“Mulai sekarang kau harus tidur di kamar ini,” titah Aron ketika menundukkan bokongnya pada pinggir kasur, melihat Kamila yang tampak pucat sehabis diperiksa oleh dokter. “Tapi Tuan, saya—”“Memangnya saya membutuhkan pendapatmu?” delik Aron.”Dan mengapa keadaanmu semakin memburuk, bukankah kau hanya istirahat saja seharian ini?” Kamila gelagapan, ia terbatuk pelan sembari mencoba mencari alasan. “Seperti yang dikatakan Dokter Meyda, saya hanya butuh istirahat total beberapa hari. Dan nanti akan sembuh dengan sendirinya.” “Tetap saja harus minum obat, bagaimana mungkin kau tiba-tiba sembuh dengan sendirinya. Memang kau pikir kau ini makhluk apa?” ejek Aron dengan wajah menyebalkan seperti biasanya. “Maaf Tuan, saya mengaku salah.” Kamila yang waras hanya cukup mengalah, tak ingin berdebat dengan tuan arogan ini. Aron bersedekap dengan dagu terangkat. “Omong-omong saya akan bepergian selama seminggu, sebenarnya saya malas memberitahumu. Tapi mau bagaimana lagi, daripada kau mencari
“Biar Arfin saja, asalkan jangan suruh Kak Mila, dia sedang sakit, Bibi.” Arfin memegang tangan Atika, tak kuasa melihat kakaknya yang sedang membersihkan kandang kuda milik sang tuan muda. Kamila bahkan sudah dua kali muntah, apalagi indra penciumannya sangat sensitif.“Diam kau! Lebih baik kau cepat ke kebun, atau saya laporkan Nyonya Dona!” Ancam Atika. Arfin menggeleng kuat, terhitung sudah enam hari Aron pergi ke desa yang akan dibangun rumah sakit. Dan Arfin sungguh tak tahu lagi harus mengadu kepada siapa, semua orang di kediaman ini seolah bungkam ketika Dona maupun Atika membentak Kamila atau menyuruhnya melakukan apa pun. Ia menatap ke sembarang arah, wajahnya memerah karena lapar dan juga kelelahan. Sepulangnya dari kebun untuk membantu memindahkan keranjang ke teruk muatan, ia sama sekali belum makan. Tangan kecilnya meremas ujung bajunya, adai ada Bimo di sini. Pasti orang kepercayaan Aron itu tak mungkin membuatnya kelaparan serta melihat Kamila kesusahan. Arfin mendo
“Mas Panji?” Relin tersentak dari duduknya, lalu menarik kakinya yang sedang dipijat oleh Erza. Dan melangkah menuju sang suami “Lho, bukankah tugasnya lima bulan, Mas?” tanya wanita itu heran, tapi tak urung untuk memeluk pria itu.Panji tersenyum manis. “Aku khawatir, Sayang. Kata Ibu kau terus muntah dan demam, untuk itu aku izin selama tiga hari,” jawab Panji sambil membalas pelukan istri tercintanya. “Aku senang Mas Panji pulang, dan rasa mualku memang semakin parah. Untung ada Erza yang selalu sigap ke sini, bahkan sampai memijat kakiku.” Relin menarik tangan Panji untuk duduk di sofa. “Kau tahu, Relin menghubungiku saat di kampus. Untung aku sudah tidak ada kelas,” jelas Erza bersedekap dada.Panji tertawa pelan sebelum menjawab, “Maaf Mas, aku jadi tak enak karena permintaan istriku membuat Mas Erza repot.” “Dasar kau ini, sama sahabat sendiri tidak ada ikhlas-ikhlasnya!” Relin menepuk bahu pria itu manja, lalu terkekeh setelahnya. “Santai saja, Panji. Aku sudah kebal dija
