Aron tampak cerah pagi ini, Bimo saja terheran-heran melihat sang majikan. Namun, biarlah— ia tak ingin memikirkannya, justru bagus karena dengan begitu ia bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan tenang“Selamat pagi, Tuan. Hari ini ada meeting selesai makan siang.” Lapor Bimo.Pria itu tersenyum lebar. “Baik, persiapkan semuanya. Hari ini kau tak perlu mewakili saya.” Aron berucap santai karena suasana hatinya sangat membaik, mengingat tadi malam ia makan malam romantis bersama sang istri. Apalagi sikap lembut Kamila yang membuat berdebar kala mengingatnya.“Siap, Tuan!” jawab Bimo saraya kembali mengambil duluk. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu, disusul oleh eksistensi seorang manajer yang melangkah masuk dengan wajah pucat pasif“Selamat pagi, Tuan Aron. Saya ingin menginformasikan jika ada pihak berwajib yang ingin bertemu,” ujar pria itu.Sontak saja Aron langsung bangkit dari duduknya, begitu juga dengan Bimo.“Ada apa memangnya?” tanya Arun to the point.“Sekitar
“Seharusnya kasus ini tak perlu dibesarkan, Anda cukup beritahu pihak rumah sakit dan kami sendiri yang akan mengurusnya. Tidak sampai melibatkan awak media sekalipun,” kata Aron santai. “Jadi, Anda menganggap remeh keselamatan pasien? Apa rumah sakit sebesar ini memang sangat buruk perihal keamanan, sampai-sampai ada orang asing masuk dan ingin membunuh putri saya. Bagaimana jika itu terjadi pada keluarga Anda?” tanya pria dengan setelan formalnya. Wajah santai yang Aron tunjukkan seketika berubah menjadi ekspresi dingin, ia tak suka jika ada yang membawa-bawa nama keluarganya. “Saya mengatakan beritahu pihak rumah sakit, dan di mana letak meremehkan keselamatan pasien? Justru dokter kami mengorbankan dirinya demi keselamatan putri Anda.” Pria itu tampak gelagapan, sementara pihak kepolisian yang ada di sana sama sekali belum mendapatkan kesempatan berbicara. Karena baik Aron, atau pun lawan bicaranya, sama-sama saling melempar opini sejak duduk satu jam yang lalu. “Pak Reno—” Aro
Kamila membuka mata secara perlahan, ia tersentak ketika melihat Aron yang sudah berada di sampingnya. Wanita itu mengambil ponsel di atas nakas dan melihat jam yang sudah menunjukkan pukul enam pagi, ia bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka, setelahnya kembali duduk di samping Aron yang sedang tertidur pulas. Kamila menghembuskan napas, bahkan ia tak tahu Aron pulang jam berapa. Wanita itu memejamkan mata sebari menyadarkan punggung pada headboard, mengingat kembali apa yang ia temukan pada kemeja sang suami kemarin malam.“Engh … Sayang,” bisik Aron serak. Ia menggeliat seraya merentangkan tangan, berharap Kamila masuk ke dalam pelukannya. “Sudah bangun,” ucap wanita itu sembari mengacak surai halus pria di hadapannya. “Peluk …,” pinta Aron serak. Kamila tersenyum tipis, lalu memeluk Aron dan menepuk pelan punggung pria itu, membuat sang empu kembali memejamkan mata. “Katanya hari ini mau jalan-jalan pagi, masa lanjut tidur,” celetuk Kamila. Aron kembali mendusel kepalany
