Sehari telah berlalu tapi Indah belum juga kembali ke rumah. Bahkan setiap kali Karta menghubunginya, ia tak menjawab teleponnya."Si Indah ini gimana sih! Bisa-bisanya dia nggak angkat telepon ku dari kemarin. Apa dia mau jadi pembangkang juga!" Wajahnya Karta merengut menatao layar ponsel yang terus mengeluarkan nada panggilan yang tak terjawab.Anjarwati, Gendis dan Ayu yang saat itu juga tengah duduk di meja makan bersama Karta hanya bisa menatao kepadanya."Apa Mbak Indah masih belum mau menjawab telepon mu, Mas?" tanya Ayu."Iya. Dia masih belum menjawab telepon ku padahal aku hanya ingin tanya kapan dia mau pulang. Apa dia merasa sudah tidak punya suami sampai-sampai dia pergi dan tak memberi kabar aku." Wajah Karta masih tamoak cemberut. Ia pun meletakkan telepon genggamnya dengan cukup keras ke atas meja makan."Tidak biasanya mbak Indah seperti ini ya, Mas. Sepertinya dia benar-benar sangat marah. Tapi kenapa dia bisa semarah ini, ya." Ayu memutar bola matanya dan berlagak t
"Kamu nggak lagi bohong kan, Ndis? Jangan jadikan anak di dalam kandungan mu ini sebagai alasan! Kita harus punya harga diri. Jangan sampai kedatangan mu ke sana membuat Indah dan keluarganya berpikir yang tidak-tidak." Anjarwati melangkahkan n kakinya mendekati Karta dan Gendis yang masih berada di dalam kamar."Kenapa ibu berpikir begitu, Bu? Bukannya kalau aku datang menemui mbak Indah, mereka akan senang. Itu artinya kan kita tidak mengabaikan mereka," ucap Gendis."Heh Ndis! Aku paling nggak suka disalahkan, ya! Bagaimanapun juga biarkan Indah kembali dengan sendirinya. Dia tidak mungkin menyia-nyiakan pria kaya seperti Karta, kan." Anjarwati menyelesaikan kalimatnya dengan nada sombong."Ya Tuhan, apa ini? Rupanya Ibu dan mas Karta adalah orang yang tidak mau mengakui kesalahan mereka padahal jelas-jelas mbak Indah marah karena mas Karta yang ingkar janji, tapi mereka malah bersikap seolah mereka itu yang benar dan mbak Indah yang salah," batin Gendis terdiam."Kata ibu itu ben
Gendis menatap lekat Indah yang duduk tepat di depannya. Namun, Indah hanya tertunduk membuang muka dari tatapan Gendis saat itu."Langsung saja ke intinya! Nggak usah basa-basi," ucap Indah tanpa menatap Gendis.Gendis menarik dalam napasnya dan mengatur setiap kata yang akan ia ucapkan pada Indah saat itu.Perlahan Gendis mencoba meraih tangan Indah dan menggenggamnya erat."Mbak, aku tahu mbak Indah marah padaku. Memang aku akui ini semua salahku tapi aku sungguh-sungguh tidak tahu kalau saat itu mas Karta sudah punya janji sama mbak Indah."Tanpa sepatah katapun, Indah hanya mendengus mendengar penjelasan dari Gendis."Aku tahu mungkin sulit untuk mbak Indah percaya padaku tapi aku mohon mbak, tolong maafkan aku. Aku sudah mencoba membujuk mas Karta saat itu tapi aku tidak bisa mengubah keputusannya. Aku benar-benar minta maaf karena sudah membuat mbak Indah merasa marah," ucap Gendis.Tiba-tiba Indah mengangkat kepalanya dan langsung menoleh ke arah Gendis. Matanya yang merah men
