"Kata istri saya, kalau kamu suka sama dia atau mau memulai mengenal dia lebih dulu gak ada yang salah buat ketemu dulu, sekedar ngobrol dulu. Toh dia juga udah kenal kamu, jadi kayaknya gak masalah kalau kamu mau temuin dia dulu," jelas Jevano. Gio terdiam mendengarnya. "Gi kesempatan gak akan datang 2 kali. Setau saya dia juga baik dan ramah sama orang lain, bukannya kamu yang lebih berpengalaman sama dia dibanding saya? Kamu juga lebih banyak interaksi sama dia kan?" Gio mengangguk mengiyakan. Laki-laki itu juga mulai memikirkan pendapat dari istri atasannya ini. Selama dirinya mencoba aplikasi kencan ini, memang dia tidak pernah merespon wanita lain kecuali Intan ini. Siang harinya, Gio memutuskan untuk tidak makan siang bersama dengan sang atasan. Kebetulan juga, Jevano akan diantarkan makan siang oleh istrinya. Anna berjalan dengan santainya menuju ruangan sang suami. Wanita itu mendorong stroller dengan sang anak yang tertidur dan kotak bekal yang Anna simpan di bawahnya.
"Aku gak merubah Mas. Justru Mas yang berubah," jelas Anna. "Kan berkat kamu, Mas jadi berubah," timpa Jevano. Anna menggelengkan kepalanya, "mas.... Seseorang gak bakalan berubah kalau bukan dirinya sendiri yang mau berubah." Jevano tersenyum mendengar penuturan istrinya. Ia dekatkan wajahnya pada Anna. Namun Anna segera menahannya, apalagi Gio juga mengetuk pintu ruangan atasannya kembali. Jevano memasang wajah kesalnya sembari memangku sang anak yang kini tertidur. Tangan Gio begitu bergetar terlihat oleh Anna karena ditatap tajam oleh istrinya. Anna menyenggol lengan suaminya, hingga ia menoleh dan memberikan isyarat bahwa ekspresinya kini menyeramkan. "Ada apa Gi?" tanya Jevano. "Pak, ini laporan keuangan minggu lalu yang bapak minta," jawab Gio sembari menyerahkan berkas yang diminta atasannya tadi. "Oh ya sudah kamu simpan dulu saja di meja saya ya!" ucapnya, "makasih." Gio sempat terdiam mendengarnya. "Kenapa Gi?" tanya Anna merasa heran dengan ekspresi sek
Pria itu masih terdiam sembari menunduk merasa kebingungan. Jevano menggebrak mejanya hingga papan bundar itu bergetar dan menambah ketegangan. Ia dekati sang karyawan lalu duduk di dekatnya, "pak, kita sudah bekerja sama lumayan lama. Bahkan dari saat Ayah masih produktif bekerja dan sekarang dia sudah meninggal." "Saya percayakan kepada Bapak tentang keuangan perusahaan. Lalu apa yang bisa Bapak jelaskan tentang semua ini?" tanya Jevano sembari menunjuk berkas laporan keuangan. Keringat pria itu mulai bercucuran, rasanya bisa sampai membanjiri ruangan itu jika Jevano terus menatapnya dengan tajam. "Bapak masih mau bungkam?" tanya Jevano lagi. "Itu..... Untukkk-""Untuk keperluan Bapak sendiri?" tanya Jevano dengan tatapan tajamnya itu. Gio sebenarnya tidak tega jika rekannya sedang dimarahi oleh Jevano. Dia saja yang setiap harinya bersama dengan Jevano akan takut jika dia sudah memasang mata tajamnya itu. "Untuk keperluan berobat anak saya," jelas Bapak manajer keuangan itu.
