Kamila membuka matanya perlahan, seketika itu juga tubuhnya limbung. Ia berpegangan pada tembok di belakangnya dengan tatapan kosong. “Du–dua garis.” Napasnya tercekat, tubuhnya kian bergetar hebat. “Ak–aku hamil ….”Kamila mulai terisak, ia begitu shock menerima kenyataan yang ada. Bukan, bukannya tak menerima hai ini. Tapi ia hanya tak menyangka jika semua yang Aron lakukan padanya membuahkan hasil, Kamila tak pernah menyangka di usianya ke sembilan belas tahun ini akan menjadi seorang ibu.Wanita itu menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ada perasaan haru serta ketakutan yang ia rasa, di satu sisi ia sangat bahagia menyambut kehadiran sang buah hati, tapi di sisi lain Kamila juga takut jika Aron tahu mengenai perihal ini.Di dalam perjanjian yang Aron berikan, Kamila memang harus melahirkan seorang keturunan untuknya. Jika tidak, ia akan di depak dari kehidupan pria itu. Tapi di sisi lain, ketika ia sudah menyelesaikan kewajibannya sebagai
Aron memijat pelipisnya, dari semalam ia kurang tidur karena mengurus perkebunan apel yang akan panen ini, tapi sudah hangus dilalap si jago merah. Dan yang membuatnya marah karena ada orang yang dengan sengaja membakarnya, terbukti oleh korek serta bau bensin yang menyengat, belum lagi bekas jerigen yang menumpuk. Selama ini ia memang banyak saingan, tapi tak ada yang berani mengusik keluarganya. Aron menatap ketiga penjaga kebunnya yang menduk kaku. “Pada malam kejadian ini terjadi, siap yang berjaga?” Mereka bertiga saling tatap satu sama lain, lalu salah satu diantara mereka mengangkat tangan. “Saya, Tuan,” jawab pria berbadan kekar dengan topi yang menutupi kepala plontosnya. “Apa kau melihat siapa pelakunya? Atau sebelum kejadian itu terjadi ada hal yang mencurigakan?” tanya Aron serius, aura dominan melingkupinya. Membuat siapa pun merasa terintimidasi. “Ada Tuan Arya serta Tuan Farzan, mereka berkunjung ke sini sekitar pukul lima sore, tapi itu pun hanya menikmati coffee.”
Kamila memakan sate di tangannya dengan air mata berjatuhan, ia begitu sakit hati mendengar kalimat pedas yang Aron layangkan padanya. Setelah mengatakan hal tersebut, Aron berlalu pergi ke kamarnya. Dan selang sepuluh menit kemudian, Bimo datang membawakan pesanan Kamila.Pria itu juga sempat bertanya mengapa matanya membengkak, dan Kamila hanya menggeleng sembari mengucapkan terima kasih. Ia tak tahu mengapa secengeng ini, padahal sebelumnya apa pun kalimat hinaan yang Aron lontrakan, ia tak akan ambil hati. Keesokan harinya, ia terbangun dengan kepala berdenyut serta rasa mual tak tertahankan, dengan cepat Kamila menuju kamar mandi dan memuntahkan cairan berwarna kuning, seperti kemarin. Ia terduduk dengan tubuh terkulai lemas, tetapi suara gedoran di pintu kamarnya membuat Kamila tersentak. Dengan susah payah ia bangkit serta membasuh wajah terlebih dahulu agar terlihat segar. “Mentang-mentang kau tinggal di rumah ini, berasa menjadi nyonya, huh? Cepat ke dapur, sebentar lagi Tu
