Wanita cantik dengan bibir merah merona itu menyorot Kamila tajam, raut angkuh dan tegasnya membuat siapa pun akan segan. “Angkat kepalamu, jika ingin menjadi bagian dari keluarga Dewangga, jangan pernah sekali-kali menunduk!”
Kamila tergugu, ia langsung mengangkat kepalanya, menatap tepat pada Dona. Sang nyonya besar di rumah ini. “Ba–baik, Nyonya.”“Berapa usiamu?” tanya Tama, meneliti gadis muda di hadapannya itu.Kini atensi Kamila beralih pada pria paruh baya yang begitu mirip dengan Aron. “Sembilan belas tahun, Tuan.”Aron berdeham melihat kedua orang tuanya yang saling melirik satu sama lain. “Apa kau sedang melanjutkan pendidikan saat ini?” balas Tama. Pancaran matanya terlihat ramah kala menatap Kamila.“Tidak, Tuan. Saya seorang pedagang dan buruh cuci.” Hening, tak ada yang membuka suara kembali. Kamila juga mulai merasakan atmosfer tak enak di sekelilingnya.Benar saja, firasatnya memang tak pernah salah tatkala nyonya besar di rumah ini melayangkan protes pedas.“Mengapa Ayah menjodohkan Aron dengan gadis seperti ini, Mas! Aku sungguh tidak ikhlas! Anak kita sekolah tinggi-tinggi dengan profesi membanggakan justru mendapatkan pasangan yang tidak sepadan!” Dona lepas kendali, raut tenangnya sirna seketika, tergantikan oleh kemaran serta kekesalan.“Dona.” Tama menegur pelan, tapi tidak dengan sorot tegas dari pancaran kedua matanya. “Ini adalah wasiat dari Ayah. Dan aku tidak mungkin mengingkarinya.”“Ayah benar, Ibu. Dan aku punya cara tersendiri untuk mengakhirinya.” Aron ikut menimpali, wajah tampan dengan ekspresi dingin itu terlihat tak main-main.Sementara itu, Kamila yang sejak tadi berada di tengah-tengah mereka cukup takjub melihat keluarga sultan ini. Bagaimana bisa mereka menggosipkan dirinya di depannya secara terang-terangan seperti ini!Lain halnya dengan Dona yang mendengkus mendengar perkataan sang putra. Ia tak pernah terima kenyataan ini, sampai kapan pun! "Jika begitu, urus dia nanti. Jangan sampai membuat ulah, apalagi membuat malu. Kau mengerti, Aron?” .Aron terdiam sembari bersedekap dada, sangat sulit membaca raut wajah serta pemikiran tuan muda yang rupawan itu. “Tentu, Ibu persiapkan saja semuanya, bila perlu langsungkan pernikahan ini satu bulan lagi.”Dona tersenyum sinis, entah apa yang terlintas di dalam pikirannya. “Tidak, terlalu lama. Ibu putuskan jika kalian akan menikah nanti malam, dan tak ada bantahan!”Sontak saja perkataan wanita paruh baya itu membuat Kamila kaget bukan main, tak terkecuali Aron sendiri.***Kamila menatap pantulan dirinya, gaun yang ia kenakan begitu sederhana, riasannya pun sangat tipis. Sebenarnya tak mengapa, karena ia tak begitu tertarik dengan segala kemewahan. Kendati demikian, Kamila cukup bingung, Karena pernikahan ini sangat tertutup. Hanya keluarga serta sahabat dari para anggota keluarga Dewangga saja yang menghadiri.“Kakak!”Kamila tersentak ketika lengannya dipeluk erat. “Hai, adikku begitu tampan.” Ia memeluk erat Arfin dari samping, sesekali membubuhkan kecupan hangat.“Kakak juga sangat cantik!”Kamila tersenyum manis, belum sempat ia menjawab. Suara dari belakang punggungnya mengalihkan atensi gadis itu.“Sudah selesai? Acaranya mau dimulai,” ucap Aron datar. Kamila menoleh, menemukan eksistensi Aron bersama seorang wanita cantik—bukan—sangat cantik, ia saja sampai tertegun melihatnya.Tubuh semampai dengan kulit putih bersinar, matanya yang sendu dilengkapi senyum manis menawan. Siapa yang tak bertekuk lutut melihat wajah jelita itu? “Hai! Saya Relin, sahabatnya Aron.”Kamila tersenyum kikuk, lalu menerima uluran tangan wanita itu. Jujur saja ia sangat insecure, karena telapak tangannya tak semulus dan sehalus Relin. “Saya Kamila, senang bertemu denganmu, Nona Re—”“Jangan panggil, Nona. Cukup Relin, saja. Walau usia saya dan Aron sama, tapi saya tidak terlihat tua, bukan?”