Malamnya Gendis menyiapkan makan malam sederhana. Ia hanya memasak sayur kangkung dan menggoreng tahu. Menu sederhana itu akan Ia santap bersama dengan bapak dan adiknya.
"Mbak, bapak kok belum datang? Apa bapak sakitnya kambuh lagi?" tanya Indri pada Gendis yang masih sibuk menyendokkan nasi ke piring."Iya Ndri. Nanti biar Mbak saja yang antar makan malam bapak ke kamar. Kamu makan saja sekarang setelah itu istirahat," ucap Gendis lembut.Indri pun lalu memakan makan malamnya. Sementara Gendis pergi ke kamar Hartono.Tamoak Hartono yang tengah berbaring miring membelakangi pint sehingga saat Gendis masuk hanya bisa menyaksikan punggung Hartono."Pak, bapak belum makan, kan? Ini Gendis bawakan makan malam," ucap Gendis sembari mendekati Hartono. Ia lalu duduk di pinggiran ranjang.Tak lama Hartono pun menoleh. Sambil terbatuk, ia mencoba bangun dan mengubah posisinya menjadi duduk."Dadanya masih sakit banget, ya, Pak?" tanya Gendis pelan."Iya Ndok. Sepertinya sakitnya bapak semakin parah," jawabnya dengan suara parau. Matanya tampak sedikit memerah membuat Gendis bertanya-tanya dalam hatinya. Apakah bapak habis menangis, pikir Gendis setiap kali menatao mata Hartono yang memerah."Besok Gendis belikan obat, ya, Pak. Kalau tidak salah kita masih punya sedikit simpanan uang," ucap Gendis."Gendis, bapak boleh bicara serius denganmu?" tanya Hartono sembari memebenahi posisi duduknya. Keduanya pun berhadapan dalam jarak yang tidak begitu jauh."Iya boleh, Pak. Bapak mau bicara apa pada Gendis?" tanya Gendis penasaran.Hartono pun meraih tangan Gendis saat itu. Bibirnya bergetar saat mulai terbuka."Bukannya bapak tidak sayang padamu, Ndis, tapi setelah bapak pikir-pikir lagi. Sepertinya apa yang juragan Karta bilang tadi itu benar," ucap Hartono menghentikan kalimatnya.Gendis segera menautkan kedua alisnya. Ia sangat terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Hartono padanya."Apa maksud Bapak? Apa Bapak ingin aku menikah dengannya?" tanya Gendis yang segera menarik tangannya dari genggaman Hartono."Maafkan Bapak, Ndis. Bapak tidak punya pilihan lain lagi. Kalau sampai rumah ini benar-benar disita oleh juragan Karta maka kita semua tidak akan punya tempat tinggal. Lalu bagaimana nasibmu dan adikmu apalagi sekarang bapak sakit-sakitan begini," ucap Hendarto dengan suara bergetar. Kepalanya tertunduk menatap tangannya yang mengepal dengan erat.Perlahan Gendis beringsut menjauhi Hartono mencoba mengambil jarak agar tak terlalu dekat dengannya."Tapi Gendis tidak mau menikah dengan laki-laki tua itu, Pak. Dia itu pria yang sudah beristri, dia sudah berumur jauh dariku dan sifatnya juga sangat tidak baik. Aku tidak suka padanya. Tolong jangan nikahkan aku dengan dia, Pak," rintih Gendis memohon."Ini satu-satunya cara, Ndis. Hanya ini cara agar bapak bisa melihat salah satu dari putri bapak hidupnya enak. Kalau hidupmu enak, bapak yakin kamu bisa menolong bapak dan adikmu," ucap Hartono lagi."Tapi tidak harus menjadi seorang madu, kan, Pak? Seorang wanita akan merasakan sakit yang teramat sangat saat mereka dimadu dan menjadi madu. Aku tidak mau, Pak. Tolong jangan paksa aku untuk menikah dengannya." Gendis membuang muka menahan air mata yang sudah diujung bulu mata."Bapak tahu ini tidak baik tapi bapak mohon lakukan ini demi adik kamu. Kasian dia kalau sampai dia menjadi gelandangan. Hanya