“Apa yang sedang Ibu lakukan?” celetuk Aron dari ambang pintu. “I–ibu hanya memeriksa perut Kamila. Katanya tiba-tiba kram.” Dona tersenyum tipis, mencoba menghilangkan wajah tegangnya.Aron melirik Kamila serta ibunya secara bergantian, setelah tak melihat kejanggalan. Ia langsung menarik tangan Kamila. “Ayo ke kamar, biarkan Arfin istirahat.” Kamila menurut, lalu mengikuti langkah Aron. Mengabaikan Dona yang menatap tajam padanya. Pagi harinya, Aron sudah duduk di kursi ruang kerjanya yang terdapat pada kediaman utama. “Jadi, semua ini ulah pelayan tua itu?” “Benar, Tuan, Dia juga menyuruh Nyonya Kamila membersihkan istal,” jawab Bimo. Aron terkekeh dingin. “Apakah karena dia pikir menjadi kepala pelayan bisa lolos dari hukuman?” Bimo tersenyum miring, walau dalam hati sudah ingin menendang wanita tua itu dari kediaman ini. Ia begitu murka ketika mendapat kesaksian serta bukti CCTV yang ada. “Jadi, apakah saya langsung seret ke gudang bawah tanah dan tidur bersama berbagai jen
“Nyonya, tolong saya.” Atika menatap Dona dengan wajah bersimbah air mata, karirnya sedang terancam sekarang. Dan ia tak mungkin mengorbankan itu semua, tapi Atika juga takut kala menerima hukuman yang Aron berikan.“Lho, saya sudah memberikan pilihan, jika jalan satu-satunya kau harus bersimpuh meminta maaf pada Kamila. Toh, kau juga tak mau dipecat atau menerima hukuman untuk tidur selama satu bulan di gudang bawah tanah,” sahut Dona acuh tak acuh. Ia tak mau terlibat dalam tindakan bodoh sang kepala pelayan ini.Atika menggeleng kuat, mana mungkin ia melakukan tindakan rendahan seperti itu, apalagi sampai bersimpuh di kaki Kamila. “Sa–saya ….” Ia menggigit bibir bawah gelisah. “Ya, sudah. Cepat kemasi pakaianmu, dan saya tinggal mencari kandidat baru yang menggantikan posisimu saat ini,” ungkap Dona santai.Atika meremas kedua tangannya, ia sudah mengabdi puluhan tahun, dan bisa-bisanya Dona ingin menggantinya dengan orang baru. Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan. Atika menatap serius
“Waktu itu kau ke mana bersama Bimo?” Kamila menatap Aron gugup. “Maksudnya, Tuan?” Aron mengemudikan kendaraannya dengan santai, sebelum kembali melirik pada Kamila. “Kau sama Bimo ke mana saat pulang malam-malam sambil membawa banyak makanan itu?” ulangnya. Kening Kamila berkerut kala mencoba mengingatnya, sesaat kemudian ia menatap ke arah Aron. “Di dekat supermarket, Tuan. Mungkin tiga puluh menit dari sini.” “Kau masih mengingat lokasinya?” tanya Aron lagi. “Masih, apakah Tuan ingin berbelanja di sana?” Ia mencoba memastikan, walau tak yakin jika Aron akan menyantap makanan di pinggir jalan.“Ya, memangnya hanya Bimo yang bisa membawamu ke sana!” gerutu Aron. Kamila membuang wajah ke arah jendela, lalu mengusap pipinya yang terasa panas. Bolehkah ia berharap jika Aron sedang cemburu? Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, kendaraan yang Aron kendarai sudah sampai di lokasi tujuan. Ia segera memarkirkan roda empatnya, lalu membukakan pintu untuk Kamila. “Ayo,
“Relin?” Kamila tersentak kaget, sudah pukul dua dini hari, ia memang terbangun karena haus. Ketika membuka pintu, wanita itu cukup terkejut karena Relin sudah berdiri di pintu kamarnya dengan piyama tipis. “Hai, maaf sudah mengagetkan.” Relin berujar santai sembari mengintip dari celah pintu kamar yang terbuka. “Aron masih tidur, ya?” Kamila terperangah sebentar, secara perlahan keningnya memunculkan kerutan samar. Ia bingung sendiri atas pertanyaan Relin, bukankah memang ini waktunya istirahat? “Em, ya. Kalau boleh tahu ada keperluan apa, nanti saya sampaikan setelah dia terbangun.” Relin menggeleng singkat. “Tidak usah, awalnya saya ingin jalan-jalan bersamanya. Maaf bukanya lancang, tapi sepertinya saya sedang mengidam,” ungkap wanita itu.Kamila tersenyum kikuk, tak tahu harus menjawab apa. Lagi pula, sejak kapan Relin di kediaman ini, karena sepulangnya jalan-jalan bersama Aron, rumah dalam keadaan sepi, hanya pelayan yang berlalu lalang.“Kalau begitu saya kembali tidur saja,