“Jadi, kau mengira aku ini sudah tua?!” Aron menangkup wajah wanita itu, ekspresinya memang tetap terlihat dingin, tapi tidak dengan tatapan lembut penuh puja itu.“Memang kau sudah tua!” Relin mengejek Aron kembali, membuat sang empu mencubit pipinya gemas. Tak lupa kecupan singkat pada pucuk kepala sang wanita.Kamila yang melihat itu semua hanya membeku, apakah seperti ini perlakuan seorang sahabat? Mereka justru terlihat seperti sepasang kekasih yang saling mencintai. Dan jika dibandingkan dengannya, Aron jauh lebih pantas bersanding bersama Relin.“Jangan begini, Aron. Nanti calon istrimu salah paham.” Relin menegur lembut, tapi Aron tetap acuh tak acuh.“Jangan menghalangi apa yang aku sukai," titah Aron mutlak.Wanita itu hanya pasrah, justru sekarang ia yang melingkarkan tangannya pada lengan Aron. “Baiklah, tapi cepat bawa pengantinmu sebelum Tante Dona yang turun tangan.”Aron mendatarkan wajahnya, raut hangat yang ia tampakkan tergantikan dengan wajah mengejek kala menatap penampilan Kamila. Ia pun kembali mengalihkan atensinya pada Relin, kali ini disertai sorot mendamba. “Relin, bisa tinggalkan aku bersama gadis ini? Ada hal penting yang aku ingin bicarakan, sekalian bawa anak laki-laki itu keluar.”Relin tersenyum lembut. “Baik, jika ada sesuatu yang kau butuhkan, panggil saja aku.” Aron mengangguk seraya mengusap punggung tangan wanita itu penuh sayang—di depan calon istrinya sendiri.Kini tinggallah Aron bersama Kamila, pria itu bersedekap dada sembari menyorot dalam wajah di depannya. “Kau akan tetap di rumah bagian selatan, karena rumah utama tidak menerima orang asing. Dan setelah menikah, kau bisa bekerja di restoran milik Ibu saya, atau mungkin ….” Aron sengaja menguntungkan ucapannya. ia meneliti Kamila dari atas sampai bawah, sebelum berujar dengan nada merendahkan. “Kau jadi pelayan saja? Kebetulan ada beberapa posisi yang kosong.”Netra gadis itu bergetar, tanpa sadar Kamila meremas kuat kedua tangan. Entah mengapa ia merasa jika kehidupannya setelah menikah akan jauh lebih berat lagi, alih-alih bahagia seperti pemikirannya di awal.Kendati demikian, ini jauh lebih baik daripada ia diserahkan untuk menjadi istri dari rentenir mesum itu. Ya, Kamila tak boleh lemah serta bersedih, karena ini semua adalah pilihannya.“Baik, Tuan. Saya menjadi pelayan saja, sekalian untuk mengawasi Arfin, karena tidak mungkin saya meninggalkannya sendiri.”Aron mengangkat sudut bibirnya, pria itu sengaja mendekatkan diri pada Kamila. Ia mencondongkan punggung, sampai bibir tebal kemerahannya berada tepat di telinga gadis muda itu. “Adikmu juga harus bekerja, Sayang. Tidak mungkin dia hidup gratis di sini, bukan?”***Tiga jam berlalu, acara sederhana itu pun sudah selesai, kini Kamila berjalan melewati lorong menuju ke paviliun-nya.Kamila masih mengenakan gaun pernikahannya yang sederhana, para pelayan yang melewatinya tak repot-repot memberi salam atau selamat. Justru mereka hanya mendengkus dengan wajah penuh celaan.Kamila menunduk, ia semakin mempercepat langkahnya. Namun, ia tersandung oleh gaunnya sendiri. Untung saja Kamila dengan cepat berpegangan pada tembok. Tapi pergelangan kakinya begitu sakit, gadis itu melihat sekitar. Mencari tempat untuk duduk. Karena tidak mungkin ia berdiam diri di lorong tempat para pelayan berlalu lalang.Tak mendapatkan yang ia cari, Kamila memaksakan diri untuk menuju paviliun yang akan ditempati. Dan ketika sudah berbelok pada koridor kediamannya, langkah Kamila terhenti. Bersamaan dengan napas yang tercekat melihat kedua insan di hadapannya sedang menumpahkan kerinduan.