BAB 109 Dokter Herlina pun membawa bayi itu ke sebuah meja dengan lampu sangat terang untuk diperiksa dan dibersihkan jalan napasnya. Setelah itu ia menimbang bayi itu untuk mengetahui berat lahir bayi tersebut. Dokter Ardian merasa lega karena ibu dan bayinya selamat. Ia ingin segera menyelesaikan operasi ini supaya bisa segera pulang. Sedari tadi di pikirannya hanya ada Citra yang tengah menunggunya di dalam mobil. Usai melakukan heating, Dokter Ardian melepas semua APD yang menempel pada tubuhnya dibantu seorang perawat. Setelah itu ia mencuci tangannya lalu duduk pada sebuah meja untuk menulis laporan kembali. Sambil menulis, Dokter Ardian tersenyum-senyum sendiri dan sesekali menggelengkan kepalanya. Dokter Herlina memperhatikan itu karena ia berada tidak jauh dari tempat Duduk Dokter Ardian. Dokter Ardian teringat kejadian di dalam mobil tadi. Citra menyuapinya dengan penuh kesabaran dan sangat telaten. Almarhumah Nadia saja belum pernah melakukan hal itu padanya. Karena itu
BAB 111 “Pergi? Ke mana?” tanya Dokter Ardian sembari mengerutkan keningnya. “Saya tidak tahu, Pak. Tadi waktu saya baru sampai di depan gerbang, saya melihat Mbak Citra pergi dengan membawa tas yang dulu pertama kali ia bawa ke sini. Sudah saya panggil, tadinya mau nanya hendak pergi ke mana, tapi Mbak Citra-nya keburu naik taksi dan sudah terlalu jauh. Mungkin tidak dengar,” tutur Bik Yati menjelaskan. “Oh gitu. Ya sudah, Bik. Makasih, ya. Kalau capek istirahat saja. Jangan dipaksakan kerjanya. Kan baru sembuh,” balas Dokter Ardian dengan ramah seperti biasanya. “Iya, Pak,” balas Bik Yati sopan. Setelah itu Dokter Ardian pun segera menaiki anak tangga dengan tidak sabar. Sesampainya di lantai atas, ia masuk ke dalam kamar Citra. Ia berjalan mendekati almari Citra dan membukanya. Ia ingin tahu apakah Citra membawa semua pakaiannya atau tidak. Saat pintu almari terbuka, ia melihat beberapa lipatan pakaian Citra tampak berantakan dan terlihat berkurang jumlahnya. Sepertinya Citra
BAB 113 Usai itu Citra buru-buru keluar dari rumah dan tidak lupa mengunci pintunya kembali. Kemudian ia naik taksi kembali menuju Puskesmas di mana Ibunya dirawat tanpa menoleh ke belakang. Sesampainya di depan Puskesmas Anggrek, Citra pun segera turun setelah membayar argo taksi yang ditumpanginya. Ia sempat terkejut karena argo taksi yang mahal. Ia terbiasa naik angkot yang cukup murah dan terjangkau di kantongnya. Dengan segera Citra mencari di mana Ibunya berada. Mulai dari UGD hingga akhirnya ia bertanya pada bagian informasi. Setelah mendapatkan informasi di mana kamar Ibunya, Citra pun segera masuk untuk melihat keadaan Ibunya. “Ibuk!” panggil Citra dengan menangis. Ia tidak pernah melihat Ibunya tidak sadarkan diri seperti ini. Ia pun memeluk Ibunya yang terbaring di atas tempat tidur. “Udah nggak apa-apa. Cuma luka sedikit. Ibu kamu pingsan karena terkejut,” ujar Tina tiba-tiba di ambang pintu. Sedari tadi ia menjaga Bu Ratna karena tidak ada yang menjaganya. Sebelum Ci
