“Relin?” Kamila tersentak kaget, sudah pukul dua dini hari, ia memang terbangun karena haus. Ketika membuka pintu, wanita itu cukup terkejut karena Relin sudah berdiri di pintu kamarnya dengan piyama tipis. “Hai, maaf sudah mengagetkan.” Relin berujar santai sembari mengintip dari celah pintu kamar yang terbuka. “Aron masih tidur, ya?” Kamila terperangah sebentar, secara perlahan keningnya memunculkan kerutan samar. Ia bingung sendiri atas pertanyaan Relin, bukankah memang ini waktunya istirahat? “Em, ya. Kalau boleh tahu ada keperluan apa, nanti saya sampaikan setelah dia terbangun.” Relin menggeleng singkat. “Tidak usah, awalnya saya ingin jalan-jalan bersamanya. Maaf bukanya lancang, tapi sepertinya saya sedang mengidam,” ungkap wanita itu.Kamila tersenyum kikuk, tak tahu harus menjawab apa. Lagi pula, sejak kapan Relin di kediaman ini, karena sepulangnya jalan-jalan bersama Aron, rumah dalam keadaan sepi, hanya pelayan yang berlalu lalang.“Kalau begitu saya kembali tidur saja,
Waktu menunjukkan pukul delapan malam, dan suasana di dalam ruangan ini semakin kacau. Aron bahkan hanya bisa membeku melihat keluarga besarnya yang menangis pilu ketika melihat jasad sang sepupu di atas hospital bed. Awalanya Aron akan langsung pulang ke kediamannya setelah menerima telepon dari Dona, tapi wanita itu kembali menghubunginya jika jasad Panji akan di bawa ke rumah sakit Dewangga. Sementara itu, ibu dan ayah Panji yang baru datang langsung menangis sejadi-jadinya, pun dengan Relin, wanita itu beberapa kali pingsan dan ditenangkan oleh Dona. Berita tentang kematian Panji seketika menyebar luas, maklum saja mereka adalah orang penting di kota ini. Kamar hotel tempat Panji menginap dipasangkan garis polisi, dan kasusnya masih tahap investigasi oleh pihak berwajib. Selama ini Panji dikenal sebagai pribadi yang santai dan menghindari pertikaian, pria itu juga sangat baik serta menghormati kedua orang tuanya. Tak ada yang menyangka jika Panji akan mengakhiri hidupnya denga
Sudah dua hari sejak Panji dikebumikan, Aron juga sudah menerima laporan dari Bimo jika tim penyidik tidak menemukan zat berbahaya di restoran cepat saji itu, bahkan ada CCTV saat proses pembuatannya, baik dari dapur serta saat Panji datang sampai pergi.Semua karyawan yang bertugas pada hari itu juga sudah diperiksa, tapi mereka memang sama sekali tak tahu menahu, dan justru mereka dengan senang hati diperiksa latar belakangnya, keluarga, serta teman terdekat jika tak mempunyai masalah dengan Panji, sampai menaruh zat berbahaya pada makanan pria itu. Pun dengan hotel tempat Panji menginap. Tapi hasilnya sama saja dengan yang terjadi pada restoran tepat saja. Untuk keluarga Panji sendiri sudah di introgasi, dan jawaban Relin cukup mengejutkan. Aron perlu memastikan lagi apakah semuanya benar, karena pada saat itu dia tak bisa mendengarkannya secara langsung. “Tuan, apakah Anda akan pergi lagi?” tanya Kamila ketika melihat Aron bersiap-siap, entah akan ke mana lagi pria itu. Padahal d