“Selamat, Sayang! Bibi tidak menyangka kau hamil!” Dona memeluk Relin erat, walau dalam hati dongkol luar biasa, karena seharusnya wanita ini hamil anak Aron, bukan dari pria lain. “Terima kasih Bibi, aku juga tidak menyangka bisa diberikan kepercayaan secepat ini.” Relin memang memeriksanya kemarin, dan usia kehamilannya berjalan dua minggu. Tapi sayangnya sang suami tak ada di sisinya karena sedang ada di luar kota, alhasil ia hanya bisa memberitahunya via telepon, dan reaksi Panji benar-benar mengharukan.“Ayo duduk di sini, Sayang. Nanti kau kelelahan.” Dona menuntun Relin untuk duduk di sofa, setelah itu ia terus mengelus lembut lengan wanita cantik di sampingnya. “Lalu apakah Panji akan pulang setelah tahu kau hamil?”Relin terlihat murung. “Tidak Bibi, Mas Panji benar-benar tak bisa meninggalkan pekerjaanya. Mungkin dia akan pulang dua minggu lagi.”“Astaga, pasti berat sekali hamil muda tanpa ditemani suami.” Dona memasang wajah sedih, tanganya menepuk-nepuk pelan punggung ri
“Aron! Aku hamil!” serunya riang, mengabaikan raut Aron langsung menegang. Relin terdiam ketika tak mendapat sahutan, ia melepas pelukannya, menatap tepat pada Aron yang tak menampakkan ekspresi apa pun. “Kau tak senang?” lanjutnya lirih. Aron yang tersadar dari lamunannya hanya terdiam, lalu menatap Relin dalam. “Senang.” Tapi ekspresinya hanya datar dan dingin, siapa yang tak akan salah paham? Ia melangkah menuju sofa, dan duduk di samping Kamila, sementara Relin menunduk sedih sembari kembali ke posisi semula. Cup!Kamila tersentak ketika Aron mencium pucuk kepalanya, bukan hanya ia yang kaget, kedua wanita yang duduk di hadapannya pun menganga melihatnya. Sejak kapan seorang pria arogan seperti Aron Dewangga blak-blakan melakukan skinship di tempat umum, Relin saja yang menjalin hubungan dari remaja bersama pria itu hanya bisa terkesiap di tempatnya. “Aron, sebaiknya jangan berlaku seperti itu di tempat umum. Walau kalian suami istri, rasanya tak nyaman saja ketika orang lain m
“Tuan Bimo, semua keranjangnya sudah Arfin hitung.” Bimo yang sejak tadi berkutat dengan tablet di tangan menjadi menoleh. “Berapa jumlahnya?” “Total semuanya 185, ini tadi Arfin catat juga. Dan sudah Arfin hitung ulang sampai tiga kali.” Anak laki-laki itu menyerahkan kertas di tangannya pada Bimo.Bimo menerimanya dengan senang hati, lalu tersenyum puas setelahnya. Arifin memang anak yang rajin dan pekerja keras. Sepulang sekolah anak itu selalu mengikutinya untuk ke kebun dan mengecek hasil panen yang ada. “Terima kasih, kau memang sangat pintar.”Arfin tersenyum malu, ini semua tentu saja berkat didikan Kamila padanya. “Sama-sama Tuan, Bimo. Apakah Arfin boleh istirahat?” “Tentu, sana ke gazebo. Saya sudah belikan makan siang serta camilan.”Netra Arfin berbinar. “Hore! Terima kasih sekali lagi, Tuan Bimo!” Arfin bergegas pergi, tak sabar ingin mengisi perutnya. Namun, ketika sampai di gazebo. Yang ia lihat justru sang tuan muda, anak laki-laki itu terlihat ragu untuk mendekat.