BAB 115 Adzan subuh berkumandang. Alarm pada ponsel Dokter Ardian pun berbunyi. Tidak lama kemudian Dokter Ardian terjaga dan membuka matanya untuk mematikan alarm pada ponsel-nya. Usai itu ia melihat ke samping kanannya. Biasanya Citra berbaring di sampingnya. Namun, kali ini tidak ada. Ia pun bangkit dari tempat tidurnya dengan malas untuk menunaikan ibadah salat subuh. Pagi hari, Dokter Ardian menuruni anak tangga dengan langkah tidak bersemangat. Di tangan kanannya, ia membawa tas yang biasa ia bawa bekerja. Di tangan kirinya ia membawa tas lain yang berisi pakaian yang akan ia bawa ke rumah Bu Ratna. Kali ini ia akan menikmati sarapan paginya seorang diri. Dulu, sebelum menikah dengan Nadia, ia menikmati sarapan dengan Mama dan Papa-nya. Usai itu muncul Nadia di hidupnya. Hari-harinya pun ditemani Nadia, tapi itu tidak berlangsung lama karena Tuhan mengambilnya saat melahirkan Nizam. Setelah kematian Nadia, Citra-lah yang menemaninya sarapan setiap harinya hingga saat ini Citra
BAB 117 “Ibuk kenapa?” tanya Dokter Ardian. “Hanya jatuh, tapi Ibuk nggak apa-apa, kok,” jawab Bu Ratna dengan tersenyum lembut. “Ibuk kecelakaan kemarin, Mas,” sahut Citra seraya mengambilkan Ibunya air minum. “Nggak parah, kok. Besok sudah boleh pulang kata dokter-nya,” sahut Bu Ratna santai. “Syukurlah kalau begitu.” Dokter Ardian merasa lega. “Setelah menyuapi Ibuk, kita bicara sebentar, ya. Aku tunggu di luar,” ucap Dokter Ardian pada Citra lalu keluar dari bilik Bu Ratna. “Ibuk sudah makannya. Ibuk mau tidur sekarang. Kamu keluar saja temui suami kamu, Nak,” ucap Bu Ratna dengan tersenyum pada Citra. “Iya, Buk,” balas Citra lalu menyelimuti Ibunya. Kemudian ia menyusul Dokter Ardian yang duduk di kursi depan ruang kamar Bu Ratna. “Ada apa, Mas?” tanya Citra setelah duduk di samping Dokter Ardian. “Bisa nggak sih kalau pergi itu pamit dulu? Atau nggak, ponsel jangan dimatikan, Cit,” ujar Dokter Ardian seraya menghadap Citra. “Maaf, Mas. Kemarin aku panik banget karena m
BAB 119 Dokter Ardian hanya bisa mendesah pelan. Mau mengejar juga tidak bisa karena ia belum membayar dan belum menghabiskan makanannya. “Istri kamu kenapa, Yan?” tanya Dokter Anisa sembari melihat Citra yang tengah menyeberang di tengah jalan raya. “Nggak apa-apa. Ibunya kan sedang sakit. Wajar aja dia khawatir,” balas Dokter Ardian lalu kembali melanjutkan aktivitas makannya. “Yan, anakmu sudah berapa?” tanya Dokter Anisa. Entah kenapa ketika bertemu dengan Dokter Ardian hari ini, tiba-tiba ia ingin tahu banyak tentang Dokter Ardian. “Masih satu. Masih umur sembilan bulan,” jawab Dokter Ardian dengan santai. “Yang benar? Hebat dong istrimu. Masih muda, habis melahirkan sudah bisa selangsing itu,” sahut Dokter Anisa takjub. “Mm … jadi sebenarnya gini. Citra itu istri kedua aku. Aku baru nikah sama dia belum ada satu bulan. Istri pertama aku meninggal saat melahirkan anakku. Jadi, Citra ini belum pernah hamil ataupun melahirkan. Makanya badannya masih langsing,” papar Dokter Ar
BAB 121 “Enggak!” sahut Citra singkat. “Terus kenapa dari tadi cemberut, marah, sewot? Capek? Sini aku pijitin,” ujar Dokter Ardian. Tangannya pun pindah ke bahu Citra dan sedikit menekannya. Citra menggoyang-goyangkan bahunya karena merasa sangat sakit pada bahunya. “Nggak usah, Mas. Aku nggak apa-apa,” tolak Citra hendak pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok giginya sebelum tidur. “Mau ke mana?” tanya Dokter Ardian seraya menarik tangan Citra supaya tidak pergi. “Ke kamar mandi,” jawab Citra singkat. “Cit, kamu kok menghindari aku terus-terusan sih? Padahal aku datang dari jauh-jauh. Bukannya disambut, malah dicuekin kayak gini,” gerutu Dokter Ardian mulai kesal lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur. Citra tidak menggubris-nya. Ia pun segera keluar dari dalam kamar dan pergi ke kamar mandi karena sudah tidak tahan ingin buang air kecil. Usai itu ia bingung harus kembali ke kamar atau tidur di ruang tengah. Ia duduk di ruang tengah beberapa saat, tapi tiba-tib
