Denting jam terdengar berbunyi nyaring. Sania masih saja terjaga menahan sakit di perut yang kian terasa. Disambarnya benda pipih persegi yang tergeletak di atas kasur, mencoba menghubungi Sadewa akan tetapi dering ponsel sang suami malah berbunyi di dalam kamar. Sania akhirnya memutuskan untuk turun dari tempat tidur dan mengetuk pintu kamar ibunya.“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Maryam dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.“Sakit!” Hanya itu yang keluar dari mulut wanita berusia dua puluh dua tahun itu.“Dewa ke mana? Apa dia pergi?”Sania tidak menjawab pertanyaan dari ibunya. Mana mungkin dia membeberkan masalah keluarganya kepada orang lain, meskipun orang itu wanita yang telah melahirkan dia.Romi segera mengenakan kaos dan memapah Sania keluar dari rumah, berniat membawa putri semata wayangnya je rumah sakit.“Sania kenapa, Mam, Pak?” Sadewa yang sedang duduk di pos satpam bersama Barja dan Sapror segera menghampiri Romi.“Perutnya mules. Mungkin dia mau melahirkan.”“
"Sania, Sayang!" Sadewa berteriak memanggil nama sang istri dengan perasaan panik.Sania yang baru saja selesai buang hajat mengerutkan dahi mendengar Sadewa terus memanggil-manggil namanya. Wanita berparas ayu itu segera membuka pintu, menatap wajah khawatir sang suami dengan mimik aneh."Alhamdulillah, ya Allah!" seru sang pemilik rahang tegas sembari memeluk erat tubuh mungil bidadari hatinya."Ada apa, Yah?" Sania yang masih diselimuti rasa bingung mendongak memindai wajah tampan suaminya."Tadi ada anak buah Darmi. Aku pikir dia ke kamar kamu dan menculik kamu, Sayang.""Memangnya Mbok Dar seriusan mau mencelakai aku, Yah?"Sadewa mengangguk pelan seraya mengusap lembut kepala istrinya yang terbungkus hijab."Makanya aku membayar pengawal karena aku nggak mau terjadi sesuatu sama kamu. Aku tidak ikhlas jika Darmi sampai mencelakai kamu walaupun hanya menggores sedikit saja kulit kamu.""Terima kasih atas perhatiannya. Aku tambah sayang sama Ayah!" Sania melesakkan kepalanya di da
Pagi-pagi sekali ketika hendak mengganti pakaian Sania dikejutkan oleh bercak darah di celana dalamnya. Tangan perempuan berusia dua puluh dua tahun itu mendadak gemetar karenanya. Dia lalu berteriak memanggil sang suami, menunjukkan noda merah tersebut."Ini tanda-tanda mau melahirkan, Sayang. Dulu Vero selalu seperti ini saat mau melahirkan!""Mulesnya juga makin terasa, Yah. Perut aku nyeri banget!"Sadewa membingkai wajah cantik sang istri dan mencium puncak kepalanya dengan mesra. Ada rasa deg-degan juga khawatir menyelimuti hati Sadewa, dan entah mengapa tiba-tiba dia merasa gelisah."Astaghfirullahal'adzim..." Sania menjatuhkan pakaian yang ada di tangannya, memeluk erat pinggang Sadewa sambil memejamkan mata merasakan nyeri luar biasa."Nia!” Tok! Tok! Tok!"Masuk, Mam. Nggak dikunci!" teriak Sadewa.Pelan-pelan Maryam memutar hendel pintu, melangkah masuk ke dalam kamar anak menantunya lalu menghampiri Sania yang sedang meringis kesakitan."Bawa ke rumah sakit saja, Wa. Kayak
“Dokter, istri saya kenapa? Apa yang terjadi?!” tanya Sadewa tanpa melepas genggamannya. Hatinya teriris perih melihat wajah istrinya kian memucat dengan kaki bersimbah darah.“Tensi Ibu tinggi, Pak. Kejang saat persalinan bisa terjadi pada pasien dengan tekanan darah tinggi atau biasa disebut hipertensi yang tidak terkontrol. Mungkin karena rasa panik luar biasa sehingga membuat tensi Ibu naik,” jawab perempuan beralmamater putih seraya terus memeriksa keadaan Sania.“Sayang bangun. Liat anak kita udah lahir. Dia pengen dipeluk sama kamu,” bisik Sadewa di telinga istrinya sambil menangis.Sungguh. Saat ini dia merasa begitu takut kehilangan istri yang teramat dicintai.“Pak, silakan diazani dulu anaknya. Insya Allah Ibu tidak apa-apa,” perintah dokter anak yang tengah sibuk mengurus bayi berjenis kelamin laki-laki yang baru saja dilahirkan istri Sadewa.Pria dengan garis wajah tegas itu mencium kening istrinya dan segera beranjak dari kursi, mengusap lembut kepala jagoan kecilnya lal
