Share

Bab. 8

Author: Fida Yaumil Fitri
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Aku menatap makanan yang tersaji di meja, rawon yang memiliki kuah santan pekat serta daging bakar yang disajikan beserta panggangannya. Aku tak mampu menahan untuk tidak menelan salivaku. 

“Jangan hanya dipandang. Kamu laparkan?” ucapnya menatap ke arahku. Dua tangannya telah memegang pisau dan garpu. 

“Baik, Om,” ucapku sambil meraih rawonnya. Kuincip sedikit kuah kental tersebut, benar-benar nikmat. Sungguh rawon di rumah bude memang tak ada apa-apanya. 

“Enakkan?” 

Aku mengangguk.

“Ini habiskan juga. Aku tak ingin seorang istri dari Zuan Raditya merasakan kelaparan “ ucapnya sambil meletakkan rawon miliknya di dekatku.

Istri Zuan Raditya? Terasa ngilu aku mendengarnya.

“Pasti, Om,” jawabku santai. Kapan lagi aku bisa makan enak gini. Dari pada makan sup ayam tanpa bawang goreng, sudah pasti nikmat masakan ini dong. Aku juga tak perlu jaim-jaiman kepada lelaki di depanku ini, mengingat perutku yang masih bagai genderang meskipun telah menghabiskan semangkuk rawon milikku. 

Aku menatap ke arah Om Zuan yang kini menaruh pisau dan garpunya, membalikkan benda tersebut sebagai pertanda selesai makan.

“Om, kenapa tidak dihabiskan?” tanyaku yang menatap ke arah daging di depannya. Hanya teriris sedikit, mungkin dua sampai tiga irisan saja.

“Aku sudah kenyang,” jawabnya singkat, padat dan jelas.

“Tapi, Om.”

“Sudah jangan bawel, habiskan dulu makananmu. Tidak baik makan sambil bicara.”

Aku menelan suapan terakhirku, dua mangkok rawon, serta satu steak daging dengan rasa yang begitu nikmat. Rasanya inilah makanan terenak yang pernah masuk ke perutku.

“Om, kenapa tak dihabiskan?” tanyaku lagi sambil menatap steak daging di depannya yang masih terlihat utuh.

“Aku kenyang.”

Aku melambaikan tangan kepada salah satu pramusaji wanita terdekatku. “Mbak, tolong bungkus makanan ini ya,” ucapku sambil memberikan steak yang berada di depan Om.

“Baik, Mbak,” jawab wanita cantik itu.

“Zi,” ucapnya setengah berbisik dengan bola mata yang hendak keluar.

“Om, tidak baik memubadzirkan sesuatu. Apalagi makanan. Tahu gak sih, Om. Di luaran sana banyak sekali yang ingin menikmati daging lezat ini, lah ini om malah seenaknya membuang begitu saja. Itu namanya kufur nikmat, Om. Gak baik. Dari pada di sini di buang kan mending dibawa pulang. Nanti bisa dihangatkan lagi kalau di rumah. Lumayan juga kan Om menghemat pengeluaran hari besok.”

“Ini, Mbak silahkan. Ini juga total harga makanannya.” Wanita berseragam resto ini memberikan steak yang telah terbungkus rapi, tidak lupa dengan selembar kertas total tagihan makan. 

Aku meraih kertas tersebut bersamaan dengan kotak makan yang aku terima. Glekk. Aku menelan salivaku kasar saat melihat nominal yang tertera. Satu juta lebih. Nominal yang fantastis bukan? Jika di kampung uang segitu bisa untuk mencukupi kebutuhanku sebulan, dan di sini? Hanya sekali makan dan hendak di buang sia-sia. 

“Ini tidak salah, Mbak?” tanyaku kepada wanita di depanku. Dengan senyuman ia menjawab tak ada yang keliru, ia membacakan nominalnya, satu juta dua ratus ribu rupiah. 

