Aron memutuskan untuk menemui ayahnya, sedangkan Relin diurus oleh Kamila. Pria itu merasa heran, tak biasanya sang ayah ingin berbicara empat mata. Hubungan mereka begitu kaku, jadi kalau bertemu juga paling hanya basa-basi belaka. Aron melangkah menuju ruang kerja Tama, keningnya semakin berkerut ketika membuka pintu ruangan itu dan menemukan Bimo ada di sana. “Selamat pagi, Ayah,” sapanya datar sembari mengambil duduk pada sofa yang tersedia di sana. Tama berdehem singkat, lalu memfokuskan atensinya pada sang putra.”Kau tidak mengajar hari ini?” Aron menaikkan sebelah alisnya, ada apa gerangan ayahnya bertanya hal demikian. “Nanti pukul sepuluh,” sahutnya datar. Tama menganggukkan kepala sambil melirik ke arah Bimo singkat. “Begini Aron, Ayah sebetulnya ingin menawarkanmu memegang rumah sakit. Kau tahu sendiri Ayah adalah dokter bedah di sana, dan jika merangkap sebagai owner, rasanya begitu memberatkan,” ungkap Tama dengan mata yang terlihat lelah, rumah sakit Dewangga adalah r
“Apa kau membutuhkan sesuatu, Relin?” tanya Kamila ketika melihat wanita itu keluar dari kamar mandi. Relin tersenyum tipis, ia tampak segar dan sehat sekarang. “Tidak ada Kamila, Maaf jika saya merepotkanmu, ya?” Kamila menggeleng pelan, lalu melangkah membantu Relin menuju kasurnya. Tapi langsung ditolak oleh wanita itu. “Saya bisa sendiri, Kamila. Kau duduk saja, ada hal yang ingin saya bicarakan.” Kamila mengalah, ia mengambil duduk pada kursi yang terdapat di samping kasur. “Kau bahagia dengan pernikahanmu bersama Aron?” tanya Relin seraya merebahkan tubuhnya. Kamila yang ditanya hal seperti itu cukup tertegun beberapa saat, sebelum kembali menguasai dirinya. “Tentu saja, Relin. mengapa bertanya hal demikian?” Relin berdehem sejenak, lalu melemparkan senyum tipis. “Saya bahagia mendengarnya, saya pikir Aron memperlakukanmu buruk, mengingat saat malam setelah akad dia memaksakan kehendaknya padamu.” Relin mengelus punggung tangan Kamila, bak seorang kakak yang peduli pada adi
Aron melangkah menuju ruangannya, tapi ia dicegat oleh seorang wanita, pria itu mengerutkan kening. Tak ada yang berani mendekat selama ini padanya, apalagi para mahasiswa di kampus ini. “Selamat siang, Pak,” sapa wanita itu. Memang jika di area kampus, panggilan Aron berubah. Ia melarang keras semua orang memanggilnya ‘tuan’, walau ia arogan dan tak pernah mau kalah, nyatanya Aron masih bisa menempatkan diri."Selamat siang, Pak.” Wanita itu mengulang kembali kalimatnya, keberaniannya yang tadi meluap-luap seketika menciut kala menatap netra tajam di depannya. “Ada apa?” jawab Aron serak.”Be–begini, Pak. Saya teman sepermainannya Kamila, dan saya tahu jika Anda sudah menjadikannya istri. Dikarenakan beritanya sudah meluas di kampung saya, tepat ketika Anda membawanya pagi itu.” Wanita itu meremas erat tali ranselnya, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ekspresi Aron terlihat mendingin, sepertinya ada yang ia lewatkan. “Apa beritanya hanya sampai di kampungmu saja? Dan te