Depresi serta gangguan mental sendiri dua hal dominan yang menjadi penyebab timbulnya seseorang melakukan bunuh diri. Pada beberapa kasus bunuh diri, biasanya akan timbul perasaan intens seperti marah, kecewa, serta panik. Meskipun yang bersangkutan tak pernah diagnosis gangguan mental jenis apa pun.Orang tua Panji begitu terpukul setelah mendengar penjelasan dari Aron, mereka juga menyalahkan diri sendiri karena terlalu sibuk, dan hanya mempercayai asisten serta supir rumah tangganya untuk menemani Panji dari kecil. Walau tak terlalu dekat dengan sang putra akibat kesibukan, tentu Mereka sangat menyayangi darah dagingnya sendiri. Namun, apa mau dikata, semuanya sudah terjadi. Dan mereka hanya bisa meratapi waktu yang terbuang begitu banyak.“Kau setuju ‘kan jika Relin sementara waktu tinggal di sini. Dia terus bersedih di rumahnya karena sering mengingat Panji,” ucap Dona sembari melihat ke arah Aron.Relin memang tidak mau di rumah ibu serta ayahnya, karena ia tetap kesepian. Mak
“Kau kenapa?” tanya Aron ketika melihat Kamila yang sejak tadi hanya diam dengan wajah murung. Wanita itu tersentak kaget saat Aron menyentuh punggung tangannya, Ia tersenyum kaku sembari menatap pada sang suami. “Tidak apa-apa, maaf aku melamun.”“Jangan melamun dong, kalau lagi makan,” ujar Dona sembari menuangkan nasi goreng pada piring Relin.“Maaf, Bu.” Kamila tersenyum kikuk dan kembali berfokus pada sarapannya, sungguh ia masih shock mendengar klinik tempatnya memeriksa kandungan kebakaran. Sepertinya ia harus menghubungi dokter Meyda untuk menyarankannya klinik yang lain.“Kau makin cantik saja Kamila.” Relin melempar senyum tipis, menatap wajah Kamila yang tampak bersinar.Kamila tertegun, lalu tersenyum malu-malu. "Terima kasih, Relin.” "Dia memang cantik, dan Ayo lanjutkan sarapanmu." Aron tiba-tiba menepuk pucuk kepala Kamila, membuat sang empu semakin dilanda rasa gugup.***“Apakah Anda membutuhkan sesuatu, Nyonya?” tanya Bimo ketika kamila menghampirinya. Kamila melih
Duka yang menyelimuti keluarga besar Aron atas meninggalnya Panji berangsur surut, kini mereka juga sudah mulai menerima semuanya dengan berlapang dada, Relin sendiri akan kembali ke kediamannya satu minggu lagi. Bertepatan dengan sang ibu yang akan menemaninya selama beberapa minggu nantinya.“Bibi Dona, apa tidak mau membuat kejutan untuk ulang tahun Aron nanti malam?” Dona menoleh, lalu menerbitkan senyum tipis. “Kau ingat kejadian sepuluh tahun yang lalu? Ketika Aron mogok berbicara karena kita merayakan hari spesialnya?” Relin terkekeh serak, itu semasa ia menjadi mahasiswi, dan hubungannya dengan Aron sedang manis-manisnya. Ia seketika menggelengkan kepala, tak boleh mengingat momen itu, karena Aron sudah memiliki istri. “Jadi, lebih baik kita ucapkan seadanya saja,” lanjut Dona seraya membaca pesan singkat yang dikirim oleh dokter yang menangani sang suami. “Tapi aku ingin memberikan sesuatu padanya,” ucap Relin tersenyum malu. Ia memang sudah menyiapkan kado untuk Aron, han
“Kamila! Apa yang kau lakukan!” teriakan lantang disertai tatapan mematikan dari Aron. Tanpa sadar box gift polos tanpa pita itu jatuh di kaki Kamila, penutupnya bahkan sudah menggelinding ke bawah. Memperlihatkan isinya yang berjumlah dua buah foto hasil USG. “Bimo! Bawa Relin ke kamarnya, lalu panggil Dokter Meyda! Cepat!” teriak Aron murka. Dona yang sejak tadi di meja makan bergegas ke arah sumber suara, wanita itu langsung menutup mulut kala melihat Relin yang memegang perutnya kesakitan. “Baik, Tuan.” Bimo menggendong Relin ala bridal style, ia sempat melirik Kamila yang masih membeku di tempatnya. “Kau! Awas saja jika Relin kenapa-napa, maka saya sendiri yang akan—”“Bu, ini urusanku sama Kamila, Ibu bisa meninggalkan kami berdua,” tegas Aron. Wajahnya begitu tenang, tapi tidak dengan sorot mata tajam penuh kemurkaan itu. Dona mendengkus kesal, tapi tak urung untuk pergi dari hadapan sang putra. “Kalian yang sedang mengintip, cepat pergi dari sini. Atau kalian semua akan