“Akhirnya kau menyetujuinya, aku pastikan jika Paman Atma bisa membantumu.” Sandra tersenyum simpul seraya menyantap sarapannya. Ya, mereka sedang di kantin rumah sakit saat ini. Tentunya ada Bimo juga, pria itu selalu mengekori ke mana pun sang tuan pergi.“Sebenarnya ini tidak perlu dibawa ke jalur hukum, tapi sepertinya Pak Reno ingin bermain-main. Jadi, semoga pamanmu itu bisa menanganinya,” balas Aron santai. Pada akhirnya ia menyetuji jiak kasus ini ditangani oleh paman Sandra. Mengingat Kenanga yang tak mungkin ke Indonesia dalam janga waktu dekat ini. Sandara mengelap bibir menggunakan tisu, lantas menatap Aron serius. “Tentu saja, kau tak perlu khawatir. Dan mungkin Paman Atma akan sampai ke kota ini nanti malam.” Setelahnya mereka kembali melanjutkan sarapan, sesekali Sandra mengajak Aron berbincang, walau hanya ditanggapi gumanan oleh sang empu. Dan itu semua tak lepas dari pengamatan Bimo.Suara deringan ponsel Bimo membuat yang ada di meja makan itu langsung menoleh k
“Ibu, besok malam kita jadi ke pasar malam,’kan?” tanya Ayana memastikan.Kamila tersenyum seraya mengelus surai gadis kecil itu. “Iya, Sayang. Yaya sudah mengulang pertanyaan ini sama sebanyak lima kali,” godanya sembari mencolek ujung hidung sang putri. “Apakah seperti di Bali? Aku ingat betul rumah hantu yang kita kunjungi waktu itu,” celetuk Saga. “Benar, seperti yang kita kunjungi waktu itu. Aga juga tidak sabar ya, Nak?” Kamila bertanya lembut, tak lupa mengacak surai halus putranya.Saga menangguk kuat. “Iya, Bu! Aku ingin ke rumah hantu lagi, sehabis itu menaiki bianglala.”“Iuh! Sok sekali, padahal ke kamar mandi saja minta ditemani. Hei, kau ini masih kecil. Tolong jangan ke rumah hantu, memangnya kau tak tahu dengan rumor yang beredar?” Pertanyan bak orang dewasa itu terlontar dari mulut gadis mungil yang selalu tampak menggemaskan itu.“Rumor apa? Kau jangan mengada-ngada, Yaya!” Kesal Saga, merapatkan tubuhnya pada sang ibu. Apalagi ini sudah pukul sembilan malam, tak l
Kamila membeku, secara perlahan ia berbalik, menghadap tepat ke arah Aron. “Kalau ada masalah, ayo berdiskusi. Jangan tinggal tidur,” tegas pria itu serius. Kamila menelan ludah susah payah, menatap lurus pada Aron. “Mengapa harus menyembunyikan kekacauan yang terjadi padaku? Apa aku tidak berhak tahu semua yang terjadi?” Aron bungkam mencoba untuk mencerna ucapan Kamila. “Seharusnya jika ada masalah di rumah sakit atau apapun itu menyangkut pekerjaan Mas, tolong beritahu aku ya, daripada tahu dari orang lain. Itu sangat tidak mengenakkan,” lanjut wanita itu. Pria itu menghembuskan napas berat, entah dari mana sang istri mengetahuinya. “Atau mungkin aku memang tidak layak untuk mendengar semua permasalahan—” Perkataan Kamila terhenti kala Aron memeluknya. “Entah kau mendengar berita ini dari mana, dan siapa pun itu aku mengutuknya. Padahal aku sengaja menyembunyikannya agar kau tak berpikir berat, lalu hanya fokus kehamilanmu saja,” ungkap pria itu diakhiri kecupan manis pada ke
“Ada tamu rupanya.” Tama serta Farzan yang sedang mengobrol langsung menoleh ke sumber suara, terlihat Arkam yang melangkah mendekat. “Aka, kenapa tidak memberitahuku agar dijemput ke bandara,” ucap Farzan seraya menyalami pria paruh baya itu. “Tidak apa-apa. Lagi pula, ada yang jemput aku di bandara,” balas Arkam. Lantas mengambil duduk dan berhadapan dengan Tama serta Farzan. Tama yang sejak tadi memperhatikan pria itu lantas menyalaminya, setelah itu kembali duduk. “Sudah lama sekali kita tidak bertemu, Tama. Dan kau semakin tampan saja, apalagi Aron—keturunan Abraham memang tidak bisa diragukan lagi,” canda Arkam seraya melempar senyum simpul. Melihat tak ada tanggapan dari Tama, Farzan langsung mengambil alih, agar suasana tak terasa canggung. “Aka, berapa lama di sini?” tanya farzan. “Mungkin sekitar dua minggu, aku dan Aron juga akan membahas mengenai beberapa hal tentang resort. Ah, omong-omong berita tentang Rumah Sakit Dewangga, bagaimana? Aku dengar katanya Reno men