“Selamat pagi, Aron.” Aron langsung bangun dari duduknya. “Selamat pagi juga, Paman. Silahkan duduk.” Pria paruh baya itu tersenyum lembut, lalu meneliti keadaan sekitar yang tampak sepi. “Ayah dan Ibumu di mana?” “Sedang bekerja,” jawab Aron datar, memang susah sekali mengubah intonasi nadanya. “Ah, begitu.” Pria paruh baya itu kembali melihat ke arah Aron. “Apa putriku menyusahkanmu?” “Tidak, dan mungkin besok dia bisa kembali ke kediamannya karena kondisinya sudah membaik,” balas Aron seadanya. “Terima kasih telah menjaganya, Paman sangat berhutang banyak padamu.” Farzan, ayah Relin tersenyum ramah. “Dan dari beberapa berita yang Paman dengar, kau membeli perkebunan bunga, apakah itu benar?” “Benar.” Singkat padat dan jelas, Farzan sudah terbiasa dengan gaya bicara serta sikap dingin teman masa kecil putrinya ini—ralat mantan kekasih sang putri. Tapi disitulah letak menariknya seorang Aron Dewangga, pria ini tak pernah berbasa-basi dan selalu to the point, tak seperti yang
“Kau sungguh baik-baik saja?” tanya Aron serius.“Sungguh, Mas. Ini hanya luka gores, bukan masalah besar. Dan Maaf telah membuat semuanya Khawatir,” balas Panji dari seberang sana.Aron menghembuskan napas lega, lalu melihat ke Arah Relin yang sedang ditenangkan oleh Kamila. “Baiklah, saya tutup dulu jika begitu.”“Mas, Aron. Katakan pada istriku untuk jangan khawatir, dan terima kasih sudah menjaganya untukku. Selamat malam, Mas.” Sambungan telepon terputus, Aron kini mengalihkan taensinya pada Relin, lalu mengambil duduk di samping kiri wanita itu. “Sudah, jangan bersedih lagi. Kau mendengarnya, bukan? Jika suamimu baik-baik saja.” Rlin masih menangis pilu, ia bahkan tak mampu mengucapkan sepatah kata pun kala Panji menyapanya saat ditelepon. Alhasil ia hanya bisa menangis di dalam pelukan Kamila. “Ak–aku … aku takut sekali, Aron. Api pikir Mas Panji ….” Relin tak bisa melanjutkan kalimatnya, wanita itu langsung memeluk Aron erat.Kamila yang melihat itu segera memalingkan wajah,
Terhitung sudah dua bulan lamanya pernikahannya dengan Aron, dan tak ada perubahan berarti. Aron sangat sibuk mengurusi rumah sakit serta perkebunan miliknya, terkadang mereka hanya bertemu saat Kamila menyiapkan sarapan. Ia juga sudah kembali tinggal di kediamannya, tapi terkadang Kamila harus bersiap-siap bersandiwara tatkala Relin datang berkunjung. “Kau! Cepat ke sini!” Kamila bergegas ketika melihat ibu mertuanya yang berkacak pinggang di pintu dapur. “Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” Dona menunjuk pecahan guci yang seharga mobil itu. “Apa yang kau lakukan dengan guci kesayangan saya,” tekan Dona geram, “katakan!” Kamila berjengit kaget, belum lagi para pelayan yang terlihat penasaran dengan apa yang terjadi, mereka mulai mengintip—tak ingin melewatkan tontonan gratis sang nyonya bersama menantunya. “Sa–saya tidak pernah keluar dari dapur, Nyonya, Dan bersih-bersih bukan bagian dari tugas saya.” Kamila memilin kedua tangannya gugup, berdoa dalam hati semoga tak ada lagi
Kamila membuka matanya perlahan, seketika itu juga tubuhnya limbung. Ia berpegangan pada tembok di belakangnya dengan tatapan kosong. “Du–dua garis.” Napasnya tercekat, tubuhnya kian bergetar hebat. “Ak–aku hamil ….”Kamila mulai terisak, ia begitu shock menerima kenyataan yang ada. Bukan, bukannya tak menerima hai ini. Tapi ia hanya tak menyangka jika semua yang Aron lakukan padanya membuahkan hasil, Kamila tak pernah menyangka di usianya ke sembilan belas tahun ini akan menjadi seorang ibu.Wanita itu menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ada perasaan haru serta ketakutan yang ia rasa, di satu sisi ia sangat bahagia menyambut kehadiran sang buah hati, tapi di sisi lain Kamila juga takut jika Aron tahu mengenai perihal ini.Di dalam perjanjian yang Aron berikan, Kamila memang harus melahirkan seorang keturunan untuknya. Jika tidak, ia akan di depak dari kehidupan pria itu. Tapi di sisi lain, ketika ia sudah menyelesaikan kewajibannya sebagai