kamu satu-satunya yang bisa bapak harapkan Ndis," lanjut Hartono.Gendis semakin sesenggukan. Dadanya terasa sangat nyeri menahan tangis yang tak bisa ia keluarkan dengan leluasa."Gendis tidak mau, Pak. Tolong jangan paksa Gendis," ucap Gendis masih menolak."Baiklah kalau memang kamu tidak mau. Bapak tahu kalau bapak terus memaksamu itu adalah hal yang salah. Bapak minta maaf karena sudah membuatmu bersedih," ucap Hartono menaikkan pandangannya menatap Gendis yang sudah sesenggukan.Namun, Gendis tak mau disentuh oleh Hartono. Ia kemudian berlari keluar kamar sembari menangis.Indri yang sedang duduk di kursi meja makan merasa penasaran melihat Gendis yang berlari sambil menangis saat keluar dari kamar Hartono."Loh mbak Gendis kok menangis, ada apa, ya," ucap Indri lirih.***"Bu, besok temani aku ke rumah Hartono, ya," ucap Karta saat ia, kedua istrinya dan Anjarwati tengah duduk melingkari meja makan."Loh mau apa ke sana?" tanya Anjarwati, ibu dari Karta."Aku mau mengenalkan ibu pada seseorang," ucap Karta sembari tersenyum penuh arti.Indah dan Ayu yang melihat senyum tak biasa di bibir Karta merasa penasaran."Seseorang? Siapa?" tanya Anjarwati."Ada lah. Seseorang yang pasti ibu akak suka," jawab Karta lugas."Dan untuk kalian berdua siap-siap menerima anggota keluarga baru. Dia akan menjadi bagian di rumah ini seperti kalian," ucap Karta menatap kedua istrinya, Ayu dan Indah."Anggota keluarga baru? Seperti kita? Apa maksudnya, Mas?" tanya Indah selalu istri pertama Karta."Aku mau menikah lagi. Kalian jangan cerewet atau protes!" Ancam Karta."Tapi Mas, kenapa kamu harus menikah lagi? Bukankah punya dua istri saja sudah cukup." Ayu sebagai istri kedua merasa keberatan."Kamu ini gimana sih, Yu. Karta kan belum dapat anak laki-laki jadi wajar dong kalau dia menikah lagi. Kamu juga kan nggak bisa kasih anak laki-laki buat Karta jadi mending kamu izinin aja Karta menikah lagi. Jangan menghalangi dia untuk mendapatkan apa yang dia mau," sela Anjarwati membela Karta.Seketika Ayu pun terdiam tak berbicara apapun lagi. Ekpresi wajahnya berubah menjadi merah padam dengan bibir yang mengatup erat."Ibu benar! Kalian nggak bisa kasih anak laki-laki buat aku. Jangan pernah sekali-kali menghalangi aku untuk menikah dan mendapatkan anak laki-laki. Kalau kalian nggak suka dimadu, kalian bisa minta cerai biar aku ceraikan," ujar Karta begitu enteng."Aku tidak keberatan kalau Mas mau menikah lagi. Asalkan wanita yang akan menjadi istrinya Mas adalah wanita yang baik," ucap Indah."Oh ya tentu saja. Aku tidak mungkin sembarangan pilih wanita yang akan aku jadikan istri," timpal Karta dengan nada sombong."Ish mbak Indah nih apa-apaan, sih. Kok dia setuju mas Karta nikah lagi. Kan nanti uang bulanan kita pasti jadi berkurang," gerutu Ayu dalam hati."Kalau begitu besok kita ke sana berdua kan, Karta? Kedua istri mu ini nggak perlu ikut, kan. Ntar malah repot kalau mereka ikut," ucap Anjarwati."Iya, Bu. Kita berdua saja. Lagian kita harus memastikan dulu kalau wanita itu mau menjadi istriku.""Maksud kamu apa bicara seperti itu. Memangnya siapa yang tidak mau punya suami seperti kamu. Orang paling kaya di kampung ini. Hanya wanita gila yang mau menolak kamu," ucap Anjarwati. Seketika Karta pun tertawa kecil mendapatkan pujian dari Anjarwati.Mereka pun menyelesaikan makan malam mereka. Setelah selesai makan malam, Indah