Bimo tak pernah menyangka ia bisa mempunyai rasa empati yang begitu tinggi terhadap seseorang. Tak pernah terbayangkan ia akan menangisi seorang wanita selain ibunya, terakhir ia bersedih kala kehilangan kedua orang tuanya, setelah itu Bimo menjalani hidup seperti biasa. Tak ada emosi berarti, baik rasa tertarik kepada lawan jenis atau rasa empati mengguncang sanubari. Namun, tidak untuk kali ini. Bimo, bahkan menggigit bibir kuat dengan air mata yang terus berjatuhan. Pria itu menunduk dengan bahu bergetar hebat, kedua tangannya memegang erat sel tempat Kamila berada, bau pengap serta suara desisan dari sel hewan yang berada di ujung ruangan menginvasi kesunyian malam.“Untuk apa Anda bersedih, Tuan. Saya tidak apa-apa, Anda bisa kembali ke kediaman utama, dan tolong jaga Arfin, jangan pernah beritahu dia jika saya ada di sini,” kata Kamila datar. Tatapannya lurus ke depan, seolah-olah apa yang terjadi saat ini bukanlah hal besar. Kendati demikian, justru membuatnya tampak semakin
Kamila menatap kosong ke depan, Aron yang sejak tadi memeluknya ikut merasa sedih. Ini semua adalah mimpi buruk baginya, ia hanya tertidur sebentar di mobil. Lalu tiba-tiba sudah berakhir di rumah sakit, setelah siuman justru menerima berita kehilangan sang buah hati. “Aku egois ya, Mas? Andai aku tidak membuntuti Relin, mungkin anak kita masih ada di sini,” kata Kamila setelah kebisuan panjang. Wanita itu mengusap perutnya yang rata, satu bulan berlalu. Duka itu masih menyapa, sakit dan perih akan kehilangan yang tak pernah terduga. “Sayang, dengarkan aku.” Aron menangkup wajah Kamila, menatap mata wanita yang dicintainya itu. “Kau boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Aku tidak mau Ayana serta Saga merasa tersisihkan.” Kamila tertegun, tanpa sadar sudah abai dengan keberadaan si kembar lantaran larut akan kesedihan. “Ayana, Saga ….” Lirih wanita itu. “Ya, mereka takut mendekat padamu. Terkadang Ayana maupun Saga hanya melihatmu dari celah pintu,” jelas Aron, membuang pa
Nyatanya, kebahagian itu tak pernah berpihak padaku ~Kamila Cahaya *** Semua yang terjadi di hadapannya begitu cepat, menarik napas pun terasa sulit. Kamila memegang tangan dingin Aron. Ia bodoh dan ceroboh, sehingga melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. “Tolong! Siapa pun tolong!” Wanita itu menjerit seraya memukul kaca mobilnya. Tak berselang lama, suara pecahan kaca serta teriakan orang-orang mulai terdengar. Sedangkan Kamila, bukannya merasa lega. Justru ia semakin panik kala melihat darah yang mengaliri betisnya. Kamila tercekat, napasnya memburu tak beraturan. Ia menoleh ke arah Aron, memegang tangan sang suami kuat. Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. *** Masayu duduk lemas tak bertenaga setelah menerima kabar jika mobil yang Relin serta Sandra tumpangi menabrak pembatas jembatan. Lantas jatuh ke bawah dan sampai sekarang tak bisa ditemukan. Belum lagi Kamila, Aron serta Bimo kecelakaan di lokasi yang sama dengan Relin, tapi bedanya mereka hanya