“Sayang, aku keluar dulu sebentar. Aku mencintai kamu,” ucap Sadewa seraya mendaratkan kecupan singkat di kening istrinya.“Duh, manis banget sikap suami kamu, Nia!” ledek Azizah.“Sepertinya dulu calon kamu bukan dia, Nia. Apa karena saya cuma liat di foto jadi kelihatan beda ya? Perasaan waktu itu kelihatannya masih muda?” tanya Nyai Halimah dengan mimik terlihat bingung.“Memangnya Gus Fadlan nggak cerita?” Wanita berhijab violet itu menoleh ke arah laki-laki yang tengah berdiri menatap keluar jendela diikuti oleh yang lainnya.“Saya belum sempat cerita sama Ummi. Karena saya pikir itu bukan ranah saya menceritakan masalah orang!” Suara Gus Fadlan terdengar bergetar seperti orang sedang menahan tangis.“Argh!” Sadewa memukul tembok, meluapkan emosi yang sejak tadi dia tahan. Ia tidak mau menunjukkan rasa kesal serta cemburunya di depan orang-orang terutama Sania.“Kenapa kamu bohong, Sayang. Kenapa kamu bilang kalau teman kamu yang datang itu perempuan?” racaunya sambil menjambak r
Apa yang sedang merasuki pikiran kamu, Emilia. Sadar, helllow ... Sadewa itu bukan pria yang mudah tergoda, apalagi sama perempuan agresif seperti kamu! Bisik kata hatinya menertawakan.Sadewa mengambil kursi dan lekas mengenyakkan bokong di atasnya, menggenggam jemari sang kekasih hati yang tiba-tiba diam tanpa kata dan terus saja fokus menyusui anaknya.“Emm ... Bu. Maaf, tadi saya tidak sengaja dan tidak bermaksud apa-apa. Ibu tenang saja. Saya tidak punya hubungan apa-apa sama Pak Dewa, kok. Dia itu tipe laki-laki setia. Dia juga begitu mencintai Ibu!” Emilia merasa tidak enak hati sendiri dibuatnya.Sania mendongak dan mengulas senyum kepada sekretaris suaminya, mencoba menutupi cemburu yang memang tengah bersarang di kalbu.“Tuh, kamu dengar sendiri, ‘kan?” Sadewa ikut menimpali.“Iya, Ayah. Aku percaya.” Dengan penuh kelembutan wanita berparas ayu itu mengusap lembut pipi Sadewa, menatap lamat-lamat wajahnya yang semakin terlihat memesona lalu menyunggingkan bibir menyuguhkan s
Sebuah mobil APV terlihat terus mengikuti rombongan pengantar Sania. Wanita berkerudung hitam itu mulai terlihat ketakutan, apalagi saat ini ada seorang bayi dalam gendongannya.“Kamu tidak usah khawatir, Sayang. Ada aku di sini yang akan selalu melindungi kamu.” Sadewa merangkul pundak istrinya memberikan ketenangan kepada sang pujaan hati.Sania merapatkan duduknya, mendekap erat buah hati mereka yang diberi nama Syailendra Arkana Sadewa, yang artinya pemimpin yang berpengetahuan luas dan terhormat anaknya sadewa.“Barja, tolong beritahu yang lain suruh menepikan mobilnya di gang yang berbeda-beda, biarkan mobil APV yang mengikuti kita menyalip lalu kita giring dia ke kandang!” perintah Sadewa kepada salah satu anak buahnya yang sedang memegang kemudi.“Baik, Bos.” Lelaki berpenampilan sangar serta berbadan penuh tato itu segera mengambil ponsel dari dalam saku jaket, menghubungi teman-temannya memberitahu apa yang diperintahkan sang bos baru saja.Sadewa menoleh ke belakang dan men