Kini aku menatap Om galak itu, dari tadi ia hanya menatap seolah membiarkanku untuk membayarkan tagihannya.

“Om, cepat bayar, Om!” 

“Kamu kan yang menerima tagihannya, berarti kamu yang bayar! Yang makan semua makanan siapa? Kamu juga kan?”

“Tapi kan, Om. Aku kerja di rumah Om sama sekali tidak bayar,”

Entah, setelah mendengar kalimat yang aku ucap, wajah Om galak tampak memerah, ia memberikan sebuah kartu kepada wanita itu. Sedangkan wanita itu tampak menahan tawa saat hendak berlalu. 

**

“Sudah siap, Nona Zi?” 

Seorang lelaki berpawakan menarik itu tepat berdiri di depanku, ia mengenakan jas hitam dengan sepatu mengkilat seperti biasanya. Dan di wajahnya senantiasa di hiasi dengan senyum yang memamerkan lesung pipitnya.

Aku kembali melihat tubuhku yang kini mengenakan sebuah kemeja warna putih tulang, di bagian depannya tampak aksen pita yang membuat penampilanku terlihat manis. Apalagi aku juga memakai celana resmi berwarna hitam yang aku padankan dengan sepatu flat berwarna senada.

“Bagaimana penampilanku , Ren?” 

“Sempurna,” ucap lelaki itu dengan menunjukkan jempolnya. Senyum lesung Pipit yang membuatku meleleh itu terus saja dipamerkannya.

Aku dibawa lelaki itu memasuki bangunan yang begitu besar, nama universitas tertampang jelas dari jalan raya. Sebuah universitas yang sama sekali tak pernah aku impikan. Ya, aku memang tak pernah bermimpi untuk kuliah, siapakah aku, Nur Aziza, seorang gadis desa yatim piatu yang hidup di bawah garis kemiskinan. 

“Nona Zi, apa perlu saya temani untuk masuk? Semua biaya administrasi sudah saya penuhi, nona hanya tinggal tanda tangan pendaftaran saja.”

“Jangan panggil aku Nona, Ren. Panggil aku Zi saja.”

Aku mendapatkan tatapan sinis dari beberapa wanita yang tampak menatap kami. Ia seperti keheranan, atau mungkin mereka merasa cemburu, wanita katrok dan dekil sepertiku bisa bersama dengan lelaki tampan dan keren seperti Rendra.

“Tidak perlu, Ren. Aku bisa masuk sendiri.”

**

Aku mengenakan celemek yang aku kaitkan di leherku. Kembali berkutat di ruang besar yang aku namai ruang kerja. Bukankah aku di sini hanya untuk menyiapkan makanan? Ya, seusai bertemu dengan beberapa staf di universitas aku langsung di antar Rendra pulang. Bahkan, aku tak sempat jalan-jalan atau sekedar melihat gedung yang akan aku singgahi itu sepeti apa. 

Baru dua hari ini aku memasak menu yang sama, berkutat dengan ayam dengan kentang serta beberapa potongan sayuran. Apalagi dengan tambahan geprekan jahe. Benar-benar membuat aku enek dan tak ingin menyantapnya. Bagaimana mungkin Om Zuan bisa memakan makanan ini selama bertahun-tahun? Entahlah, sepetinya lelaki itu memang tidak waras. 

“Bagaimana kuliahnya, Zi?” 

Aku yang terkejut, tak sengaja menyenggol panci yang berisi kuah sup ayam.

“Au, panas.” Semua kuah itu tumpah di atas meja, dan mengalir begitu saja hingga mencapai lantai.

Aku menoleh ke sumber suara, seorang lelaki berdiri di belakangku, menatapku dengan dua bola yang hendak keluar. 

‘Ya Allah ya Robbi, apa malaikat maut berupa sepeti ini? Menyeramkan sekali?’ 