“Mas .…” Kamila menyentuh pelan bahu Aron. Ia menggigit bibir bawah ketika melihat tatapan kosong sang suami. “Mila, Erza pergi untuk selamanya. Apakah sikapku keterlaluan selama ini? Aku kecewa padanya. Tapi bukan berarti dia—” Napas Aron tercekat, pria itu mendongkak, menghalau air mata yang hendak keluar. Ia kembali menunduk, melihat gundukan tanah di hadapannya. Erza memeng tak bisa diselamatkan, pria itu ditemukan sudah tak bernyawa. Mengingat terlalu banyak menghirup asap, serta luka bakar yang yang didapat. “Mas, aku tahu jika ini pasti sangat berat. Ada aku di sini, Mas tidak sendiri.” Kamila memeluk sang suami, ia bisa merasakan napas lelah pria itu yang berhembus di ceruk lehernya. “Tuan, hujan sudah mulai turun. Apakah tidak sebaiknya kita berteduh?” tanya Bimo pelan. Tak tahan melihat Aron yang mendapat kesedihan secara bertubi-tubi. Bimo sudah menganggap pria itu seperti adiknya sendiri, dan ia ikut merasakan kesakitan Aron.Aron melepas pelukannya dari Kamila, lant
“Kemungkinan besar dia dijatuhi hukuman seumur hidup, mengingat Erza juga terlibat dalam pembunuhan berencana. Ayahnya pun sudah tutup mata dan memutuskan hubungan dengan Erza. Sementara Relin, hingga saat ini belum ditemukan,” jelas Tama menatap ke arah Aron yang sedang menatap jauh ke depan. Satu bulan sejak terakhir kali ia bertemu dengan Erza, Tama ingat betul kala orang tua Panji menyumpahi Erza dengan kemarahan membeli buta, tak lupa mengutuk menantunya yang tidak lain adalah Relin, meskipun wanita itu menghilang entah ke mana.“Apa si Brengsek itu menyesali semua perbuatannya?” tanya Aron dingin, setelah keheningan panjang.Tama menghembuskan napas berat, meneliti ekspresi sang putra yang terlihat kecewa serta marah. “Tentu saja dia menyesal, seperti yang Ayah katakan satu bulan yang lalu. Jika dia ingin bertemu denganmu untuk meminta maaf, tapi mengingat kau yang tak mau melihat wajahnya. Jadi, Ayah tidak bisa memaksa.”“Syukurlah dia sadar diri, memang orang jahat sepertin
“Setelah saya selidiki semuanya, ternyata Tuan Erza juga yang membakar kebun apel Anda. Dia mengaku telah mengambil cincin Tuan Farzan dan ditaruh di lokasi kejadian, agar kecurigaan kita mengarah padanya,” jelas Bimo. Pria itu menyesal karena dulu sempat berburuk sangka pada Farzan, tapi siangka Erza adalah dalang dari semua ini. Sungguh, tak pernah terbesit dalam pikirannya. Bimo kembali mengalihkan atensi pada Aron, terlihat jelas wajah kecewa serta terluka sang tuan. Ia turut sedih, mengingat Aron serta Erza berteman sejak kecil.“Lalu mengenai kasus Panji bagaimna?” tanya Aron setelh kebungkamn yang cukup panjang. “Sedang diurus oleh pengacara Anda, Tuan Erza juga sudah ditahan. Tadi siang ketika saya ke selnya, dia berpesan ingin melihat Anda,” ungkap Bimo hati-hti. “Tidak akan.” Aron mengeraskan rahang. “Jika saya bertemu dengannya, saya tak yakin jika dia masih bernapas esok hari.” Pria itu mengepalkan tangan, sudah seminggu sejak kematian Rendra, ia sama sekali tidak sudi
“Tunggu dulu, apa maksudnya jika Erza mendonorkan darahnya pada Rendra?” tanya Aron. Mencegah Erza yang hendak mengikuti Relin. “Mengapa kau memikirkan itu! Yang terpenting sekarang kami harus menyelamatkan Rendra!” bantah Relin kuat, menatap Aron tajam. “Bukan maksud saya seperti—” Perkataan Aron terhenti ketika dokter serta suster tergesa-gesa menuju ruangan Rendra. Mereka semua yang melihat itu tentu saja panik. Relin yang hendak masuk langsung dihentikan oleh Farzan. Membuat wanita itu menangis karena panik. “Mas ….” Lirih Kamila sembari memegang lengan Aron. Pria itu tersentak, baru menyadari jika sang istri sedari tadi bersamanya.“Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” kata Aron lembut. Berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya ke arah Relin serta Erza. Satu jam berlalu, seorang dokter keluar. Pria itu menatap keluarga pasien dengan wajah tak terbaca. Lalu berucap, ”Pasien tidak bisa diselamatkan. Dia terlalu banyak kehilangan darah, ditambah lagi dengan penyakit
