Share

bab. 4

last update Last Updated: 2022-08-18 15:06:54

“Om, bangun, Om. Ini sudah subuh. Mari kita jamaah dulu,” ucapkan sambil menggoyangkan tubuhnya. Entah mulai kapan lelaki ini tertidur di sini, tepatnya di sofa panjang sebelah meja kerjanya. Aku tertidur ketika ia masih sibuk menghadap tumpukan kertas di meja kerja itu.

“Aku masih ngantuk,” ucapnya masih dengan mata tertutup. Kini ia mengubah posisi dengan membelakangiku. 

“Om bangun, adzan sudah selesai berkumandang dari tadi. Jangan seperti anak SD yang susah dibangunkan untuk berangkat sekolah.”

“Apa? Kamu bandingkan aku dengan anak SD?”

“Maaf, Om. Tapi memang itu benar. Aku biasanya membangunkan ponakanku selalu pakai drama, sama seperti membangunkan om!”

“Zi,” ucap lelaki itu dengan menaikkan nadanya.

“Kamu tahu, itu baru jam setengah lima pagi?” ucapnya sambil menunjuk jam di sudut kamar.

“Tahu, Om.”

“Kenapa kamu bangunkan aku jam segini? Ini bukan jamku untuk bangun, nanti pukul enam aku akan bangun sendiri, jangan lupa kamu harus sudah menyiapkan sarapanku,” ucap lelaki berparas tampan berahang simetris itu kembali terbaring di posisi semula.

“Tapi, Om.”

“Apalagi, Zi? Ha?”

“Bukankah Om yang memintaku untuk tetap melayani Om sepeti selayaknya seorang istri seperti  biasa?”

“Hm,”

“Ya sudah bangun. Ayo, Om kita jamaah. Aku tak ingin kamu tertinggal di neraka,”” ucapku dengan menarik lengan bertubuh kekar itu. Sekuat apapun aku menariknya, rasanya tubuh itu tak bergeser sedikitpun.

“Om. Ayo solat, Om. Aku takut terseret ke neraka karenamu,” ucapku masih terus menarik lengannya.

“Cukup, cukup, bawel kamu, Zi. Mimpi apa aku semalam, harus ketemu wanita sepertimu.”

Lelaki itu beranjak ke kamar mandi, sedangkan kini terdengar suara kran yang menyala. 

“Om, kenapa gerakannya seperti itu? Itu salah, Om. Berwudhu itu harus tertib. Dari doa, lalu ...”

“Zi, hentikan. Aku membawamu ke sini bukan untuk ceramah di depanku. Ingat itu. Oh ya, jangan lagi ganggu aku. Tugasmu hanya yang aku sebutkan seperti kemarin, gak ada bangunkan tidur, gak ada meminta berwudhu. Gak ada lagi memintaku untuk ini dan itu, sebatas menyiapkan sarapan dan makan siang,” ucapnya dengan rahang yang mengeras  serta tangan yang mengepal. Ia melihatku dengan pandangan yang tajam, sangat mengerikan.

Kini ia kembali menjatuhkan tubuhnya dan tertidur kembali. 

Aku berlalu menuju dapur seusai menjalankan rakaatku, untung sekali kemarin aku menyempatkan mengelilingi rumah ini ditemani Simbok jadi aku tidak bingung mencari lokasi dapur ada di mana. Rumah yang terlalu besar, ternyata begitu menyusahkan.  

“Simbok, bagaimana komposisi yang tepat untuk membuatkan kopi Om Zuan” 

Simbok mengajari aku bagaimana membuat kopi, berapa suhu air yang harus aku gunakan. Juga bagaimana mengoles roti yang benar sesuai kesukaan Om galak itu.

“Ribet sekali ya, Mbok! Terlalu perfeksionis ia,” ucapku menggerutu.

“Hus, nanti kalau tuan dengar,” ucap Simbok sedikit berbisik.

“Aku sudah mendengar, lain kali aku tak ingin mendengar gosip seperti ini lagi,” ucapnya sambil duduk di bangku ujung meja makan. Lelaki bidang berpawakan tinggi serta jas hitam berdasi yang dikenakannya, membuat lelaki itu terlihat begitu keren. Keren? Sepersekian detik aku baru menyadari batinku yang salah itu.