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Nabil Sandyaksa putra Sandyaksa putra
cerita nya bagus
goodnovel comment avatar
Hafidz Al ayubi
ceritanya sangat menarik...seruuu
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
kaget y Zi, om Zuan sih kyak jelangkung.. tahu ngagetin aja..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Terpaksa Akad   Bab. 9

    “Au, panas.” Semua kuah itu tumpah di atas meja, dan mengalir begitu saja hingga mencapai lantai.Aku menoleh ke sumber suara, seorang lelaki berdiri di belakangku, menatapku dengan dua bola mata yang hendak keluar. ‘Ya Allah ya Robbi, apa malaikat maut berupa sepeti ini? Menyeramkan sekali?’ “Zi ....” ucap Om Zuan dengan gemeletuk giginya.“Iya, Om.”“Kamu apakan dapurku? Bukankah aku pernah bilang kalau aku gak suka dapurku kotor?” “Akan saya bersihkan, Om.”“Di mana makan siangku, Zi? Ha?" tanya Om Zuan masih dengan giginya yang saling gemeletuk, terlihat ia beberapa kali membuang nafas kasar.“Maaf, Om. Ini takdir, Om!" Jawabku sambil meringis, tak berani menatap lelaki di depanku."Bukankah semua yang telah terjadi di muka bumi ini adalah kehendak Allah? Sama seperti aku yang tak sengaja menumpahkan kuah ini, itu karena takdir. Om tahan marahnya ya! Zi pernah baca sebuah artikel, tiap kali marah, beberapa sambungan syaraf ke otak itu menegang dan memutus. Itu gak baik Lo, Om.

  • Terpaksa Akad   bab. 10a

    Bab 10Aku benapas lega ketika keluar dari kamar kecil. Untung saja, aku tak harus keluar ruangan hanya untuk membuang hajatku. Pandangan mereka ke arahku, benar-benar membuatku ngeri. Tatapan sinis.“Kamu menjijikkan sekali, Zi!” ucap lelaki itu sambil sekilas menatapku. Pandangannya kembali mengarah ke layar di depannya, sedangkan tangan kirinya masih ia gunakan untuk menutup Indra penciuman. “Ini semua karena, Om. Jika Om tak memintaku untuk berdiam diri semua tak akan seperti ini.”“Zi,” ucap lelaki itu sambil mendelik ke arahku. Hingga sebuah panggilan terdengar di indra. Ia meraih ponsel dalam layarnya, melihat nama di dalamnya, dan membiarkan panggilan tersebut begitu saja.“Siapa, Om? Kenapa tidak diangkat?” tanyaku. Selintas bayangan wanita cantik tergambar di ponsel Om Zuan.“Bukan urusanmu.”Aku diminta Om Zuan untuk duduk menjauh darinya, di sebuah sofa sudut, yang sepertinya digunakan untuk Om menjamu rekan kerjanya. Hanya duduk, tak boleh berbuat apa-apa, termasuk bicar

  • Terpaksa Akad   bab. 10b

    “Dasar, wanita bodoh. Apa kamu gak membaca kemasannya?”“Tulisannya bahasa asing, Om. Aku gak bisa mengartikannya.”“Dasar kamu, Zi!” ucap Om Zuan sambil menatapku dengan membulatkan dua bola matanya.**POV Zuan.“Dasar kamu, Zi!”“Om, jangan marah-marah. Tau tidak kalau tiap Om marah tingkat kegantengannya bertambah.”Aku tersenyum mendengar pengakuan wanita kecil itu. Tak aku pungkiri, ketampananku memang melebihi rata-rata.“Diam, Zi! Kamu itu lagi gak waras!”“Siapa yang gak waras, Om. Zi itu tidak gila. Zi bisa berpikir sehat, dan yang terpenting, Zi bisa jatuh cinta. Tidak seperti Om. Berarti siapa yang tidak waras?” Wanita ini sepertinya memang sudah terpengaruh dengan alkohol dari minuman tersebut. Kenapa aku lupa kalau ada wine di lemari itu. “Om, apa karena wanita tadi ya? Om tidak mau menyentuhku. Padahal cantikan aku Lo, Om. Apalagi kalau aku dandan, sudah pasti tuh wanita itu kalah jauh.”‘Apakah seperti ini perasaan seorang wanita? Bukankah aku sudah pernah berpesan j

