Seusai akad aku langsung di boyong ke kota, di tempat di mana aku tak mengenal siapapun. Termasuk suamiku. Ia dingin, tak banyak bicara. Bahkan diperjalanan yang menghabiskan beberapa jam itupun tak terdengar sepatah katapun keluar dari bibirnya. Hanya tampak raut kekecewaan. Mungkin ia membayangkan wanita yang dinikahi berperawakan menarik, dengan kulit putih bersih dan bertubuh semampai seperti Mesa. Namun kenyataannya, ia menikahi gadis dekil dengan kulit sawo matang ini. Kenapa ia tak menolak saat hendak menikah denganku? Entahlah. Aku pun tak berani bertanya. Hanya diam.“Silahkan masuk, Non.” Seorang wanita berpawakan seperti Simbok membukakan pintu mobil, sedangkan lelaki yang dari tadi duduk di sebelahku sudah melangkah masuk ke rumah terlebih dulu.Aku menatap bangunan mewah berwarna serba putih itu, pilarnya besar dan menjuntai tinggi ke atas. Aku melangkah masuk dengan pelan, apalagi kebaya yang aku pakai terasa begitu ketat, membuat jarak langkahku kian menyempit.Saat per
“Om, bangun, Om. Ini sudah subuh. Mari kita jamaah dulu,” ucapkan sambil menggoyangkan tubuhnya. Entah mulai kapan lelaki ini tertidur di sini, tepatnya di sofa panjang sebelah meja kerjanya. Aku tertidur ketika ia masih sibuk menghadap tumpukan kertas di meja kerja itu.“Aku masih ngantuk,” ucapnya masih dengan mata tertutup. Kini ia mengubah posisi dengan membelakangiku. “Om bangun, adzan sudah selesai berkumandang dari tadi. Jangan seperti anak SD yang susah dibangunkan untuk berangkat sekolah.”“Apa? Kamu bandingkan aku dengan anak SD?”“Maaf, Om. Tapi memang itu benar. Aku biasanya membangunkan ponakanku selalu pakai drama, sama seperti membangunkan om!”“Zi,” ucap lelaki itu dengan menaikkan nadanya.“Kamu tahu, itu baru jam setengah lima pagi?” ucapnya sambil menunjuk jam di sudut kamar.“Tahu, Om.”“Kenapa kamu bangunkan aku jam segini? Ini bukan jamku untuk bangun, nanti pukul enam aku akan bangun sendiri, jangan lupa kamu harus sudah menyiapkan sarapanku,” ucap lelaki berpa
“Maaf Tuan, kalau boleh tahu saya mau dimasukkan di universitas mana?” tanyaku ragu.“Panggil Aku Rendra saja, aku ini bawahanmu, Nona Zi,” ucapnya sambil sekilas menatapku dan kembali kepada tumpukan kertas yang aku berikan. Ia memberikanku beberapa opsi universitas ternama ini.“Tuan memintaku untuk mendaftarkan Nona Zi di sini,” ucapnya sambil menunjuk salah satu brosur universitas.“Ha?” Aku benar-benar terkejut ketika melihat nama Universitas tersebut. Tempat di mana Mesa menuntut ilmu, bahkan PakDe sampai harus menjual beberapa hektar sawahnya hanya untuk biaya masuk sekolahnya saja. “Maaf Rendra, apa aku bermimpi? Coba kamu cubit lenganku!” ucapku sambil menjuntai kan lenganku di depannya. “Nona Zi memang lucu,” ia senyum simpul hingga lesung pipitnya kembali terlihat begitu manis. *”Aku kembali melaksanakan pekerjaanku, apalagi kalau bukan menyiapkan makan siang untuk Om galak, bangunan dapur ini begitu luas, mungkin hampir sama dengan dua kamar bude dan Mesa jika disatuka