Saat hendak membuka pintu kamarnya, tangannya langsung dicekal kuat. Ia langsung berbalik dan terkesiap ketika Dona menatapnya murka. “Jelaskan apa maksud testpack ini?!” Dona membuka pintu kamar kamar Kamila kasar, lalu menarik wanita itu agar masuk bersamanya, ia tak ingin ada yang melihat semua ini. Apalagi ada Relin serta Erza di kediamannya. Napas Kamila tercekat melihat tiga testpack di tangan Dona. “Cepat katakan! Mengapa ada benda ini di lacimu!” teriak Dona lantang, urat lehernya sampai menonjol ditambah matanya memerah menahan amarah. “Nyonya … itu memang punya saya,” ucap Kamila mencoba tenang, padahal ia tak lepas berdoa pada Tuhan agar menyelamatkannya dari wanita di hadapannya ini. “Tapi setelah saya periksa hasilnya negatif,” lanjutnya sembari menatap Dona penuh keyakinan. Kamila menyembunyikan kepalan tangannya di belakang tubuh, ia memang membeli empat buah testpack, dan yang satunya di paviliunnya dulu. Sementara sisanya ia bawa ke ke kediaman utama, tapi dari ma
Kini kandungan Kamila memasuki usia enam minggu, perutnya masih terlihat rata tentunya, tapi Kamlia selalu berhati-hati sekarang. Ia juga sebisa mungkin menghindari masalah agar tak mendapatkan hukuman. Wanita itu dengan lincah menyiapkan makan siang untuk keluarga Dewangga, sebenarnya ada tiga lagi juru masak lainnya. Tapi yang dua itu sudah dipindahkan ke bagian kebersihan, karena pelayan yang sebelumnya sudah berhenti. Dan tinggalah Kamila serta Sari sebagai juru masak—walau wanita itu lebih sering leha-leha daripada membantunya. “Kau sudah membuat sup daging, tidak? Kata Bibi Atika hari ini Tuan Tama minta dibuatkan untuk makan siangnya,” celetuk Sari sambil memakan pisang goreng di hadapannya, memberikan Kamila bekerja seorang diri. “Tidak,” jawab Kamila singkat, ia masih menggoreng ayam serta menumis. Lagi pula, sejak kapan ayah mertuanya makan siang di rumah? “Lho, kenapa jawabnya nyolot sekali? Padahal kau tinggal membuat sup daging saja, apa susahnya, sih?” ketus Sari sew
Kamila menatap kosong ke depan, Aron yang sejak tadi memeluknya ikut merasa sedih. Ini semua adalah mimpi buruk baginya, ia hanya tertidur sebentar di mobil. Lalu tiba-tiba sudah berakhir di rumah sakit, setelah siuman justru menerima berita kehilangan sang buah hati. “Aku egois ya, Mas? Andai aku tidak membuntuti Relin, mungkin anak kita masih ada di sini,” kata Kamila setelah kebisuan panjang. Wanita itu mengusap perutnya yang rata, satu bulan berlalu. Duka itu masih menyapa, sakit dan perih akan kehilangan yang tak pernah terduga. “Sayang, dengarkan aku.” Aron menangkup wajah Kamila, menatap mata wanita yang dicintainya itu. “Kau boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Aku tidak mau Ayana serta Saga merasa tersisihkan.” Kamila tertegun, tanpa sadar sudah abai dengan keberadaan si kembar lantaran larut akan kesedihan. “Ayana, Saga ….” Lirih wanita itu. “Ya, mereka takut mendekat padamu. Terkadang Ayana maupun Saga hanya melihatmu dari celah pintu,” jelas Aron, membuang pa
Nyatanya, kebahagian itu tak pernah berpihak padaku ~Kamila Cahaya *** Semua yang terjadi di hadapannya begitu cepat, menarik napas pun terasa sulit. Kamila memegang tangan dingin Aron. Ia bodoh dan ceroboh, sehingga melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. “Tolong! Siapa pun tolong!” Wanita itu menjerit seraya memukul kaca mobilnya. Tak berselang lama, suara pecahan kaca serta teriakan orang-orang mulai terdengar. Sedangkan Kamila, bukannya merasa lega. Justru ia semakin panik kala melihat darah yang mengaliri betisnya. Kamila tercekat, napasnya memburu tak beraturan. Ia menoleh ke arah Aron, memegang tangan sang suami kuat. Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. *** Masayu duduk lemas tak bertenaga setelah menerima kabar jika mobil yang Relin serta Sandra tumpangi menabrak pembatas jembatan. Lantas jatuh ke bawah dan sampai sekarang tak bisa ditemukan. Belum lagi Kamila, Aron serta Bimo kecelakaan di lokasi yang sama dengan Relin, tapi bedanya mereka hanya