Hari demi hari terus berlalu dan Karta semakin disibukkan dengan pekerjaannya.Beberapa kali ia harus menginap di luar kota bersama Anjarwati dan meninggalkan ketiga istrinya.Karta sampai tak punya waktu untuk menemani Gendis USG di rumah sakit.Pagi ini, Gendis di temani Indah pergi ke rumah sakit untuk USG.Keduanya tampak akrab dan juga dekat. Beberapa kali Indah mengusap lembut perut Gendis yang sudah mulai membesar.Keduanya menemui dokter kandungan yang dulu pernah mereka temui saat pertama kali memeriksa kehamilan Gendis."Bagaimana, dok? Apa jenis kelamin anak yang sedang dikandung Gendis?" tanya Indah dengan begitu antusias.Sang dokter masih tampak mengusap perut Gendis dengan alat USG. Tak lama ia menunjuk ke sebuah alat yang ada di samping Gendis."Nah itu dia ke*amin anak bu Gendis. Bisa dilihat di situ bahwa ke*aminnya sudah terlihat sangat jelas dan itu adalah perempuan," ucap sang dokter dengan senyum ramah.Seketika senyum di bibir Gendis perlahan memudar. Rasanya be
Beberapa bulan kemudian.Gendis berjalan sedikit cepat untuk menghampiri ponselnya yang berdering di atas meja.Perutnya yang sudah semakin membesar terasa sedikit berat hingga membuatnya merasa lelah jika harus berjalan dengan cepat."Assalamu'alaikum Mas ...."Baru saja Gendis mengucapkan salam untuk sang penelepon yang tak lain adalah Karta, Karta sudah lebih dulu menyela."Kapan kamu akan melahirkan?" tanya Karta yang masih berada dj luar kota. Suaranya menggema dari ponsel genggam yang Gendis tempelkan di telinga kanannya."Oh emmmm, iya kemarin dokter memperkirakan sekitar 5 hari lagi, Mas. Kamu jadi pulang besok, kan?" tanya Gendis."Pekerjaan ku di sini masih banyak dan masih belum bisa selesai hari ini jadi aku belum bisa pulang besok.""Lalu kamu akan pulang kapan?" tanya Gendis yang sudah merasa sedikit risau. Ia takut jika Karta tak dapat menemaninya saat lahiran nanti."Mungkin akan diundur sampai seminggu jadi aku akan pulang minggu depan," jawab Karta."Berarti kamu ngg
"Kamu tenang saja, Nduk. Bapak dan adikmu ini pasti akan selalu ada untukmu dan kamu jangan khawatir. Jika mereka tidak menerima anakmu nanti, ada kami yang akan selalu menyayangimu dan anakmu ini."Mendengar ucapan Hartono, tanpa terasa membuat air mata Gendis meleleh. Dengan cepat ia menyaoy air matanya dan memeluk erat Hartono yang masih beraroma keringat.***Beberapa hari kemudian."Akh, Mbak Indah, tolong aku Mbak!" Dengan suara seadanya Gendis mencoba berteriak memanggil Indah yang saat itu ada di kamarnya.Gendis memegangi perutnya yang tiba-tiba saja terasa sangat melilit dan juga nyeri. Tampak cairan putih yang telah meleleh mengalir dari pangkal pahanya."Mbak t-tolong," teriak Gendis lagi.Tak lama Indah pun datang menghampiri Gendis sembari berlari kecil. Tampak Gendis yang sudah terduduk di pinggiran kasur.Tampak Gendis yang mencoba mengatur napasnya untuk meredakan rasa sakitnya.*ya ampun, Ndis. Kamu kenapa?" tanya Indah yang tampak panik."M-mbak, t-tolong aku," rint
Indah terus memandangi wajah bayi yang tengah digendong olehnya. Sementara Gendis masih terbaring lemas di atas ranjang."Wah bayimu ini cantik sekali, Ndis. Mirip seperti kamu yang juga cantik," puji Indah ssmbati tersenyum pada bayi di pelukannya. Ia masih tak henti-hentinya terkesima dengan kecantikan bayi yang dilahirkan oleh Gendis.Bayi dengan kulit putih bersih, pipi bulat dan bibir kecil juga tipis yang terlihat sangat imut. Belum lagi mata sipit yang membuatnya terlihat semakin cantik."Boleh aku melihatnya, Mbak?" tanya Gendis dengan suara pelan."Boleh dong, Ndis. Ini kan anak kamu, masa nggak boleh," jawab Indah yang kemudian memberikan bayi di pelukannya pada Gendis.Dengan sangat hati-hati Gendis menggendong bayi yang baru saja ia lahirkan. Rasa bahagia menyelimuti hati Gendis saat melihat bayi di hadapannya.Tanpa terasa air matanya jatuh melihat berapa cantiknya putri yang telah ia lahirkan dengan begitu sempurna. Namun, tiba-tiba saja Gendis terdiam sejenak. Matanya m