“Jadi, aku sudah boleh pulang?” tanya Aron sekali lagi. Kamila mengangguk pelan, sudah pukul delapan malam. Lantas mereka keluar dari hotel, menuju kediaman Dewangga. “Apa pun yang terjadi ke depannya, kau harus percaya padaku.” Aron mengecup punggung tangan Kamila, mengabaikan Bimo yang seperti nyamuk di antara mereka.“Ya, asalkan jangan sembunyikan hal besar lagi dariku,” jawab Kamila. Aron mengangguk, mengusap rambut wanita itu lembut. Lalu menyandarkan kepala Kamila di dada bidangnya. “Mengenai Relin, ternyata dulu Mas tidak direstui, ya?” tanya Kamila pelan. Tubuh Aron terlihat menegang, tapi dengan cepat rileks kembali. “Ya, itu dulu. Sekarang ada dirimu da si kembar. Kami juga sudah bahagia dengan jalan hidup masing-masing.” Kamila terdiam, ia pikir Relin begitu diterima di keluarga Aron, mengingat dulu Dona sangat menyanjung sang sepupu.“Tuan, kita disuruh ke rumah sakit. Rendra jatuh dari tangga, dan keadaannya drop.”Perkataan Bimo menyentak Kamila dari lamunannya, b
“Enam tahun penjara?” tanya Aron dengan wajah kaku. “Benar, Tuan. Namun, hukuman yang sebenarnya dapat bervariasi tergantung pada pertimbangan hakim dan fakta yang terungkap dalam proses peradilan. Hakim bisa saja menjatuhkan hukuman penjara di bawah atau di atas enam tahun. Tapi balik lagi, itu semua tergantung pada keadaan kasus dan pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti keadaan pelaku, korban, serta faktor-faktor pengurangan hukuman lainnya.”“Apanya yang enam tahun!” Seruan itu membuat Aron menoleh, ia tersentak ketika melihat Kamila yang menatapnya marah.“Jawab! Kenapa kau lakukan hal ini, Mas!” Kamila memukul dada Aron kuat, meremas kemeja yang pria itu kenakan dengan air mata yang sudah berjatuhan. “Ka–kamila … kau di sini?” tanya Aron linglung. Mengapa sang istri ke hotel tempatnya menginap? Wanita itu mendongak. “Ya, aku ke sini untuk membawamu pulang. Sudah cukup kebodohan yang kau lakukan, Mas. Ayo, lupakan semuanya. Ak–aku ….” Napas Kamila tercekat, tak bisa melanj
“Ibu, mengapa Ayah selalu menemuiku dan Saga di luar? Memangnya kenapa tidak di rumah saja?” tanya Ayana sembari menatap ke arah Kamila.Gadis kecil itu melihat kembali penampilannya pada cermin, setelah merasa cantik ia kembali menghadap ke arah Kamila.“Ayah sedang bekerja, Sayang. Mungkin setelah semuanya selesai baru dia pulang.” Wanita itu menjawab pelan, meski terdapat kekhawatiran pada raut wajahnya. “Oh … begitu. Padahal aku kangen tahu dibacakan dongeng sama Ayah. Memangnya Ibu tidak kangen sama Ayah?” Kamila melotot kaget, setelah itu tertawa canggung. “Ah, Yaya sangat cantik hari ini. Bagaimana jika sore ini kita ke taman? Ajak Aga juga nanti.” Ia mengalihkan pembicaraan, dan benar saja Ayana langsung mengangguk.“Siap, Bu! Nanti aku boleh makan ice cream ya, soalnya sudah satu minggu aku libur.” Gadis kecil itu mengerjap lucu, berharap Kamila luluh. “Tentu, Sayang. Hari ini Yaya dan Aga boleh makan ice cream, dan sekarang ambil tasnya ya.” Kamila mengacak rambut Ayana g