“Sana, Non. Antar kopi dan roti selainya ke depan, Tuan,” ucap Simbok sambil menunjuk kopi hangat dan roti selai yang sudah berada di nampan. Perlahan aku membawa makanan tersebut di depan Om Zuan. Dua bola matanya tampak memperhatikan makanan yang kusajikan.

“Zi,” teriak si Om saat aku hendak berlalu.

“Lihatlah, lain kali aku tak mau minum kopi yang di sajikan dengan berantakan seperti ini. Karena ini hari pertamamu jadi aku maklumi, tidak untuk besok,” ucap lelaki itu sambil menunjuk cangkir kopi di depannya. Ya, kopi beralaskan cawan bening itu sedikit tumpah dan mengenai cawan. Mungkin karena tubuhku yang gemetaran, hingga minuman tersebut bisa seperti itu.

“Ba-baik, Om.”

Lelaki berahang simetris tanpa jambang maupun kumis itu tampak menyeruput kopinya. 

Srupp 

Ia tampak mengecap setelah kopi tersebut melewati bibirnya, bahkan meninggalkan bekas hitam kopi di bibir tersebut.

“Zi, kopi buatanmu ini terlalu manis,  aku tak suka,” ucapnya dengan menatapku dengan tatapan elang.

Ia meletakkan kopi yang terlihat masih utuh begitu saja.

“Karena Om meminumnya sambil melihatku, jadi perasa gulanya semakin bertambah.”

“Ini kesalahan fatal, Zi. Jangan anggap bercanda,” ucap lelaki itu yang kini mengunyah roti selainya. Sedangkan Simbok tampak mendekatiku dan memberiku kode untuk tak berkomentar apapun.

‘Dasar lelaki kaku, tak memiliki selera humor sedikitpun,' batinku.

“Ingat, komposisi kopi nya diperbaiki. Jangan lupa siapkan makan siangku,” ucap lelaki itu sambil mengangkat tas kerja warna hitamnya. Meninggalkan kopi panas yang masih terlihat utuh, serta roti selai yang hanya berkurang dua gigitan

**

Tak banyak yang aku lakukan selain rebahan di kamar, sambil membaca beberapa koleksi buku di rak sudut ruang ini. Selera lelaki ini payah sekali, tak ada Novel roman ataupun Komix. Hampir sebagian besar rak ini terisi dengan buku sains, buku akutansi dan sejenisnya. Pantas saja ia kaku dan tak memiliki selera humor.

“Non, ada tuan Rendra datang, ia ingin bertemu Nona Zi” terdengar suara dari balik pintu kamar. 

Bergegas aku membuka pintu dan bertemu seorang lelaki berjas hitam dengan sepatu mengkilat.

“Maaf Nona Zi, saya membutuhkan beberapa dokumen anda untuk menyelesaikan administrasi di universitas,”

“Ha, a-aku ku-kuliah?” tanyaku setelah menelan salivaku kasar. Rasanya ini benar-benar mimpi.

Aku bahkan sampai mencubit lenganku, untuk memastikan apakah ini nyata.

Lelaki itu tampak tersenyum lepas ketika melihat tingkahku, berbeda sekali dengan bos nya yang kaku dan dingin. Apalagi parasnya terlihat lebih muda, serta memiliki lesung Pipit yang membuat ia terlihat manis. 

‘Seperti ini nih, yang menjadi pasangan idamanku,’ batinku sambil menatap lelaki bawahan Om Zuan tersebut.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
si Zi mw di kuliahin biar g katrok kali y..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Terpaksa Akad   Bab. 5

    “Maaf Tuan, kalau boleh tahu saya mau dimasukkan di universitas mana?” tanyaku ragu.“Panggil Aku Rendra saja, aku ini bawahanmu, Nona Zi,” ucapnya sambil sekilas menatapku dan kembali kepada tumpukan kertas yang aku berikan. Ia memberikanku beberapa opsi universitas ternama ini.“Tuan memintaku untuk mendaftarkan Nona Zi di sini,” ucapnya sambil menunjuk salah satu brosur universitas.“Ha?” Aku benar-benar terkejut ketika melihat nama Universitas tersebut. Tempat di mana Mesa menuntut ilmu, bahkan PakDe sampai harus menjual beberapa hektar sawahnya hanya untuk biaya masuk sekolahnya saja. “Maaf Rendra, apa aku bermimpi? Coba kamu cubit lenganku!” ucapku sambil menjuntai kan lenganku di depannya. “Nona Zi memang lucu,” ia senyum simpul hingga lesung pipitnya kembali terlihat begitu manis. *”Aku kembali melaksanakan pekerjaanku, apalagi kalau bukan menyiapkan makan siang untuk Om galak, bangunan dapur ini begitu luas, mungkin hampir sama dengan dua kamar bude dan Mesa jika disatuka

