Tidur seorang gadis manis terusik ketika pintu rumahnya digedor kuat, belum lagi suara teriakan yang memekikkan telinga. Kamila terbangun seketika, netranya langsung melihat ke arah jam dinding, sudah menunjukkan pukul enam pagi. Ia melirik ke samping, menemukan Arfin yang masih tertidur pulas.
Secara perlahan, Kamila bangkit dari tidurnya, lalu melangkah menuju pintu dengan cat kayu yang sudah terkelupas itu. Ia tersentak mundur kala membukanya, jantungnya bergemuruh hebat dengan tatapan penuh ketakutan. “Halo, Anak Manis,” sapa pria tambun dengan bau nikotin serta alkohol itu. “Ma–mau apa Anda kemari, bukankah saya sudah membayar cicilan untuk dua bulan ke depan?” Kamila memundurkan langkahnya. Sementara pria bertubuh tambun dengan tato pada lehernya itu menyeringai mesum. Bau alkohol semakin menyeruak tatkala ia semakin mendekat, membuat Kamila mual serta ketakutan di saat yang bersamaan. “Benar-benar gadis yang sangat cantik, saya bisa saja menganggap lunas semua hutang kedua orang tuamu. Asalkan kau mau menjadi istri saya, karena melewatkan gadis yang masih murni dan manis sepertimu sangatlah disayangkan.” Pria itu menarik tangan Kamila, membuat tubuh kecil itu tersentak kaget. Air mata Kamlia sudah tak terbendung, ia melihat ke belakang punggung Baron, beberapa pria berbadan kekar menatapnya penuh seringai. “Anda berjanji untuk tidak mengganggu saya! Dan tolong lepaskan! Atau saya akan berteriak sekarang juga!” Baron tertawa setan, diikuti oleh anak buahnya yang lain. “Kau pikir siapa pemegang daerah ini? Saya yang berkuasa di sini!” Kamila berteriak histeris ketika pria itu semakin mendekat, tubuhnya bergetar ketakutan. Ia tak kuasa melawan pria berbadan kekar di hadapannya. “Kakak!” Arfin datang tergopoh-gopoh, wajah bantalnya masih terlihat jelas. Namun, tidak dengan kemarahan pada netra beningnya. Anak laki-laki itu dengan berani menghampiri Baron dan menggigit tangan pria itu agar melepaskan Kamila. “Anak kurang ajar! Kalian semua! Cepat bawa anak ingusan ini keluar, bila perlu pukul sampai pingsan agar tidak mengganggu kegiatanku!” Para anak buah Baron bergegas menarik Arfin. Sementara Kamila terus menjerit agar adiknya dilepaskan. “Jangan sentuh adik saya! Atau kalian akan menerima akibatnya!” pekiknya penuh kemurkaan, gadis itu terus mengamuk dalam kukungan Baron, membuat sang empu kewalahan. “Kak Mila! Arfin tidak mau! Tolong Kakak!” Kamila semakin menangis sejadi-jadinya, ia memukul lengan Baron brutal. “Saya bilang lepaskan! Jangan menyentuh adik saya!” Kamila menatap Baron berang, raut ketakutannya sirna oleh amarah berkobar, dan entah dari mana tenaganya berasal, sampa-sampai bisa mendorong pria kekar itu hingga menghantam televisi di belakangnya. Baron mengerang hebat sembari memegang pinggangnya. “Bos Baron!” Sementa itu, Kamila dengan cepat merebut Arfin dari anak buah Baron yang terlihat lengah. “Kakak di sini, Sayang. Kak Mila akan selalu melindungimu!” ucapnya penuh getaran di setiap kata demi kata. Kamila memeluk Arfin erat, napas gadis itu memburu. Keringat dingin membasahi pelipisnya, jantungnya pun kian memompa begitu cepat. Ia takut, begitu takut kehilangan, Arfin. Melihat anak buah Baron yang sedang mengerubungi pria