"Awalnya juga Mas gak tau tentang hal ini Sayang. Tapi karena kecurigaan pas waktu laporan keuangan ada yang aneh, pemasukan sama pengeluaran gak seimbang, makanya Mas minta Gio buat lapor ke Mas tentang laporan keuangan terus minta Gio juga buat lacak cctv perusahaan siapa aja yang datang dari awal bulan selain karyawan kita. Hasilnya hanya kamu dan keluarga manajer perusahaan," jelas Jevano. "Terus gimana kelanjutannya?" tanya Anna. "Dia ngaku uangnya dipake sama dia, tapi buat berobat anaknya. Herannya, anaknya itu sehat banget waktu beberapa hari ke sini sama ibunya," jawab Jevano. "Mas pecat dia?" tanya Anna lagi. Jevano menggelengkan kepalanya, "mas juga bingung Sayang. Kalau misalnya dipecat, Mas juga belum ada lagi kepercayaan buat pegang posisi itu. Tapi kalau dilanjutin takutnya malah makin menjadi karena dikasih hati." Anna merentangkan tangan pada suaminya. Jevano yang peka akan hal itu langsung memeluk sang istri dan menghela napas beratnya agar lebih lega. Keduanya
Anna menautkan alisnya heran, "jangan-jangan apa?" tanyanya. "Sebentar Mas hubungi dulu Gio dulu!" ucapnya lalu beranjak memanggil Gio. Gio masuk ke ruangan atasannya dengan cepat lalu bertanya, "ada apa Pak?" tanyanya. "Kamu bisa cek ke ruangan manajer keuangan?" tanya Jevano, "saya curiga kalau istri dan anaknya ke sini lagi buat minta uang." "Kalau emangnya ada mau gimana Pak?" tanya Gio. Jevano mengusak rambutnya, betul juga. Ia akan melakukan hal apa pada anak dan istrinya jika memang benar mereka ada di sini. "Ya kamu pastikan aja dulu mereka berdua emang ke sini atau enggak," pinta Jevano, "istri saya gak dibolehin masuk lift tadi sama anak saya." "Loh emangnya iya Mbak?" tanya Gio pada Anna dengan wajah terkejutnya. "Kamu pikir saya bohong?" tanya Jevano dengan wajah dinginnya. Gio menggelengkan kepalanya, "lebih baik sama Bapak aja samperinnya ke ruangan.""Kenapa? Takut kamu?
Ibu itu membuka matanya lebar-lebar dengan wajah kesalnya, "kamu kurang ajar ya! Gak tau saya siapa?" tanyanya. "Gak tau, lagipula gak ada untungnya untuk saya mengenal Ibu," timpal Anna lalu memangku anaknya dan akan beranjak meninggalkan ibu itu. Ibu itu dengan cepatnya menarik rambut Anna, hingga Anna sedikit terpelanting. "Ibu ini apa-apaan sih?" tanya Anna sembari berusaha melepaskan tangan ibunya. "Kamu gak sopan sekali ya! Sedang berbicara dengan saya malah pergi begitu saja," "Memangnya apa urusannya sama Ibu? Saya juga gak kenal Ibu siapa," tanya Anna. "Tapi anak kamu ini mengganggu saat saya dan anak saya berjalan tadi," ucap Ibunya. "Mengganggu bagaimana? Anak saya hanya bermain di sini," tanya Anna lagi. Ibu itu menunjuk mobil-mobilan yang dimainkan Rezkiano tadi, "kamu bisa lihat? Mobil itu hampir terinjak sama saya tadi." "Ya itu sih karena ibunya gak hati-hati, kenapa malah salah