Setelah membaik akhirnya Gendis memberanikan diri untuk pulang ke rumah Hartono.Gendis terpaksa membawa bayinya pulang seorang diri karena Karta dan yang lainnya tak ada yang datang menemuinya. Jangankan menemuinya di rumah sakit, menelepon saja tidak."Apa bu Gendis yakin bisa pulang sendiri? Kenapa bu Gendis tidak menghubungi keluarga bu Gendis saja untuk menjemput bu Gendis," ucap sang bidan yang telah membantu persalinannya."Emmm nggak apa-apa kok, bu bidan. Saya bisa pulang sendiri dan insyaallah saya kuat," jawab Gendis dengan senyuman di bibirnya.Tangannya meraih dia tas yang sudah ia tata di atas ranjang. Sementara bayi mungil yang ia lahiran sudah berada dalam gendongannya."Ya sudah kalau begitu, bu Gendis hati-hati ya di jalan. Atau mau saya carikan taksi?" tanya sang bidan lagi.Mendengar tawaran dari sang bidan, Gendis buru-buru menolak karena uang pegangannya sudah semakin menipis."Oh nggak perlu, Bu. Nanti saya cari angkot saja di depan. Kebetulan rumah saya nggak b
7 tahun kemudian***Setelah 3 tahun lamanya, Karta masih terus membuktikan bahwa ia telah berubah menjadi lebih baik.Hari ini saat hari masih pagi, Karta datang ke rumah Gendis. Penampilannya terlihat sangat rapih dengan kemeja lengan panjang dan celana panjang serta rambut yang tetata rapi.Gendis mempersilahkan Karta duduk di kursi. Gendis pun duduk berhadapan dengan Karta yang saat itu ada di depannya.Gendis sedikit heran melihat Karta yang berpenampilan begitu rapih."Mas Karta mau kemana? Kok rapi sekali?" tanya Gendis penasaran."Emmm aku sengaja berpenampilan rapih begini, Ndis. Aku ingin melamar seseorang," jawab Karta.Gendis pun tercengang mendengar jawaban Karta. Gendis merasa penasaran akan wanita yang akan dilamar oleh Karta."Siapa kira-kira wanita yang akan dilamar oleh mas Karta, ya? Apa jangan-jangan aku," batin Gendis.Keduanya masih saling menatap sesekali. Tak lama Karta pun menyeruput kopi buatan Gendis yang rasanya masih sama, nikmat sesuai dengan seleranya."E
"Sekarang ini bukan lagi rumahmu, tahu! Lebih baik sekarang kalian pergi dari sini atau aku akan telepon polisi untuk menyeret kalian semua dari sini," ancam Anjarwati.Karta yang merasa telah dikhianati oleh Anjarwati pun tak terima. Ia mencoba mencekik Anjarwati hingga wajahnya tampak pucat."Dasar wanita tua jahat! Bisa-bisanya kamu melakukan ini padaku! Kamu pantas mati, wanita tua!" teriak Karta penuh amarah.Tentu saja semua orang pun menjadi panik melihat Karta yang saat itu mencekik Anjarwati.Apalagi Gendis, ia merasa takut jika sampai Karta masuk bui lagi padahal ia sendiri sudah sangat susah payah melapangkan hatinya untuk membebaskan Karta dari penjara agar kelak anaknya tak malu mempunyai ayah mantan narapidana.Dengan cepat Gendis pun bergerak menghentikan Karta agar tak mencekik Anjarwati."Sudah, Mas. Jangan lakukan itu," ucap Anjarwati sembari mencoba menarik tangan Karta yang tengah mencengkram leher Anjarwati."Tidak, Ndis. Wanita jahat ini harus mati! Dia sudah mem