itu, Kamila bergegas berdiri untuk keluar dari rumahnya. Tetapi Arfin langsung menangis semakin keras, ia terus memberontak dalam dekapan Kamila, membuat tubuh gadis itu sedikit kehilangan keseimbangan. “Jangan keluar Kakak, banyak orang jahat! Arfin tidak mau Kak Mila disakiti!” Kamila dengan cepat menenangkan. “Kita harus secepatnya pergi dari sini, Baron dan anak buahnya jauh lebih jahat. Arfin yang tenang, ya? Kak Mila akan selalu melindungi—” Perkataan gadis itu terhenti tatkala tubuhnya sudah ditarik kuat oleh Baron, sedangkan Arfin langsung terjatuh, lalu diseret keluar oleh anak buah Baron. Kamila masih terlihat shock dengan kejadian secepat kilat itu, ia hanya menatap kosong tubuh kecil adiknya yang diperlakukan bak hewan peliharaan. Belum lagi suara tangisan pilu Arfin, seakan-akan jantung Kamila ditikam ribuatan belati secara bersamaan. Tubuh gadis itu melemah, bahkan ketika Baron menyeretnya menuju kamar. Ia bagaikan raga tanpa jiwa. Tak ada perlawanan berarti, hanya butiran kristal bening yang mulai berjatuhan dari sudut matanya. “Kau tidak bisa pergi lagi gadis manis, dan mari kita bersenang-senang sebelum saya menikahimu!” Ketika Baron hendak memulai semuanya, pintu kayu itu ditendang kuat, bersamaan dengan Baron yang berteriak keras ketika tubuh tambunnya ditarik kuat, kepalanya sampai berdarah karena terbentur ujung tembok. Ia mengerang kesakitan, disertai sumpah-serapah dari bibir tebal kehitaman itu. “Siapa kalian, hah! Berani-beraninya mengganggu kesenangan saya!” geram Baron berang, matanya melotot tajam pada kedua pria yang memakai kacamata hitam itu. “Kerja bagus, Bimo. Dan sekarang, bersihkan sampah ini.” titiah Aron. “Siap, Tuan!” Aron mulai melangkah menuju Kamila, mengabaikan seruan protes dari Baron yang memekikkan telinga. Ia meneliti keadaan gadis itu, sangat kacau. Rambut awut-awutan serta tatapan kosong ke depan. Entah kenapa gadis ini hanya diam ketika akan dilecehkan? “Mengapa hanya pasrah? Apa kau tidak bisa melawan? Di mana keberanianmu ketika menolak permintaan saya semalam?” Aron Dewangga, tetaplah seorang tuan muda yang mempunyai mulut tajam dan tak peduli lawan bicara sakit hati atau tidak. Alih-alih menenangkan Kamila, ia justru menatap gadis itu remeh sembari bersedekap dada. “Ar–arfin ….” Kamila seperti orang linglung, tatapannya tak fokus. “Arfin!” Aron tersentak ketika melihat gadis itu melompat dari atas kasurnya sambil berlari keluar. “Arfin!” Kamila terus bereriak sepanjang langkah lebarnya, tangisnya pun kian pecah ketika melihat sang adik yang sedang terduduk dengan baju yang bagian lehernya robek sera sudut bibir membiru. “Kakak!” Kamila langsung memeluk tubuh ringkih Arfin. Lalu menangis sejadi-jadinya, ia pikir tak akan bisa bertemu dengan Arfin lagi, ketika melihat cara anak buah Baron memperlakukan sang adik. Itulah sebabnya Kamila hanya bergeming ketika Baron hendak melecehkannya, pikirannya hanya terfokus pada keselamatan adiknya. “Maafkan Kakak, Sayang. Maaf ….” Ia memeluk Arfin erat, sesekali membubuhkan kecupan hangat. Mengabaikan Aron yang bersedekap malas melihatnya. “Kapan drama kalian selesai, saya tidak punya banyak waktu untuk menyaksikannya,” sindir Aron. Kamila melepas Arfin