“Re–relin, Tu–tuan Aron. Kalian ...."Aron yang sudah mendekatkan wajahnya pada Relin menjadi terhenti tatkala mendengar anda lirih itu, ia menoleh dan menemukan Kamila yang menatapnya kaku. “Aron, lepas. Istrimu melihatnya.” Relin mencoba melepaskan diri, tapi semakin kuat pula dekapan Aron pada pinggang rampingnya. “Diam, Sayang. Aku akan mengusir gadis kampung ini terlebih dahulu.” Aron berkata penuh penekanan. Netranya menyorot gadis muda di depannya dengan amarah berkobar, seolah mengatakan tak suka kegiatannya diganggu. “Kembali ke kediamanmu sekarang, atau kau akan menerima akibatnya!” titah Aron kasar. Kamila meremas kedua tangannya gugup, ia seharusnya berlari menjauh ketika melihat aura kemarahan dari sang tuan muda. Namun, kakinya seperti jelly. Pun dengan jantungnya yang sedari tadi berdegup begitu kencang, ia tergugu tak bisa mengeluarkan suara. “Aron … lepaskan dulu, aku akan menjelaskannya pada Kamila, agar tidak terjadi kesalahpahaman.” Relin menangkup wajah tampan sang kekasih, tak lupa diselingi senyu
Tubuhnya terasa dibelah dua, seluruh tenaganya sudah terkuras habis. Napas gadis—yang sudah menjadi wanita itu terengah, suaranya pun serak akibat teriakan dan rontaan akibat ulah sang tuan muda. Harta satu-satunya yang ia jaga sudah direnggut secara paksa, Kamila tak menyangka jika Aron benar-benar mengambil haknya malam ini, tak peduli tangisan pilu dengan suara sengau meminta ampun itu. Aron Dewangga, tetaplah seorang penguasa dalam hidup Kamila mulai sekarang.Kamila menangis dalam diam seraya menarik selimutnya, ia begitu mati rasa sekarang. Seluruh tubuhnya terasa luluh lantak. “Berhenti menangis, dan sekarang bersihkan dirimu, karena besok pagi adalah hari pertamamu sebagai pelayan di kediaman utama.” Setelah mengatakan itu, Aron berlalu pergi. Meninggalkan Kamila yang masih menangis pilu. Keesokan harinya, Kamila dikejutkan oleh tepukan pada pipinya, ia membuka mata perlahan. Senyuman manis dari adik satu-satunya adalah hal yang pertama ia lihat. “Arfin,” ucapnya serak. “Ka
Satu minggu kemudian, Aron sudah mulai mengajar. Ia melangkahkan kakinya keluar dari kelas, lalu melangkah menuju ruang dosen. Para mahasiswi yang melihatnya hanya mampu memekik dari jauh, mereka tak berani mendekat pada keturunan Dewangga itu. Di kelas saja seramnya bukan main, belum lagi nada dingin serta tatapan tajamnya yang membuat nyali menciut. “Ar, kau sudah selesai mengajar?” Aron menoleh, melihat ke arah sahabatnya yang mantap padanya. “Sudah,” jawabnya singkat.“Kau langsung ke perkebunan setelah ini? Aku dengar-dengar ada panen anggur yang akan dibawa ke luar kota.” tanya Erza. Selaku rekan dosennya sekaligus sahabat Aron sendiri. “Ya.” Aron membereskan meja kerjanya, diikuti oleh Erza. “Kenapa kau juga ikut beres-beres?” Erza menyengir, lalu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Aku ikut.” Aron tak merespon, ia dengan cepat keluar dari ruang dosen menuju parkiran, dan sudah disambut oleh Bimo. “Hai, Bim. Kau semakin tampan saja, walau aku lebih tampan.” Bimo hanya t