Di kantor polisi.Aditya dan beberapa rekan sejawatnya tengah menginterogasi dua orang anak buah Darmi yang tertangkap. Semua informasi yang dia dapat terus ia catat, sekalian mengumpulkan bukti yang akan memperkuat tuduhan Sadewa kalau selama ini asisten rumah tangganya itu yang telah meneror keluarganya.Setelah dicek dan ditelusuri lebih mendalam, ternyata nama asli Darmi adalah Diana Pitaloka, seorang residivis pembunuhan tujuh belas tahun yang lalu. Dia didakwa dua puluh tahun penjara, tetapi baru beberapa tahun menjalani masa tahanan Diana sudah dibebaskan. Aditya semakin bertambah ngeri membayangkan keselamatan sahabatnya karena ternyata Diana atau Darmi seorang penjahat ulung yang begitu licin seperti belut dan susah untuk ditangkap.Ponsel milik salah satu anak buah Darmi berdering nyaring. Aditya meminta si empunya telepon untuk menjawab panggilan, akan tetapi tidak boleh memberitahu kalau saat ini mereka sudah tertangkap.“Lama banget angkat teleponnya. Kalian di mana? Suda
Tangis sahabat seperjuangannya itu semakin pecah ketika melihat sang mertua datang. Sadewa ikut duduk di lantai, menatap lemas dengan air mata sudah merebak dari balik kelopak.“Maaf, Pak. Silakan anak-anaknya diazani dulu!” Seorang perempuan berseragam khas perawatan keluar sambil tersenyum, menyuruh Aditya segera masuk untuk mengazani anak-anaknya.Sambil menghapus air mata laki-laki berkumis tipis itu berjalan masuk, menghampiri istrinya yang masih terbaring lemah dan menciumi pipinya sambil menangis.“Jangan cengeng, Abang. Masa seorang penembak jitu nangis sesenggukan begini?” ucap Clarissa sembari menerbitkan senyum.“Iya, Ca. Saking jitunya Abang nembak, sekali jadi langsung tiga! Makanya Abang terharu dan melihat perjuangan kamu melahirkan ketiga anak kita. Padahal, dokter kemarin Cuma bilang kalau kamu hamil kembar. Abang pikir Cuma dua. Ternyata malah tiga!” Aditya kembali mengusap air matanya.“Alhamdulillah, Bang. Rezeki kita langsung dikasih amanah banyak sama Allah. Ting
“Maaf, Sayang. Abang begitu mengkhawatirkan kamu soalnya. Plis jangan nangis. Abang liat kamu kesakitan saja sudah stres, ditambah liat kamu nangis. Abang minta maaf kalo Abang salah. Tolong jangan menangis. Mana yang sakit biar Abang elus-elus.” Aditya terus saja mencerocos sambil mengusap perut gendut istrinya.“Sakit semua, Bang!” Wanita berambut ikal itu melingkarkan tangan di pinggang, mencengkeram baju yang tengah dikenakan sang suami sambil meringis menahan sakit yang semakin terasa.“Minum air hangat dulu, Kak. Biar rileks!” Sania berjalan sambil menyodorkan segelas air putih hangat dan langsung disambar oleh menantunya, ditenggak habis hingga tersisa gelasnya saja.“Istri gue ngasih minum buat anak gue! Kenapa jadi lo yang minum?!” Sadewa menjitak kepala sahabatnya itu.“Maaf, Wa. Aku terlalu grogi!”“Wa...Wa... Dasar mantu durjana, sama mertua sendiri panggil nama. Nanti gue coret kamu dari daftar keluarga!” protes sang pemilik rahang tegas sambil menjitak kepala Aditya seka
“Naik motor, ya Bang. Ica pengen peluk Abang dari belakang!”Lelaki berambut cepak itu menghela napas berat, akan tetapi dia tidak berani menolak permintaan si istri, karena saat ini Clarissa tengah berbadan dua dan perasaannya begitu sensitif. Ia pun akhirnya mendorong sepeda motor miliknya keluar, menyuruh Clarissa merapatkan tubuh serta memeluknya dan segera melajukan kendaraan roda dua miliknya menuju tukang sate langganan.Clarissa tersenyum sembari menyenderkan kepala di punggung sang suami, merasa begitu nyaman serta bahagia hidup bersama sahabat ayahnya yang kini sudah sah menjadi suaminya.Tidak seperti saat membina biduk rumah tangga dengan David dulu, yang penuh luka juga liku. David tidak pernah berlaku manis, bahkan sekedar tersenyum kepadanya pun tidak pernah. Hanya luka yang selalu ditorehkan, baik di sanubari maupun fisiknya.“Terima kasih, ya Bang,” bisiknya seraya mempererat dekapan.“Untuk apa?” Raditya menggenggam jemari Clarissa yang tengah bertengger di pinggang.