Aron keluar dari mobilnya tergesa-gesa, sudah pukul sepuluh malam, saking asiknya berbicara dengan Sandra serta Atma, ia sampai melupakan janjinya dengan keluarga kecilnya.“Di mana Kamila?” tanyanya pada hari yang kebetulan lewat. Napas pria itu terdengar memburu. “Sedang keluar bersama si kembar dan Pak Bastara, serta ada wanita satu lagi. Tapi saya tidak tahu namanya, Tuan,” jawab Sari gugup.Aron mengepalkan tangan, rahangnya mengeras ketika mendengar nama Bastara. Dari dulu sampai sekarang—entah kenapa lelaki itu tetap membuatnya merasa tersaingi. “Lalu di mana Ibu dan ayah saya? Kenapa mereka membiarkan Kamila pergi begitu saja,” tekan pria itu tajam.“Eh—” Sari gelagapan, menggaruk tengkuk yang tak gatal. “Nyonya Dona dan Tuan Tama belum pulang.” Aron mendengkus, dengan cepat kembali pada mobilnya yang terparkir. Namun, ketika melihat roda empat yang memasuki pekarangan rumahnya, pria itu lantas berdiri kaku. Menunggu pemilik roda empat itu keluar, dan benar saja … di sana
Kamila menatap kosong ke depan, Aron yang sejak tadi memeluknya ikut merasa sedih. Ini semua adalah mimpi buruk baginya, ia hanya tertidur sebentar di mobil. Lalu tiba-tiba sudah berakhir di rumah sakit, setelah siuman justru menerima berita kehilangan sang buah hati. “Aku egois ya, Mas? Andai aku tidak membuntuti Relin, mungkin anak kita masih ada di sini,” kata Kamila setelah kebisuan panjang. Wanita itu mengusap perutnya yang rata, satu bulan berlalu. Duka itu masih menyapa, sakit dan perih akan kehilangan yang tak pernah terduga. “Sayang, dengarkan aku.” Aron menangkup wajah Kamila, menatap mata wanita yang dicintainya itu. “Kau boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Aku tidak mau Ayana serta Saga merasa tersisihkan.” Kamila tertegun, tanpa sadar sudah abai dengan keberadaan si kembar lantaran larut akan kesedihan. “Ayana, Saga ….” Lirih wanita itu. “Ya, mereka takut mendekat padamu. Terkadang Ayana maupun Saga hanya melihatmu dari celah pintu,” jelas Aron, membuang pa
Nyatanya, kebahagian itu tak pernah berpihak padaku ~Kamila Cahaya *** Semua yang terjadi di hadapannya begitu cepat, menarik napas pun terasa sulit. Kamila memegang tangan dingin Aron. Ia bodoh dan ceroboh, sehingga melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. “Tolong! Siapa pun tolong!” Wanita itu menjerit seraya memukul kaca mobilnya. Tak berselang lama, suara pecahan kaca serta teriakan orang-orang mulai terdengar. Sedangkan Kamila, bukannya merasa lega. Justru ia semakin panik kala melihat darah yang mengaliri betisnya. Kamila tercekat, napasnya memburu tak beraturan. Ia menoleh ke arah Aron, memegang tangan sang suami kuat. Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. *** Masayu duduk lemas tak bertenaga setelah menerima kabar jika mobil yang Relin serta Sandra tumpangi menabrak pembatas jembatan. Lantas jatuh ke bawah dan sampai sekarang tak bisa ditemukan. Belum lagi Kamila, Aron serta Bimo kecelakaan di lokasi yang sama dengan Relin, tapi bedanya mereka hanya