  • Terpaksa Akad   bab. 11 a

    “Om Zuan, kenapa aku memakai pakaian haram seperti ini? Apa yang sedang terjadi? Kamu tidak ...?”Aku menutup belahan dadaku yang terbuka dengan menyilangkan tanganku sedangkan kakiku yang terekspose karena pakaian pendek ini aku tutup dengan jaket milik om Zuan. “Jangan berpikir aneh-aneh, Zi! Kamu menanggalkan semua pakaianmupun aku tak akan tertarik. Lihat saja, ukuran dadamu saja standar. Siapa juga yang mau melirik?” ucap Om Zuan dengan senyum tipis. Benar-benar merendahkanku.“Om.”Aku mendelik ke arahnya, sedangkan ia seakan tersenyum puas. Sesaat kemudian, ia memasukkan sebuah alat kecil ke telinganya, lalu menggeser layar pipih miliknya.“Iya, Ma. Zuan jemput sekarang ya!” Aku menatap lelaki itu, ketika kata “Ma” keluar dari bibirnya. Apakah Ma yang dimaksud adalah ibunya?“Siapa yang telfon, Om!”“Bukan urusanmu.”Ish, benar-benar menyebalkan. “Nanti kalau bertemu Mama kamu harus bersikap sopan, jaga sikapmu, dan ingat jangan banyak bicara.”“Bukan urusanku.”“Ini urusan

  • Terpaksa Akad   bab. 11b

    langkah kaki Om Zuan terlalu besar dan cepat, sehingga aku tertatih untuk mengekorinya.Langkah kami terhenti ketika seorang wanita paruh baya melambaikan tangan ke arah kami, memakai pakaian panjang dengan jilbab menjuntai sampai bawah.“Ingat, jangan banyak bicara. Jawab seperlunya saja,” bisik Om Zuan ke arah indraku. Aku hanya mengangguk.Lelaki itu tampak meraih lengan Mamanya dan mencium punggung tangan itu, dan di sambut oleh wanita berparas cantik itu dengan ciuman di keningnya, tampak seperti anak kecil yang di cium sayang oleh ibunya. “Ini, mantuku?” tanya wanita paruh baya itu sambil menatapku, matanya berbinar dengan penuh kebahagiaan.‘Ya Allah, Mama Om Zuan semua auratnya tertutup. Sedangkan aku?’ Aku menatap tubuhku yang terbalut pakaian minim. Benar-benar membuatku minder.“Iya, Ma.” Lelaki itu mengambil alih koper yang dibawa Mamanya, sedangkan wanita paruh baya itu kini memeluk tubuhku dan mencium pipi kanan dan kiri ku.“Aku harap kamu bisa tahan dengan sikap dingi

  • Terpaksa Akad   bab. 12 a

    Aku menatap lelaki yang kini berbaring di sebelahku, mungkin karena ketidaksengajaan ia merubah posisinya menghadap ke arahku, bahkan mampu kurasakan hembusan nafasnya dari dengkuran lembut miliknya. Lelaki yang menikahiku, tanpa boleh ada kata cinta di dalamnya. “Zi, kamu belum tidur? Ha?” Matanya terbuka dan membuatku salah tingkah. Bagaimana kalau Om Zuan menyadari tingkah konyolku tadi? Menatap wajahnya dengan sendu.“Ayo tidur.” Tangannya ia lingkarkan ke tubuhku, sedangkan dua pelupuk matanya kembali menyatu. Tangan kekar dengan sedikit bulu itu kini naik ke rambutku, ia mengelus rambut panjangku, mendekap tubuhku ke dalam pelukannya. Dan aku benar-benar terperanjat ketika sebuah ciuman hangat mampir di keningku. ‘Ciuman? Apa maksud sentuhan ini? Zi, kenapa mendadak jantungmu berdesir hebat? Apakah ini yang dinamakan cinta? Ingat perjanjian, Zi. Ingat posisi. Kamu tak lebih dari wanita yang terbeli oleh Tuannya.’ Aku bermonolog kepada diriku sendiri. “Om.” Aku menatapnya le