    Last Updated : 2022-08-18
  • Terpaksa Akad   bab. 6

    “Bukan seperti itu, Om . Tapi ....” Aku tertunduk.Sejenak memikirkan ide. Bagaimana cara aku mengalihkan pembicaraan kami.“Tapi apa, ha?”“ Itu, Om. Ini jam dua belas kurang lima belas menit. Kenapa sudah sampai rumah?” tanyaku sambil menunjukkan jam tangan yang melingkari lengannya.“Ini rumahku, Zi. Terserah saya mau pulang jam berapa,” ujarnya sambil menaikkan rahangnya. Benar-benar membuatku terasa terpojok.“Maaf Tuan. Makanannya belum siap,” ucap Simbok dengan mengernyitkan dahinya. Wanita itu nampak ketakutan ketika tuannya datang dan belum mampu menyajikan menu apapun. “Gak apa, Mbok. Jam makanku memang masih lima belas menit lagi.”Lelaki itu meletakkan tasnya di kursi lalu melonggarkan dasinya. Ia duduk di kursi ujung seperti saat sarapan tadi, mengambil buah apel yang tersaji di atas meja dan menggigitnya. “Jangan, Zi!“Jangan, Non!” Teriak Om Zuan dan Simbok bersamaan, benar-benar membuatku terkejut dan melepas barang yang aku pegang. Seketika bawang goreng itu berha

    Last Updated : 2022-08-18
  • Terpaksa Akad   Bab. 7

    “Atau jangan-jangan ....” Lelaki itu mendekat menyisakan jarak hanya tinggal beberapa senti, senyumnya menyeringai membuat tubuhku gemetaran. Kini kurasakan peluhku pun ikut keluar, sedangkan tanganku terasa dingin. “Jangan, Om,” ucapku sambil mendorong tubuhnya agar tak semakin mendekat. “Kenapa, Zi? Ha? Kamu terganggu?” Lelaki itu terus mendekat sambil kembali menyeringai, ia semakin mendekat hingga terasa aroma nafasnya saat ia berbicara. Desiran jantungku benar-benar tak karuan. Ini pertama kalinya aku bersama lelaki sedekat ini.Aku terpejam, rasanya aku tak mampu menatap lelaki itu lebih lama. Sungguh perasaan yang tak pernah aku mengerti, dibalik rasa ketakutan, ada rasa yang aneh yang kini menjelajahi ruang hatiku.“Ba,” terdengar suaranya yang mengejutkan serta aroma nafas yang kian menyeruak. Sontak aku membuka mata, dan ia tertawa begitu konyolnya. “Kamu pikir aku mau ngapain, Zi? Ha? Aku tidak mungkin melakukan itu denganmu,” ucapnya sambil menata nafasnya yang terenga

    Last Updated : 2022-08-18
  • Terpaksa Akad   Bab. 8

    Aku menatap makanan yang tersaji di meja, rawon yang memiliki kuah santan pekat serta daging bakar yang disajikan beserta panggangannya. Aku tak mampu menahan untuk tidak menelan salivaku. “Jangan hanya dipandang. Kamu laparkan?” ucapnya menatap ke arahku. Dua tangannya telah memegang pisau dan garpu. “Baik, Om,” ucapku sambil meraih rawonnya. Kuincip sedikit kuah kental tersebut, benar-benar nikmat. Sungguh rawon di rumah bude memang tak ada apa-apanya. “Enakkan?” Aku mengangguk.“Ini habiskan juga. Aku tak ingin seorang istri dari Zuan Raditya merasakan kelaparan “ ucapnya sambil meletakkan rawon miliknya di dekatku.Istri Zuan Raditya? Terasa ngilu aku mendengarnya.“Pasti, Om,” jawabku santai. Kapan lagi aku bisa makan enak gini. Dari pada makan sup ayam tanpa bawang goreng, sudah pasti nikmat masakan ini dong. Aku juga tak perlu jaim-jaiman kepada lelaki di depanku ini, mengingat perutku yang masih bagai genderang meskipun telah menghabiskan semangkuk rawon milikku. Aku mena