Waktu menunjukkan pukul delapan malam, dan suasana di dalam ruangan ini semakin kacau. Aron bahkan hanya bisa membeku melihat keluarga besarnya yang menangis pilu ketika melihat jasad sang sepupu di atas hospital bed. Awalanya Aron akan langsung pulang ke kediamannya setelah menerima telepon dari Dona, tapi wanita itu kembali menghubunginya jika jasad Panji akan di bawa ke rumah sakit Dewangga. Sementara itu, ibu dan ayah Panji yang baru datang langsung menangis sejadi-jadinya, pun dengan Relin, wanita itu beberapa kali pingsan dan ditenangkan oleh Dona. Berita tentang kematian Panji seketika menyebar luas, maklum saja mereka adalah orang penting di kota ini. Kamar hotel tempat Panji menginap dipasangkan garis polisi, dan kasusnya masih tahap investigasi oleh pihak berwajib. Selama ini Panji dikenal sebagai pribadi yang santai dan menghindari pertikaian, pria itu juga sangat baik serta menghormati kedua orang tuanya. Tak ada yang menyangka jika Panji akan mengakhiri hidupnya denga
Kamila menatap kosong ke depan, Aron yang sejak tadi memeluknya ikut merasa sedih. Ini semua adalah mimpi buruk baginya, ia hanya tertidur sebentar di mobil. Lalu tiba-tiba sudah berakhir di rumah sakit, setelah siuman justru menerima berita kehilangan sang buah hati. “Aku egois ya, Mas? Andai aku tidak membuntuti Relin, mungkin anak kita masih ada di sini,” kata Kamila setelah kebisuan panjang. Wanita itu mengusap perutnya yang rata, satu bulan berlalu. Duka itu masih menyapa, sakit dan perih akan kehilangan yang tak pernah terduga. “Sayang, dengarkan aku.” Aron menangkup wajah Kamila, menatap mata wanita yang dicintainya itu. “Kau boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Aku tidak mau Ayana serta Saga merasa tersisihkan.” Kamila tertegun, tanpa sadar sudah abai dengan keberadaan si kembar lantaran larut akan kesedihan. “Ayana, Saga ….” Lirih wanita itu. “Ya, mereka takut mendekat padamu. Terkadang Ayana maupun Saga hanya melihatmu dari celah pintu,” jelas Aron, membuang pa
Nyatanya, kebahagian itu tak pernah berpihak padaku ~Kamila Cahaya *** Semua yang terjadi di hadapannya begitu cepat, menarik napas pun terasa sulit. Kamila memegang tangan dingin Aron. Ia bodoh dan ceroboh, sehingga melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. “Tolong! Siapa pun tolong!” Wanita itu menjerit seraya memukul kaca mobilnya. Tak berselang lama, suara pecahan kaca serta teriakan orang-orang mulai terdengar. Sedangkan Kamila, bukannya merasa lega. Justru ia semakin panik kala melihat darah yang mengaliri betisnya. Kamila tercekat, napasnya memburu tak beraturan. Ia menoleh ke arah Aron, memegang tangan sang suami kuat. Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. *** Masayu duduk lemas tak bertenaga setelah menerima kabar jika mobil yang Relin serta Sandra tumpangi menabrak pembatas jembatan. Lantas jatuh ke bawah dan sampai sekarang tak bisa ditemukan. Belum lagi Kamila, Aron serta Bimo kecelakaan di lokasi yang sama dengan Relin, tapi bedanya mereka hanya
