Siapapaun yang mau mendekati Bimo, jangan rusak dia pliss .... Dia masih polos :)
Kini kandungan Kamila memasuki usia enam minggu, perutnya masih terlihat rata tentunya, tapi Kamlia selalu berhati-hati sekarang. Ia juga sebisa mungkin menghindari masalah agar tak mendapatkan hukuman. Wanita itu dengan lincah menyiapkan makan siang untuk keluarga Dewangga, sebenarnya ada tiga lagi juru masak lainnya. Tapi yang dua itu sudah dipindahkan ke bagian kebersihan, karena pelayan yang sebelumnya sudah berhenti. Dan tinggalah Kamila serta Sari sebagai juru masak—walau wanita itu lebih sering leha-leha daripada membantunya. “Kau sudah membuat sup daging, tidak? Kata Bibi Atika hari ini Tuan Tama minta dibuatkan untuk makan siangnya,” celetuk Sari sambil memakan pisang goreng di hadapannya, memberikan Kamila bekerja seorang diri. “Tidak,” jawab Kamila singkat, ia masih menggoreng ayam serta menumis. Lagi pula, sejak kapan ayah mertuanya makan siang di rumah? “Lho, kenapa jawabnya nyolot sekali? Padahal kau tinggal membuat sup daging saja, apa susahnya, sih?” ketus Sari sew
“Selamat siang, Ayah. Mas Aron,” sapa Kamila gugup, netranya bersirobok dengan mata hazel menawan sang suami. “Silahkan duduk, Kamila. Dan mari kita makan siang bersama.” Tama menyambut ramah, sedangkan Bimo sudah pergi entah ke mana. “Baik, Ayah. Terima kasih.” Kamila mengambil duduk di samping Aron, pria itu tak sungkan menatapnya secara terang-terangan. Ia menjadi salah tingkah sendiri, takut ada yang salah dengan penampilannya.Mereka mulai menyantap hidangan makan siang, sesekali Tama mengajak Kamila mengobrol. Walau terdapat deheman tak suka dari Aron karena berbicara saat makan. "Kupasin." Kamila menoleh ke arah sampingnya ketika Aron menyerahkan sepiring udang padanya, wanita itu mengulum bibirnya dan tak lupa mengupas kulit udang goreng itu untuk sang suami. "Halah, biasanya juga sendiri. Dasar manja," sindir Tama sambil menyeruput kuah sup daging di depannya. "Ayah makan saja, ini urusan suami istri!" ketus Aron datar. Ia kembali menyodorkan sepotong ayam pada Kamila.
Sore harinya, kedua insan itu sedang mengobrol hangat. “Mas, nanti kalau adik kecil lahir namanya siapa?” Relin mendongak menatap pada sang suami.“Kita belum tahu jenis kelaminnya, Sayang,” jawab pria itu sembari mengusap surai lembut wanita dicintai, yang sedang bersandar pada dada bidangnya. Panji tak pernah menduga jika Relin menjadi istrinya, ia sudah memiliki perasaan ini dari lama. Namun, ia pendam dalam-dalam. Puncaknya ketika orang tuanya mengatakan jika Aron akan dijodohkan dengan anak dari teman Abraham, Panji tentu saja terkejut bukan main, dan yang lebih mengherankannya lagi, Aron menerima begitu saja. Padahal ia tahu betul bagaimana watak pria itu.Panji pun mengambil langkah ekstrim, dengan cara meminta pada orang tuanya untuk meminang Relin, dan untungnya Relin serta kedua orang tuanya memberinya lampu hijau. Lalu secepat kilat ia menyiapkan segalanya, takut mereka berubah pikiran. “Memangnya Mas Panji maunya perempuan atau laki-laki?” tanya Relin. “Terserah apa yan