BAB 123 “Selamat pagi, Dokter Ardian …,” sapa Dokter Herlina dengan tersenyum dan membawa bekal di tangannya. “Pagi, Dok,” sahut Dokter Ardian sopan dengan menundukkan kepalanya. “Tumben bawa bekal? Jadi sia-sia dong bekal yang saya bawa,” ujar Dokter Herlina dengan cemberut manja. “Nggak sia-sia kok. Bekal itu bisa Dokter Herlina berikan ke bidan atau perawat yang membantu Dokter di ruang poli. Saya duluan ya,” pamit Dokter Ardian lalu pergi meninggalkan Dokter Herlina yang semakin memajukan bibirnya. Sesampainya di ruang poli kandungan, tiba-tiba ponsel Dokter Ardian berdering. Dengan segera Dokter Ardian merogoh saku kemeja-nya untuk melihat siapa yang menelepon-nya. Tampaklah nama “Mama” pada layar ponsel itu. “Iya, Ma?” ucap Dokter Ardian setelah menggeser tombol hijau pada layar ponsel-nya. “Katanya kemarin kamu mau menjemput Nizam. Dari kemarin Mama tungguin loh. Barang-barangnya juga sudah Mama kemasi, tapi kamu nggak datang-datang. Jadi, Mama bongkar lagi barang-barangn
BAB 220Beberapa bulan kemudianSudah satu minggu ini Citra mengambil cuti karena kandungannya sudah memasuki usia 37 minggu. Ia ingin beristirahat di rumah sambil mempersiapkan persalinan anak keduanya.Dokter Ardian sudah bekerja di Rumah Sakit Husada kembali. Namun, ia bekerja pada sore hari karena pagi hari sudah diisi dokter lain semenjak kepergiannya dulu.Pagi ini Dokter Ardian menemani Citra jalan-jalan pagi di komplek perumahannya. Arman dan Nizam masih tidur di rumah karena hari ini hari Minggu, sehingga mereka akan tidur sampai puas.Ketika sedang beristirahat di bangku yang ada pada sebuah taman, Citra merasakan janinnya menendang. Ia pun memegangi perutnya dengan tersenyum.“Kenapa?” tanya Dokter Ardian.“Dia menendang, Mas,” jawab Citra dengan mendesis. Setelah tendangan itu ia merasakan perutnya kencang dan sangat sakit.“Aaaahhh, Mas! Sakit!” ucap Citra mendesis menahan sakit pada perutnya.“Apa akan melahirkan? Kamu tunggu di sini, ya! Aku pulang dulu ambil mobil dan
BAB 219Malam hari Citra dan Dokter Ardian berbaring di atas tempat tidur berdua. Mereka sama-sama menatap langit-langit kamar mereka. Ada rasa canggung di antara mereka berdua karena sudah sepuluh tahun tidak bertemu.“Kenapa kamu tidak menikah lagi?” celetuk Dokter Ardian tiba-tiba seraya menoleh ke arah Citra yang berbaring di sampingnya.“Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas?” tanya Citra balik. Ia pun menatap Dokter Ardian juga.“Aku sudah pergi bertahun-tahun. Aku yakin kalau kalian semua sudah menganggapku mati,” jawab Dokter Ardian.“Bagaimana aku bisa menikah lagi, sedangkan hatiku kamu bawa pergi. Aku cinta hanya sama kamu, Mas,” ucap Citra dengan tersenyum.Hati Dokter Ardian tersentuh. Ia merasa terharu dengan pernyataan Citra. Ia pun segera memeluk tubuh Citra dan mencium bibirnya dengan buas. Untungnya ia sudah mencukur kumis berewoknya sebelum tidur tadi, sehingga Citra tidak menolaknya lagi.Ciuman mereka pun semakin panas hingga akhirnya percintaan di antara mereka p