“Mas .…” Kamila menyentuh pelan bahu Aron. Ia menggigit bibir bawah ketika melihat tatapan kosong sang suami. “Mila, Erza pergi untuk selamanya. Apakah sikapku keterlaluan selama ini? Aku kecewa padanya. Tapi bukan berarti dia—” Napas Aron tercekat, pria itu mendongkak, menghalau air mata yang hendak keluar. Ia kembali menunduk, melihat gundukan tanah di hadapannya. Erza memeng tak bisa diselamatkan, pria itu ditemukan sudah tak bernyawa. Mengingat terlalu banyak menghirup asap, serta luka bakar yang yang didapat. “Mas, aku tahu jika ini pasti sangat berat. Ada aku di sini, Mas tidak sendiri.” Kamila memeluk sang suami, ia bisa merasakan napas lelah pria itu yang berhembus di ceruk lehernya. “Tuan, hujan sudah mulai turun. Apakah tidak sebaiknya kita berteduh?” tanya Bimo pelan. Tak tahan melihat Aron yang mendapat kesedihan secara bertubi-tubi. Bimo sudah menganggap pria itu seperti adiknya sendiri, dan ia ikut merasakan kesakitan Aron.Aron melepas pelukannya dari Kamila, lant
“Kemungkinan besar dia dijatuhi hukuman seumur hidup, mengingat Erza juga terlibat dalam pembunuhan berencana. Ayahnya pun sudah tutup mata dan memutuskan hubungan dengan Erza. Sementara Relin, hingga saat ini belum ditemukan,” jelas Tama menatap ke arah Aron yang sedang menatap jauh ke depan. Satu bulan sejak terakhir kali ia bertemu dengan Erza, Tama ingat betul kala orang tua Panji menyumpahi Erza dengan kemarahan membeli buta, tak lupa mengutuk menantunya yang tidak lain adalah Relin, meskipun wanita itu menghilang entah ke mana.“Apa si Brengsek itu menyesali semua perbuatannya?” tanya Aron dingin, setelah keheningan panjang.Tama menghembuskan napas berat, meneliti ekspresi sang putra yang terlihat kecewa serta marah. “Tentu saja dia menyesal, seperti yang Ayah katakan satu bulan yang lalu. Jika dia ingin bertemu denganmu untuk meminta maaf, tapi mengingat kau yang tak mau melihat wajahnya. Jadi, Ayah tidak bisa memaksa.”“Syukurlah dia sadar diri, memang orang jahat sepertin
“Setelah saya selidiki semuanya, ternyata Tuan Erza juga yang membakar kebun apel Anda. Dia mengaku telah mengambil cincin Tuan Farzan dan ditaruh di lokasi kejadian, agar kecurigaan kita mengarah padanya,” jelas Bimo. Pria itu menyesal karena dulu sempat berburuk sangka pada Farzan, tapi siangka Erza adalah dalang dari semua ini. Sungguh, tak pernah terbesit dalam pikirannya. Bimo kembali mengalihkan atensi pada Aron, terlihat jelas wajah kecewa serta terluka sang tuan. Ia turut sedih, mengingat Aron serta Erza berteman sejak kecil.“Lalu mengenai kasus Panji bagaimna?” tanya Aron setelh kebungkamn yang cukup panjang. “Sedang diurus oleh pengacara Anda, Tuan Erza juga sudah ditahan. Tadi siang ketika saya ke selnya, dia berpesan ingin melihat Anda,” ungkap Bimo hati-hti. “Tidak akan.” Aron mengeraskan rahang. “Jika saya bertemu dengannya, saya tak yakin jika dia masih bernapas esok hari.” Pria itu mengepalkan tangan, sudah seminggu sejak kematian Rendra, ia sama sekali tidak sudi
“Tunggu dulu, apa maksudnya jika Erza mendonorkan darahnya pada Rendra?” tanya Aron. Mencegah Erza yang hendak mengikuti Relin. “Mengapa kau memikirkan itu! Yang terpenting sekarang kami harus menyelamatkan Rendra!” bantah Relin kuat, menatap Aron tajam. “Bukan maksud saya seperti—” Perkataan Aron terhenti ketika dokter serta suster tergesa-gesa menuju ruangan Rendra. Mereka semua yang melihat itu tentu saja panik. Relin yang hendak masuk langsung dihentikan oleh Farzan. Membuat wanita itu menangis karena panik. “Mas ….” Lirih Kamila sembari memegang lengan Aron. Pria itu tersentak, baru menyadari jika sang istri sedari tadi bersamanya.“Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” kata Aron lembut. Berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya ke arah Relin serta Erza. Satu jam berlalu, seorang dokter keluar. Pria itu menatap keluarga pasien dengan wajah tak terbaca. Lalu berucap, ”Pasien tidak bisa diselamatkan. Dia terlalu banyak kehilangan darah, ditambah lagi dengan penyakit