“Bukan seperti itu, Om . Tapi ....” Aku tertunduk.Sejenak memikirkan ide. Bagaimana cara aku mengalihkan pembicaraan kami.“Tapi apa, ha?”“ Itu, Om. Ini jam dua belas kurang lima belas menit. Kenapa sudah sampai rumah?” tanyaku sambil menunjukkan jam tangan yang melingkari lengannya.“Ini rumahku, Zi. Terserah saya mau pulang jam berapa,” ujarnya sambil menaikkan rahangnya. Benar-benar membuatku terasa terpojok.“Maaf Tuan. Makanannya belum siap,” ucap Simbok dengan mengernyitkan dahinya. Wanita itu nampak ketakutan ketika tuannya datang dan belum mampu menyajikan menu apapun. “Gak apa, Mbok. Jam makanku memang masih lima belas menit lagi.”Lelaki itu meletakkan tasnya di kursi lalu melonggarkan dasinya. Ia duduk di kursi ujung seperti saat sarapan tadi, mengambil buah apel yang tersaji di atas meja dan menggigitnya. “Jangan, Zi!“Jangan, Non!” Teriak Om Zuan dan Simbok bersamaan, benar-benar membuatku terkejut dan melepas barang yang aku pegang. Seketika bawang goreng itu berha
“Atau jangan-jangan ....” Lelaki itu mendekat menyisakan jarak hanya tinggal beberapa senti, senyumnya menyeringai membuat tubuhku gemetaran. Kini kurasakan peluhku pun ikut keluar, sedangkan tanganku terasa dingin. “Jangan, Om,” ucapku sambil mendorong tubuhnya agar tak semakin mendekat. “Kenapa, Zi? Ha? Kamu terganggu?” Lelaki itu terus mendekat sambil kembali menyeringai, ia semakin mendekat hingga terasa aroma nafasnya saat ia berbicara. Desiran jantungku benar-benar tak karuan. Ini pertama kalinya aku bersama lelaki sedekat ini.Aku terpejam, rasanya aku tak mampu menatap lelaki itu lebih lama. Sungguh perasaan yang tak pernah aku mengerti, dibalik rasa ketakutan, ada rasa yang aneh yang kini menjelajahi ruang hatiku.“Ba,” terdengar suaranya yang mengejutkan serta aroma nafas yang kian menyeruak. Sontak aku membuka mata, dan ia tertawa begitu konyolnya. “Kamu pikir aku mau ngapain, Zi? Ha? Aku tidak mungkin melakukan itu denganmu,” ucapnya sambil menata nafasnya yang terenga
Aku menatap makanan yang tersaji di meja, rawon yang memiliki kuah santan pekat serta daging bakar yang disajikan beserta panggangannya. Aku tak mampu menahan untuk tidak menelan salivaku. “Jangan hanya dipandang. Kamu laparkan?” ucapnya menatap ke arahku. Dua tangannya telah memegang pisau dan garpu. “Baik, Om,” ucapku sambil meraih rawonnya. Kuincip sedikit kuah kental tersebut, benar-benar nikmat. Sungguh rawon di rumah bude memang tak ada apa-apanya. “Enakkan?” Aku mengangguk.“Ini habiskan juga. Aku tak ingin seorang istri dari Zuan Raditya merasakan kelaparan “ ucapnya sambil meletakkan rawon miliknya di dekatku.Istri Zuan Raditya? Terasa ngilu aku mendengarnya.“Pasti, Om,” jawabku santai. Kapan lagi aku bisa makan enak gini. Dari pada makan sup ayam tanpa bawang goreng, sudah pasti nikmat masakan ini dong. Aku juga tak perlu jaim-jaiman kepada lelaki di depanku ini, mengingat perutku yang masih bagai genderang meskipun telah menghabiskan semangkuk rawon milikku. Aku mena
“Au, panas.” Semua kuah itu tumpah di atas meja, dan mengalir begitu saja hingga mencapai lantai.Aku menoleh ke sumber suara, seorang lelaki berdiri di belakangku, menatapku dengan dua bola mata yang hendak keluar. ‘Ya Allah ya Robbi, apa malaikat maut berupa sepeti ini? Menyeramkan sekali?’ “Zi ....” ucap Om Zuan dengan gemeletuk giginya.“Iya, Om.”“Kamu apakan dapurku? Bukankah aku pernah bilang kalau aku gak suka dapurku kotor?” “Akan saya bersihkan, Om.”“Di mana makan siangku, Zi? Ha?" tanya Om Zuan masih dengan giginya yang saling gemeletuk, terlihat ia beberapa kali membuang nafas kasar.“Maaf, Om. Ini takdir, Om!" Jawabku sambil meringis, tak berani menatap lelaki di depanku."Bukankah semua yang telah terjadi di muka bumi ini adalah kehendak Allah? Sama seperti aku yang tak sengaja menumpahkan kuah ini, itu karena takdir. Om tahan marahnya ya! Zi pernah baca sebuah artikel, tiap kali marah, beberapa sambungan syaraf ke otak itu menegang dan memutus. Itu gak baik Lo, Om.