    Last Updated : 2022-08-18
  • Terpaksa Akad   Bab. 9

    “Au, panas.” Semua kuah itu tumpah di atas meja, dan mengalir begitu saja hingga mencapai lantai.Aku menoleh ke sumber suara, seorang lelaki berdiri di belakangku, menatapku dengan dua bola mata yang hendak keluar. ‘Ya Allah ya Robbi, apa malaikat maut berupa sepeti ini? Menyeramkan sekali?’ “Zi ....” ucap Om Zuan dengan gemeletuk giginya.“Iya, Om.”“Kamu apakan dapurku? Bukankah aku pernah bilang kalau aku gak suka dapurku kotor?” “Akan saya bersihkan, Om.”“Di mana makan siangku, Zi? Ha?" tanya Om Zuan masih dengan giginya yang saling gemeletuk, terlihat ia beberapa kali membuang nafas kasar.“Maaf, Om. Ini takdir, Om!" Jawabku sambil meringis, tak berani menatap lelaki di depanku."Bukankah semua yang telah terjadi di muka bumi ini adalah kehendak Allah? Sama seperti aku yang tak sengaja menumpahkan kuah ini, itu karena takdir. Om tahan marahnya ya! Zi pernah baca sebuah artikel, tiap kali marah, beberapa sambungan syaraf ke otak itu menegang dan memutus. Itu gak baik Lo, Om.

    Last Updated : 2022-08-21
  • Terpaksa Akad   bab. 10a

    Bab 10Aku benapas lega ketika keluar dari kamar kecil. Untung saja, aku tak harus keluar ruangan hanya untuk membuang hajatku. Pandangan mereka ke arahku, benar-benar membuatku ngeri. Tatapan sinis.“Kamu menjijikkan sekali, Zi!” ucap lelaki itu sambil sekilas menatapku. Pandangannya kembali mengarah ke layar di depannya, sedangkan tangan kirinya masih ia gunakan untuk menutup Indra penciuman. “Ini semua karena, Om. Jika Om tak memintaku untuk berdiam diri semua tak akan seperti ini.”“Zi,” ucap lelaki itu sambil mendelik ke arahku. Hingga sebuah panggilan terdengar di indra. Ia meraih ponsel dalam layarnya, melihat nama di dalamnya, dan membiarkan panggilan tersebut begitu saja.“Siapa, Om? Kenapa tidak diangkat?” tanyaku. Selintas bayangan wanita cantik tergambar di ponsel Om Zuan.“Bukan urusanmu.”Aku diminta Om Zuan untuk duduk menjauh darinya, di sebuah sofa sudut, yang sepertinya digunakan untuk Om menjamu rekan kerjanya. Hanya duduk, tak boleh berbuat apa-apa, termasuk bicar

    Last Updated : 2022-08-30
  • Terpaksa Akad   bab. 10b

    “Dasar, wanita bodoh. Apa kamu gak membaca kemasannya?”“Tulisannya bahasa asing, Om. Aku gak bisa mengartikannya.”“Dasar kamu, Zi!” ucap Om Zuan sambil menatapku dengan membulatkan dua bola matanya.**POV Zuan.“Dasar kamu, Zi!”“Om, jangan marah-marah. Tau tidak kalau tiap Om marah tingkat kegantengannya bertambah.”Aku tersenyum mendengar pengakuan wanita kecil itu. Tak aku pungkiri, ketampananku memang melebihi rata-rata.“Diam, Zi! Kamu itu lagi gak waras!”“Siapa yang gak waras, Om. Zi itu tidak gila. Zi bisa berpikir sehat, dan yang terpenting, Zi bisa jatuh cinta. Tidak seperti Om. Berarti siapa yang tidak waras?” Wanita ini sepertinya memang sudah terpengaruh dengan alkohol dari minuman tersebut. Kenapa aku lupa kalau ada wine di lemari itu. “Om, apa karena wanita tadi ya? Om tidak mau menyentuhku. Padahal cantikan aku Lo, Om. Apalagi kalau aku dandan, sudah pasti tuh wanita itu kalah jauh.”‘Apakah seperti ini perasaan seorang wanita? Bukankah aku sudah pernah berpesan j