“Cedera otak traumatik?” Lirih Aron dengan tatapan kosong ke depan. “Benar, Tuan.” Dokter itu membenarkan letak kacamatanya yang melorot. ”Cedera otak traumatik sendiri dikarenakan benturan keras saat kecelakaan, terjatuh, dan banyak faktor lainnya.”“Lalu mengapa ayah saya tidak kunjung siuman?” Aron kembali menimpali, rasa khawatir begitu menyerbunya sekarang. Dokter itu terdiam sejenak, lalu menatap Aron serius. “Dokter Tama tidak merespon terhadap rangsangan seperti rasa sakit, cahaya dan suara. Jadi, dengan berat hati saya sampaikan jika beliau mengalami koma.” Sementara itu, Bimo sedang mengintrogasi supir pribadi Tama yang sudah siuman, pria itu mengalami luka robek pada pelipisnya serta cedera engkel kaki. “Jadi, mobil yang menabrak kalian itu kehilangan kendali?” tanya Bimo.“Benar Tuan, awalnya Tuan Tama ingin ke kebun buah dulu, tapi beliau takutnya kemalaman, dan kamil langsung ke kebun bunga. Dalam perjalanan pulang, baru lima ratus meter keluar dari kabun itu, tiba-tib
Suara rintihan dari kamar mandi membangunkan Kamila dari tidur nyenyaknya, ia melihat ke samping yang kosong. Kening Kamila berkerut, lalu menoleh pada jam dinding. Sudah pukul dua dini hari, ia dengan cepat bangkit dari tidurnya karena suara rintihan itu terus terdengar. “Tuan, apakah Anda di dalam?” tanyanya takut-takut. Tanpa sadar Kamila membuka pintu kamar mandi, dan menemukan Aron yang sudah terduduk lemas. “Ya, Tuhan!” serunya sembari memegang bahu pria itu, wajahnya pucat pasti serta keringat dingin membanji tubuhnya, Ia langsung membantu Aron berdiri, walau ukuran tubuhnya sangat kecil dibandingkan sang suami. Kamila membaringkan Aron susah payah, ketika hendak mengambil ponselnya untuk menghubungi Bimo. Aron langsung mencekal tangan wanita itu, membuat pergerakan sang empu terhenti. “Peluk saya, wangimu sangat menenangkan. Dan besok jangan lupa belikan saya parfum murahan yang kau pakai, mengerti?!” Bagaimana mungkin masih bisa menghina seseorang dalam keadaan sakit sepert
“Sebaiknya Anda istirahat yang cukup Tuan, nanti saya akan berikan vitamin agar tidak mual-mual kembali. Dan mungkin ini karena kehami—” “Dokter Meyda, maaf menyela ucapan Anda. Apa Tuan Aron perlu dibawa ke rumah sakit?” timpal Bimo cepat, ia menyorot dokter cantik itu dalam. Seolah berbicara lewat tatapan mata. “Ah, tidak perlu.” Dokter Meyda tersenyum canggung, melirik kembali pada Bimo yang menatapnya tajam.“Jika sudah selesai, mari saya antarkan keluar, Dokter,” ungkap Bimo. “Kau ini agresif sekali, apa kau mulai tertarik dengan lawan jenis, Bimo? Jika, iya. Mandilah terlebih dahulu, baumu sangat menyengat,” sindir Aron dengan wajah yang sangat menjengkelkan. Jika membunuh majikan tak mendapat hukuman, ingatkan Bimo untuk menyekap Aron dan membuangnya ke sarang buaya. ”Baik, Tuan,” balasannya kalem. Berbanding terbalik dengan jeritan hatinya. Setelah kedua orang itu pergi, Kamila yang sejak tadi diam menatap ke arah Aron. “Saya permisi dulu, Tuan. Karena masih ada pekerjaan
Setelah melewati mood swing beberapa hari ini, serta penciuman yang sangat aneh. Aron sudah kembali ke setelan awal. Tapi sikapnya agak sedikit manja pada Kamila, apalagi ia sekarang memakai parfum yang sama dengan wanit itu.Walau harganya di bawah lima puluh ribu, tapi Aron sangat candu—mengalahkan parfum mewahnya yang seharga jutaan rupiah. “Kau sudah memberikan hadiiah yang saya suruh, Bimo?” tanya Aron sembari menatap lurus pada komputer di depannya, menampilkan grafik serta angka. “Sudah, Tuan. Tas mewah serta bunga untuk Nyonya Relin, seperti kemarin,” jwab Bimo datar.Memang beberapa hari ini Aron rutin mengirimkan Relin barang mewah serta hal-hal yang wanita itu sukai, katanya sebagai bentuk rasa bersalah akibat mengatakan jika Relin bau bunga kuburan. Bahkan saat itu Relin langsung menangis dan meminta pulang pada Panji, ia juga mogok bicara pada Aron. Sebagai bentuk pelampiasan atas kekesalan serta rasa marahnya.“Tapi Tuan muda, Tuan Panji melarang Anda mebgirimkan semua