dan Ayu membersihkan meja makan dan mencuci piring bekas makan.Saat Indah sedang mencuci piring tiba-tiba Ayu datang menghampirinya dan menarik keras tangannya hingga piring yang tengah ia cuci hampir terlepas dari pegangannya."Mbak Indah, maksudnya tadi apa sih. Kenapa pake setuju segala kalo mas Karta nikah lagi." Kedua mata Ayu melotot."Loh memangnya kenapa, Yu. Itu lebih baik daripada mas Karta berzina.""Halah bohong. Bilang aja mbak Indah mengizinkan mas Karta menikah lagi karena takut diceraikan oleh mas Karta kan karena mbak Indah nggak bisa punya anak."Plak.Seketika tamoaran keras mendafat di pipi Ayu dengan cukup keras."Cukup, Yu. Jangan pernah kamu mengatai aku seperti itu lagi," ucap Indah kesal.Sampai pagi menyapa, Gendis masih belum juga tidur. Air matanya masih terus keluar membasahi pipinya."Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang. Aku tidak mau menikah dengan pria yang sudah beristri tapi bagaimana dengan nasib bapak dan Indri kalau sampai aku tidak menikah dengan juragan Karta," batin Gendis.Pikirannya masih terus melayang jauh entah kemana. Bahkan sampai matahari mulai menyingsing. Gendis memilih untuk tak berangkat sekolah karena pikirannya yang sedang kacau saat itu.Terdengar derap langkah kaki di luar kamarnya dan setelah itu menghilang begitu saja. Namun, Gendis masih tak bangkit dari tempat tidurnya saat itu. Ia masih meringkuk memeluk kakinya yang ia tekuk hingga ke dada."Tok, tok, tok."Terdengar suara ketukan pintu dari luar kamarnya. Dengan cepat Gendis menyapu air matanya yang saat itu masih keluar dari matanya."Gendis, ini bapak. Apa bapak boleh masuk?" tanya Hartono."Iya oleh, Pak," jawab Gendis dengaj suara parau.Hartono pun masuk dan melihat
Dengan berbunga-bunga Karta pulang ke rumah. Indah dan Ayu yang melihat wajah semringah Karta pun merasa heran. "Kamu kenapa, Mas? Kok senyum-senyum begitu?" tanya Ayu menghampiri Karta. "Aku akan segera menikah lagi! Aku akan punya anak laki-laki," jawab Karta sembari tertawa senang. Indah yang mendengar ucapan Karta pun segera menoleh ke arah Karta dan Ayu. "Bagaimana ini, bagaimana jika mas Karta menikah lagi dan berhasil punya anak laki-laki. Itu artinya hanya aku satu-satunya istri yang tidak memberikannya keturunan." Indah membatin dalam hati. Rasanya begitu sangat sakit saat ia harus mendapatkan hinaan dari semua orang karena tak bisa punya anak. "T-tapi, Mas. Bagaimana kalau dia tidak bisa memberikanmu anak laki-laki." Ayu menghentikan tawa Karta saat itu dengan kalimatnya. "Tidak mungkin! Dia pasti bisa memberikanku anak laki-laki. Aku yakin dia bisa memberikan ku anak laki-laki yang tidak bisa kalian berikan," ucap Karta. "Tapi, Mas. Aku kan punya Raya, aku nggak mau y
"Ndis? Kenapa kamu menerima pernikahan ini? Kamu kan tidak menyukai juragan Karta," ucap Hartono yang perlahan melangkahkan kakinya mendekati Gendis yang menangis sesenggukan sembari menundukkan kepalanya."Iya, Mbak. Kenapa mbak Gendis menerima ucapan juragan Karta." Indri yang juga tak percaya pada keputusan Gendis saat itu langsung mendekat ke arahnya."Mbak nggak mau kamu yang menjadi tumbal atas penolakan Mbak pada juragan Karta. Mbak nggak rela kalau sampai kamu menikah dengan juragan Karta. Kamu masih sangat muda, Ndri. Jalan masa depanmu masih panjang," jawab Gendis sambil sesenggukan."Tapi aku rela kok Mbak, berkorban untuk keluarga ini. Aku rela ikhlas jika aku memang harus melakukan itu semua," jawab Indri."Kalau kamu saja mau mengorbankan masa depanmu masa aku sebagai kakak malah bersembunyi di balik badanmu. Aku nggak mungkin membiarkan kamu kehilangan masa depanmu dengan menjadi istri ketiga jadi biar Mbak saja yang menikah dengannya dan kamu lanjutkan sekolahmu.""Ter