“Mas .…” Kamila menyentuh pelan bahu Aron. Ia menggigit bibir bawah ketika melihat tatapan kosong sang suami. “Mila, Erza pergi untuk selamanya. Apakah sikapku keterlaluan selama ini? Aku kecewa padanya. Tapi bukan berarti dia—” Napas Aron tercekat, pria itu mendongkak, menghalau air mata yang hendak keluar. Ia kembali menunduk, melihat gundukan tanah di hadapannya. Erza memeng tak bisa diselamatkan, pria itu ditemukan sudah tak bernyawa. Mengingat terlalu banyak menghirup asap, serta luka bakar yang yang didapat. “Mas, aku tahu jika ini pasti sangat berat. Ada aku di sini, Mas tidak sendiri.” Kamila memeluk sang suami, ia bisa merasakan napas lelah pria itu yang berhembus di ceruk lehernya. “Tuan, hujan sudah mulai turun. Apakah tidak sebaiknya kita berteduh?” tanya Bimo pelan. Tak tahan melihat Aron yang mendapat kesedihan secara bertubi-tubi. Bimo sudah menganggap pria itu seperti adiknya sendiri, dan ia ikut merasakan kesakitan Aron.Aron melepas pelukannya dari Kamila, lant
“Kemungkinan besar dia dijatuhi hukuman seumur hidup, mengingat Erza juga terlibat dalam pembunuhan berencana. Ayahnya pun sudah tutup mata dan memutuskan hubungan dengan Erza. Sementara Relin, hingga saat ini belum ditemukan,” jelas Tama menatap ke arah Aron yang sedang menatap jauh ke depan. Satu bulan sejak terakhir kali ia bertemu dengan Erza, Tama ingat betul kala orang tua Panji menyumpahi Erza dengan kemarahan membeli buta, tak lupa mengutuk menantunya yang tidak lain adalah Relin, meskipun wanita itu menghilang entah ke mana.“Apa si Brengsek itu menyesali semua perbuatannya?” tanya Aron dingin, setelah keheningan panjang.Tama menghembuskan napas berat, meneliti ekspresi sang putra yang terlihat kecewa serta marah. “Tentu saja dia menyesal, seperti yang Ayah katakan satu bulan yang lalu. Jika dia ingin bertemu denganmu untuk meminta maaf, tapi mengingat kau yang tak mau melihat wajahnya. Jadi, Ayah tidak bisa memaksa.”“Syukurlah dia sadar diri, memang orang jahat sepertin
“Setelah saya selidiki semuanya, ternyata Tuan Erza juga yang membakar kebun apel Anda. Dia mengaku telah mengambil cincin Tuan Farzan dan ditaruh di lokasi kejadian, agar kecurigaan kita mengarah padanya,” jelas Bimo. Pria itu menyesal karena dulu sempat berburuk sangka pada Farzan, tapi siangka Erza adalah dalang dari semua ini. Sungguh, tak pernah terbesit dalam pikirannya. Bimo kembali mengalihkan atensi pada Aron, terlihat jelas wajah kecewa serta terluka sang tuan. Ia turut sedih, mengingat Aron serta Erza berteman sejak kecil.“Lalu mengenai kasus Panji bagaimna?” tanya Aron setelh kebungkamn yang cukup panjang. “Sedang diurus oleh pengacara Anda, Tuan Erza juga sudah ditahan. Tadi siang ketika saya ke selnya, dia berpesan ingin melihat Anda,” ungkap Bimo hati-hti. “Tidak akan.” Aron mengeraskan rahang. “Jika saya bertemu dengannya, saya tak yakin jika dia masih bernapas esok hari.” Pria itu mengepalkan tangan, sudah seminggu sejak kematian Rendra, ia sama sekali tidak sudi