“Semuanya akan baik-baik saja, Bibi.” Relin menepuk lembut bahu Dona yang menangis dalam pelukannya. “Pa–paman kamu, Relin. Dia akan baik-baik saja, bukan?” bisiknya lirih. Ia begitu kaget kala Aron memberitahunya, dan mereka semua bergegas menuju rumah sakit. “Pasti Bibi, bukankah Paman Tama adalah orang yang kuat? Pasti dia bisa melewati ini semua,” balas Relin menenangkan. Relin masih mengingat jelas kala Panji membangunkannya dengan wajah pucat pasi, dan ia hanya terbengong saat sang suami mengendarai roda empatnya menuju rumah sakit Dewangga. Suara tangisan Dona serta wajah datar Aron adalah hal pertama yang ia lihat. “Mas Panji, Aron mau ke mana?” tanya Relin ketika melihat Aron yang sedang tergesa-gesa bangkit dari duduknya diikuti oleh Bimo. “Tidak tahu, Sayang. Mungkin mau mengurus sesuatu yang penting.” Pria itu menjawab serak sambil terus mencoba menghubungi orang tuanya. “Halo Ayah, tolong ke rumah sakit sekarang,” kata Panji setelah panggilanya tersambung. Pria it
Kamila menatap kosong ke depan, Aron yang sejak tadi memeluknya ikut merasa sedih. Ini semua adalah mimpi buruk baginya, ia hanya tertidur sebentar di mobil. Lalu tiba-tiba sudah berakhir di rumah sakit, setelah siuman justru menerima berita kehilangan sang buah hati. “Aku egois ya, Mas? Andai aku tidak membuntuti Relin, mungkin anak kita masih ada di sini,” kata Kamila setelah kebisuan panjang. Wanita itu mengusap perutnya yang rata, satu bulan berlalu. Duka itu masih menyapa, sakit dan perih akan kehilangan yang tak pernah terduga. “Sayang, dengarkan aku.” Aron menangkup wajah Kamila, menatap mata wanita yang dicintainya itu. “Kau boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Aku tidak mau Ayana serta Saga merasa tersisihkan.” Kamila tertegun, tanpa sadar sudah abai dengan keberadaan si kembar lantaran larut akan kesedihan. “Ayana, Saga ….” Lirih wanita itu. “Ya, mereka takut mendekat padamu. Terkadang Ayana maupun Saga hanya melihatmu dari celah pintu,” jelas Aron, membuang pa
Nyatanya, kebahagian itu tak pernah berpihak padaku ~Kamila Cahaya *** Semua yang terjadi di hadapannya begitu cepat, menarik napas pun terasa sulit. Kamila memegang tangan dingin Aron. Ia bodoh dan ceroboh, sehingga melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. “Tolong! Siapa pun tolong!” Wanita itu menjerit seraya memukul kaca mobilnya. Tak berselang lama, suara pecahan kaca serta teriakan orang-orang mulai terdengar. Sedangkan Kamila, bukannya merasa lega. Justru ia semakin panik kala melihat darah yang mengaliri betisnya. Kamila tercekat, napasnya memburu tak beraturan. Ia menoleh ke arah Aron, memegang tangan sang suami kuat. Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. *** Masayu duduk lemas tak bertenaga setelah menerima kabar jika mobil yang Relin serta Sandra tumpangi menabrak pembatas jembatan. Lantas jatuh ke bawah dan sampai sekarang tak bisa ditemukan. Belum lagi Kamila, Aron serta Bimo kecelakaan di lokasi yang sama dengan Relin, tapi bedanya mereka hanya