Akhirnya mereka pun sampai di kantor KUA. Kedua mata Gendis semakin samar menatap penghulu di depannya dengan mata yang berkaca-kaca."Apakah bapak yakin ingin menikah siri?" tanya pak penghulu saat itu.Bak disambar petir di siang bolong. Gendis membulatkan kedua matanya mendengarkan jawaban dari Karta saat itu yang mengiyakan pertanyaan dari pak penghulu."A-apa ini? Apa aku akan menjadi istri sirinya juragan Karta? Kenapa aku hanya dinikahi siri," batin Gendis yang saat itu ingin memberontak karena tak ingin dinikahi siri.Seumur hidupnya, Gendis tak pernah membayangkan bahwa dirinya akan menjadi istri siri dari seorang pria yang menikahinya.Dengan mata yang masih berkaca-kaca, Gendis yang duduk tepat di samping Karta menatap Hartono yang ada di depannya."Pak, tolong aku... Aku tidak mau dinikahi siri. Kenapa aku dinikahi siri," batin Gendis yang tak mampu mengeluarkan kalimat yang sudah ada di ujung bibirnya."Hei, kamu jangan menangis! Jangan bikin malu aku dan Karta," bisik An
"Ya Tuhan, bagaimana ini. Aku belum siap melayaninya," batin Gendis bergejolak. Seketika air matanya mengucur kembali dengan sangat deras. Jantungnya semakin berdegup kencang saat melihat Karta perlahan melepaskan kancing baju miliknya.Terlihat rambut-rambut halus yang tumbuh di dada dan menyembul keluar saat baju mulai terbuka."J-juragan, t-tapi ini masih siang. Apa kita harus melakukannya sekarang? bukankah tadi Juragan bilang ada urusan penting yang harus dikerjakan." Gendis berusaha mencari cara agar Karta mengurungkan niatnya untuk menunaikan kewajibannya sebagai suami istri."Itu mah gampang. Aku bisa menyelesaikannya setelah ini." Ekpresi penuh napsu tamoak jelas di wajah Karta. Kedua matanya fokus menatap gunung kembar milik Gendis yang masih bersembunyi di balik kebaya putih yang dipakainya."Ya Tuhan, bagaimana ini. Sepertinya Juragan Karta ingin melakukannya sekarang," batin Gendis semakin tak karuan.Karta yang sudah selesai melepaskan kancing bajunya, langsung melempa
"Lebih baik sekarang kamu bangun dan jangan bermalas-malasan! Jangan sok jadi tuan putri du rumah ini," umpat Anjarwati lagi.Bibir Anjarwati masih mengerucut menatap Gendis yang masih tertunduk di depannya."Indah, Ayu!" Suara Anjarwati yang keras dan lantang membuat Ayu dan indah segera datang menghampirinya."I-iya, Bu. Ada apa?" tanya Ayu menghampiri Anjarwati. "Kamu urus gadis ini. Ajari dia mengurus rumah ini," ucap Anjarwati pada Ayu dan Indah.Mendengar ucapan Anjarwati membuat Ayu tersenyum mengembangkan bibirnya hingga tanpa garis bibir yang sedikit terangkat.Sementara Indah hanya menoleh ke arah Gendis tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Kedua matanya menatap dalam Gendis yang masih tertunduk."Wah, dengan senang hati aku akan mengajarinya, Bu," jawab Ayu semringah."Tapi ingat, jangan sampai dia terluka sedikit saja. Kalau tidak nanti Karta bisa marah besar," ucap Anjarwati mengingatkan."Tenang saja, Bu. Itu tidak akan terjadi," jawab Ayu penuh keyakinan.