Kamila meregangkan ototnya, ternyata jadi pelayan di rumah orang kaya tak seindah yang ada di kepalanya. Dari pagi ia bekerja tanpa henti, belum lagi melayani sang tuan muda. Wanita itu mengalihkan atensinya pada dapur yang mewah ini, terdapat meja makan untuk para pelayan. Kamila mulai menyendok nasi putih serta mengambil satu potong ayam, ketika hendak memulai menyantapnya, terdengar suara pelayan yang memasuki dapur. Ia tersenyum kecil seraya menawarkan, tapi tak ada tanggapan. Justru pelayan itu bersedekap dada sambil menatapnya sinis. “Enak sekali kau, saya saja yang senior di sini belum makan siang!” sindir wanita itu.Kamila menaruh kembali sendoknya, ia meremas kedua tangannya gugup. Perutnya perih karena belum sarapan. “Saya … saya minta maaf, tadi saya sudah izin sama Bibi Atika, dan diperbolehkan untuk makan siang terlebih dahulu.” Wanita itu mendengkus sinis, terlihat sekali ia tak menyukai keberadaan Kamila di sini. “Pantas saja kau berani membalas ucapan saya! Ternyata
“Relin!” seru Aron keras, pria itu langsung menggendong Relin ala bridal style menuju kamar tamu. “Bimo! Telepon Dokter Meyda sekarang!” teriaknya kembali ketika melihat eksistensi Bimo yang mengikutinya. “Baik, Tuan muda.” Pria tiga puluh lima tahun itu berujar tegas seraya mengikuti instruksi dari Aron.Sedangkan para pelayan yang sejak tadi berbaris di depan pintu dapur sontak saja langsung pucat pasi, apalagi yang kebagian masak untuk hidangan malam ini. “Atika! Kumpulkan para pelayan yang bertugas menyajikan makan malam!” titah Dona tegas. “Siap, Nyonya!”Sementara Panji, mengikuti langkah Aron tergesa-gesa, ia yang sebagai suaminya Relin saja kalah sigap dengan Aron, padahal mereka duduk bersebelahan. Tiba-tiba rasa cemburu menyusup dihati Panji, tapi ia segera menepisnya. Karena ini bukanlah momen yang pas untuk memikirkan hal itu. “Kamila, tunggu!” Kamila yang akan menaiki undakan tangga menjadi terhenti, ia menoleh pada ibu mertuanya. “Iya, Ib—Nyonya,” jawabnya gugup, unt
Wanita paruh baya itu terkejut bukan main, begitu pula para pelayan yang ada di sana, termasuk Kamila. Atika membungkuk meminta maaf pada Aron, lalu mengangkat wajahnya dan menunjuk ke arah samping pria itu. “Kamila, Tuan. Dia yang mengolah bagian lauk pauk." Kamila tersentak, ia menatap Atika dengan tatapan tak percaya. “Bibi, apa maksudmu mengatakan semua ini? Bukankah saya hanya membantu pelayan yang lainnya, dan itu karena instruksi dari Bibi Atika sendiri?” balasnya cepat, tak ingin Aron salah paham.“Sama saja, kau membantu di dapur juga, Kamila. Bahkan kau sendiri yang menyelesaikan masakannya, ” kelit Atika tak mau kalah.Kamila tergugu, perasaan kecewa yang dirasakan membuatnya sesak, ia tak menyangka wanita yang dikira baik ternyata sama saja dengan pelayan yang lainnya. Kamila ingin menangis meraung, ia seperti dijebak. “Sudah cukup, kini giliran kalian yang memberi kesaksian. Apakah benar yang dikatakan Atika?” Aron beralih pada tiga pelayan yang memang bertugas memasak d
Sekitar pukul lima pagi, Kamila dikejutkan oleh seseorang yang masuk pada gudang kosong itu, pria berbadan kekar itu menyuruhnya untuk kembali ke kediamannya atas perintah dari Aron. Kamila dengan cepat pergi dari tempat pengap yang membuatnya tak tidur nyenyak semalaman, setelah sampai di kediamannya, ia segera mandi dan bersiap-siap untuk membuatkan Arfin sarapan, lalu bergegas menuju kediaman utama. Ia tak mau membuat kesalahan, takut Aron kembali menghukumnya. “Selamat pagi, Nyonya Kamila.” Kamila yang sudah sampai dapur dikejutkan oleh sapaan Atika, wanita itu terdiam dengan tatapan lurus pada kepala pelayan di hadapannya. Setelah membuatnya tak tidur tenang semalam, serta dilanda ketakutan setiap saat. Dan bisa-bisanya Atika bersikap seolah tak terjadi apa-apa? Kamila menggeleng tak percaya, apa ia dianggap sebuah lelucon?Kamila hanya mengangguk, sekarang ini ia tak percaya siapa-siapa lagi. Kamila dan adiknya hidup tenang itu sudah lebih dari cukup. “Nyonya Kamila, Anda ja