dari pelukannya, lalu menoleh ke sumber suara. Seketika itu juga ia menunduk malu. “Maaf, dan terima kasih sudah menyelamatkan saya.” “Bimo yang menyelamatkan kau.” Aron menjawab cepat. “Selamat pagi, Nona Kamila.” Kamila terkesip, ia langsung menoleh ke belakang punggungnya, melihat Bimo yang sedang tersenyum manis menatapnya. “Pak Bimo,” bisiknya lirih. Penampilan pria itu sungguh sangat berbeda kali ini. Membuat Kamila begitu segan. “Jelaskan padanya alasan Kakek saya yang sebenarnya,” perintah Aron dengan gaya khas seperti tuan muda berkuasa. “Baik, Tuan.” Kali ini atensi pria itu mengarah pada Kamila. “Lima tahun yang lalu, Ayah Anda pernah mendonorkan darahnya pada mendiang, Nyonya Riana. Dan ketika Tuan Abraham ingin memberikan imbalan, Ayah Anda justru sudah pergi tanpa jejak. Kami bahkan harus mencarinya ke seluruh penjuru kota. Alhasil satu tahun kemudian barulah kami menemukan tempat tinggalnya. Tetapi sayang, saat itu beliau beserta istrinya dinyatakan sudah tiada.” Kini teka-teki rumit di otak Kamila mulai terpecahkan. “Jadi, alasan Anda serta Pak Abraham menyamar menjadi supir dan kernet bus karena ingin membalas jasa Ayah saya? Untuk itu kalian selalu baik dan memberi tanpa saya minta?” “Benar, Tuan Abraham tidak ingin Anda canggung jika bertemu dengannya. Itulah sebabnya kami menyamar menjadi pelanggan selama bertahun-tahun lamanya,” jawab Bima lugas. Kamila terdiam sejenak, ia menatap Bimo rumit, seolah-olah belum percaya penjelasan pria itu. “Ayah saya hanya mendonor darah, tapi kenapa sampai sebegitunya Pak Abra memberikan imbalan?” “Lancang! Apa kau tahu arti Nenek saya?!” Aron berteriak murka. Kamla tersentak kaget, sementara Bimo langsung menenangkan Aron. “Tuan, tahan emosi Anda.” Bimo kembali menoleh pada Kamila. “Tuan Abraham sangat berterima kasih karena Nyonya Riana kembali pulih, walau beliau hanya bisa bertahan satu minggu.” Kamila menunduk, merasa bersalah karena sudah lancang. “Kauu dengar, ‘kan? Dan sekarang ayo ikut ke rumah, kita akan bertemu Ibu dan Ayah saya.” Kamila mendongak, wajahnya seketika pias. “Tu–tuan Aron, sa–saya—” “Dalam dua menit kau harus keluar dari rumah kumuh ini, jika tidak. Saya akan menyerahkanmu pada rentenir mesum itu!” Ancam sang tuan muda tak main-main.Sepanjang perjalanan mereka menuju kediaman keluarga Dewangga. Kamila hanya diam membisu, di sampingnya ada Arfin yang sudah tertidur pulas. Perjalan mereka membutuhkan waktu satu jam, dan ini pertama kalinya Kamila keluar dari kampung halamannya menuju pusat kota. Kamila yang hendak memejamkan mata langsung tersentak ketika suara bariton memanggil namanya. “Nona Kamila, sudah sampai. Anda bisa mengikuti saya.” Bimo berujar sopan. Kamila mengangguk gugup, lalu membangunkan Arfin. Ia mengikuti langkah Bimo dalam keheningan, sementara Aron sudah melangkah lebar menuju rumah yang terlihat lebih besar dari yang lainnya. “Kakak, rumah ini sangat besar dan luas! Apakah kita akan tinggal di sini?” Kamila hanya tersenyum tipis sembari mengusap sayang kepala sang adik.Ia melihat lagi bangunan kokoh di hadapannya, walau Kamila begitu kagum, tapi sebisa mungkin ia menyembunyikannya. Mungkin ini adalah rumah termegah di kota ini, udara di sekelilingnya juga sangat menyejukkan. “Ini adalah r