Karta mencoba membujuk Gendis dan berjanji untuk berubah. Tapi, sayangnya Gendis tetap teguh pada pendiriannya untuk berpisah dari Karta."Maaf, Mas. Keputusan ku sudah bulat. Aku tetap ingin berpisah darimu. Aku tidak ingin memperbaiki apapun denganmu, tapi kamu tenang saja. Aku tidak akan membiarkanmu berada di sini. Aku ingin kita bisa membesarkan Yasmine bersama-sama meskipun bukan dengan status suami istri," jelas Gendis dengan begitu tegas.Mendengar ucapan Gendis yang begitu yakin dengan keputusannya. Karta hanya bisa menitikkan air matanya.Kini ia telah kehilangan semua istrinya bahkan istri yang sebenarnya sangat menyayanginya dan memikirkan dirinya."Aku hanya ingin kamu berubah menjadi lebih baik, Mas. Untuk kehidupan mu di masa depan," ucap Gendis lagi.Dengan berat hati, Karta menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan."Baiklah kalau memang itu sudah keputusanmu. Aku tahu bahwa kesalahanku kemarin sudah sangat keterlaluan. Sekarang aku akan mengikuti ucapan
Setelah beberapa hari di rumah sakit akhirnya Gendis pun sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.Indah, Indri dan Rehan menjemput Gendis yang masih tampak sedikit lemas dengan mata sembab.Sudah beberapa hari Gendis hanya menangisi bayinya yang telah meninggal dunia. Gendis hanya fokus meminum obatnya sehingga badannya terlihat sedikit lebih kurus karena tak banyak makan."Mbak Gendis hati-hati, ya. Sini biar ku bantu," ucap Indri berinisiatif memapah Gendis sementara Indah membawakan tas berisi pakaian milik Gendis."Sudah ya, Mbak. Mbak Gendis jangan nangis terus, aku takut mbak Gendis kenapa-napa kalau terus menerus terpuruk begini," ucap Indri saat berjaoan menuju ke parkiran.Tatapan mata Gendis yang tampak kosong pun membuat Indri semakin khawatir."Bagaimana Mbak nggak sedih, Ndri. Mbak sudah kehilangan bayi yang masih ada di dalam perut Mbak. Mbak merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dia dengan baik," ucap Gendis."Tidak, Mbak. Mbak Gendis tidak salah. Ini semua kesalahan
Malam sudah lumayan larut dan Anjarwati baru pulang. Ia sedikit heran melihat rumah yang tampak sedikit berantakan terutama di bagian kamar Gendis.Sementara ia tak menemukan seorangpun di rumah itu. Anjarwati mencoba untuk mencari Karta dan Gendis tapi ia tak menemukannya.Anjarwati masih belum menyerah. Ia mencoba memeriksa ke setiap ruangan sembari memanggil-manggil nama mereka tapi tetap tak ada jawabnya.Namun, bukannya khawatir ataupun panik karena ia tak menemukan Karta dan Gendis. Anjarwati justru duduk di sofa dengan senyum ceria penuh tawa.Perlahan Anjarwati melempar map di tangannya ke atas meja setelah ia duduk di sofa ruang tamu."Wah jadi gini ya rasanya kalau tinggal sendiri. Rasanya begitu tenang dan juga bebas," ucap Anjarwati dengan senyum bahagia."Sekarang rumah ini sudah jadi milikku seutuhnya dan juga semua usaha empang yang Karta miliki. Dia sudah tidak punya apapun sekarang," lanjut Anjarwati.Tak lama Anjarwati bangkit dari duduknya dan beranjak ke dapur. Di
Rehan datang dengan 2 orang polisi. Mereka langsung masuk ke dalam rumah Karta dan melihat sendiri penyiksaan yang tengah Karta lakukan pada Gendis."Angkat tangan anda!" ucap seorang polisi yang langsung menyergap Karta yang saat itu akan menyiksa Gendis lagi.Karta pun hanya bisa memberontak saat kedua tangannya di pegang erat oleh dua orang polisi.Sementara Gendis yang sudah tak berdaya, hanya bisa menangis melihat Karta ditangkap oleh polisi."Lepaskan aku, lepaskan!" Teriak Karta tak karuan."Bawa saja dia ke kantor polisi, Pak," ucap Rehan dengan tegas.Akhirnya kedua polisi itu pun membawa paksa Karta ke kantor polisi, meninggalkan Rehan yang hanya tinggal dengan Gendis."Awas kamu, ya! Berani-beraninya kamu bawa-bawa polisi! Lihat saja nanti kamu! Aku akan balas kamu!" teriak Karta dengan keras pada Rehan sebelum akhirnya ia dibawa oleh dua orang polisi yang menyeret paksa dirinya.Rehan pun segera menghampiri Gendis tanpa memedulikan ancaman Karta saat itu."Mbak, Mbak Gendi