“Mas .…” Kamila menyentuh pelan bahu Aron. Ia menggigit bibir bawah ketika melihat tatapan kosong sang suami. “Mila, Erza pergi untuk selamanya. Apakah sikapku keterlaluan selama ini? Aku kecewa padanya. Tapi bukan berarti dia—” Napas Aron tercekat, pria itu mendongkak, menghalau air mata yang hendak keluar. Ia kembali menunduk, melihat gundukan tanah di hadapannya. Erza memeng tak bisa diselamatkan, pria itu ditemukan sudah tak bernyawa. Mengingat terlalu banyak menghirup asap, serta luka bakar yang yang didapat. “Mas, aku tahu jika ini pasti sangat berat. Ada aku di sini, Mas tidak sendiri.” Kamila memeluk sang suami, ia bisa merasakan napas lelah pria itu yang berhembus di ceruk lehernya. “Tuan, hujan sudah mulai turun. Apakah tidak sebaiknya kita berteduh?” tanya Bimo pelan. Tak tahan melihat Aron yang mendapat kesedihan secara bertubi-tubi. Bimo sudah menganggap pria itu seperti adiknya sendiri, dan ia ikut merasakan kesakitan Aron.Aron melepas pelukannya dari Kamila, lant
“Kemungkinan besar dia dijatuhi hukuman seumur hidup, mengingat Erza juga terlibat dalam pembunuhan berencana. Ayahnya pun sudah tutup mata dan memutuskan hubungan dengan Erza. Sementara Relin, hingga saat ini belum ditemukan,” jelas Tama menatap ke arah Aron yang sedang menatap jauh ke depan. Satu bulan sejak terakhir kali ia bertemu dengan Erza, Tama ingat betul kala orang tua Panji menyumpahi Erza dengan kemarahan membeli buta, tak lupa mengutuk menantunya yang tidak lain adalah Relin, meskipun wanita itu menghilang entah ke mana.“Apa si Brengsek itu menyesali semua perbuatannya?” tanya Aron dingin, setelah keheningan panjang.Tama menghembuskan napas berat, meneliti ekspresi sang putra yang terlihat kecewa serta marah. “Tentu saja dia menyesal, seperti yang Ayah katakan satu bulan yang lalu. Jika dia ingin bertemu denganmu untuk meminta maaf, tapi mengingat kau yang tak mau melihat wajahnya. Jadi, Ayah tidak bisa memaksa.”“Syukurlah dia sadar diri, memang orang jahat sepertin
“Setelah saya selidiki semuanya, ternyata Tuan Erza juga yang membakar kebun apel Anda. Dia mengaku telah mengambil cincin Tuan Farzan dan ditaruh di lokasi kejadian, agar kecurigaan kita mengarah padanya,” jelas Bimo. Pria itu menyesal karena dulu sempat berburuk sangka pada Farzan, tapi siangka Erza adalah dalang dari semua ini. Sungguh, tak pernah terbesit dalam pikirannya. Bimo kembali mengalihkan atensi pada Aron, terlihat jelas wajah kecewa serta terluka sang tuan. Ia turut sedih, mengingat Aron serta Erza berteman sejak kecil.“Lalu mengenai kasus Panji bagaimna?” tanya Aron setelh kebungkamn yang cukup panjang. “Sedang diurus oleh pengacara Anda, Tuan Erza juga sudah ditahan. Tadi siang ketika saya ke selnya, dia berpesan ingin melihat Anda,” ungkap Bimo hati-hti. “Tidak akan.” Aron mengeraskan rahang. “Jika saya bertemu dengannya, saya tak yakin jika dia masih bernapas esok hari.” Pria itu mengepalkan tangan, sudah seminggu sejak kematian Rendra, ia sama sekali tidak sudi
“Tunggu dulu, apa maksudnya jika Erza mendonorkan darahnya pada Rendra?” tanya Aron. Mencegah Erza yang hendak mengikuti Relin. “Mengapa kau memikirkan itu! Yang terpenting sekarang kami harus menyelamatkan Rendra!” bantah Relin kuat, menatap Aron tajam. “Bukan maksud saya seperti—” Perkataan Aron terhenti ketika dokter serta suster tergesa-gesa menuju ruangan Rendra. Mereka semua yang melihat itu tentu saja panik. Relin yang hendak masuk langsung dihentikan oleh Farzan. Membuat wanita itu menangis karena panik. “Mas ….” Lirih Kamila sembari memegang lengan Aron. Pria itu tersentak, baru menyadari jika sang istri sedari tadi bersamanya.“Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” kata Aron lembut. Berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya ke arah Relin serta Erza. Satu jam berlalu, seorang dokter keluar. Pria itu menatap keluarga pasien dengan wajah tak terbaca. Lalu berucap, ”Pasien tidak bisa diselamatkan. Dia terlalu banyak kehilangan darah, ditambah lagi dengan penyakit