Wanita cantik dengan bibir merah merona itu menyorot Kamila tajam, raut angkuh dan tegasnya membuat siapa pun akan segan. “Angkat kepalamu, jika ingin menjadi bagian dari keluarga Dewangga, jangan pernah sekali-kali menunduk!”Kamila tergugu, ia langsung mengangkat kepalanya, menatap tepat pada Dona. Sang nyonya besar di rumah ini. “Ba–baik, Nyonya.” “Berapa usiamu?” tanya Tama, meneliti gadis muda di hadapannya itu. Kini atensi Kamila beralih pada pria paruh baya yang begitu mirip dengan Aron. “Sembilan belas tahun, Tuan.”Aron berdeham melihat kedua orang tuanya yang saling melirik satu sama lain. “Apa kau sedang melanjutkan pendidikan saat ini?” balas Tama. Pancaran matanya terlihat ramah kala menatap Kamila.“Tidak, Tuan. Saya seorang pedagang dan buruh cuci.” Hening, tak ada yang membuka suara kembali. Kamila juga mulai merasakan atmosfer tak enak di sekelilingnya. Benar saja, firasatnya memang tak pernah salah tatkala nyonya besar di rumah ini melayangkan protes pedas. “Menga
Aron yang sudah mendekatkan wajahnya pada Relin menjadi terhenti tatkala mendengar anda lirih itu, ia menoleh dan menemukan Kamila yang menatapnya kaku. “Aron, lepas. Istrimu melihatnya.” Relin mencoba melepaskan diri, tapi semakin kuat pula dekapan Aron pada pinggang rampingnya. “Diam, Sayang. Aku akan mengusir gadis kampung ini terlebih dahulu.” Aron berkata penuh penekanan. Netranya menyorot gadis muda di depannya dengan amarah berkobar, seolah mengatakan tak suka kegiatannya diganggu. “Kembali ke kediamanmu sekarang, atau kau akan menerima akibatnya!” titah Aron kasar. Kamila meremas kedua tangannya gugup, ia seharusnya berlari menjauh ketika melihat aura kemarahan dari sang tuan muda. Namun, kakinya seperti jelly. Pun dengan jantungnya yang sedari tadi berdegup begitu kencang, ia tergugu tak bisa mengeluarkan suara. “Aron … lepaskan dulu, aku akan menjelaskannya pada Kamila, agar tidak terjadi kesalahpahaman.” Relin menangkup wajah tampan sang kekasih, tak lupa diselingi senyu
Tubuhnya terasa dibelah dua, seluruh tenaganya sudah terkuras habis. Napas gadis—yang sudah menjadi wanita itu terengah, suaranya pun serak akibat teriakan dan rontaan akibat ulah sang tuan muda. Harta satu-satunya yang ia jaga sudah direnggut secara paksa, Kamila tak menyangka jika Aron benar-benar mengambil haknya malam ini, tak peduli tangisan pilu dengan suara sengau meminta ampun itu. Aron Dewangga, tetaplah seorang penguasa dalam hidup Kamila mulai sekarang.Kamila menangis dalam diam seraya menarik selimutnya, ia begitu mati rasa sekarang. Seluruh tubuhnya terasa luluh lantak. “Berhenti menangis, dan sekarang bersihkan dirimu, karena besok pagi adalah hari pertamamu sebagai pelayan di kediaman utama.” Setelah mengatakan itu, Aron berlalu pergi. Meninggalkan Kamila yang masih menangis pilu. Keesokan harinya, Kamila dikejutkan oleh tepukan pada pipinya, ia membuka mata perlahan. Senyuman manis dari adik satu-satunya adalah hal yang pertama ia lihat. “Arfin,” ucapnya serak. “Ka