Aron memijat pelipisnya, dari semalam ia kurang tidur karena mengurus perkebunan apel yang akan panen ini, tapi sudah hangus dilalap si jago merah. Dan yang membuatnya marah karena ada orang yang dengan sengaja membakarnya, terbukti oleh korek serta bau bensin yang menyengat, belum lagi bekas jerigen yang menumpuk. Selama ini ia memang banyak saingan, tapi tak ada yang berani mengusik keluarganya. Aron menatap ketiga penjaga kebunnya yang menduk kaku. “Pada malam kejadian ini terjadi, siap yang berjaga?” Mereka bertiga saling tatap satu sama lain, lalu salah satu diantara mereka mengangkat tangan. “Saya, Tuan,” jawab pria berbadan kekar dengan topi yang menutupi kepala plontosnya. “Apa kau melihat siapa pelakunya? Atau sebelum kejadian itu terjadi ada hal yang mencurigakan?” tanya Aron serius, aura dominan melingkupinya. Membuat siapa pun merasa terintimidasi. “Ada Tuan Arya serta Tuan Farzan, mereka berkunjung ke sini sekitar pukul lima sore, tapi itu pun hanya menikmati coffee.”
Kamila menatap kosong ke depan, Aron yang sejak tadi memeluknya ikut merasa sedih. Ini semua adalah mimpi buruk baginya, ia hanya tertidur sebentar di mobil. Lalu tiba-tiba sudah berakhir di rumah sakit, setelah siuman justru menerima berita kehilangan sang buah hati. “Aku egois ya, Mas? Andai aku tidak membuntuti Relin, mungkin anak kita masih ada di sini,” kata Kamila setelah kebisuan panjang. Wanita itu mengusap perutnya yang rata, satu bulan berlalu. Duka itu masih menyapa, sakit dan perih akan kehilangan yang tak pernah terduga. “Sayang, dengarkan aku.” Aron menangkup wajah Kamila, menatap mata wanita yang dicintainya itu. “Kau boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Aku tidak mau Ayana serta Saga merasa tersisihkan.” Kamila tertegun, tanpa sadar sudah abai dengan keberadaan si kembar lantaran larut akan kesedihan. “Ayana, Saga ….” Lirih wanita itu. “Ya, mereka takut mendekat padamu. Terkadang Ayana maupun Saga hanya melihatmu dari celah pintu,” jelas Aron, membuang pa
Nyatanya, kebahagian itu tak pernah berpihak padaku ~Kamila Cahaya *** Semua yang terjadi di hadapannya begitu cepat, menarik napas pun terasa sulit. Kamila memegang tangan dingin Aron. Ia bodoh dan ceroboh, sehingga melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. “Tolong! Siapa pun tolong!” Wanita itu menjerit seraya memukul kaca mobilnya. Tak berselang lama, suara pecahan kaca serta teriakan orang-orang mulai terdengar. Sedangkan Kamila, bukannya merasa lega. Justru ia semakin panik kala melihat darah yang mengaliri betisnya. Kamila tercekat, napasnya memburu tak beraturan. Ia menoleh ke arah Aron, memegang tangan sang suami kuat. Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. *** Masayu duduk lemas tak bertenaga setelah menerima kabar jika mobil yang Relin serta Sandra tumpangi menabrak pembatas jembatan. Lantas jatuh ke bawah dan sampai sekarang tak bisa ditemukan. Belum lagi Kamila, Aron serta Bimo kecelakaan di lokasi yang sama dengan Relin, tapi bedanya mereka hanya