“Mas .…” Kamila menyentuh pelan bahu Aron. Ia menggigit bibir bawah ketika melihat tatapan kosong sang suami. “Mila, Erza pergi untuk selamanya. Apakah sikapku keterlaluan selama ini? Aku kecewa padanya. Tapi bukan berarti dia—” Napas Aron tercekat, pria itu mendongkak, menghalau air mata yang hendak keluar. Ia kembali menunduk, melihat gundukan tanah di hadapannya. Erza memeng tak bisa diselamatkan, pria itu ditemukan sudah tak bernyawa. Mengingat terlalu banyak menghirup asap, serta luka bakar yang yang didapat. “Mas, aku tahu jika ini pasti sangat berat. Ada aku di sini, Mas tidak sendiri.” Kamila memeluk sang suami, ia bisa merasakan napas lelah pria itu yang berhembus di ceruk lehernya. “Tuan, hujan sudah mulai turun. Apakah tidak sebaiknya kita berteduh?” tanya Bimo pelan. Tak tahan melihat Aron yang mendapat kesedihan secara bertubi-tubi. Bimo sudah menganggap pria itu seperti adiknya sendiri, dan ia ikut merasakan kesakitan Aron.Aron melepas pelukannya dari Kamila, lant
“Kemungkinan besar dia dijatuhi hukuman seumur hidup, mengingat Erza juga terlibat dalam pembunuhan berencana. Ayahnya pun sudah tutup mata dan memutuskan hubungan dengan Erza. Sementara Relin, hingga saat ini belum ditemukan,” jelas Tama menatap ke arah Aron yang sedang menatap jauh ke depan. Satu bulan sejak terakhir kali ia bertemu dengan Erza, Tama ingat betul kala orang tua Panji menyumpahi Erza dengan kemarahan membeli buta, tak lupa mengutuk menantunya yang tidak lain adalah Relin, meskipun wanita itu menghilang entah ke mana.“Apa si Brengsek itu menyesali semua perbuatannya?” tanya Aron dingin, setelah keheningan panjang.Tama menghembuskan napas berat, meneliti ekspresi sang putra yang terlihat kecewa serta marah. “Tentu saja dia menyesal, seperti yang Ayah katakan satu bulan yang lalu. Jika dia ingin bertemu denganmu untuk meminta maaf, tapi mengingat kau yang tak mau melihat wajahnya. Jadi, Ayah tidak bisa memaksa.”“Syukurlah dia sadar diri, memang orang jahat sepertin
“Setelah saya selidiki semuanya, ternyata Tuan Erza juga yang membakar kebun apel Anda. Dia mengaku telah mengambil cincin Tuan Farzan dan ditaruh di lokasi kejadian, agar kecurigaan kita mengarah padanya,” jelas Bimo. Pria itu menyesal karena dulu sempat berburuk sangka pada Farzan, tapi siangka Erza adalah dalang dari semua ini. Sungguh, tak pernah terbesit dalam pikirannya. Bimo kembali mengalihkan atensi pada Aron, terlihat jelas wajah kecewa serta terluka sang tuan. Ia turut sedih, mengingat Aron serta Erza berteman sejak kecil.“Lalu mengenai kasus Panji bagaimna?” tanya Aron setelh kebungkamn yang cukup panjang. “Sedang diurus oleh pengacara Anda, Tuan Erza juga sudah ditahan. Tadi siang ketika saya ke selnya, dia berpesan ingin melihat Anda,” ungkap Bimo hati-hti. “Tidak akan.” Aron mengeraskan rahang. “Jika saya bertemu dengannya, saya tak yakin jika dia masih bernapas esok hari.” Pria itu mengepalkan tangan, sudah seminggu sejak kematian Rendra, ia sama sekali tidak sudi
“Tunggu dulu, apa maksudnya jika Erza mendonorkan darahnya pada Rendra?” tanya Aron. Mencegah Erza yang hendak mengikuti Relin. “Mengapa kau memikirkan itu! Yang terpenting sekarang kami harus menyelamatkan Rendra!” bantah Relin kuat, menatap Aron tajam. “Bukan maksud saya seperti—” Perkataan Aron terhenti ketika dokter serta suster tergesa-gesa menuju ruangan Rendra. Mereka semua yang melihat itu tentu saja panik. Relin yang hendak masuk langsung dihentikan oleh Farzan. Membuat wanita itu menangis karena panik. “Mas ….” Lirih Kamila sembari memegang lengan Aron. Pria itu tersentak, baru menyadari jika sang istri sedari tadi bersamanya.“Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” kata Aron lembut. Berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya ke arah Relin serta Erza. Satu jam berlalu, seorang dokter keluar. Pria itu menatap keluarga pasien dengan wajah tak terbaca. Lalu berucap, ”Pasien tidak bisa diselamatkan. Dia terlalu banyak kehilangan darah, ditambah lagi dengan penyakit