“Jadi, aku sudah boleh pulang?” tanya Aron sekali lagi. Kamila mengangguk pelan, sudah pukul delapan malam. Lantas mereka keluar dari hotel, menuju kediaman Dewangga. “Apa pun yang terjadi ke depannya, kau harus percaya padaku.” Aron mengecup punggung tangan Kamila, mengabaikan Bimo yang seperti nyamuk di antara mereka.“Ya, asalkan jangan sembunyikan hal besar lagi dariku,” jawab Kamila. Aron mengangguk, mengusap rambut wanita itu lembut. Lalu menyandarkan kepala Kamila di dada bidangnya. “Mengenai Relin, ternyata dulu Mas tidak direstui, ya?” tanya Kamila pelan. Tubuh Aron terlihat menegang, tapi dengan cepat rileks kembali. “Ya, itu dulu. Sekarang ada dirimu da si kembar. Kami juga sudah bahagia dengan jalan hidup masing-masing.” Kamila terdiam, ia pikir Relin begitu diterima di keluarga Aron, mengingat dulu Dona sangat menyanjung sang sepupu.“Tuan, kita disuruh ke rumah sakit. Rendra jatuh dari tangga, dan keadaannya drop.”Perkataan Bimo menyentak Kamila dari lamunannya, b
“Enam tahun penjara?” tanya Aron dengan wajah kaku. “Benar, Tuan. Namun, hukuman yang sebenarnya dapat bervariasi tergantung pada pertimbangan hakim dan fakta yang terungkap dalam proses peradilan. Hakim bisa saja menjatuhkan hukuman penjara di bawah atau di atas enam tahun. Tapi balik lagi, itu semua tergantung pada keadaan kasus dan pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti keadaan pelaku, korban, serta faktor-faktor pengurangan hukuman lainnya.”“Apanya yang enam tahun!” Seruan itu membuat Aron menoleh, ia tersentak ketika melihat Kamila yang menatapnya marah.“Jawab! Kenapa kau lakukan hal ini, Mas!” Kamila memukul dada Aron kuat, meremas kemeja yang pria itu kenakan dengan air mata yang sudah berjatuhan. “Ka–kamila … kau di sini?” tanya Aron linglung. Mengapa sang istri ke hotel tempatnya menginap? Wanita itu mendongak. “Ya, aku ke sini untuk membawamu pulang. Sudah cukup kebodohan yang kau lakukan, Mas. Ayo, lupakan semuanya. Ak–aku ….” Napas Kamila tercekat, tak bisa melanj
“Ibu, mengapa Ayah selalu menemuiku dan Saga di luar? Memangnya kenapa tidak di rumah saja?” tanya Ayana sembari menatap ke arah Kamila.Gadis kecil itu melihat kembali penampilannya pada cermin, setelah merasa cantik ia kembali menghadap ke arah Kamila.“Ayah sedang bekerja, Sayang. Mungkin setelah semuanya selesai baru dia pulang.” Wanita itu menjawab pelan, meski terdapat kekhawatiran pada raut wajahnya. “Oh … begitu. Padahal aku kangen tahu dibacakan dongeng sama Ayah. Memangnya Ibu tidak kangen sama Ayah?” Kamila melotot kaget, setelah itu tertawa canggung. “Ah, Yaya sangat cantik hari ini. Bagaimana jika sore ini kita ke taman? Ajak Aga juga nanti.” Ia mengalihkan pembicaraan, dan benar saja Ayana langsung mengangguk.“Siap, Bu! Nanti aku boleh makan ice cream ya, soalnya sudah satu minggu aku libur.” Gadis kecil itu mengerjap lucu, berharap Kamila luluh. “Tentu, Sayang. Hari ini Yaya dan Aga boleh makan ice cream, dan sekarang ambil tasnya ya.” Kamila mengacak rambut Ayana g