    Last Updated : 2022-08-30
  • Terpaksa Akad   bab. 11 a

    “Om Zuan, kenapa aku memakai pakaian haram seperti ini? Apa yang sedang terjadi? Kamu tidak ...?”Aku menutup belahan dadaku yang terbuka dengan menyilangkan tanganku sedangkan kakiku yang terekspose karena pakaian pendek ini aku tutup dengan jaket milik om Zuan. “Jangan berpikir aneh-aneh, Zi! Kamu menanggalkan semua pakaianmupun aku tak akan tertarik. Lihat saja, ukuran dadamu saja standar. Siapa juga yang mau melirik?” ucap Om Zuan dengan senyum tipis. Benar-benar merendahkanku.“Om.”Aku mendelik ke arahnya, sedangkan ia seakan tersenyum puas. Sesaat kemudian, ia memasukkan sebuah alat kecil ke telinganya, lalu menggeser layar pipih miliknya.“Iya, Ma. Zuan jemput sekarang ya!” Aku menatap lelaki itu, ketika kata “Ma” keluar dari bibirnya. Apakah Ma yang dimaksud adalah ibunya?“Siapa yang telfon, Om!”“Bukan urusanmu.”Ish, benar-benar menyebalkan. “Nanti kalau bertemu Mama kamu harus bersikap sopan, jaga sikapmu, dan ingat jangan banyak bicara.”“Bukan urusanku.”“Ini urusan

    Last Updated : 2022-09-01

Latest chapter

  • Terpaksa Akad   bab.36c

    Om Zuan terkekeh, dia menatapku begitu dalam. Begitupun aku yang seakan terkena magnet dari lelaki di depanku. Aku terus mendekat, sama sepetinya. Wajahnya masih tampak tampan, meskipun memang tak terlihat sempurna. Kini mulai kurasakan detak jantungku yang tak beraturan, serta hembusan hangat dari nafas Om Zuan.“Zuan, apa kamu di dalam?” terdengar teriakan mama dari balik pintu. “Tadi Zi datang, dan tiba-tiba Zi tak diketemukan. Mama ...”Mama tak melanjutkan kalimatnya ketika aku tengah membuka pintu, dilihatnya diriku dalam-dalam.“Kalian sudah bertemu?” Mama tampak terkejut melihatku yang berada di kamar ini, begitupun Rendra yang tengah berdiri di belakang Mama. “Kenapa kamu bodoh sekali dengan membawa Zi ke sini?” Om Zuan melempar sebuah pulpen ke tubuh Rendra.“Maaf, Tuan. Nona Zi memaksa. Nomor baru tuan Zuan pun tidak bisa dihubungi. dari sebelum ke sini, saya sudah memberi kabar.”“Kalian semua tahu, dan menipu ku mentah-mentah?” aku mengerucutkan bibirku. Ingin marah?

  • Terpaksa Akad   bab. 36b

    Aku perlahan melangkah, masuk ke dalam kamar asing tanpa ijin sang pemilik rumah. Semoga Mama tak mengetahui sikap nekat Zi, Ya Allah. Aku kembali mendekat kepada lelaki tersebut.“Ma, kenapa rame? Apa Rendra telfon kembali dan memberi kabar tentang Zi? “ ucap lelaki tersebut. Yang membuatku yakin kalau lelaki di depanku adalah Om Zuan.“Om.”Entah setan apa yang merasuki tubuhku, hingga aku memeluknya dari belakang. “Zi kangen, Om. Zi ....”Aku tersentak kaget ketika melihatnya. Bahkan tubuhku seakan terpental, menyisakan jarak beberapa meter. Matanya hanya satu. Karena yang satunya tertutup oleh kasa. Ia pun tak kalah kaget dariku. Ia menunduk, sekaan malu dengan keadaanya. “Om Zuan.” Aku kembali mendekatinya. Memastikan dengan apa yang baru saja kulihat.Ia memalingkan muka. Seakan tak ingin wajahnya terekspose dengan mata indahku.“Om Zuan, ini Zi.” Aku terus mendekat.“Siapa, Zi? Aku gak kenal!”Aku terus mendekat, kini tak menyisakan jarak dan kembali memeluknya dari belaka