“Jadi, aku sudah boleh pulang?” tanya Aron sekali lagi. Kamila mengangguk pelan, sudah pukul delapan malam. Lantas mereka keluar dari hotel, menuju kediaman Dewangga. “Apa pun yang terjadi ke depannya, kau harus percaya padaku.” Aron mengecup punggung tangan Kamila, mengabaikan Bimo yang seperti nyamuk di antara mereka.“Ya, asalkan jangan sembunyikan hal besar lagi dariku,” jawab Kamila. Aron mengangguk, mengusap rambut wanita itu lembut. Lalu menyandarkan kepala Kamila di dada bidangnya. “Mengenai Relin, ternyata dulu Mas tidak direstui, ya?” tanya Kamila pelan. Tubuh Aron terlihat menegang, tapi dengan cepat rileks kembali. “Ya, itu dulu. Sekarang ada dirimu da si kembar. Kami juga sudah bahagia dengan jalan hidup masing-masing.” Kamila terdiam, ia pikir Relin begitu diterima di keluarga Aron, mengingat dulu Dona sangat menyanjung sang sepupu.“Tuan, kita disuruh ke rumah sakit. Rendra jatuh dari tangga, dan keadaannya drop.”Perkataan Bimo menyentak Kamila dari lamunannya, b
“Enam tahun penjara?” tanya Aron dengan wajah kaku. “Benar, Tuan. Namun, hukuman yang sebenarnya dapat bervariasi tergantung pada pertimbangan hakim dan fakta yang terungkap dalam proses peradilan. Hakim bisa saja menjatuhkan hukuman penjara di bawah atau di atas enam tahun. Tapi balik lagi, itu semua tergantung pada keadaan kasus dan pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti keadaan pelaku, korban, serta faktor-faktor pengurangan hukuman lainnya.”“Apanya yang enam tahun!” Seruan itu membuat Aron menoleh, ia tersentak ketika melihat Kamila yang menatapnya marah.“Jawab! Kenapa kau lakukan hal ini, Mas!” Kamila memukul dada Aron kuat, meremas kemeja yang pria itu kenakan dengan air mata yang sudah berjatuhan. “Ka–kamila … kau di sini?” tanya Aron linglung. Mengapa sang istri ke hotel tempatnya menginap? Wanita itu mendongak. “Ya, aku ke sini untuk membawamu pulang. Sudah cukup kebodohan yang kau lakukan, Mas. Ayo, lupakan semuanya. Ak–aku ….” Napas Kamila tercekat, tak bisa melanj
“Ibu, mengapa Ayah selalu menemuiku dan Saga di luar? Memangnya kenapa tidak di rumah saja?” tanya Ayana sembari menatap ke arah Kamila.Gadis kecil itu melihat kembali penampilannya pada cermin, setelah merasa cantik ia kembali menghadap ke arah Kamila.“Ayah sedang bekerja, Sayang. Mungkin setelah semuanya selesai baru dia pulang.” Wanita itu menjawab pelan, meski terdapat kekhawatiran pada raut wajahnya. “Oh … begitu. Padahal aku kangen tahu dibacakan dongeng sama Ayah. Memangnya Ibu tidak kangen sama Ayah?” Kamila melotot kaget, setelah itu tertawa canggung. “Ah, Yaya sangat cantik hari ini. Bagaimana jika sore ini kita ke taman? Ajak Aga juga nanti.” Ia mengalihkan pembicaraan, dan benar saja Ayana langsung mengangguk.“Siap, Bu! Nanti aku boleh makan ice cream ya, soalnya sudah satu minggu aku libur.” Gadis kecil itu mengerjap lucu, berharap Kamila luluh. “Tentu, Sayang. Hari ini Yaya dan Aga boleh makan ice cream, dan sekarang ambil tasnya ya.” Kamila mengacak rambut Ayana g