  • Terpaksa Akad   bab. 12b

    Mama kini terkekeh. “Pintar sekali kamu cari istri, Nak. Dia periang sekali,” ucap wanita berjilbab itu sambil menatap ke arah anak lakinya. Sedangkan aku yang mendengar sanjungan itu kini menahan malu. Apakah sikapku memang masih ke kanak-kanakan yang seperti orang bilang?Aku mengoles selai nanas untuk Om Zuan, lalu memberikan roti yang sudah siap di makan itu di piringnya. Ia menatap tajam ke arahku, sambil melirik ke arah wanita di sebelahnya, seperti memberikan kode kepadaku. Aku yang langsung paham bergegas mengambil roti dari tangan Mama mertuaku dan mengoleskan selai untuknya.“Biar mama sendiri, Zi!” ucap wanita itu sambil berusaha meraih roti yang ku pegang.“Jangan, Ma. Ini sudah kerjaan, Zi! Menyiapkan sarapan pagi dan makan siang,” ucapku sambil memamerkan senyum.“Kamu rajin sekali, Zi! Mama sayang sekali denganmu,” ucap wanita itu sambil meraih punggunggku. Diusapnya punggung itu sambil memamerkan senyum indahnya.“Gimana kabar, Mama? Kenapa mendadak sekali pulangnya?”

  • Terpaksa Akad   bab. 13a

    “Om, jalannya pelanan dikit,” protesku, ketika lelaki di depanku melangkah begitu cepat. Apalagi jarak langkah nya begitu lebar, berbeda sekali denganku.“Kamu yang terlalu lelet.”Aku tertatih mengimbangi jalannya Om Zuan.“Selamat pagi, Pak Zuan.”Seorang lelaki cukup umur menyapa, berseragam rapi dengan jas warna Dongker.“Selamat pagi juga, Pak.”“Ada yang bisa saya bantu?”“Tidak, Pak. Saya hanya ingin mampir saja.”Om Zuan kembali melangkah dan aku terus mengekori di belakangnya.“Kelasmu di mana, Zi?”Aku menggeleng.“Zi?” “Aku beneran gak tahu, Om. Waktu Rendra mengantarku ia buru-buru. Aku belum sempat lihat tempat ini, habisnya Om sih, wajibin bikin makan siang jam dua belas tepat. Aku gak punya banyak waktu.”“Zi, bisa gak sih kalau jawab sesingkat-singkatnya saja. Aku gak tanya rumus luaa, yang harus dijelaskan panjang kali lebarnya.”“Maaf, Om!”“Di mana kelasmu?”“Gak tahu, Om!”“Mata kuliahmu apa hari ini?”“Jam delapan ada kelas bahasa, jam sepuluh ada kelas akutansi.