Satu minggu kemudian, Aron sudah mulai mengajar. Ia melangkahkan kakinya keluar dari kelas, lalu melangkah menuju ruang dosen. Para mahasiswi yang melihatnya hanya mampu memekik dari jauh, mereka tak berani mendekat pada keturunan Dewangga itu. Di kelas saja seramnya bukan main, belum lagi nada dingin serta tatapan tajamnya yang membuat nyali menciut. “Ar, kau sudah selesai mengajar?” Aron menoleh, melihat ke arah sahabatnya yang mantap padanya. “Sudah,” jawabnya singkat.“Kau langsung ke perkebunan setelah ini? Aku dengar-dengar ada panen anggur yang akan dibawa ke luar kota.” tanya Erza. Selaku rekan dosennya sekaligus sahabat Aron sendiri. “Ya.” Aron membereskan meja kerjanya, diikuti oleh Erza. “Kenapa kau juga ikut beres-beres?” Erza menyengir, lalu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Aku ikut.” Aron tak merespon, ia dengan cepat keluar dari ruang dosen menuju parkiran, dan sudah disambut oleh Bimo. “Hai, Bim. Kau semakin tampan saja, walau aku lebih tampan.” Bimo hanya t
Kamila meregangkan ototnya, ternyata jadi pelayan di rumah orang kaya tak seindah yang ada di kepalanya. Dari pagi ia bekerja tanpa henti, belum lagi melayani sang tuan muda. Wanita itu mengalihkan atensinya pada dapur yang mewah ini, terdapat meja makan untuk para pelayan. Kamila mulai menyendok nasi putih serta mengambil satu potong ayam, ketika hendak memulai menyantapnya, terdengar suara pelayan yang memasuki dapur. Ia tersenyum kecil seraya menawarkan, tapi tak ada tanggapan. Justru pelayan itu bersedekap dada sambil menatapnya sinis. “Enak sekali kau, saya saja yang senior di sini belum makan siang!” sindir wanita itu.Kamila menaruh kembali sendoknya, ia meremas kedua tangannya gugup. Perutnya perih karena belum sarapan. “Saya … saya minta maaf, tadi saya sudah izin sama Bibi Atika, dan diperbolehkan untuk makan siang terlebih dahulu.” Wanita itu mendengkus sinis, terlihat sekali ia tak menyukai keberadaan Kamila di sini. “Pantas saja kau berani membalas ucapan saya! Ternyata
“Relin!” seru Aron keras, pria itu langsung menggendong Relin ala bridal style menuju kamar tamu. “Bimo! Telepon Dokter Meyda sekarang!” teriaknya kembali ketika melihat eksistensi Bimo yang mengikutinya. “Baik, Tuan muda.” Pria tiga puluh lima tahun itu berujar tegas seraya mengikuti instruksi dari Aron.Sedangkan para pelayan yang sejak tadi berbaris di depan pintu dapur sontak saja langsung pucat pasi, apalagi yang kebagian masak untuk hidangan malam ini. “Atika! Kumpulkan para pelayan yang bertugas menyajikan makan malam!” titah Dona tegas. “Siap, Nyonya!”Sementara Panji, mengikuti langkah Aron tergesa-gesa, ia yang sebagai suaminya Relin saja kalah sigap dengan Aron, padahal mereka duduk bersebelahan. Tiba-tiba rasa cemburu menyusup dihati Panji, tapi ia segera menepisnya. Karena ini bukanlah momen yang pas untuk memikirkan hal itu. “Kamila, tunggu!” Kamila yang akan menaiki undakan tangga menjadi terhenti, ia menoleh pada ibu mertuanya. “Iya, Ib—Nyonya,” jawabnya gugup, unt