Bab 10Aku benapas lega ketika keluar dari kamar kecil. Untung saja, aku tak harus keluar ruangan hanya untuk membuang hajatku. Pandangan mereka ke arahku, benar-benar membuatku ngeri. Tatapan sinis.“Kamu menjijikkan sekali, Zi!” ucap lelaki itu sambil sekilas menatapku. Pandangannya kembali mengarah ke layar di depannya, sedangkan tangan kirinya masih ia gunakan untuk menutup Indra penciuman. “Ini semua karena, Om. Jika Om tak memintaku untuk berdiam diri semua tak akan seperti ini.”“Zi,” ucap lelaki itu sambil mendelik ke arahku. Hingga sebuah panggilan terdengar di indra. Ia meraih ponsel dalam layarnya, melihat nama di dalamnya, dan membiarkan panggilan tersebut begitu saja.“Siapa, Om? Kenapa tidak diangkat?” tanyaku. Selintas bayangan wanita cantik tergambar di ponsel Om Zuan.“Bukan urusanmu.”Aku diminta Om Zuan untuk duduk menjauh darinya, di sebuah sofa sudut, yang sepertinya digunakan untuk Om menjamu rekan kerjanya. Hanya duduk, tak boleh berbuat apa-apa, termasuk bicar
Om Zuan terkekeh, dia menatapku begitu dalam. Begitupun aku yang seakan terkena magnet dari lelaki di depanku. Aku terus mendekat, sama sepetinya. Wajahnya masih tampak tampan, meskipun memang tak terlihat sempurna. Kini mulai kurasakan detak jantungku yang tak beraturan, serta hembusan hangat dari nafas Om Zuan.“Zuan, apa kamu di dalam?” terdengar teriakan mama dari balik pintu. “Tadi Zi datang, dan tiba-tiba Zi tak diketemukan. Mama ...”Mama tak melanjutkan kalimatnya ketika aku tengah membuka pintu, dilihatnya diriku dalam-dalam.“Kalian sudah bertemu?” Mama tampak terkejut melihatku yang berada di kamar ini, begitupun Rendra yang tengah berdiri di belakang Mama. “Kenapa kamu bodoh sekali dengan membawa Zi ke sini?” Om Zuan melempar sebuah pulpen ke tubuh Rendra.“Maaf, Tuan. Nona Zi memaksa. Nomor baru tuan Zuan pun tidak bisa dihubungi. dari sebelum ke sini, saya sudah memberi kabar.”“Kalian semua tahu, dan menipu ku mentah-mentah?” aku mengerucutkan bibirku. Ingin marah?
Aku perlahan melangkah, masuk ke dalam kamar asing tanpa ijin sang pemilik rumah. Semoga Mama tak mengetahui sikap nekat Zi, Ya Allah. Aku kembali mendekat kepada lelaki tersebut.“Ma, kenapa rame? Apa Rendra telfon kembali dan memberi kabar tentang Zi? “ ucap lelaki tersebut. Yang membuatku yakin kalau lelaki di depanku adalah Om Zuan.“Om.”Entah setan apa yang merasuki tubuhku, hingga aku memeluknya dari belakang. “Zi kangen, Om. Zi ....”Aku tersentak kaget ketika melihatnya. Bahkan tubuhku seakan terpental, menyisakan jarak beberapa meter. Matanya hanya satu. Karena yang satunya tertutup oleh kasa. Ia pun tak kalah kaget dariku. Ia menunduk, sekaan malu dengan keadaanya. “Om Zuan.” Aku kembali mendekatinya. Memastikan dengan apa yang baru saja kulihat.Ia memalingkan muka. Seakan tak ingin wajahnya terekspose dengan mata indahku.“Om Zuan, ini Zi.” Aku terus mendekat.“Siapa, Zi? Aku gak kenal!”Aku terus mendekat, kini tak menyisakan jarak dan kembali memeluknya dari belaka