Aron memutuskan untuk menemui ayahnya, sedangkan Relin diurus oleh Kamila. Pria itu merasa heran, tak biasanya sang ayah ingin berbicara empat mata. Hubungan mereka begitu kaku, jadi kalau bertemu juga paling hanya basa-basi belaka. Aron melangkah menuju ruang kerja Tama, keningnya semakin berkerut ketika membuka pintu ruangan itu dan menemukan Bimo ada di sana. “Selamat pagi, Ayah,” sapanya datar sembari mengambil duduk pada sofa yang tersedia di sana. Tama berdehem singkat, lalu memfokuskan atensinya pada sang putra.”Kau tidak mengajar hari ini?” Aron menaikkan sebelah alisnya, ada apa gerangan ayahnya bertanya hal demikian. “Nanti pukul sepuluh,” sahutnya datar. Tama menganggukkan kepala sambil melirik ke arah Bimo singkat. “Begini Aron, Ayah sebetulnya ingin menawarkanmu memegang rumah sakit. Kau tahu sendiri Ayah adalah dokter bedah di sana, dan jika merangkap sebagai owner, rasanya begitu memberatkan,” ungkap Tama dengan mata yang terlihat lelah, rumah sakit Dewangga adalah r
Kamila menatap kosong ke depan, Aron yang sejak tadi memeluknya ikut merasa sedih. Ini semua adalah mimpi buruk baginya, ia hanya tertidur sebentar di mobil. Lalu tiba-tiba sudah berakhir di rumah sakit, setelah siuman justru menerima berita kehilangan sang buah hati. “Aku egois ya, Mas? Andai aku tidak membuntuti Relin, mungkin anak kita masih ada di sini,” kata Kamila setelah kebisuan panjang. Wanita itu mengusap perutnya yang rata, satu bulan berlalu. Duka itu masih menyapa, sakit dan perih akan kehilangan yang tak pernah terduga. “Sayang, dengarkan aku.” Aron menangkup wajah Kamila, menatap mata wanita yang dicintainya itu. “Kau boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Aku tidak mau Ayana serta Saga merasa tersisihkan.” Kamila tertegun, tanpa sadar sudah abai dengan keberadaan si kembar lantaran larut akan kesedihan. “Ayana, Saga ….” Lirih wanita itu. “Ya, mereka takut mendekat padamu. Terkadang Ayana maupun Saga hanya melihatmu dari celah pintu,” jelas Aron, membuang pa
Nyatanya, kebahagian itu tak pernah berpihak padaku ~Kamila Cahaya *** Semua yang terjadi di hadapannya begitu cepat, menarik napas pun terasa sulit. Kamila memegang tangan dingin Aron. Ia bodoh dan ceroboh, sehingga melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. “Tolong! Siapa pun tolong!” Wanita itu menjerit seraya memukul kaca mobilnya. Tak berselang lama, suara pecahan kaca serta teriakan orang-orang mulai terdengar. Sedangkan Kamila, bukannya merasa lega. Justru ia semakin panik kala melihat darah yang mengaliri betisnya. Kamila tercekat, napasnya memburu tak beraturan. Ia menoleh ke arah Aron, memegang tangan sang suami kuat. Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. *** Masayu duduk lemas tak bertenaga setelah menerima kabar jika mobil yang Relin serta Sandra tumpangi menabrak pembatas jembatan. Lantas jatuh ke bawah dan sampai sekarang tak bisa ditemukan. Belum lagi Kamila, Aron serta Bimo kecelakaan di lokasi yang sama dengan Relin, tapi bedanya mereka hanya