Wanita paruh baya itu terkejut bukan main, begitu pula para pelayan yang ada di sana, termasuk Kamila. Atika membungkuk meminta maaf pada Aron, lalu mengangkat wajahnya dan menunjuk ke arah samping pria itu. “Kamila, Tuan. Dia yang mengolah bagian lauk pauk." Kamila tersentak, ia menatap Atika dengan tatapan tak percaya. “Bibi, apa maksudmu mengatakan semua ini? Bukankah saya hanya membantu pelayan yang lainnya, dan itu karena instruksi dari Bibi Atika sendiri?” balasnya cepat, tak ingin Aron salah paham.“Sama saja, kau membantu di dapur juga, Kamila. Bahkan kau sendiri yang menyelesaikan masakannya, ” kelit Atika tak mau kalah.Kamila tergugu, perasaan kecewa yang dirasakan membuatnya sesak, ia tak menyangka wanita yang dikira baik ternyata sama saja dengan pelayan yang lainnya. Kamila ingin menangis meraung, ia seperti dijebak. “Sudah cukup, kini giliran kalian yang memberi kesaksian. Apakah benar yang dikatakan Atika?” Aron beralih pada tiga pelayan yang memang bertugas memasak d
Kamila menatap kosong ke depan, Aron yang sejak tadi memeluknya ikut merasa sedih. Ini semua adalah mimpi buruk baginya, ia hanya tertidur sebentar di mobil. Lalu tiba-tiba sudah berakhir di rumah sakit, setelah siuman justru menerima berita kehilangan sang buah hati. “Aku egois ya, Mas? Andai aku tidak membuntuti Relin, mungkin anak kita masih ada di sini,” kata Kamila setelah kebisuan panjang. Wanita itu mengusap perutnya yang rata, satu bulan berlalu. Duka itu masih menyapa, sakit dan perih akan kehilangan yang tak pernah terduga. “Sayang, dengarkan aku.” Aron menangkup wajah Kamila, menatap mata wanita yang dicintainya itu. “Kau boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Aku tidak mau Ayana serta Saga merasa tersisihkan.” Kamila tertegun, tanpa sadar sudah abai dengan keberadaan si kembar lantaran larut akan kesedihan. “Ayana, Saga ….” Lirih wanita itu. “Ya, mereka takut mendekat padamu. Terkadang Ayana maupun Saga hanya melihatmu dari celah pintu,” jelas Aron, membuang pa
Nyatanya, kebahagian itu tak pernah berpihak padaku ~Kamila Cahaya *** Semua yang terjadi di hadapannya begitu cepat, menarik napas pun terasa sulit. Kamila memegang tangan dingin Aron. Ia bodoh dan ceroboh, sehingga melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. “Tolong! Siapa pun tolong!” Wanita itu menjerit seraya memukul kaca mobilnya. Tak berselang lama, suara pecahan kaca serta teriakan orang-orang mulai terdengar. Sedangkan Kamila, bukannya merasa lega. Justru ia semakin panik kala melihat darah yang mengaliri betisnya. Kamila tercekat, napasnya memburu tak beraturan. Ia menoleh ke arah Aron, memegang tangan sang suami kuat. Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. *** Masayu duduk lemas tak bertenaga setelah menerima kabar jika mobil yang Relin serta Sandra tumpangi menabrak pembatas jembatan. Lantas jatuh ke bawah dan sampai sekarang tak bisa ditemukan. Belum lagi Kamila, Aron serta Bimo kecelakaan di lokasi yang sama dengan Relin, tapi bedanya mereka hanya
“Mas .…” Kamila menyentuh pelan bahu Aron. Ia menggigit bibir bawah ketika melihat tatapan kosong sang suami. “Mila, Erza pergi untuk selamanya. Apakah sikapku keterlaluan selama ini? Aku kecewa padanya. Tapi bukan berarti dia—” Napas Aron tercekat, pria itu mendongkak, menghalau air mata yang hendak keluar. Ia kembali menunduk, melihat gundukan tanah di hadapannya. Erza memeng tak bisa diselamatkan, pria itu ditemukan sudah tak bernyawa. Mengingat terlalu banyak menghirup asap, serta luka bakar yang yang didapat. “Mas, aku tahu jika ini pasti sangat berat. Ada aku di sini, Mas tidak sendiri.” Kamila memeluk sang suami, ia bisa merasakan napas lelah pria itu yang berhembus di ceruk lehernya. “Tuan, hujan sudah mulai turun. Apakah tidak sebaiknya kita berteduh?” tanya Bimo pelan. Tak tahan melihat Aron yang mendapat kesedihan secara bertubi-tubi. Bimo sudah menganggap pria itu seperti adiknya sendiri, dan ia ikut merasakan kesakitan Aron.Aron melepas pelukannya dari Kamila, lant