BAB 218“Kamu kerja?” tanya Dokter Ardian.Citra menganggukkan kepalanya. “Iya, Mas,” jawab Citra.“Kalau aku nggak kerja, bagaimana aku dan anak-anak bisa makan?” imbuh Citra lagi.“Maaf, ya. Aku sudah membuat kamu susah dan menderita,” ucap Dokter Ardian merasa bersalah. Kemudian ia mendekatkan wajahnya ke arah Citra dan menempelkan bibirnya pada bibir Citra lalu melumat bibir itu seperti dulu.Citra tidak membalas ciuman Dokter Ardian. Ia mengernyitkan keningnya merasa tidak nyaman karena Dokter Ardian berewokan. Ia pun memundurkan kepalanya menjauh.“Kenapa?” tanya Dokter Ardian heran karena Citra menolak ciumannya.“Cukur dulu berewoknya, Mas,” gerutu Citra. Sudah lama ia tidak berciuman. Apalagi dengan wajah Dokter Ardian yang berewokan membuatnya risih dan sakit.Dokter Ardian mendesah pelan. Ia pun akhirnya pasrah karena memang tidak sempat mencukur bulu-bulu yang ada di wajahnya.Tidak lama kemudian Pak Aryo dan Bu Indah datang. Mereka segera masuk ke dalam rumah untuk meliha
BAB 217“Kata Mama, Papa sudah di surga,” sahut Nizam. Ia masih ingat kalau Citra mengatakan seperti itu ketika Arman dan Nizam menanyakan papanya.“Mungkin maksud Mama calon Papa, Kak,” sahut Arman menebak.Dokter Ardian mendesah pelan. Dengan segera ia menarik pelan tangan kedua anaknya agar masuk ke dalam rumah. Citra pun segera menutup pintu lalu mengekor di belakang mereka.Dokter Ardian menunjuk foto pernikahannya dengan Citra yang tergantung di ruang tengah.“Tuh lihat! Masa nggak kenal sama Papa sendiri,” gerutu Dokter Ardian pada kedua anaknya.Nizam dan Arman menatap foto pernikahan Citra dan Dokter Ardian dengan sangat lekat. Sesekali mereka juga melihat Dokter Ardian untuk mencocokkan garis wajah papanya.“Nggak sama. Yang di foto ganteng. Yang ini tua!” ujar Nizam sambil menunjuk Dokter Ardian.Dokter Ardian menghela napas panjang lalu mengembuskannya dengan kasar. Bagaimana tidak tua? Saat ini usia Dokter Ardian sudah empat puluh dua tahun. Ditambah lagi ia tidak bisa me
BAB 216Citra seperti melihat bayangan Dokter Ardian yang tersenyum padanya sambil duduk di kursi itu.‘Selamat pagi, Mas,’ ucap Citra dalam hati. Ia pun tersenyum lalu menutup pintu itu kembali. Kemudian ia bergegas menuju UGD untuk menjadi dokter jaga di sana.*Sore hari Citra pulang ke rumah seperti biasanya. Tubuhnya terasa lelah karena hari ini pasien di UGD sangat banyak. Ia masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Tiba-tiba Nizam dan Arman berlari ke arahnya lalu memeluk tubuhnya.“Mama!” seru mereka senang karena melihat Citra sudah pulang.Citra tersenyum lalu berjongkok untuk membalas pelukan mereka.“Bagaimana sekolahnya hari ini? Seru?” tanya Citra seraya menatap Nizam dan Arman bergantian.“Seru… sekali, Ma!” balas Nizam dengan antusias.Citra pun membelai kepala Nizam dengan tersenyum. Meskipun Nizam bukan anak kandungannya, ia akan tetap menyayangi Nizam seperti anaknya sendiri.“Kalau Arman?” tanya Citra seraya menatap Arman.Arman cemberut lalu berkata, “Sebel ah,
BAB 215Dua tahun kemudianCitra masih berharap Dokter Ardian pulang. Ia masih berharap semua ini hanyalah mimpi panjangnya. Ia sangat ingin segera bangun dari tidur panjangnya ini.Setiap hari, sampai saat ini Citra selalu menunggu suaminya pulang di balkon kamarnya. pagi, siang, malam, ia sangat berharap Dokter Ardian memberikan kejutan padanya. Penantian panjang tak pernah membuatnya letih. Karena semua kenangan indah bersama dibawa Dokter Ardian pergi. Ia ingin kenangan itu datang kembali bersama suaminya tercinta.Setiap salat, Citra selalu berdoa agar Allah menuntun Dokter Ardian menemukan jalan pulang. Ia masih tetap di sini menunggu Dokter Ardian pulang kembali. Meskipun itu mustahil, tapi ia berharap ada keajaiban di dunia ini untuknya.Saat ini anak Citra sudah berusia dua tahun. Anak itu diberi nama Arman Raditya. Nama Arman mempunyai arti harapan dan doa. Harapan dan doa Citra adalah kepulangan Dokter Ardian, ayah dari anak-anaknya. Ia masih belum siap menjadi janda di usi