Latest chapter

  • Terpaksa Akad   bab.36c

    Om Zuan terkekeh, dia menatapku begitu dalam. Begitupun aku yang seakan terkena magnet dari lelaki di depanku. Aku terus mendekat, sama sepetinya. Wajahnya masih tampak tampan, meskipun memang tak terlihat sempurna. Kini mulai kurasakan detak jantungku yang tak beraturan, serta hembusan hangat dari nafas Om Zuan.“Zuan, apa kamu di dalam?” terdengar teriakan mama dari balik pintu. “Tadi Zi datang, dan tiba-tiba Zi tak diketemukan. Mama ...”Mama tak melanjutkan kalimatnya ketika aku tengah membuka pintu, dilihatnya diriku dalam-dalam.“Kalian sudah bertemu?” Mama tampak terkejut melihatku yang berada di kamar ini, begitupun Rendra yang tengah berdiri di belakang Mama. “Kenapa kamu bodoh sekali dengan membawa Zi ke sini?” Om Zuan melempar sebuah pulpen ke tubuh Rendra.“Maaf, Tuan. Nona Zi memaksa. Nomor baru tuan Zuan pun tidak bisa dihubungi. dari sebelum ke sini, saya sudah memberi kabar.”“Kalian semua tahu, dan menipu ku mentah-mentah?” aku mengerucutkan bibirku. Ingin marah?

  • Terpaksa Akad   bab. 36b

    Aku perlahan melangkah, masuk ke dalam kamar asing tanpa ijin sang pemilik rumah. Semoga Mama tak mengetahui sikap nekat Zi, Ya Allah. Aku kembali mendekat kepada lelaki tersebut.“Ma, kenapa rame? Apa Rendra telfon kembali dan memberi kabar tentang Zi? “ ucap lelaki tersebut. Yang membuatku yakin kalau lelaki di depanku adalah Om Zuan.“Om.”Entah setan apa yang merasuki tubuhku, hingga aku memeluknya dari belakang. “Zi kangen, Om. Zi ....”Aku tersentak kaget ketika melihatnya. Bahkan tubuhku seakan terpental, menyisakan jarak beberapa meter. Matanya hanya satu. Karena yang satunya tertutup oleh kasa. Ia pun tak kalah kaget dariku. Ia menunduk, sekaan malu dengan keadaanya. “Om Zuan.” Aku kembali mendekatinya. Memastikan dengan apa yang baru saja kulihat.Ia memalingkan muka. Seakan tak ingin wajahnya terekspose dengan mata indahku.“Om Zuan, ini Zi.” Aku terus mendekat.“Siapa, Zi? Aku gak kenal!”Aku terus mendekat, kini tak menyisakan jarak dan kembali memeluknya dari belaka

  • Terpaksa Akad   bab. 36a

    Terima kasih yang sudah mampir di kisahnya Zi dan Zuan, mohon maaf jika ceritanya kurang berkenan. Happy reading ...🥀🥀🥀“Siapa, Ma?” tanyaku heran. “E... Itu, itu suami Mama, ayah tirinya Zuan.”Benarkah? Apa Mama berbohong kepada Zi.“Ma, kenapa Zi tidak dipersilahkan masuk?”“Astagfirullah, maafkan Mama, Zi.” Wanita teduh itu menggandengku, dan melewati pintu bersama, sedangkan Rendra terus saja mengekori, tetap dengan ponsel di tangannya.Rumah berdinding jati ini benar-benar rapi, tak banyak pernah-pernik, hanya beberapa foto yang keluarga yang tertempel di dinding. Aku menatap sekitar, dan tiba-tiba indraku mencium wangi Om Zuan di dalamnya.Apakah Om Zuan di sini? Ah, rasanya tidak mungkin.“Ini, Pak. Ada Zi. Istrinya Zuan.” Mama memperkenalkanku kepada lelaki paruh baya yang tengah memakai baju kerah batik serta celana hitam polos. Hah, lagi-lagi harapanku nihil. Aku berharap Om Zuan yang datang. Aku menjabat tangan, dan mencium punggung tangannya. Dan kini dibalas den