“Kemungkinan besar dia dijatuhi hukuman seumur hidup, mengingat Erza juga terlibat dalam pembunuhan berencana. Ayahnya pun sudah tutup mata dan memutuskan hubungan dengan Erza. Sementara Relin, hingga saat ini belum ditemukan,” jelas Tama menatap ke arah Aron yang sedang menatap jauh ke depan. Satu bulan sejak terakhir kali ia bertemu dengan Erza, Tama ingat betul kala orang tua Panji menyumpahi Erza dengan kemarahan membeli buta, tak lupa mengutuk menantunya yang tidak lain adalah Relin, meskipun wanita itu menghilang entah ke mana.“Apa si Brengsek itu menyesali semua perbuatannya?” tanya Aron dingin, setelah keheningan panjang.Tama menghembuskan napas berat, meneliti ekspresi sang putra yang terlihat kecewa serta marah. “Tentu saja dia menyesal, seperti yang Ayah katakan satu bulan yang lalu. Jika dia ingin bertemu denganmu untuk meminta maaf, tapi mengingat kau yang tak mau melihat wajahnya. Jadi, Ayah tidak bisa memaksa.”“Syukurlah dia sadar diri, memang orang jahat sepertin
“Setelah saya selidiki semuanya, ternyata Tuan Erza juga yang membakar kebun apel Anda. Dia mengaku telah mengambil cincin Tuan Farzan dan ditaruh di lokasi kejadian, agar kecurigaan kita mengarah padanya,” jelas Bimo. Pria itu menyesal karena dulu sempat berburuk sangka pada Farzan, tapi siangka Erza adalah dalang dari semua ini. Sungguh, tak pernah terbesit dalam pikirannya. Bimo kembali mengalihkan atensi pada Aron, terlihat jelas wajah kecewa serta terluka sang tuan. Ia turut sedih, mengingat Aron serta Erza berteman sejak kecil.“Lalu mengenai kasus Panji bagaimna?” tanya Aron setelh kebungkamn yang cukup panjang. “Sedang diurus oleh pengacara Anda, Tuan Erza juga sudah ditahan. Tadi siang ketika saya ke selnya, dia berpesan ingin melihat Anda,” ungkap Bimo hati-hti. “Tidak akan.” Aron mengeraskan rahang. “Jika saya bertemu dengannya, saya tak yakin jika dia masih bernapas esok hari.” Pria itu mengepalkan tangan, sudah seminggu sejak kematian Rendra, ia sama sekali tidak sudi
“Tunggu dulu, apa maksudnya jika Erza mendonorkan darahnya pada Rendra?” tanya Aron. Mencegah Erza yang hendak mengikuti Relin. “Mengapa kau memikirkan itu! Yang terpenting sekarang kami harus menyelamatkan Rendra!” bantah Relin kuat, menatap Aron tajam. “Bukan maksud saya seperti—” Perkataan Aron terhenti ketika dokter serta suster tergesa-gesa menuju ruangan Rendra. Mereka semua yang melihat itu tentu saja panik. Relin yang hendak masuk langsung dihentikan oleh Farzan. Membuat wanita itu menangis karena panik. “Mas ….” Lirih Kamila sembari memegang lengan Aron. Pria itu tersentak, baru menyadari jika sang istri sedari tadi bersamanya.“Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” kata Aron lembut. Berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya ke arah Relin serta Erza. Satu jam berlalu, seorang dokter keluar. Pria itu menatap keluarga pasien dengan wajah tak terbaca. Lalu berucap, ”Pasien tidak bisa diselamatkan. Dia terlalu banyak kehilangan darah, ditambah lagi dengan penyakit