BAB 214 Mobil ambulans baru saja sampai di halaman rumah Dokter Ardian. Citra pun masuk ke dalam mobil ambulans dengan bantuan dua orang perawat. Ia masih bisa berjalan dan tidak mau naik brankar. Bu Ratna juga mengekor di belakang mereka sambil membawa tas yang berisi pakaian Citra dan calon bayinya. Sesampainya di Rumah Sakit Bunda, Citra dianjurkan segera masuk ke ruang bersalin karena Dokter Amanda sudah mengatur semuanya. Sambil berjalan, Citra menangis berlinang air mata. Bukan karena kesakitan, tapi karena rindu dan teringat Dokter Ardian. ‘Mana janjimu, Mas? Kamu bilang akan menemaniku saat melahirkan anak kita? Tapi, kenapa kamu malah pergi meninggalkan aku dan anak kita?’ raung Citra dalam hati. “Cit,” panggil Dokter Amanda saat melihat Citra di ambang pintu ruang bersalin. Ia pun tersenyum paksa meskipun hatinya menangis. Hatinya sangat sakit melihat Citra yang berlinang air mata di hadapannya. Ia tahu dan mengerti bagaimana rasanya jadi Citra saat ini. Citra pun melan
BAB 213Satu minggu kemudianCitra berdiri di balkon kamarnya. Ia menatap ke halaman rumah dan berharap melihat Dokter Ardian pulang. Setiap hari, pagi, siang, dan malam, ia menunggu Dokter Ardian pulang. Ia berharap semua ini hanya mimpi dan prank dari suaminya.“Mas …, aku rindu,” lirih Citra dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca. Setiap hari ia menangis merindukan Dokter Ardian.“Andai waktu bisa diulang, aku akan bilang ‘I love you’ setiap hari padamu, Mas. Aku belum pernah mengucapkan cintaku padamu. Andai waktu bisa terulang kembali, aku ingin bilang ‘Aku cinta kamu’ sejuta kali sehari pun aku akan melakukannya, Mas,” ucap Citra menyesali semuanya. Ia menyesal karena tidak pernah mengatakan cinta pada Dokter Ardian selama ini. Padahal waktu kebersamaan mereka sangat singkat.Mobil Dokter Ardian memang sudah diangkat dari jurang. Namun, di dalam mobil itu tidak ditemukan tubuh ataupun jenazah Dokter Ardian. Kemungkinan besar, tubuh Dokter Ardian terlempar keluar saat mobil
BAB 212Citra tengah terbaring di salah satu kamar VIP Rumah Sakit Bunda. Sebuah selang infus terpasang pada tangan kirinya.Bu Ratna sedang menggosok telapak tangan dan telapak kaki Citra secara bergantian dengan lembut. Beberapa kali ia menatap wajah Citra dan berharap Citra segera membuka matanya. Ia baru saja sampai di Rumah Sakit Bunda sepuluh menit yang lalu dan langsung mencari di mana Citra dirawat.Tidak lama kemudian Citra mengernyitkan keningnya. Ia memegangi kepalanya yang terasa pening.“Cit,” ujar Bu Ratna senang akhirnya Citra sadar juga.Citra pun membuka matanya dan melihat ibunya di samping tempat tidurnya. Kemudian ia melihat ke sekeliling ruangan itu dan ia pun sadar kalau sedang berada di rumah sakit.“Ibuk,” balas Citra lirih.“Mau minum?” Bu Ratna menawarkan seraya mengambil air minum dalam kemasan botol yang ada di atas meja. Namun, Citra menggelengkan kepalanya. Bu Ratna pun menaruh kembali botol itu.Citra menatap langit-langit ruangan itu dengan tatapan koso