Gio mencubit pipi anak atasannya itu, "bilang dong gak apa-apa sama Ayah." "Yah... Yah..." Anna ikut terkekeh melihat anaknya yang selalu antusias memanggil sang Ayah. Padahal jika Jevano sedang berduaan dengannya, anak itu kerap mengganggu seolah Jevano tidak boleh memiliki Anna sepenuhnya. Jevano terkekeh, ia cubit pipi sang anak lalu kembali ke ruangan bersama dengan istrinya. Sebelum dirinya masuk, laki-laki itu menoleh tegas pada sang sekretaris, "tolong kamu proses kejadian tadi. Beri dia peringatan, bahwa siapapun yang berkunjung harus ada izin terlebih dahulu. Bukan bolak-balik bebas begitu ke Perusahaan kecuali istri dan anak saya." Gio mengangguk, tentunya ia juga setuju dengan keputusan Jevano. Apalagi keluarga dari manajer keuangan itu sudah seperti bebas berkeliaran di Perusahaan Jevano. Anna meminta suaminya untuk kembali bekerja, sedangkan dirinya bermain dengan sang anak yang mulai lincah dan tidak mau hanya diam di
"Masalahnya dia gak ada nyusul kita sekarang," ucap Jevano membuat istrinya terkekeh. Jevano menoleh dengan tatapan herannya, "kok malah ngetawain Mas?" tanyanya. "Ya kan emang lucu Mas. Kamu yang nyuruh Gio tadi ngobrol sebentar, sekarang kamu yang merasa itu salah," jawab Anna. Jevano mengangguk mendengarnya. Memang betul ia yang meminta sekretarisnya untuk mengobrol lebih dulu. Tapi maksudnya hanya untuk sekedar pamitan, bukan mengobrol hingga selama ini. Beberapa menit setelahnya, Gio masih belum terlihat turun. Begitupun dengan Jevano yang sudah menunggunya cukup lama bersama dengan sang istri dan anaknya yang sudah terlelap. Ia rogoh ponsel miliknya di dalam saku jas hitamnya itu—bergegas menghubungi Gio yang kini mungkin sedang asik mengobrol dengan wanita yang didekatinya beberapa minggu lalu. Gio menyambungkan panggilan dari atasannya. Dengan lantang Jevano berkata, "kamu turun dan keluarga saya pulang atau saya ti
Tidak lama setelah itu, Rezkiano juga sudah kembali dan menyelesaikan semua pelajaran yang diikutinya hari ini. Dengan senyumannya yang merekahnya, ia berlari pada sang ayah sembari memanggilnya. Sontak ibu-ibu yang sempat menyebutnya sebagai supir tadi menoleh terkejut, "jadi kamu ayahnya?" "Aduh maaf ya Pak! Saya kurang tau soalnya," ungkapnya. Jevano tersenyum dengan anggukannya, "iya Bu, tidak apa-apa. Kalau gitu saya pamit duluan." Ibu itu mengangguk dengan senyumannya. Sesampainya di rumah, Jevano memeluk istrinya yang sedang duduk di ruang tengah sembari memakan buah potong yang disediakan Bi Ani. Semenjak rasa mualnya parah pagi tadi, Anna memilih untuk diam di ruang tengah. Apalagi sembari menunggu anak dan suaminya datang. Wanita itu terkekeh ketika sang suami dan anaknya berebutan ingin memeluk ibu hamil ini, "kalian bisa gak sih akur sebentar. Kayaknya akurnya kalau gak ada Ibu ya?" Jevano dan anaknya
Anna menggelengkan kepala dengan tangisannya, ia sudah tidak kuat menahan rasa mual yang terasa kuat pagi ini. Setelah merasa baikan, Jevano memapah istrinya untuk sekedar duduk di tepian kasur. Sembari menatapnya lekat, ia bersimpuh di hadapan istrinya. "Kamu yakin gak mau sesuatu?" tanya Jevano lagi. Anna menggelengkan kepalanya, "anna kan baru aja bangun tidur. Barusan juga kebangun gara-gara mualnya Mas." "Ya ampun... Kalau gitu Mas bawain dulu air hangat ya! Kamu tunggu sini," pinta Jevano beranjak dari kamar. Ia tuangkan air hangat lalu kembali ke kamarnya, membantu Anna untuk minum agar lebih lega rasa mualnya. "Tidur lagi aja ya! Nanti sarapannya dimasak Bi Ani aja. Kamu istirahat aja kalau mual," ucap Jevano. Jevano baru saja akan beranjak untuk membangunkan anaknya, namun tangannya segera ditahan oleh Anna. "Kenapa Sayang?" tanya Jevano. "Mas mau kemana?" tanya Anna.