  • Terpaksa Akad   bab. 35b

    “Setidaknya sarapan dulu, Nona. Nanti bisa kembali tidur,” ucap Simbok yang andil bersuara. “Males, Mbok. Zi masih kenyang.”“Kenyang dari mana, Non? Semalam saja tidak makan malam.”Kini terdengar suara saling berbisik antara Simbok dan Rendra, entah apa yang mereka bicarakan. Aku masih terlalu malas untuk ke luar dari ruangan ini.“Nona Zi, katanya mau jenguk bunga. Jadi?” Terdengar suara Rendra yang membuat mataku berbinar. Aku bergegas membuka pintu itu, dan menjawabnya dengan anggukan. “Jadi, Ren. Sekarang ya.”Rendra tersenyum, sedangkan Simbok tampak menggelengkan kepala. “Diantar kalau Nona Zi sudah sarapan.”Hah, Aku membuang nafas kasar sambil menuju ke meja makan. “Kita makan bersama ya, Mbok, Ren.”Aku mengoleskan selai ke roti gandum di depanku. Memberikan mereka masing-masing satu potong untuk menemani sarapanku. Entah, setelah mendengar nama Bunga, aku sepeti memiliki kekuatan baru. Aku tak boleh menyerah dengan keadaan, aku Zi dan aku kuat. Aku harus sehat untuk ana

  • Terpaksa Akad   bab. 35a

    Rendra mengernyitkan dahinya ketika mendengar ucapanku. “Pusara Tuan Zuan, Nona?” “Iya, Ren. Aku mau menjenguk Om.”“E, itu, Non. Ada di sebelah sana.”Rendra menunjuk sebelah selatan. Kami berjalan mengikuti arahan Rendra, cukup jauh memang, karena tempat pemakaman ini lumayan besar. “Non, maaf. Hari ini ada rapat mendadak.” Rendra menunjukkan sebuah pesan dari ponselnya. Aku membaca pesan tersebut.[ Pak Rendra, tamu kita yang dari Jepang sudah datang. Bisakah ke kantor sekarang? ]“Kalau begitu antar saya saja ke pusara Om Zuan, Ren. Biar nanti saya pulang pakai taksi.”“Maaf, Non. Saya tidak berani. Saya diberi amanat Tuan Zuan untuk menjaga Nona Zi setelah beliau tidak ada. Apalagi hari sudah malam. Kita ke sini lain kali saja. “Aku mengangguk, sebenarnya setengah terpaksa meninggalkan tempat ini. Kenapa ada acara yang begitu mendadak? Ah, sudahlah. **“Malam ini mau makan apa, Non?” Simbok menatapku dengan khawatir, untuk saat ini ialah yang peduli kepadaku setelah Rendra

  • Terpaksa Akad   bab.34b

    “Assalamualaikum.” Terdengar suara panik dari wanita paruh baya yang kini mendekati kami, begitupun lelaki yang berada di sampingnya. “Tante, Paman.” Tama mencium punggung tangan mereka. Begitupun aku, yang mengekori kelakuan Tama.“Bagaimana keadaan anakku?” Tante itu mengikutiku, menatap Aga dari balik dinding kaca ini. “Aku pasrah dengan semua kehendakmu Ya Allah, jika memang Aga sudah harus tutup usia di waktu ini. Aku ikhlas, selama ia tak terus mengalami kesakitan.”Tante mengucapkannya lirih sambil berlinang air mata, dari sini aku belajar, puncak dari mencintai adalah mengikhlaskan. Mengikhlaskan orang yang dicintanya pergi selama itu adalah jalan yang terbaik. Sedangkan kini lelaki yang menjadi suaminya, merangkulnya erat memberi dukungan untuk kuat. “Kamu Zi?” tanya Tante yang kini menatap ke arahku. Sepertinya ia baru menyadari ada aku di sebelahnya. “Iya Tante.”“Senang bisa bertemu denganmu, Zi. Benar kata Aga kamu cantik.” Wanita itu kini mengembangkan senyum. “Ak