"Pantas saja mas Karta jatuh hati pada gadis itu. Ternyata secantik itu wajah naturalnya," batin Ayu yang masih belum bisa memalingkan tatapannya pada Gendis."Gendis, biasanya mas Karta jam 5 sore pulang, bagaimana kalau kamu bantu aku masak di dapur," ajak Indah sembari bangkit dari duduknya.Melihat Indah yang sudah bangkit dari duduknya membuat Ayu pun segera mengikutinya."Tunggu dulu!" Ayu menghentikan langkah kaki Indah dan Gendis saat itu. Keduanya pun kompak menoleh ke arah Ayu."Mbak Indah nggak boleh bantuin Gendis masak. Biarkan saja dia yang masak hari ini. Anggap saja itu adalah tugasnya di rumah ini di hari pertamanya menjadi seorang istri," ucap Ayu."Tapi, Yu. Gendis kan masih baru di rumah ini. Dia pasti belum tahu selera lidah di rumah ini. Biar aku bantu dia saja." Indah tetap bersikukuh ingin membantu Gendis.Indah pun meraih tangan Gendis dan hendak membawanya ke dapur, tapi dengan cepat Ayu berjalan menghalangi keduanya."Tunggu dulu!" Ayu berdiri tepat di depa
"Ini semua kamu yang masak, Ndis?" tanya Karta menatap Gendis.Gendis pun menganggukkan pelan kepalanya. Tampak senyuman di bibir Karta saat mendapat jawaban dari Gendis."Wah, kamu ini benar-benar hebat. Kamu benar-benar istri yang baik," puji Karta pada Gendis. Tangannya mengusap lembut kepala Gendis membuat Ayu kegerahan.Raut wajah Ayu menjadi merengut melihat Gendis yang diperlakukan begitu manja dan mendapatkan pujian dari Karta.Ayu mengeratkan kepalan tangannya menahan amarah yang mulai muncul. Sekuat tenaga Ayu menahan rasa cemburunya pada Gendis saat itu."Sial! Ngapain sih mas Karta muji-muji gadis itu. Nggak penting banget," batin Ayu kesal.Namun, tiba-tiba saja Ayu mengembang senyum tipis saat mengingat kejahatan yang telah ia lakukan pada Gendis."Sekarang kamu seneng dipuji mas Karta tapi kamu lihat saja nanti," batin Ayu lagi.Seketika senyum Ayu pun memudar saat Karta menoleh ke arahnya. Dengan cepat Ayu merapihkan rambutnya yang tergerai lurus, mencoba menarik perha
7 tahun kemudian***Setelah 3 tahun lamanya, Karta masih terus membuktikan bahwa ia telah berubah menjadi lebih baik.Hari ini saat hari masih pagi, Karta datang ke rumah Gendis. Penampilannya terlihat sangat rapih dengan kemeja lengan panjang dan celana panjang serta rambut yang tetata rapi.Gendis mempersilahkan Karta duduk di kursi. Gendis pun duduk berhadapan dengan Karta yang saat itu ada di depannya.Gendis sedikit heran melihat Karta yang berpenampilan begitu rapih."Mas Karta mau kemana? Kok rapi sekali?" tanya Gendis penasaran."Emmm aku sengaja berpenampilan rapih begini, Ndis. Aku ingin melamar seseorang," jawab Karta.Gendis pun tercengang mendengar jawaban Karta. Gendis merasa penasaran akan wanita yang akan dilamar oleh Karta."Siapa kira-kira wanita yang akan dilamar oleh mas Karta, ya? Apa jangan-jangan aku," batin Gendis.Keduanya masih saling menatap sesekali. Tak lama Karta pun menyeruput kopi buatan Gendis yang rasanya masih sama, nikmat sesuai dengan seleranya."E
"Sekarang ini bukan lagi rumahmu, tahu! Lebih baik sekarang kalian pergi dari sini atau aku akan telepon polisi untuk menyeret kalian semua dari sini," ancam Anjarwati.Karta yang merasa telah dikhianati oleh Anjarwati pun tak terima. Ia mencoba mencekik Anjarwati hingga wajahnya tampak pucat."Dasar wanita tua jahat! Bisa-bisanya kamu melakukan ini padaku! Kamu pantas mati, wanita tua!" teriak Karta penuh amarah.Tentu saja semua orang pun menjadi panik melihat Karta yang saat itu mencekik Anjarwati.Apalagi Gendis, ia merasa takut jika sampai Karta masuk bui lagi padahal ia sendiri sudah sangat susah payah melapangkan hatinya untuk membebaskan Karta dari penjara agar kelak anaknya tak malu mempunyai ayah mantan narapidana.Dengan cepat Gendis pun bergerak menghentikan Karta agar tak mencekik Anjarwati."Sudah, Mas. Jangan lakukan itu," ucap Anjarwati sembari mencoba menarik tangan Karta yang tengah mencengkram leher Anjarwati."Tidak, Ndis. Wanita jahat ini harus mati! Dia sudah mem