“Mas .…” Kamila menyentuh pelan bahu Aron. Ia menggigit bibir bawah ketika melihat tatapan kosong sang suami. “Mila, Erza pergi untuk selamanya. Apakah sikapku keterlaluan selama ini? Aku kecewa padanya. Tapi bukan berarti dia—” Napas Aron tercekat, pria itu mendongkak, menghalau air mata yang hendak keluar. Ia kembali menunduk, melihat gundukan tanah di hadapannya. Erza memeng tak bisa diselamatkan, pria itu ditemukan sudah tak bernyawa. Mengingat terlalu banyak menghirup asap, serta luka bakar yang yang didapat. “Mas, aku tahu jika ini pasti sangat berat. Ada aku di sini, Mas tidak sendiri.” Kamila memeluk sang suami, ia bisa merasakan napas lelah pria itu yang berhembus di ceruk lehernya. “Tuan, hujan sudah mulai turun. Apakah tidak sebaiknya kita berteduh?” tanya Bimo pelan. Tak tahan melihat Aron yang mendapat kesedihan secara bertubi-tubi. Bimo sudah menganggap pria itu seperti adiknya sendiri, dan ia ikut merasakan kesakitan Aron.Aron melepas pelukannya dari Kamila, lant
“Kemungkinan besar dia dijatuhi hukuman seumur hidup, mengingat Erza juga terlibat dalam pembunuhan berencana. Ayahnya pun sudah tutup mata dan memutuskan hubungan dengan Erza. Sementara Relin, hingga saat ini belum ditemukan,” jelas Tama menatap ke arah Aron yang sedang menatap jauh ke depan. Satu bulan sejak terakhir kali ia bertemu dengan Erza, Tama ingat betul kala orang tua Panji menyumpahi Erza dengan kemarahan membeli buta, tak lupa mengutuk menantunya yang tidak lain adalah Relin, meskipun wanita itu menghilang entah ke mana.“Apa si Brengsek itu menyesali semua perbuatannya?” tanya Aron dingin, setelah keheningan panjang.Tama menghembuskan napas berat, meneliti ekspresi sang putra yang terlihat kecewa serta marah. “Tentu saja dia menyesal, seperti yang Ayah katakan satu bulan yang lalu. Jika dia ingin bertemu denganmu untuk meminta maaf, tapi mengingat kau yang tak mau melihat wajahnya. Jadi, Ayah tidak bisa memaksa.”“Syukurlah dia sadar diri, memang orang jahat sepertin
“Setelah saya selidiki semuanya, ternyata Tuan Erza juga yang membakar kebun apel Anda. Dia mengaku telah mengambil cincin Tuan Farzan dan ditaruh di lokasi kejadian, agar kecurigaan kita mengarah padanya,” jelas Bimo. Pria itu menyesal karena dulu sempat berburuk sangka pada Farzan, tapi siangka Erza adalah dalang dari semua ini. Sungguh, tak pernah terbesit dalam pikirannya. Bimo kembali mengalihkan atensi pada Aron, terlihat jelas wajah kecewa serta terluka sang tuan. Ia turut sedih, mengingat Aron serta Erza berteman sejak kecil.“Lalu mengenai kasus Panji bagaimna?” tanya Aron setelh kebungkamn yang cukup panjang. “Sedang diurus oleh pengacara Anda, Tuan Erza juga sudah ditahan. Tadi siang ketika saya ke selnya, dia berpesan ingin melihat Anda,” ungkap Bimo hati-hti. “Tidak akan.” Aron mengeraskan rahang. “Jika saya bertemu dengannya, saya tak yakin jika dia masih bernapas esok hari.” Pria itu mengepalkan tangan, sudah seminggu sejak kematian Rendra, ia sama sekali tidak sudi
“Tunggu dulu, apa maksudnya jika Erza mendonorkan darahnya pada Rendra?” tanya Aron. Mencegah Erza yang hendak mengikuti Relin. “Mengapa kau memikirkan itu! Yang terpenting sekarang kami harus menyelamatkan Rendra!” bantah Relin kuat, menatap Aron tajam. “Bukan maksud saya seperti—” Perkataan Aron terhenti ketika dokter serta suster tergesa-gesa menuju ruangan Rendra. Mereka semua yang melihat itu tentu saja panik. Relin yang hendak masuk langsung dihentikan oleh Farzan. Membuat wanita itu menangis karena panik. “Mas ….” Lirih Kamila sembari memegang lengan Aron. Pria itu tersentak, baru menyadari jika sang istri sedari tadi bersamanya.“Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” kata Aron lembut. Berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya ke arah Relin serta Erza. Satu jam berlalu, seorang dokter keluar. Pria itu menatap keluarga pasien dengan wajah tak terbaca. Lalu berucap, ”Pasien tidak bisa diselamatkan. Dia terlalu banyak kehilangan darah, ditambah lagi dengan penyakit