“Jadi, aku sudah boleh pulang?” tanya Aron sekali lagi. Kamila mengangguk pelan, sudah pukul delapan malam. Lantas mereka keluar dari hotel, menuju kediaman Dewangga. “Apa pun yang terjadi ke depannya, kau harus percaya padaku.” Aron mengecup punggung tangan Kamila, mengabaikan Bimo yang seperti nyamuk di antara mereka.“Ya, asalkan jangan sembunyikan hal besar lagi dariku,” jawab Kamila. Aron mengangguk, mengusap rambut wanita itu lembut. Lalu menyandarkan kepala Kamila di dada bidangnya. “Mengenai Relin, ternyata dulu Mas tidak direstui, ya?” tanya Kamila pelan. Tubuh Aron terlihat menegang, tapi dengan cepat rileks kembali. “Ya, itu dulu. Sekarang ada dirimu da si kembar. Kami juga sudah bahagia dengan jalan hidup masing-masing.” Kamila terdiam, ia pikir Relin begitu diterima di keluarga Aron, mengingat dulu Dona sangat menyanjung sang sepupu.“Tuan, kita disuruh ke rumah sakit. Rendra jatuh dari tangga, dan keadaannya drop.”Perkataan Bimo menyentak Kamila dari lamunannya, b
“Enam tahun penjara?” tanya Aron dengan wajah kaku. “Benar, Tuan. Namun, hukuman yang sebenarnya dapat bervariasi tergantung pada pertimbangan hakim dan fakta yang terungkap dalam proses peradilan. Hakim bisa saja menjatuhkan hukuman penjara di bawah atau di atas enam tahun. Tapi balik lagi, itu semua tergantung pada keadaan kasus dan pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti keadaan pelaku, korban, serta faktor-faktor pengurangan hukuman lainnya.”“Apanya yang enam tahun!” Seruan itu membuat Aron menoleh, ia tersentak ketika melihat Kamila yang menatapnya marah.“Jawab! Kenapa kau lakukan hal ini, Mas!” Kamila memukul dada Aron kuat, meremas kemeja yang pria itu kenakan dengan air mata yang sudah berjatuhan. “Ka–kamila … kau di sini?” tanya Aron linglung. Mengapa sang istri ke hotel tempatnya menginap? Wanita itu mendongak. “Ya, aku ke sini untuk membawamu pulang. Sudah cukup kebodohan yang kau lakukan, Mas. Ayo, lupakan semuanya. Ak–aku ….” Napas Kamila tercekat, tak bisa melanj
“Ibu, mengapa Ayah selalu menemuiku dan Saga di luar? Memangnya kenapa tidak di rumah saja?” tanya Ayana sembari menatap ke arah Kamila.Gadis kecil itu melihat kembali penampilannya pada cermin, setelah merasa cantik ia kembali menghadap ke arah Kamila.“Ayah sedang bekerja, Sayang. Mungkin setelah semuanya selesai baru dia pulang.” Wanita itu menjawab pelan, meski terdapat kekhawatiran pada raut wajahnya. “Oh … begitu. Padahal aku kangen tahu dibacakan dongeng sama Ayah. Memangnya Ibu tidak kangen sama Ayah?” Kamila melotot kaget, setelah itu tertawa canggung. “Ah, Yaya sangat cantik hari ini. Bagaimana jika sore ini kita ke taman? Ajak Aga juga nanti.” Ia mengalihkan pembicaraan, dan benar saja Ayana langsung mengangguk.“Siap, Bu! Nanti aku boleh makan ice cream ya, soalnya sudah satu minggu aku libur.” Gadis kecil itu mengerjap lucu, berharap Kamila luluh. “Tentu, Sayang. Hari ini Yaya dan Aga boleh makan ice cream, dan sekarang ambil tasnya ya.” Kamila mengacak rambut Ayana g