror segera menghampiri Romi.“Perutnya mules. Mungkin dia mau melahirkan.”“
Tangis sahabat seperjuangannya itu semakin pecah ketika melihat sang mertua datang. Sadewa ikut duduk di lantai, menatap lemas dengan air mata sudah merebak dari balik kelopak.“Maaf, Pak. Silakan anak-anaknya diazani dulu!” Seorang perempuan berseragam khas perawatan keluar sambil tersenyum, menyuruh Aditya segera masuk untuk mengazani anak-anaknya.Sambil menghapus air mata laki-laki berkumis tipis itu berjalan masuk, menghampiri istrinya yang masih terbaring lemah dan menciumi pipinya sambil menangis.“Jangan cengeng, Abang. Masa seorang penembak jitu nangis sesenggukan begini?” ucap Clarissa sembari menerbitkan senyum.“Iya, Ca. Saking jitunya Abang nembak, sekali jadi langsung tiga! Makanya Abang terharu dan melihat perjuangan kamu melahirkan ketiga anak kita. Padahal, dokter kemarin Cuma bilang kalau kamu hamil kembar. Abang pikir Cuma dua. Ternyata malah tiga!” Aditya kembali mengusap air matanya.“Alhamdulillah, Bang. Rezeki kita langsung dikasih amanah banyak sama Allah. Ting
“Maaf, Sayang. Abang begitu mengkhawatirkan kamu soalnya. Plis jangan nangis. Abang liat kamu kesakitan saja sudah stres, ditambah liat kamu nangis. Abang minta maaf kalo Abang salah. Tolong jangan menangis. Mana yang sakit biar Abang elus-elus.” Aditya terus saja mencerocos sambil mengusap perut gendut istrinya.“Sakit semua, Bang!” Wanita berambut ikal itu melingkarkan tangan di pinggang, mencengkeram baju yang tengah dikenakan sang suami sambil meringis menahan sakit yang semakin terasa.“Minum air hangat dulu, Kak. Biar rileks!” Sania berjalan sambil menyodorkan segelas air putih hangat dan langsung disambar oleh menantunya, ditenggak habis hingga tersisa gelasnya saja.“Istri gue ngasih minum buat anak gue! Kenapa jadi lo yang minum?!” Sadewa menjitak kepala sahabatnya itu.“Maaf, Wa. Aku terlalu grogi!”“Wa...Wa... Dasar mantu durjana, sama mertua sendiri panggil nama. Nanti gue coret kamu dari daftar keluarga!” protes sang pemilik rahang tegas sambil menjitak kepala Aditya seka
“Naik motor, ya Bang. Ica pengen peluk Abang dari belakang!”Lelaki berambut cepak itu menghela napas berat, akan tetapi dia tidak berani menolak permintaan si istri, karena saat ini Clarissa tengah berbadan dua dan perasaannya begitu sensitif. Ia pun akhirnya mendorong sepeda motor miliknya keluar, menyuruh Clarissa merapatkan tubuh serta memeluknya dan segera melajukan kendaraan roda dua miliknya menuju tukang sate langganan.Clarissa tersenyum sembari menyenderkan kepala di punggung sang suami, merasa begitu nyaman serta bahagia hidup bersama sahabat ayahnya yang kini sudah sah menjadi suaminya.Tidak seperti saat membina biduk rumah tangga dengan David dulu, yang penuh luka juga liku. David tidak pernah berlaku manis, bahkan sekedar tersenyum kepadanya pun tidak pernah. Hanya luka yang selalu ditorehkan, baik di sanubari maupun fisiknya.“Terima kasih, ya Bang,” bisiknya seraya mempererat dekapan.“Untuk apa?” Raditya menggenggam jemari Clarissa yang tengah bertengger di pinggang.
Pagi-pagi sekali Sania sudah berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk suami serta putranya. Kebetulan hari ini Mbak Resti izin libur, karena suaminya sedang kurang sehat jadi Sania harus menyiapkan segala sendiri.“Assalamualaikum, selamat pagi bidadari,” sapa Sadewa sembari melingkarkan tangan di pinggang sang istri.“Emangnya aku secantik bidadari, Yah?”“Lebih cantik dari bidadari malahan. Kamu itu luar biasa. Wanita tercantik yang pernah aku temui juga perempuan terbaik yang pernah aku kenal. Kamu adalah jantung serta napasku, dan tanpamu mungkin aku tidak akan sanggup lagi untuk hidup serta berdiri. Terima kasih atas cinta yang selama ini kamu curahkan kepadaku, terima kasih juga karena sudah mau menjadi ibu dari anak-anakku!” bisiknya mesra di telinga istrinya.Saat sedang santap pagi terdengar suara pintu diketuk nyaring. Sania segera keluar untuk melihat siapa yang datang, dan ternyata Malvin—anaknya Darmi yang bertamu. Sania mengulas senyum tipis kepada anak mantan asisten