“Jadi, aku sudah boleh pulang?” tanya Aron sekali lagi. Kamila mengangguk pelan, sudah pukul delapan malam. Lantas mereka keluar dari hotel, menuju kediaman Dewangga. “Apa pun yang terjadi ke depannya, kau harus percaya padaku.” Aron mengecup punggung tangan Kamila, mengabaikan Bimo yang seperti nyamuk di antara mereka.“Ya, asalkan jangan sembunyikan hal besar lagi dariku,” jawab Kamila. Aron mengangguk, mengusap rambut wanita itu lembut. Lalu menyandarkan kepala Kamila di dada bidangnya. “Mengenai Relin, ternyata dulu Mas tidak direstui, ya?” tanya Kamila pelan. Tubuh Aron terlihat menegang, tapi dengan cepat rileks kembali. “Ya, itu dulu. Sekarang ada dirimu da si kembar. Kami juga sudah bahagia dengan jalan hidup masing-masing.” Kamila terdiam, ia pikir Relin begitu diterima di keluarga Aron, mengingat dulu Dona sangat menyanjung sang sepupu.“Tuan, kita disuruh ke rumah sakit. Rendra jatuh dari tangga, dan keadaannya drop.”Perkataan Bimo menyentak Kamila dari lamunannya, b
“Enam tahun penjara?” tanya Aron dengan wajah kaku. “Benar, Tuan. Namun, hukuman yang sebenarnya dapat bervariasi tergantung pada pertimbangan hakim dan fakta yang terungkap dalam proses peradilan. Hakim bisa saja menjatuhkan hukuman penjara di bawah atau di atas enam tahun. Tapi balik lagi, itu semua tergantung pada keadaan kasus dan pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti keadaan pelaku, korban, serta faktor-faktor pengurangan hukuman lainnya.”“Apanya yang enam tahun!” Seruan itu membuat Aron menoleh, ia tersentak ketika melihat Kamila yang menatapnya marah.“Jawab! Kenapa kau lakukan hal ini, Mas!” Kamila memukul dada Aron kuat, meremas kemeja yang pria itu kenakan dengan air mata yang sudah berjatuhan. “Ka–kamila … kau di sini?” tanya Aron linglung. Mengapa sang istri ke hotel tempatnya menginap? Wanita itu mendongak. “Ya, aku ke sini untuk membawamu pulang. Sudah cukup kebodohan yang kau lakukan, Mas. Ayo, lupakan semuanya. Ak–aku ….” Napas Kamila tercekat, tak bisa melanj
“Ibu, mengapa Ayah selalu menemuiku dan Saga di luar? Memangnya kenapa tidak di rumah saja?” tanya Ayana sembari menatap ke arah Kamila.Gadis kecil itu melihat kembali penampilannya pada cermin, setelah merasa cantik ia kembali menghadap ke arah Kamila.“Ayah sedang bekerja, Sayang. Mungkin setelah semuanya selesai baru dia pulang.” Wanita itu menjawab pelan, meski terdapat kekhawatiran pada raut wajahnya. “Oh … begitu. Padahal aku kangen tahu dibacakan dongeng sama Ayah. Memangnya Ibu tidak kangen sama Ayah?” Kamila melotot kaget, setelah itu tertawa canggung. “Ah, Yaya sangat cantik hari ini. Bagaimana jika sore ini kita ke taman? Ajak Aga juga nanti.” Ia mengalihkan pembicaraan, dan benar saja Ayana langsung mengangguk.“Siap, Bu! Nanti aku boleh makan ice cream ya, soalnya sudah satu minggu aku libur.” Gadis kecil itu mengerjap lucu, berharap Kamila luluh. “Tentu, Sayang. Hari ini Yaya dan Aga boleh makan ice cream, dan sekarang ambil tasnya ya.” Kamila mengacak rambut Ayana g