Terima kasih yang sudah mampir di kisahnya Zi dan Zuan, mohon maaf jika ceritanya kurang berkenan. Happy reading ...🥀🥀🥀“Siapa, Ma?” tanyaku heran. “E... Itu, itu suami Mama, ayah tirinya Zuan.”Benarkah? Apa Mama berbohong kepada Zi.“Ma, kenapa Zi tidak dipersilahkan masuk?”“Astagfirullah, maafkan Mama, Zi.” Wanita teduh itu menggandengku, dan melewati pintu bersama, sedangkan Rendra terus saja mengekori, tetap dengan ponsel di tangannya.Rumah berdinding jati ini benar-benar rapi, tak banyak pernah-pernik, hanya beberapa foto yang keluarga yang tertempel di dinding. Aku menatap sekitar, dan tiba-tiba indraku mencium wangi Om Zuan di dalamnya.Apakah Om Zuan di sini? Ah, rasanya tidak mungkin.“Ini, Pak. Ada Zi. Istrinya Zuan.” Mama memperkenalkanku kepada lelaki paruh baya yang tengah memakai baju kerah batik serta celana hitam polos. Hah, lagi-lagi harapanku nihil. Aku berharap Om Zuan yang datang. Aku menjabat tangan, dan mencium punggung tangannya. Dan kini dibalas den
“Setidaknya sarapan dulu, Nona. Nanti bisa kembali tidur,” ucap Simbok yang andil bersuara. “Males, Mbok. Zi masih kenyang.”“Kenyang dari mana, Non? Semalam saja tidak makan malam.”Kini terdengar suara saling berbisik antara Simbok dan Rendra, entah apa yang mereka bicarakan. Aku masih terlalu malas untuk ke luar dari ruangan ini.“Nona Zi, katanya mau jenguk bunga. Jadi?” Terdengar suara Rendra yang membuat mataku berbinar. Aku bergegas membuka pintu itu, dan menjawabnya dengan anggukan. “Jadi, Ren. Sekarang ya.”Rendra tersenyum, sedangkan Simbok tampak menggelengkan kepala. “Diantar kalau Nona Zi sudah sarapan.”Hah, Aku membuang nafas kasar sambil menuju ke meja makan. “Kita makan bersama ya, Mbok, Ren.”Aku mengoleskan selai ke roti gandum di depanku. Memberikan mereka masing-masing satu potong untuk menemani sarapanku. Entah, setelah mendengar nama Bunga, aku sepeti memiliki kekuatan baru. Aku tak boleh menyerah dengan keadaan, aku Zi dan aku kuat. Aku harus sehat untuk ana
Rendra mengernyitkan dahinya ketika mendengar ucapanku. “Pusara Tuan Zuan, Nona?” “Iya, Ren. Aku mau menjenguk Om.”“E, itu, Non. Ada di sebelah sana.”Rendra menunjuk sebelah selatan. Kami berjalan mengikuti arahan Rendra, cukup jauh memang, karena tempat pemakaman ini lumayan besar. “Non, maaf. Hari ini ada rapat mendadak.” Rendra menunjukkan sebuah pesan dari ponselnya. Aku membaca pesan tersebut.[ Pak Rendra, tamu kita yang dari Jepang sudah datang. Bisakah ke kantor sekarang? ]“Kalau begitu antar saya saja ke pusara Om Zuan, Ren. Biar nanti saya pulang pakai taksi.”“Maaf, Non. Saya tidak berani. Saya diberi amanat Tuan Zuan untuk menjaga Nona Zi setelah beliau tidak ada. Apalagi hari sudah malam. Kita ke sini lain kali saja. “Aku mengangguk, sebenarnya setengah terpaksa meninggalkan tempat ini. Kenapa ada acara yang begitu mendadak? Ah, sudahlah. **“Malam ini mau makan apa, Non?” Simbok menatapku dengan khawatir, untuk saat ini ialah yang peduli kepadaku setelah Rendra
“Assalamualaikum.” Terdengar suara panik dari wanita paruh baya yang kini mendekati kami, begitupun lelaki yang berada di sampingnya. “Tante, Paman.” Tama mencium punggung tangan mereka. Begitupun aku, yang mengekori kelakuan Tama.“Bagaimana keadaan anakku?” Tante itu mengikutiku, menatap Aga dari balik dinding kaca ini. “Aku pasrah dengan semua kehendakmu Ya Allah, jika memang Aga sudah harus tutup usia di waktu ini. Aku ikhlas, selama ia tak terus mengalami kesakitan.”Tante mengucapkannya lirih sambil berlinang air mata, dari sini aku belajar, puncak dari mencintai adalah mengikhlaskan. Mengikhlaskan orang yang dicintanya pergi selama itu adalah jalan yang terbaik. Sedangkan kini lelaki yang menjadi suaminya, merangkulnya erat memberi dukungan untuk kuat. “Kamu Zi?” tanya Tante yang kini menatap ke arahku. Sepertinya ia baru menyadari ada aku di sebelahnya. “Iya Tante.”“Senang bisa bertemu denganmu, Zi. Benar kata Aga kamu cantik.” Wanita itu kini mengembangkan senyum. “Ak