“Sudah, buruan dimakan. Biar dedeknya tambah besar!”“Iya, Yah. Ayah juga sebaiknya cepat makan. Nanti Embun habisin loh, jatahnya kalau Cuma diliatin doang.”“Kalau mau silakan habiskan. Kalau kamu minta sekalian dibeli sama kios-kiosnya juga akan aku turuti.”“Ish! Memangnya mau buat apaan?” Sania mencebik. Perempuan berhijab ungu itu segera memotong makanan berbentuk bulat dengan isi tertelan daging tersebut dan lekas menyantapnya dengan semangat, hingga keringat sebiji-biji kacang hijau menitik di dahinya.Buru-buru Sadewa menarik dua lembar tisu, mengelap peluh yang membuat istrinya semakin terlihat bertambah menawan sambil tidak henti-hentinya mengagumi wajah cantik Sania.“Kenapa Ayah liatin aku seperti itu?” Sania menghentikan aktivitasnya menyantap bakso karena terus diperhatikan.“Kamu cantik. Aku mencintai kamu!”“Aku tau, kok, kalau Ayah begitu mencintai aku.”“Aku mencintai kamu lebih dari yang kamu tahu, Mbun. Cinta di hati ini begitu besar, dan bahkan tiap detiknya kian
“Abang ngapain? Kok malah olah raga?” tanya Clarissa seraya menatap bingung ke arah suaminya.“Sayangku itu bagaimana sih? Tadi katanya Abang suruh pemanasan. Sekarang malah ditanya lagi ngapain?”Hah? Mulut perempuan berambut ikal itu menganga lebar.Seriusan ini laki nggak mudeng pemanasan? Pikirnya.“Bang, maksud aku pemanasan itu bukan seperti itu. Tapi...Ah, masa Abang tidak tahu. Kan aneh, Abang ini duda, masa nggak paham pemanasan sebelum perang?” Kedua bulat bening milik Clarissa terus saja menatap wajah Aditya yang terlihat basah oleh keringat juga sudah ngos-ngosan.“Sebenarnya, Abang belum pernah perang sebelumnya, Ca. Abang...” Dia menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. “Abang dulu belum sempat kikuk-kikuk sama mantan istri Abang. Dia menolak disentuh sama Abang, dan ternyata setelah beberapa bulan usia pernikahan kami, Abang baru tahu kalau dia sedang mengandung benih orang lain!”“Ya Allah, Bang. Miris sekali kisah cinta Abang dulu. Berarti Abang duda perjaka, don
“Saya terima nikah dan kawinnya Clarissa Arabella binti Veronika untuk diri saya, dengan mas kawin tersebut tunai!” Dengan sekali tarikan napas dan semangat empat lima Aditya mengucap ijab qobul di depan penghulu juga beberapa orang saksi, memindahkan tanggung jawab serta dosa-dosa wanita yang telah resmi menjadi pendamping hidupnya.Clarissa menghampiri lelaki yang kini menyandang gelar suami, menyalami dan mencium bagian punggungnya dengan takzim, disambut ciuman hangat di kening dan Aditya segera membacakan doa setelah ijab kabul.“Alhamdulillah. Akhirnya aku bisa menghalalkan anak kamu, Wa,” ucap Aditya ketika kedua mempelai disuruh sungkeman.“Coba sekali lagi kamu panggilan saya apa?” Kedua manik hitam lawan bicaranya melotot, menatap sang menantu yang tidak ada sopan-sopannya sama sekali.“Lah, saya harus panggil apa, Wa?”“Wa! Wa! Hargai saya sedikit lah, Dit. Saya ini ayahnya Ica dan Ica istri kamu. Otomatis kamu sudah menjadi menantu saya. Harusnya kamu panggil saya ayah. Ja
Kevin tertawa mendengar kabar tersebut, merasa lucu saja jika sang kakak benar-benar menikahi sahabat ayahnya itu.“Kenapa kamu ketawa seperti itu, Kevin? Ada apa? Memangnya nggak boleh, saya nikah sama Ica?” Timpal Aditya yang ternyata sudah berdiri tidak jauh dari tempat kevin serta Sania bercengkerama.“Ya lucu saja, Om. Om kan ... ya sudahlah. Asalkan Om setia dan menyayangi kakak saya. Usia nggak jadi penghalang. Yang penting saling mencintai!” Kevin menjawab sambil menahan tawa.“Tumben kamu lempeng, Vin?”“Kan sudah berguru sama Om waktu saya dipenjara!” kekehnya lagi.Tidak lama kemudian Clarissa keluar sambil menggendong Angel putrinya. Senyum terkembang di bibir merah perempuan itu, apalagi ketika melihat Lisa bersama putrinya datang bertamu untuk pertama kalinya.“Alhamdulillah akhirnya kamu mau main ke rumah juga, Sa. Kakak seneng kamu dateng,” ucap wanita berambut ikal itu seraya menyalami sang adik ipar.“Terima kasih, Kak.”“Hayo masuk ke dalam. Kita ngobrol-ngobrolnya
"Silakan lakukan kalo Mama berani. Aku pastikan Ayah dan Bang Adit tidak akan memberi ampun sama Mama, apalagi sampai melepaskan Mama!" Clarissa mengancam balik. Aditya yang merasa namanya disebut dengan embel-embel 'Bang', tersenyum semringah dan langsung memasang wajah serius serta jemawa. "Maaf, ibu yang pake baju hijau!" Dia menunjuk salah seorang perempuan yang tengah merekam kejadian dan memintanya untuk menghampiri dirinya. "Ma--maaf, Pak. Saya cuma iseng-iseng merekam. Kalo Bapak tidak berkenan akan saya hapus!" Wajah si ibu tampak ketakutan. "Tidak perlu takut, Bu. Saya seorang anggota polisi dan saya akan meminta video yang ibu rekam tadi sebagai barang bukti untuk menjebloskan mantan mertua calon istri saya ke penjara," ucap Aditya kemudian, membuat mamanya David bertambah ketakutan. "Pak, saya tadi cuma bercanda loh. Saya nggak serius ngancem Ica. Lagian Enjel itu kan cucu saya. Mana mungkin saya berani menculik dan menjualnya. Tolong jangan penjarakan saya, Pak Adit.