Pagi-pagi sekali Sania sudah berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk suami serta putranya. Kebetulan hari ini Mbak Resti izin libur, karena suaminya sedang kurang sehat jadi Sania harus menyiapkan segala sendiri.“Assalamualaikum, selamat pagi bidadari,” sapa Sadewa sembari melingkarkan tangan di pinggang sang istri.“Emangnya aku secantik bidadari, Yah?”“Lebih cantik dari bidadari malahan. Kamu itu luar biasa. Wanita tercantik yang pernah aku temui juga perempuan terbaik yang pernah aku kenal. Kamu adalah jantung serta napasku, dan tanpamu mungkin aku tidak akan sanggup lagi untuk hidup serta berdiri. Terima kasih atas cinta yang selama ini kamu curahkan kepadaku, terima kasih juga karena sudah mau menjadi ibu dari anak-anakku!” bisiknya mesra di telinga istrinya.Saat sedang santap pagi terdengar suara pintu diketuk nyaring. Sania segera keluar untuk melihat siapa yang datang, dan ternyata Malvin—anaknya Darmi yang bertamu. Sania mengulas senyum tipis kepada anak mantan asisten
“Sudah, buruan dimakan. Biar dedeknya tambah besar!”“Iya, Yah. Ayah juga sebaiknya cepat makan. Nanti Embun habisin loh, jatahnya kalau Cuma diliatin doang.”“Kalau mau silakan habiskan. Kalau kamu minta sekalian dibeli sama kios-kiosnya juga akan aku turuti.”“Ish! Memangnya mau buat apaan?” Sania mencebik. Perempuan berhijab ungu itu segera memotong makanan berbentuk bulat dengan isi tertelan daging tersebut dan lekas menyantapnya dengan semangat, hingga keringat sebiji-biji kacang hijau menitik di dahinya.Buru-buru Sadewa menarik dua lembar tisu, mengelap peluh yang membuat istrinya semakin terlihat bertambah menawan sambil tidak henti-hentinya mengagumi wajah cantik Sania.“Kenapa Ayah liatin aku seperti itu?” Sania menghentikan aktivitasnya menyantap bakso karena terus diperhatikan.“Kamu cantik. Aku mencintai kamu!”“Aku tau, kok, kalau Ayah begitu mencintai aku.”“Aku mencintai kamu lebih dari yang kamu tahu, Mbun. Cinta di hati ini begitu besar, dan bahkan tiap detiknya kian
“Abang ngapain? Kok malah olah raga?” tanya Clarissa seraya menatap bingung ke arah suaminya.“Sayangku itu bagaimana sih? Tadi katanya Abang suruh pemanasan. Sekarang malah ditanya lagi ngapain?”Hah? Mulut perempuan berambut ikal itu menganga lebar.Seriusan ini laki nggak mudeng pemanasan? Pikirnya.“Bang, maksud aku pemanasan itu bukan seperti itu. Tapi...Ah, masa Abang tidak tahu. Kan aneh, Abang ini duda, masa nggak paham pemanasan sebelum perang?” Kedua bulat bening milik Clarissa terus saja menatap wajah Aditya yang terlihat basah oleh keringat juga sudah ngos-ngosan.“Sebenarnya, Abang belum pernah perang sebelumnya, Ca. Abang...” Dia menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. “Abang dulu belum sempat kikuk-kikuk sama mantan istri Abang. Dia menolak disentuh sama Abang, dan ternyata setelah beberapa bulan usia pernikahan kami, Abang baru tahu kalau dia sedang mengandung benih orang lain!”“Ya Allah, Bang. Miris sekali kisah cinta Abang dulu. Berarti Abang duda perjaka, don