Karta mencoba membujuk Gendis dan berjanji untuk berubah. Tapi, sayangnya Gendis tetap teguh pada pendiriannya untuk berpisah dari Karta."Maaf, Mas. Keputusan ku sudah bulat. Aku tetap ingin berpisah darimu. Aku tidak ingin memperbaiki apapun denganmu, tapi kamu tenang saja. Aku tidak akan membiarkanmu berada di sini. Aku ingin kita bisa membesarkan Yasmine bersama-sama meskipun bukan dengan status suami istri," jelas Gendis dengan begitu tegas.Mendengar ucapan Gendis yang begitu yakin dengan keputusannya. Karta hanya bisa menitikkan air matanya.Kini ia telah kehilangan semua istrinya bahkan istri yang sebenarnya sangat menyayanginya dan memikirkan dirinya."Aku hanya ingin kamu berubah menjadi lebih baik, Mas. Untuk kehidupan mu di masa depan," ucap Gendis lagi.Dengan berat hati, Karta menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan."Baiklah kalau memang itu sudah keputusanmu. Aku tahu bahwa kesalahanku kemarin sudah sangat keterlaluan. Sekarang aku akan mengikuti ucapan
Setelah beberapa hari di rumah sakit akhirnya Gendis pun sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.Indah, Indri dan Rehan menjemput Gendis yang masih tampak sedikit lemas dengan mata sembab.Sudah beberapa hari Gendis hanya menangisi bayinya yang telah meninggal dunia. Gendis hanya fokus meminum obatnya sehingga badannya terlihat sedikit lebih kurus karena tak banyak makan."Mbak Gendis hati-hati, ya. Sini biar ku bantu," ucap Indri berinisiatif memapah Gendis sementara Indah membawakan tas berisi pakaian milik Gendis."Sudah ya, Mbak. Mbak Gendis jangan nangis terus, aku takut mbak Gendis kenapa-napa kalau terus menerus terpuruk begini," ucap Indri saat berjaoan menuju ke parkiran.Tatapan mata Gendis yang tampak kosong pun membuat Indri semakin khawatir."Bagaimana Mbak nggak sedih, Ndri. Mbak sudah kehilangan bayi yang masih ada di dalam perut Mbak. Mbak merasa bersalah karena tidak bisa menjaga dia dengan baik," ucap Gendis."Tidak, Mbak. Mbak Gendis tidak salah. Ini semua kesalahan
Malam sudah lumayan larut dan Anjarwati baru pulang. Ia sedikit heran melihat rumah yang tampak sedikit berantakan terutama di bagian kamar Gendis.Sementara ia tak menemukan seorangpun di rumah itu. Anjarwati mencoba untuk mencari Karta dan Gendis tapi ia tak menemukannya.Anjarwati masih belum menyerah. Ia mencoba memeriksa ke setiap ruangan sembari memanggil-manggil nama mereka tapi tetap tak ada jawabnya.Namun, bukannya khawatir ataupun panik karena ia tak menemukan Karta dan Gendis. Anjarwati justru duduk di sofa dengan senyum ceria penuh tawa.Perlahan Anjarwati melempar map di tangannya ke atas meja setelah ia duduk di sofa ruang tamu."Wah jadi gini ya rasanya kalau tinggal sendiri. Rasanya begitu tenang dan juga bebas," ucap Anjarwati dengan senyum bahagia."Sekarang rumah ini sudah jadi milikku seutuhnya dan juga semua usaha empang yang Karta miliki. Dia sudah tidak punya apapun sekarang," lanjut Anjarwati.Tak lama Anjarwati bangkit dari duduknya dan beranjak ke dapur. Di