“Jadi, aku sudah boleh pulang?” tanya Aron sekali lagi. Kamila mengangguk pelan, sudah pukul delapan malam. Lantas mereka keluar dari hotel, menuju kediaman Dewangga. “Apa pun yang terjadi ke depannya, kau harus percaya padaku.” Aron mengecup punggung tangan Kamila, mengabaikan Bimo yang seperti nyamuk di antara mereka.“Ya, asalkan jangan sembunyikan hal besar lagi dariku,” jawab Kamila. Aron mengangguk, mengusap rambut wanita itu lembut. Lalu menyandarkan kepala Kamila di dada bidangnya. “Mengenai Relin, ternyata dulu Mas tidak direstui, ya?” tanya Kamila pelan. Tubuh Aron terlihat menegang, tapi dengan cepat rileks kembali. “Ya, itu dulu. Sekarang ada dirimu da si kembar. Kami juga sudah bahagia dengan jalan hidup masing-masing.” Kamila terdiam, ia pikir Relin begitu diterima di keluarga Aron, mengingat dulu Dona sangat menyanjung sang sepupu.“Tuan, kita disuruh ke rumah sakit. Rendra jatuh dari tangga, dan keadaannya drop.”Perkataan Bimo menyentak Kamila dari lamunannya, b
“Enam tahun penjara?” tanya Aron dengan wajah kaku. “Benar, Tuan. Namun, hukuman yang sebenarnya dapat bervariasi tergantung pada pertimbangan hakim dan fakta yang terungkap dalam proses peradilan. Hakim bisa saja menjatuhkan hukuman penjara di bawah atau di atas enam tahun. Tapi balik lagi, itu semua tergantung pada keadaan kasus dan pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti keadaan pelaku, korban, serta faktor-faktor pengurangan hukuman lainnya.”“Apanya yang enam tahun!” Seruan itu membuat Aron menoleh, ia tersentak ketika melihat Kamila yang menatapnya marah.“Jawab! Kenapa kau lakukan hal ini, Mas!” Kamila memukul dada Aron kuat, meremas kemeja yang pria itu kenakan dengan air mata yang sudah berjatuhan. “Ka–kamila … kau di sini?” tanya Aron linglung. Mengapa sang istri ke hotel tempatnya menginap? Wanita itu mendongak. “Ya, aku ke sini untuk membawamu pulang. Sudah cukup kebodohan yang kau lakukan, Mas. Ayo, lupakan semuanya. Ak–aku ….” Napas Kamila tercekat, tak bisa melanj
“Ibu, mengapa Ayah selalu menemuiku dan Saga di luar? Memangnya kenapa tidak di rumah saja?” tanya Ayana sembari menatap ke arah Kamila.Gadis kecil itu melihat kembali penampilannya pada cermin, setelah merasa cantik ia kembali menghadap ke arah Kamila.“Ayah sedang bekerja, Sayang. Mungkin setelah semuanya selesai baru dia pulang.” Wanita itu menjawab pelan, meski terdapat kekhawatiran pada raut wajahnya. “Oh … begitu. Padahal aku kangen tahu dibacakan dongeng sama Ayah. Memangnya Ibu tidak kangen sama Ayah?” Kamila melotot kaget, setelah itu tertawa canggung. “Ah, Yaya sangat cantik hari ini. Bagaimana jika sore ini kita ke taman? Ajak Aga juga nanti.” Ia mengalihkan pembicaraan, dan benar saja Ayana langsung mengangguk.“Siap, Bu! Nanti aku boleh makan ice cream ya, soalnya sudah satu minggu aku libur.” Gadis kecil itu mengerjap lucu, berharap Kamila luluh. “Tentu, Sayang. Hari ini Yaya dan Aga boleh makan ice cream, dan sekarang ambil tasnya ya.” Kamila mengacak rambut Ayana g