  • Terpaksa Akad   bab. 34a

    “Rendra.”Aku meneriaki lelaki itu sebelum berlalu. Ia menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap ke arahku.“Untuk apa kamu ke sini? Ada keperluan apa?”“Nona Zi. Bukankah hari ini Nona ada kelas pagi?” Lelaki itu kini berbalik tanya ke arahku, yang justru membuatku gemetaran.“Zi .. Zi ... Zi dikeluarkan dari kelas,” ucapku malu. ‘Ah, itu tidak penting. Bukankah di sini aku yang menjadi bosnya? ‘“Kenapa pertanyaanku tidak dijawab, Ren?”Lelaki itu tampak gugup, ia merapikan jas yang dikenakannya. “Saya menyampaikan amanat dari Tuan Zuan, Nona. Memberikan bantuan kepada yayasan.”“Tuan Zuan?”“Iya. Sebenarnya amanat ini sudah di sampaikan beberapa Minggu yang lalu, tapi belum sempat. Maafkan saya Nona Zi!” Aku mengangguk mengerti, dan mempersilahkan ia pergi. Aku yang tadinya memiliki.segudang harapan dengan kehidupan Om Zuan, kini kembali menelan pil kekecewaan. Kenapa kamu pergi, Om? Aku kembali ke ruang kelas, pintunya masih tertutup rapi, dengan suara dosen wanita yang m

  • Terpaksa Akad   bab.33b

    “Tentu, Nona Zi.”“Tolong nanti sepulang kuliah, antar Zi ke panti. Bunga pasti telah menunggu, pasalnya kami telah berjanji untuk mengadopsinya.”Meskipun Om Zuan sudah tak ada, aku ingin sekali tetap bersama gadis kecil itu. Semoga Ibu panti mengijinkan aku mengadopsi Bunga dialah yang akan selalu mengingatkan tentang Om Zuan. “Baik, Nona Zi.”**“Zi, baru lihat kamu. “ Aga mengekoriku setelah memasuki gerbang universitas. “Ada yang Rindu, nich.”Tama yang mengekori kami, tersenyum senang. “Om Zuan baru saja meninggal, Ga!” ucapku sembari duduk di salah satu bangku kelas, mataku yang kosong menatap papan putih yang tergantung di dinding dekat dosen.“Tukang ojek?”“Jangan pernah hina Om Zuan, Ga.”Sontak aku berucap dengan nada tinggi, ketika mendengar lelakiku itu dihina.“Ma-maaf, Zi. Saya kira aku bisa menghiburmu.”Aga menampakkan wajah menyesal, dan itu membuatku tak tega dan merasa bersalah. Tama yang duduk di sebelahnya mengedipkan mata, seakan memberi isyarat untuk memin

  • Terpaksa Akad   Bab. 33a

    Mentari yang terang, kini berubah menjadi gelap, apalagi mendung terus menyelimuti langit yang seakan mengetahui bagaimana hatiku saat ini. Tak ada cahaya dari bintang maupun bulan, yang ada hanya kegelapan dan kebisuan. Aku menatap meja kerja Om Zuan, tempat di mana aku selalu memandangnya sebelum tidur, berjibaku dengan tulisan dan laporan. “Om Zuan,” ucapku lirih ketika mendapatinya duduk di tempat yang sama. Beberapa detik kemudian Ia kembali berlalu begitu saja. Aku benar-benar menggila olehnya, lelaki yang mampu membuat hariku berwarna setiap harinya. “Om Zuan.” Aku kembali menatap lelaki itu yang kini terbaring di ranjang, bersebelahan denganku. Tangannya diangkat ke atas seperti biasa dan meninggalkan parfum khas dirinya. “Zi.”Suara panggilan itu membuat tubuh Om Zuan kembali menghilang, Wanita bergamis panjang dengan jilbab menjuntai telah berdiri di ambang pintu. “Maaf, Mama mengganggu istirahatmu. Bolehkan malam ini Mama bermalam denganmu?”Aku mengangguk, dan mempe

DMCA.com Protection Status