“Rendra.”Aku meneriaki lelaki itu sebelum berlalu. Ia menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap ke arahku.“Untuk apa kamu ke sini? Ada keperluan apa?”“Nona Zi. Bukankah hari ini Nona ada kelas pagi?” Lelaki itu kini berbalik tanya ke arahku, yang justru membuatku gemetaran.“Zi .. Zi ... Zi dikeluarkan dari kelas,” ucapku malu. ‘Ah, itu tidak penting. Bukankah di sini aku yang menjadi bosnya? ‘“Kenapa pertanyaanku tidak dijawab, Ren?”Lelaki itu tampak gugup, ia merapikan jas yang dikenakannya. “Saya menyampaikan amanat dari Tuan Zuan, Nona. Memberikan bantuan kepada yayasan.”“Tuan Zuan?”“Iya. Sebenarnya amanat ini sudah di sampaikan beberapa Minggu yang lalu, tapi belum sempat. Maafkan saya Nona Zi!” Aku mengangguk mengerti, dan mempersilahkan ia pergi. Aku yang tadinya memiliki.segudang harapan dengan kehidupan Om Zuan, kini kembali menelan pil kekecewaan. Kenapa kamu pergi, Om? Aku kembali ke ruang kelas, pintunya masih tertutup rapi, dengan suara dosen wanita yang m
“Tentu, Nona Zi.”“Tolong nanti sepulang kuliah, antar Zi ke panti. Bunga pasti telah menunggu, pasalnya kami telah berjanji untuk mengadopsinya.”Meskipun Om Zuan sudah tak ada, aku ingin sekali tetap bersama gadis kecil itu. Semoga Ibu panti mengijinkan aku mengadopsi Bunga dialah yang akan selalu mengingatkan tentang Om Zuan. “Baik, Nona Zi.”**“Zi, baru lihat kamu. “ Aga mengekoriku setelah memasuki gerbang universitas. “Ada yang Rindu, nich.”Tama yang mengekori kami, tersenyum senang. “Om Zuan baru saja meninggal, Ga!” ucapku sembari duduk di salah satu bangku kelas, mataku yang kosong menatap papan putih yang tergantung di dinding dekat dosen.“Tukang ojek?”“Jangan pernah hina Om Zuan, Ga.”Sontak aku berucap dengan nada tinggi, ketika mendengar lelakiku itu dihina.“Ma-maaf, Zi. Saya kira aku bisa menghiburmu.”Aga menampakkan wajah menyesal, dan itu membuatku tak tega dan merasa bersalah. Tama yang duduk di sebelahnya mengedipkan mata, seakan memberi isyarat untuk memin
Mentari yang terang, kini berubah menjadi gelap, apalagi mendung terus menyelimuti langit yang seakan mengetahui bagaimana hatiku saat ini. Tak ada cahaya dari bintang maupun bulan, yang ada hanya kegelapan dan kebisuan. Aku menatap meja kerja Om Zuan, tempat di mana aku selalu memandangnya sebelum tidur, berjibaku dengan tulisan dan laporan. “Om Zuan,” ucapku lirih ketika mendapatinya duduk di tempat yang sama. Beberapa detik kemudian Ia kembali berlalu begitu saja. Aku benar-benar menggila olehnya, lelaki yang mampu membuat hariku berwarna setiap harinya. “Om Zuan.” Aku kembali menatap lelaki itu yang kini terbaring di ranjang, bersebelahan denganku. Tangannya diangkat ke atas seperti biasa dan meninggalkan parfum khas dirinya. “Zi.”Suara panggilan itu membuat tubuh Om Zuan kembali menghilang, Wanita bergamis panjang dengan jilbab menjuntai telah berdiri di ambang pintu. “Maaf, Mama mengganggu istirahatmu. Bolehkan malam ini Mama bermalam denganmu?”Aku mengangguk, dan mempe