Jevano menggelengkan kepalanya, "enggak Sayang." "Terus kenapa itu mulut anaknya ditutup segala?" tanya Anna. Jevano sedikit menggeser posisi kursinya, menghadap sang istri dengan tatapan lembutnya, "nanti Mas yang cerita." "Beneran?" Jevano mengangguk, "nanti habis makan siang ya!" Anna hanya mengangguk setelahnya. Makan siang susah selesai, Anna juga sudah membereskan kembali piring-piring yang kotor tadi, berikut dengan Rezkiano yang sudah bermain bersama sang ayah di ruang tengah. Anna datang menghampiri keduanya, "kayaknya kalian emang harus main bareng terus biar akur. Dibanding kalau salah satu deketan sama aku, satunya merajuk." Jevano terkekeh mendengarnya, "bang, ibu marah tuh!" "Ya kan Ayah yang suka manja sama Ibu," Anna terkekeh mendengarnya apalagi ketika melihat ekspresi sang suami pada anaknya. S
Jevano menoleh pada pria paru baya yang ada di dekatnya, sedangkan Rezkiano malah bersembunyi dibalik kaki sang ayah, "ayah itu yang kemarin mau culik ibu." Laki-laki itu menatap sinis orang tua istrinya. Ia berjongkok menghadap sang anak, memintanya untuk masuk ke kelas lebih dulu. Setelahnya, Jevano meminta Ayah anna untuk mengikutinya, menuju bangku taman yang sedikit lebih jauh dari taman kanak-kanak anaknya. "Mau ada urusan apalagi?" tanya Jevano. "Jev, Ayah cuman mau tau siapa nama dia," jawab Ayah anna. "Untuk apa? Saya sudah tidak mau ada sangkut paut apapun sama kamu," ucap Jevano. "Bagaimanapun Ayah tetap kakeknya, Jev," Jevano malah menyeringai, "kakek? Kakek yang bagaimana maksudnya?" "Yang tega bunuh besannya sendiri? Yang tega bikin ibunya keguguran? Yang tega kasih obat perangsang buat menantunya, biar rumah tangga anaknya hancur?" "Yang mana?" tanya Jevano mencerca. "T
Dokter itu malah tersenyum, "selamat ya Pak, Bu."Jevano menautkan alisnya bingung, "dok... masa istri saya sakit dokter malah bilang selamat." Dokter itu terkekeh pelan, "saya belum selesai bicara Pak," jawabnya.Anna menahan senyumannya melihat ekspresi malu sang suami. Wanita itu kembali bertanya tentang keadaannya. "Ibu Anna positif hamil, usia kandungannya baru 5 minggu. Jadi harus dijaga dengan ekstra hati-hati ya!" pesan dokternya. Anna dan Jevano saling menoleh, keduanya memang merencanakan untuk menambah anak. Tapi tidak menyangka, Anna akan hamil secepat ini. Ucapan selamat dari dokter itu membuat Anna mengangguk dengan senyumannya. Setelah pemeriksaan selesai, Anna berjalan menuju apotek untuk menebus obat dan vitamin yang diresepkan dokternya. Apalagi Anna sedang berada di fase mual. Anna menoleh pada suaminya yang sejak tadi terdiam. Pikirannya begitu jauh hingga ia tidak berani berbicara deng
Anna menggelengkan kepalanya, "gak usah Mas. Anna mau istirahat aja dulu, nanti kalau masih gak enak, mau." "Ya udah pulangnya diantar aja ya!" tawar Jevano. Baru saja Anna membuka mulutnya, Jevano langsung menyela, "mas gak terima penolakan."Anna mengulas senyuman, "iya kalau gitu boleh." Setelah menikmati makan siang, Jevano langsung mengantar istri dan anaknya lebih dulu. Laki-laki itu berpesan pada Bi Ani untuk menjaga istrinya. Begitupun pada sang anak, untuk segera memberitahunya jika terjadi sesuatu. "Rezki tau kan nomor Ayah?" tanya Jevano sebelum kembali berangkat. Rezki mengangguk mengiyakan dengan senyumannya. Jevano kembali ke Perusahaannya, sekalipun dirinya masih terus kepikiran sang istri yang tiba-tiba sakit tadi. Laki-laki itu berpikir bahwa mungkin karena ayahnya kembali, Anna menjadi banyak pikiran dengan rasa takut yang kembali menghantuinya. Setibanya di Perusahaan, Gio sudah menungg