“Tunggu dulu, apa maksudnya jika Erza mendonorkan darahnya pada Rendra?” tanya Aron. Mencegah Erza yang hendak mengikuti Relin. “Mengapa kau memikirkan itu! Yang terpenting sekarang kami harus menyelamatkan Rendra!” bantah Relin kuat, menatap Aron tajam. “Bukan maksud saya seperti—” Perkataan Aron terhenti ketika dokter serta suster tergesa-gesa menuju ruangan Rendra. Mereka semua yang melihat itu tentu saja panik. Relin yang hendak masuk langsung dihentikan oleh Farzan. Membuat wanita itu menangis karena panik. “Mas ….” Lirih Kamila sembari memegang lengan Aron. Pria itu tersentak, baru menyadari jika sang istri sedari tadi bersamanya.“Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” kata Aron lembut. Berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya ke arah Relin serta Erza. Satu jam berlalu, seorang dokter keluar. Pria itu menatap keluarga pasien dengan wajah tak terbaca. Lalu berucap, ”Pasien tidak bisa diselamatkan. Dia terlalu banyak kehilangan darah, ditambah lagi dengan penyakit
“Jadi, aku sudah boleh pulang?” tanya Aron sekali lagi. Kamila mengangguk pelan, sudah pukul delapan malam. Lantas mereka keluar dari hotel, menuju kediaman Dewangga. “Apa pun yang terjadi ke depannya, kau harus percaya padaku.” Aron mengecup punggung tangan Kamila, mengabaikan Bimo yang seperti nyamuk di antara mereka.“Ya, asalkan jangan sembunyikan hal besar lagi dariku,” jawab Kamila. Aron mengangguk, mengusap rambut wanita itu lembut. Lalu menyandarkan kepala Kamila di dada bidangnya. “Mengenai Relin, ternyata dulu Mas tidak direstui, ya?” tanya Kamila pelan. Tubuh Aron terlihat menegang, tapi dengan cepat rileks kembali. “Ya, itu dulu. Sekarang ada dirimu da si kembar. Kami juga sudah bahagia dengan jalan hidup masing-masing.” Kamila terdiam, ia pikir Relin begitu diterima di keluarga Aron, mengingat dulu Dona sangat menyanjung sang sepupu.“Tuan, kita disuruh ke rumah sakit. Rendra jatuh dari tangga, dan keadaannya drop.”Perkataan Bimo menyentak Kamila dari lamunannya, b
“Enam tahun penjara?” tanya Aron dengan wajah kaku. “Benar, Tuan. Namun, hukuman yang sebenarnya dapat bervariasi tergantung pada pertimbangan hakim dan fakta yang terungkap dalam proses peradilan. Hakim bisa saja menjatuhkan hukuman penjara di bawah atau di atas enam tahun. Tapi balik lagi, itu semua tergantung pada keadaan kasus dan pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti keadaan pelaku, korban, serta faktor-faktor pengurangan hukuman lainnya.”“Apanya yang enam tahun!” Seruan itu membuat Aron menoleh, ia tersentak ketika melihat Kamila yang menatapnya marah.“Jawab! Kenapa kau lakukan hal ini, Mas!” Kamila memukul dada Aron kuat, meremas kemeja yang pria itu kenakan dengan air mata yang sudah berjatuhan. “Ka–kamila … kau di sini?” tanya Aron linglung. Mengapa sang istri ke hotel tempatnya menginap? Wanita itu mendongak. “Ya, aku ke sini untuk membawamu pulang. Sudah cukup kebodohan yang kau lakukan, Mas. Ayo, lupakan semuanya. Ak–aku ….” Napas Kamila tercekat, tak bisa melanj
“Ibu, mengapa Ayah selalu menemuiku dan Saga di luar? Memangnya kenapa tidak di rumah saja?” tanya Ayana sembari menatap ke arah Kamila.Gadis kecil itu melihat kembali penampilannya pada cermin, setelah merasa cantik ia kembali menghadap ke arah Kamila.“Ayah sedang bekerja, Sayang. Mungkin setelah semuanya selesai baru dia pulang.” Wanita itu menjawab pelan, meski terdapat kekhawatiran pada raut wajahnya. “Oh … begitu. Padahal aku kangen tahu dibacakan dongeng sama Ayah. Memangnya Ibu tidak kangen sama Ayah?” Kamila melotot kaget, setelah itu tertawa canggung. “Ah, Yaya sangat cantik hari ini. Bagaimana jika sore ini kita ke taman? Ajak Aga juga nanti.” Ia mengalihkan pembicaraan, dan benar saja Ayana langsung mengangguk.“Siap, Bu! Nanti aku boleh makan ice cream ya, soalnya sudah satu minggu aku libur.” Gadis kecil itu mengerjap lucu, berharap Kamila luluh. “Tentu, Sayang. Hari ini Yaya dan Aga boleh makan ice cream, dan sekarang ambil tasnya ya.” Kamila mengacak rambut Ayana g