Rehan datang dengan 2 orang polisi. Mereka langsung masuk ke dalam rumah Karta dan melihat sendiri penyiksaan yang tengah Karta lakukan pada Gendis."Angkat tangan anda!" ucap seorang polisi yang langsung menyergap Karta yang saat itu akan menyiksa Gendis lagi.Karta pun hanya bisa memberontak saat kedua tangannya di pegang erat oleh dua orang polisi.Sementara Gendis yang sudah tak berdaya, hanya bisa menangis melihat Karta ditangkap oleh polisi."Lepaskan aku, lepaskan!" Teriak Karta tak karuan."Bawa saja dia ke kantor polisi, Pak," ucap Rehan dengan tegas.Akhirnya kedua polisi itu pun membawa paksa Karta ke kantor polisi, meninggalkan Rehan yang hanya tinggal dengan Gendis."Awas kamu, ya! Berani-beraninya kamu bawa-bawa polisi! Lihat saja nanti kamu! Aku akan balas kamu!" teriak Karta dengan keras pada Rehan sebelum akhirnya ia dibawa oleh dua orang polisi yang menyeret paksa dirinya.Rehan pun segera menghampiri Gendis tanpa memedulikan ancaman Karta saat itu."Mbak, Mbak Gendi
Setelah kepergian Ayu dari rumah Karta. Gendis pun masuk ke dalam kamarnya dengan sangat hati-hati. Gendis masih merasakan nyeri pada perutnya. Gendis pun kemudian duduk di pinggiran ranjangnya. Sesekali tangannya mengelus perutnya yang terkadang terasa nyeri. Tiba-tiba Gendis teringat akan ucapan Ayu. Dengan cepat Gendis pun mengambil ponselnya. Dengan cepat Gendis menekan beberapa tombol di ponselnya. Tak lama terdengar suara seorang pria dari dalam teleponnya. "Halo, Mbak Gendis? Ada apa Mbak? Mbak Gendis baik-baik saja, kan?" tanya Rehan. "Aku baik-baik saja, Mas. Aku hanya ingin tanya sesuatu pada mas Rehan," ucap Gendis menghentikan kalimatnya. "Tanya apa Mbak? Silahkan saja," jawab Rehan. "Apa mas Rehan yang sudah memberi tahu semuanya pada mas Karta tentang perselingkuhan Mbak Ayu?" tanya Gendis. Untuk sesaat Rehan hanya terdiam hingga membuat suasan sunyi meski telepon masih tersambung. "Oh itu, emmm iya Mbak," jawab Rehan yang kembali terdiam. "Kenapa mas Rehan meng
Setelah diizinkan pulang oleh dokter, Gendis pun akhirnya pulang ke rumah sembari diantar oleh Indah.Indah memapah Gendis masuk ke dalam rumah. Namun, sebuah pemandangan yang sangat menegangkan disaksikan oleh Gendis dan Indah saat itu.Keduanya menghentikan langkah kakinya saat melihat Ayu yang tengah menangis terisak sembatu bersujud di kaki Karta.Sementara pakaian dan tas pun tampak berhamburan di lantai. Sesekali Gendis dan Indah saling melempar tatap merasa penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi."Pergi kamu dari sini! Dasar tukang selingkuh!" umpat Karta dengan nada cukup keras.Gendis pun tercengang mendengar apa yang dikatakan oleh Karta. Gendis tak tahu darimana Karta bisa tahu tentang perselingkuhan Ayu. Sementara ia tidak mengatakan apapun pada Karta."Mas, aku mohon maafkan aku, Mas. Aku mengaku salah tapi aku mohon jangan usir aku dari sini," rintih Ayu memohon-mohon pada Karta."Jangan kamu maafkan dia, Karta! Kalau kamu maafkan wanita seperti ini maka dia pasti
Dengan langkah kaki terburu-buru Rehan menyusuri lorong demi lorong rumah sakit hingga akhirnya sampailah ia di sebuah ruangan.Terlihat seorang wanita tengah terbaring di atas ranjang dan seorang lagi berdiri di sebelahnya."Mbak, apa yang terjadi? Kenapa mbak Gendis bisa sampai seperti ini?" tanya Rehan dengan raut wajah khawatir."Aku juga nggak tau. Tadi pas aku sampai di sana, dia sudah tergeletak tak sadarkan diri," jawab Indah."Lalu mbak Indah tahu darimana mbak Gendis begini?" tanya Rehan lagi."Tadi Raya yang menelepon ku dan meminta aku ke sana," jawab Indah."Raya ...." Rehan yang tak mengenal nama yang disebutkan oleh Indah pun mencoba menebaknya."Raya adalah anaknya Ayu. Jadi tadi tidak ada satupun orang di rumah makanya Raya menelepon ku untuk meminta pertolongan," ucap Indah lagi."Emmm kalau boleh tahu, dimana mbak Indah menemukan mbak Gendis yang tergeletak?" tanya Rehan lagi."Aku menemukannya di kamarnya," jawab Indah.Tanpa berlama-lama Rehan pun langsung mengamb