Jevano yang sedang menuntun anaknya itu menoleh pada sang istri yang terdiam dan menghentikan langkahnya, "sayang kenapa malah melamun gitu sih?" Anna menoleh pada suaminya, ia masukkan kembali ponselnya lalu berjalan dengan senyuman menghampiri suami dan anaknya. "Gak ada Mas. Yuk!" ajaknya sembari menggandeng tangan sang suami. Jevano hanya mengangguk mengiyakan, laki-laki itu sebenarnya tahu ada yang terjadi dengan istrinya. Namun sekarang yang terpenting adalah menikmati makan siang bersama sang anak. Rezkiano memesan beberapa makanan yang disukainya, hingga Anna menegurnya untuk tidak serakah. Di sela-sela makan siangnya, panggilan masuk terus-menerus pada ponsel Anna membuatnya sedikit risih. Begitupun dengan Jevano yang terus meliriknya. "Udah kamu angkat dulu aja," pungkas Jevano. "Nomornya gak dikenal Mas," "Siapa tau penting Sayang, makanya dia telepon terus," timpal kembali sang suami.
Wanita itu tadinya akan masuk ke mobil namun tangannya ditahan oleh seseorang yang menyapanya. "Tolong jangan pergi dulu! Ayah mau bicara sama kamu," ucap pria paru baya itu. Anna sedikit ketakutan padanya, kekejaman yang dilakukannya kembali terngiang di kepala anna. Sedangkan tangannya masih berusaha menggenggam kuat tangan sang anak. Taksi saja sudah kembali ditutup oleh Anna dan pergi begitu saja. Ayahnya sempat menarik Anna untuk berbicara sebentar dengannya. Namun Rezkiano dengan ketakutannya berteriak hingga beberapa ibu-ibu yang masih di sekolahnya itu keluar dan mencegah pria yang tidak dikenal oleh Rezkiano sendiri. Anak itu menangis hingga ibu-ibu juga mencegah dan memarahi Ayah Anna hingga mengancamnya untuk dibawa ke kantor polisi. Dengan dandanan selusuh itu, bagaimana ada yang percaya jika itu adalah ayah dari anna sendiri. Ayahnya kembali pergi, apalagi sudah ada petugas keamanan menghampirinya. Ia
"Mas cuman pengen kamu selalu bahagia sekalipun gak direpotin sama Mas," jawabnya. Anna mengulas senyumannya, lalu memeluk sang suami, "makasih ya Mas." "Kok kamu malah bilang makasih? Kan harusnya Mas yang bilang kayak gitu," tanya Jevano. Anna mendongak pada suaminya, "ya gak apa-apa. Kan Mas udah selalu mengusahakan apapun untuk aku." Jevano mengecup istrinya dengan senyuman, "mas sayang sama kamu." Suara ketukan pintu dengan teriakan dari Rezkiano membuat Jevano kembali menghela napas. Anna terkekeh, "udah deh gak usah merajuk lagi gitu." "Ya abisnya anak kamu heran, romantis sebentar aja Mas sama kamu susah banget," pungkasnya. "Udah yuk ah! Nanti anaknya gedor-gedor lagi," ajak Anna menarik tangan suaminya keluar dari kamar. Rezkiano melipat kedua tangannya sembari duduk di meja makan, "ibu sama ayah lama banget. Katanya tadi takut terlambat, tapi kalau udah berduaan lama," protesnya.