  • Terpaksa Akad   bab. 36a

    Terima kasih yang sudah mampir di kisahnya Zi dan Zuan, mohon maaf jika ceritanya kurang berkenan. Happy reading ...🥀🥀🥀“Siapa, Ma?” tanyaku heran. “E... Itu, itu suami Mama, ayah tirinya Zuan.”Benarkah? Apa Mama berbohong kepada Zi.“Ma, kenapa Zi tidak dipersilahkan masuk?”“Astagfirullah, maafkan Mama, Zi.” Wanita teduh itu menggandengku, dan melewati pintu bersama, sedangkan Rendra terus saja mengekori, tetap dengan ponsel di tangannya.Rumah berdinding jati ini benar-benar rapi, tak banyak pernah-pernik, hanya beberapa foto yang keluarga yang tertempel di dinding. Aku menatap sekitar, dan tiba-tiba indraku mencium wangi Om Zuan di dalamnya.Apakah Om Zuan di sini? Ah, rasanya tidak mungkin.“Ini, Pak. Ada Zi. Istrinya Zuan.” Mama memperkenalkanku kepada lelaki paruh baya yang tengah memakai baju kerah batik serta celana hitam polos. Hah, lagi-lagi harapanku nihil. Aku berharap Om Zuan yang datang. Aku menjabat tangan, dan mencium punggung tangannya. Dan kini dibalas den

  • Terpaksa Akad   bab. 35b

    “Setidaknya sarapan dulu, Nona. Nanti bisa kembali tidur,” ucap Simbok yang andil bersuara. “Males, Mbok. Zi masih kenyang.”“Kenyang dari mana, Non? Semalam saja tidak makan malam.”Kini terdengar suara saling berbisik antara Simbok dan Rendra, entah apa yang mereka bicarakan. Aku masih terlalu malas untuk ke luar dari ruangan ini.“Nona Zi, katanya mau jenguk bunga. Jadi?” Terdengar suara Rendra yang membuat mataku berbinar. Aku bergegas membuka pintu itu, dan menjawabnya dengan anggukan. “Jadi, Ren. Sekarang ya.”Rendra tersenyum, sedangkan Simbok tampak menggelengkan kepala. “Diantar kalau Nona Zi sudah sarapan.”Hah, Aku membuang nafas kasar sambil menuju ke meja makan. “Kita makan bersama ya, Mbok, Ren.”Aku mengoleskan selai ke roti gandum di depanku. Memberikan mereka masing-masing satu potong untuk menemani sarapanku. Entah, setelah mendengar nama Bunga, aku sepeti memiliki kekuatan baru. Aku tak boleh menyerah dengan keadaan, aku Zi dan aku kuat. Aku harus sehat untuk ana

  • Terpaksa Akad   bab. 35a

    Rendra mengernyitkan dahinya ketika mendengar ucapanku. “Pusara Tuan Zuan, Nona?” “Iya, Ren. Aku mau menjenguk Om.”“E, itu, Non. Ada di sebelah sana.”Rendra menunjuk sebelah selatan. Kami berjalan mengikuti arahan Rendra, cukup jauh memang, karena tempat pemakaman ini lumayan besar. “Non, maaf. Hari ini ada rapat mendadak.” Rendra menunjukkan sebuah pesan dari ponselnya. Aku membaca pesan tersebut.[ Pak Rendra, tamu kita yang dari Jepang sudah datang. Bisakah ke kantor sekarang? ]“Kalau begitu antar saya saja ke pusara Om Zuan, Ren. Biar nanti saya pulang pakai taksi.”“Maaf, Non. Saya tidak berani. Saya diberi amanat Tuan Zuan untuk menjaga Nona Zi setelah beliau tidak ada. Apalagi hari sudah malam. Kita ke sini lain kali saja. “Aku mengangguk, sebenarnya setengah terpaksa meninggalkan tempat ini. Kenapa ada acara yang begitu mendadak? Ah, sudahlah. **“Malam ini mau makan apa, Non?” Simbok menatapku dengan khawatir, untuk saat ini ialah yang peduli kepadaku setelah Rendra

  • Terpaksa Akad   bab.34b

    “Assalamualaikum.” Terdengar suara panik dari wanita paruh baya yang kini mendekati kami, begitupun lelaki yang berada di sampingnya. “Tante, Paman.” Tama mencium punggung tangan mereka. Begitupun aku, yang mengekori kelakuan Tama.“Bagaimana keadaan anakku?” Tante itu mengikutiku, menatap Aga dari balik dinding kaca ini. “Aku pasrah dengan semua kehendakmu Ya Allah, jika memang Aga sudah harus tutup usia di waktu ini. Aku ikhlas, selama ia tak terus mengalami kesakitan.”Tante mengucapkannya lirih sambil berlinang air mata, dari sini aku belajar, puncak dari mencintai adalah mengikhlaskan. Mengikhlaskan orang yang dicintanya pergi selama itu adalah jalan yang terbaik. Sedangkan kini lelaki yang menjadi suaminya, merangkulnya erat memberi dukungan untuk kuat. “Kamu Zi?” tanya Tante yang kini menatap ke arahku. Sepertinya ia baru menyadari ada aku di sebelahnya. “Iya Tante.”“Senang bisa bertemu denganmu, Zi. Benar kata Aga kamu cantik.” Wanita itu kini mengembangkan senyum. “Ak