“Mas .…” Kamila menyentuh pelan bahu Aron. Ia menggigit bibir bawah ketika melihat tatapan kosong sang suami. “Mila, Erza pergi untuk selamanya. Apakah sikapku keterlaluan selama ini? Aku kecewa padanya. Tapi bukan berarti dia—” Napas Aron tercekat, pria itu mendongkak, menghalau air mata yang hendak keluar. Ia kembali menunduk, melihat gundukan tanah di hadapannya. Erza memeng tak bisa diselamatkan, pria itu ditemukan sudah tak bernyawa. Mengingat terlalu banyak menghirup asap, serta luka bakar yang yang didapat. “Mas, aku tahu jika ini pasti sangat berat. Ada aku di sini, Mas tidak sendiri.” Kamila memeluk sang suami, ia bisa merasakan napas lelah pria itu yang berhembus di ceruk lehernya. “Tuan, hujan sudah mulai turun. Apakah tidak sebaiknya kita berteduh?” tanya Bimo pelan. Tak tahan melihat Aron yang mendapat kesedihan secara bertubi-tubi. Bimo sudah menganggap pria itu seperti adiknya sendiri, dan ia ikut merasakan kesakitan Aron.Aron melepas pelukannya dari Kamila, lant
“Kemungkinan besar dia dijatuhi hukuman seumur hidup, mengingat Erza juga terlibat dalam pembunuhan berencana. Ayahnya pun sudah tutup mata dan memutuskan hubungan dengan Erza. Sementara Relin, hingga saat ini belum ditemukan,” jelas Tama menatap ke arah Aron yang sedang menatap jauh ke depan. Satu bulan sejak terakhir kali ia bertemu dengan Erza, Tama ingat betul kala orang tua Panji menyumpahi Erza dengan kemarahan membeli buta, tak lupa mengutuk menantunya yang tidak lain adalah Relin, meskipun wanita itu menghilang entah ke mana.“Apa si Brengsek itu menyesali semua perbuatannya?” tanya Aron dingin, setelah keheningan panjang.Tama menghembuskan napas berat, meneliti ekspresi sang putra yang terlihat kecewa serta marah. “Tentu saja dia menyesal, seperti yang Ayah katakan satu bulan yang lalu. Jika dia ingin bertemu denganmu untuk meminta maaf, tapi mengingat kau yang tak mau melihat wajahnya. Jadi, Ayah tidak bisa memaksa.”“Syukurlah dia sadar diri, memang orang jahat sepertin
“Setelah saya selidiki semuanya, ternyata Tuan Erza juga yang membakar kebun apel Anda. Dia mengaku telah mengambil cincin Tuan Farzan dan ditaruh di lokasi kejadian, agar kecurigaan kita mengarah padanya,” jelas Bimo. Pria itu menyesal karena dulu sempat berburuk sangka pada Farzan, tapi siangka Erza adalah dalang dari semua ini. Sungguh, tak pernah terbesit dalam pikirannya. Bimo kembali mengalihkan atensi pada Aron, terlihat jelas wajah kecewa serta terluka sang tuan. Ia turut sedih, mengingat Aron serta Erza berteman sejak kecil.“Lalu mengenai kasus Panji bagaimna?” tanya Aron setelh kebungkamn yang cukup panjang. “Sedang diurus oleh pengacara Anda, Tuan Erza juga sudah ditahan. Tadi siang ketika saya ke selnya, dia berpesan ingin melihat Anda,” ungkap Bimo hati-hti. “Tidak akan.” Aron mengeraskan rahang. “Jika saya bertemu dengannya, saya tak yakin jika dia masih bernapas esok hari.” Pria itu mengepalkan tangan, sudah seminggu sejak kematian Rendra, ia sama sekali tidak sudi
“Tunggu dulu, apa maksudnya jika Erza mendonorkan darahnya pada Rendra?” tanya Aron. Mencegah Erza yang hendak mengikuti Relin. “Mengapa kau memikirkan itu! Yang terpenting sekarang kami harus menyelamatkan Rendra!” bantah Relin kuat, menatap Aron tajam. “Bukan maksud saya seperti—” Perkataan Aron terhenti ketika dokter serta suster tergesa-gesa menuju ruangan Rendra. Mereka semua yang melihat itu tentu saja panik. Relin yang hendak masuk langsung dihentikan oleh Farzan. Membuat wanita itu menangis karena panik. “Mas ….” Lirih Kamila sembari memegang lengan Aron. Pria itu tersentak, baru menyadari jika sang istri sedari tadi bersamanya.“Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” kata Aron lembut. Berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya ke arah Relin serta Erza. Satu jam berlalu, seorang dokter keluar. Pria itu menatap keluarga pasien dengan wajah tak terbaca. Lalu berucap, ”Pasien tidak bisa diselamatkan. Dia terlalu banyak kehilangan darah, ditambah lagi dengan penyakit