“Saya terima nikah dan kawinnya Clarissa Arabella binti Veronika untuk diri saya, dengan mas kawin tersebut tunai!” Dengan sekali tarikan napas dan semangat empat lima Aditya mengucap ijab qobul di depan penghulu juga beberapa orang saksi, memindahkan tanggung jawab serta dosa-dosa wanita yang telah resmi menjadi pendamping hidupnya.Clarissa menghampiri lelaki yang kini menyandang gelar suami, menyalami dan mencium bagian punggungnya dengan takzim, disambut ciuman hangat di kening dan Aditya segera membacakan doa setelah ijab kabul.“Alhamdulillah. Akhirnya aku bisa menghalalkan anak kamu, Wa,” ucap Aditya ketika kedua mempelai disuruh sungkeman.“Coba sekali lagi kamu panggilan saya apa?” Kedua manik hitam lawan bicaranya melotot, menatap sang menantu yang tidak ada sopan-sopannya sama sekali.“Lah, saya harus panggil apa, Wa?”“Wa! Wa! Hargai saya sedikit lah, Dit. Saya ini ayahnya Ica dan Ica istri kamu. Otomatis kamu sudah menjadi menantu saya. Harusnya kamu panggil saya ayah. Ja
Kevin tertawa mendengar kabar tersebut, merasa lucu saja jika sang kakak benar-benar menikahi sahabat ayahnya itu.“Kenapa kamu ketawa seperti itu, Kevin? Ada apa? Memangnya nggak boleh, saya nikah sama Ica?” Timpal Aditya yang ternyata sudah berdiri tidak jauh dari tempat kevin serta Sania bercengkerama.“Ya lucu saja, Om. Om kan ... ya sudahlah. Asalkan Om setia dan menyayangi kakak saya. Usia nggak jadi penghalang. Yang penting saling mencintai!” Kevin menjawab sambil menahan tawa.“Tumben kamu lempeng, Vin?”“Kan sudah berguru sama Om waktu saya dipenjara!” kekehnya lagi.Tidak lama kemudian Clarissa keluar sambil menggendong Angel putrinya. Senyum terkembang di bibir merah perempuan itu, apalagi ketika melihat Lisa bersama putrinya datang bertamu untuk pertama kalinya.“Alhamdulillah akhirnya kamu mau main ke rumah juga, Sa. Kakak seneng kamu dateng,” ucap wanita berambut ikal itu seraya menyalami sang adik ipar.“Terima kasih, Kak.”“Hayo masuk ke dalam. Kita ngobrol-ngobrolnya
"Silakan lakukan kalo Mama berani. Aku pastikan Ayah dan Bang Adit tidak akan memberi ampun sama Mama, apalagi sampai melepaskan Mama!" Clarissa mengancam balik. Aditya yang merasa namanya disebut dengan embel-embel 'Bang', tersenyum semringah dan langsung memasang wajah serius serta jemawa. "Maaf, ibu yang pake baju hijau!" Dia menunjuk salah seorang perempuan yang tengah merekam kejadian dan memintanya untuk menghampiri dirinya. "Ma--maaf, Pak. Saya cuma iseng-iseng merekam. Kalo Bapak tidak berkenan akan saya hapus!" Wajah si ibu tampak ketakutan. "Tidak perlu takut, Bu. Saya seorang anggota polisi dan saya akan meminta video yang ibu rekam tadi sebagai barang bukti untuk menjebloskan mantan mertua calon istri saya ke penjara," ucap Aditya kemudian, membuat mamanya David bertambah ketakutan. "Pak, saya tadi cuma bercanda loh. Saya nggak serius ngancem Ica. Lagian Enjel itu kan cucu saya. Mana mungkin saya berani menculik dan menjualnya. Tolong jangan penjarakan saya, Pak Adit.