  • Terpaksa Akad   bab. 34a

    “Rendra.”Aku meneriaki lelaki itu sebelum berlalu. Ia menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap ke arahku.“Untuk apa kamu ke sini? Ada keperluan apa?”“Nona Zi. Bukankah hari ini Nona ada kelas pagi?” Lelaki itu kini berbalik tanya ke arahku, yang justru membuatku gemetaran.“Zi .. Zi ... Zi dikeluarkan dari kelas,” ucapku malu. ‘Ah, itu tidak penting. Bukankah di sini aku yang menjadi bosnya? ‘“Kenapa pertanyaanku tidak dijawab, Ren?”Lelaki itu tampak gugup, ia merapikan jas yang dikenakannya. “Saya menyampaikan amanat dari Tuan Zuan, Nona. Memberikan bantuan kepada yayasan.”“Tuan Zuan?”“Iya. Sebenarnya amanat ini sudah di sampaikan beberapa Minggu yang lalu, tapi belum sempat. Maafkan saya Nona Zi!” Aku mengangguk mengerti, dan mempersilahkan ia pergi. Aku yang tadinya memiliki.segudang harapan dengan kehidupan Om Zuan, kini kembali menelan pil kekecewaan. Kenapa kamu pergi, Om? Aku kembali ke ruang kelas, pintunya masih tertutup rapi, dengan suara dosen wanita yang m

  • Terpaksa Akad   bab.33b

    “Tentu, Nona Zi.”“Tolong nanti sepulang kuliah, antar Zi ke panti. Bunga pasti telah menunggu, pasalnya kami telah berjanji untuk mengadopsinya.”Meskipun Om Zuan sudah tak ada, aku ingin sekali tetap bersama gadis kecil itu. Semoga Ibu panti mengijinkan aku mengadopsi Bunga dialah yang akan selalu mengingatkan tentang Om Zuan. “Baik, Nona Zi.”**“Zi, baru lihat kamu. “ Aga mengekoriku setelah memasuki gerbang universitas. “Ada yang Rindu, nich.”Tama yang mengekori kami, tersenyum senang. “Om Zuan baru saja meninggal, Ga!” ucapku sembari duduk di salah satu bangku kelas, mataku yang kosong menatap papan putih yang tergantung di dinding dekat dosen.“Tukang ojek?”“Jangan pernah hina Om Zuan, Ga.”Sontak aku berucap dengan nada tinggi, ketika mendengar lelakiku itu dihina.“Ma-maaf, Zi. Saya kira aku bisa menghiburmu.”Aga menampakkan wajah menyesal, dan itu membuatku tak tega dan merasa bersalah. Tama yang duduk di sebelahnya mengedipkan mata, seakan memberi isyarat untuk memin

  • Terpaksa Akad   Bab. 33a

    Mentari yang terang, kini berubah menjadi gelap, apalagi mendung terus menyelimuti langit yang seakan mengetahui bagaimana hatiku saat ini. Tak ada cahaya dari bintang maupun bulan, yang ada hanya kegelapan dan kebisuan. Aku menatap meja kerja Om Zuan, tempat di mana aku selalu memandangnya sebelum tidur, berjibaku dengan tulisan dan laporan. “Om Zuan,” ucapku lirih ketika mendapatinya duduk di tempat yang sama. Beberapa detik kemudian Ia kembali berlalu begitu saja. Aku benar-benar menggila olehnya, lelaki yang mampu membuat hariku berwarna setiap harinya. “Om Zuan.” Aku kembali menatap lelaki itu yang kini terbaring di ranjang, bersebelahan denganku. Tangannya diangkat ke atas seperti biasa dan meninggalkan parfum khas dirinya. “Zi.”Suara panggilan itu membuat tubuh Om Zuan kembali menghilang, Wanita bergamis panjang dengan jilbab menjuntai telah berdiri di ambang pintu. “Maaf, Mama mengganggu istirahatmu. Bolehkan malam ini Mama bermalam denganmu?”Aku mengangguk, dan mempe

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status