“Jadi, aku sudah boleh pulang?” tanya Aron sekali lagi. Kamila mengangguk pelan, sudah pukul delapan malam. Lantas mereka keluar dari hotel, menuju kediaman Dewangga. “Apa pun yang terjadi ke depannya, kau harus percaya padaku.” Aron mengecup punggung tangan Kamila, mengabaikan Bimo yang seperti nyamuk di antara mereka.“Ya, asalkan jangan sembunyikan hal besar lagi dariku,” jawab Kamila. Aron mengangguk, mengusap rambut wanita itu lembut. Lalu menyandarkan kepala Kamila di dada bidangnya. “Mengenai Relin, ternyata dulu Mas tidak direstui, ya?” tanya Kamila pelan. Tubuh Aron terlihat menegang, tapi dengan cepat rileks kembali. “Ya, itu dulu. Sekarang ada dirimu da si kembar. Kami juga sudah bahagia dengan jalan hidup masing-masing.” Kamila terdiam, ia pikir Relin begitu diterima di keluarga Aron, mengingat dulu Dona sangat menyanjung sang sepupu.“Tuan, kita disuruh ke rumah sakit. Rendra jatuh dari tangga, dan keadaannya drop.”Perkataan Bimo menyentak Kamila dari lamunannya, b
“Enam tahun penjara?” tanya Aron dengan wajah kaku. “Benar, Tuan. Namun, hukuman yang sebenarnya dapat bervariasi tergantung pada pertimbangan hakim dan fakta yang terungkap dalam proses peradilan. Hakim bisa saja menjatuhkan hukuman penjara di bawah atau di atas enam tahun. Tapi balik lagi, itu semua tergantung pada keadaan kasus dan pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti keadaan pelaku, korban, serta faktor-faktor pengurangan hukuman lainnya.”“Apanya yang enam tahun!” Seruan itu membuat Aron menoleh, ia tersentak ketika melihat Kamila yang menatapnya marah.“Jawab! Kenapa kau lakukan hal ini, Mas!” Kamila memukul dada Aron kuat, meremas kemeja yang pria itu kenakan dengan air mata yang sudah berjatuhan. “Ka–kamila … kau di sini?” tanya Aron linglung. Mengapa sang istri ke hotel tempatnya menginap? Wanita itu mendongak. “Ya, aku ke sini untuk membawamu pulang. Sudah cukup kebodohan yang kau lakukan, Mas. Ayo, lupakan semuanya. Ak–aku ….” Napas Kamila tercekat, tak bisa melanj
“Ibu, mengapa Ayah selalu menemuiku dan Saga di luar? Memangnya kenapa tidak di rumah saja?” tanya Ayana sembari menatap ke arah Kamila.Gadis kecil itu melihat kembali penampilannya pada cermin, setelah merasa cantik ia kembali menghadap ke arah Kamila.“Ayah sedang bekerja, Sayang. Mungkin setelah semuanya selesai baru dia pulang.” Wanita itu menjawab pelan, meski terdapat kekhawatiran pada raut wajahnya. “Oh … begitu. Padahal aku kangen tahu dibacakan dongeng sama Ayah. Memangnya Ibu tidak kangen sama Ayah?” Kamila melotot kaget, setelah itu tertawa canggung. “Ah, Yaya sangat cantik hari ini. Bagaimana jika sore ini kita ke taman? Ajak Aga juga nanti.” Ia mengalihkan pembicaraan, dan benar saja Ayana langsung mengangguk.“Siap, Bu! Nanti aku boleh makan ice cream ya, soalnya sudah satu minggu aku libur.” Gadis kecil itu mengerjap lucu, berharap Kamila luluh. “Tentu, Sayang. Hari ini Yaya dan Aga boleh makan ice cream, dan sekarang ambil tasnya ya.” Kamila mengacak rambut Ayana g