Setelah kepergian Ayu dari rumah Karta. Gendis pun masuk ke dalam kamarnya dengan sangat hati-hati. Gendis masih merasakan nyeri pada perutnya. Gendis pun kemudian duduk di pinggiran ranjangnya. Sesekali tangannya mengelus perutnya yang terkadang terasa nyeri. Tiba-tiba Gendis teringat akan ucapan Ayu. Dengan cepat Gendis pun mengambil ponselnya. Dengan cepat Gendis menekan beberapa tombol di ponselnya. Tak lama terdengar suara seorang pria dari dalam teleponnya. "Halo, Mbak Gendis? Ada apa Mbak? Mbak Gendis baik-baik saja, kan?" tanya Rehan. "Aku baik-baik saja, Mas. Aku hanya ingin tanya sesuatu pada mas Rehan," ucap Gendis menghentikan kalimatnya. "Tanya apa Mbak? Silahkan saja," jawab Rehan. "Apa mas Rehan yang sudah memberi tahu semuanya pada mas Karta tentang perselingkuhan Mbak Ayu?" tanya Gendis. Untuk sesaat Rehan hanya terdiam hingga membuat suasan sunyi meski telepon masih tersambung. "Oh itu, emmm iya Mbak," jawab Rehan yang kembali terdiam. "Kenapa mas Rehan meng
Setelah diizinkan pulang oleh dokter, Gendis pun akhirnya pulang ke rumah sembari diantar oleh Indah.Indah memapah Gendis masuk ke dalam rumah. Namun, sebuah pemandangan yang sangat menegangkan disaksikan oleh Gendis dan Indah saat itu.Keduanya menghentikan langkah kakinya saat melihat Ayu yang tengah menangis terisak sembatu bersujud di kaki Karta.Sementara pakaian dan tas pun tampak berhamburan di lantai. Sesekali Gendis dan Indah saling melempar tatap merasa penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi."Pergi kamu dari sini! Dasar tukang selingkuh!" umpat Karta dengan nada cukup keras.Gendis pun tercengang mendengar apa yang dikatakan oleh Karta. Gendis tak tahu darimana Karta bisa tahu tentang perselingkuhan Ayu. Sementara ia tidak mengatakan apapun pada Karta."Mas, aku mohon maafkan aku, Mas. Aku mengaku salah tapi aku mohon jangan usir aku dari sini," rintih Ayu memohon-mohon pada Karta."Jangan kamu maafkan dia, Karta! Kalau kamu maafkan wanita seperti ini maka dia pasti
Dengan langkah kaki terburu-buru Rehan menyusuri lorong demi lorong rumah sakit hingga akhirnya sampailah ia di sebuah ruangan.Terlihat seorang wanita tengah terbaring di atas ranjang dan seorang lagi berdiri di sebelahnya."Mbak, apa yang terjadi? Kenapa mbak Gendis bisa sampai seperti ini?" tanya Rehan dengan raut wajah khawatir."Aku juga nggak tau. Tadi pas aku sampai di sana, dia sudah tergeletak tak sadarkan diri," jawab Indah."Lalu mbak Indah tahu darimana mbak Gendis begini?" tanya Rehan lagi."Tadi Raya yang menelepon ku dan meminta aku ke sana," jawab Indah."Raya ...." Rehan yang tak mengenal nama yang disebutkan oleh Indah pun mencoba menebaknya."Raya adalah anaknya Ayu. Jadi tadi tidak ada satupun orang di rumah makanya Raya menelepon ku untuk meminta pertolongan," ucap Indah lagi."Emmm kalau boleh tahu, dimana mbak Indah menemukan mbak Gendis yang tergeletak?" tanya Rehan lagi."Aku menemukannya di kamarnya," jawab Indah.Tanpa berlama-lama Rehan pun langsung mengamb