#PJSR_________________PoV Bang Ochi_________________Detik semakin bergeser mendekati waktu tengah malam dan gunung kian lengang manakala satu per satu pendaki masuk ke dalam tenda untuk merebahkan lelah.Cahaya penerang dalam tenda pendaki pun mulai padam satu demi satu. Mereka harus menabung tenaga untuk bersiap menuju puncak pukul dua dini hari nanti. Oleh karena kami memutuskan tidak ke puncak malam ini, kami bisa bersantai dan menikmati malam bertabur bintang dengan kerlap-kerlipnya yang khas.Di seberang sana, masih tampak satu dua porter duduk berselimut sarung bermotif kotak-kotak di pinggir perapian. Tangannya lincah memasak untuk turisnya yang lapar.Asik menikmati suasana malam khas gunung, perlahan di kejauhan, samar-samar kudengar deru angin berembus cukup kencang, lalu menimbulkan suara derit dahan bergesekan. Tak lama suara itu semakin dekat, lalu angin menerpa wajah dan sedikit menggoyangkan tubuhku. Deretan tenda-tenda pun turut bergoyang, menari bersama angin diir
#PJSR________________PoV Bang Ochi________________Pagi tampak sendu dengan kabut abu membawa dingin yang beku. Kubuat perapian dari ranting-ranting cemara yang mati dan mengering agar pagi ini menghangat. Bau asap menguar di sekitar tenda dan sesekali membuatku terbatuk. Di seberang sana, Opik, Mila, Utari, dan Alika tampak sedang membongkar tenda dan mengemas perlengkapan mereka. Sesuai kesepakatan, mereka akan turun ke danau dengan rencana masing-masing. Mila hendak menikah dengan pria yang melamarnya. Jadi, Opik akan menemani Mila ke sana untuk mengenang almarhum Bang Ron untuk terkahir kalinya. Sedangkan, Utari dan Alika, mereka memang mendaki untuk hunting gambar."Pagi sekali, Bro, kok udah beres-beres aja?" tanyaku menyapanya."Eh, iya, Bang ... biar nanti selesai sarapan, langsung joss," balas Opik."Tenang, bentar lagi sarapan siap," sela Zahra yang asik menumis sayur ditemani Diah.Aku pun mengarahkan pandangan kepada perempuan berhidung minimalis itu. Mengetahui aku me
#PJSR2________________PoV Bang Ochi_________________Semilir angin membersamai pembicaraan kami yang agak kekanak-kanakan, hingga tak terasa matahari semakin tergelincir ke belahan bumi yang lain. Entah kenapa, ketika bersama dengan orang yang mengisi hati, waktu seakan berjalan begitu cepat, sampai terbersit dalam hati untuk memohon kepada Tuhan agar waktu berhenti sampai di sini saja."Bang, aku mau tanya, boleh?" tutur Zahra lembut."Apaan?" Aku balik bertanya."Si Citra, cantik gak menurut Abang?" "Ya, cantiklah," jawabku apa adanya."Tuh, kan, pasti Abang suka!" tuduhnya sambil cemberut."Bukan gitu, tapi kan emang dia cantik. Masa harus bohong?""Nyebelin, banget sih, Bang! Aku tuh pengen Abang jawab 'gak, biasa aja', gitu! Ngertiin dong dikit perasaan cewek. Emang jarang ada cowok peka sama perasaan cewek, gak usah jujur-jujur amat juga masalah begituan! Yang penting hati cewek tu seneng." Zahra bersungut.Kali ini aku tahu bahwa perempuan terkadang seribet ini. Ya Tuhan,
________________PoV Bang Ochi_________________Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Udara cukup tenang dan langit tampak bersih dari gumpalan awan, tak ada tanda-tanda akan datangnya badai angin ataupun hujan. Satu per satu cahaya headlamp terpendar dari para pendaki yang bersiap menaklukkan puncak setinggi 3.726 MDPL.Dari dalam tenda dengan pintu yang kubuka menganga, kulihat Alit sedang membangunkan teman-teman agar melakukan persiapan untuk summit attack malam ini. Sesuai kesepakatan, pendakian menuju puncak akan dilakukan pukul dua dini hari ini. Setelah membangunkan teman-teman, Alit melangkah ke arahku."Bang Ochi, bisa bantu kasih arahan ke teman-teman? Kita briefing dulu sebelum berangkat," ucap Alit dengan nada pelan."Apa gak kamu aja sekalian, Lit, kan kamu leadernya." Aku menolak dengan halus."Ayolah, Bang ... Abang punya pengalaman lebih ketimbang aku, jadi Abang bantu sekedar untuk kasih arahan aja," desak Alit."Tapi, yang mimpin sampai ke puncak tetap kamu, ya."
_____________Pov Bang Ochi_____________Engahan napas terdengar di mana-mana. Ratusan pendaki berjalan pelan pada jalur yang tak lebar. Jarak pandang kami terbatas hanya sejauh pendaran cahaya headlamp. Debu-debu tampak beterbangan menyesaki kami sepanjang jalur menuju punggungan. Kami terus berusaha mencapai punggungan walau sesekali terbatuk karena debu dan terpeleset karena kemiringan jalur. Jalur pendakian memang cukup sulit untuk dilewati karena butiran pasir sebesar biji ketumbar membuat pijakan kaki tidak menapak dengan baik pada permukaan tanah yang miring."Ayo semangat." Sambil menyeka keringat yang mengalir di kening, Alit terus memberi semangat untuk tim. Ratusan cahaya headlamp memenuhi jalur pendakian dan menciptakan suasana ramai pada jalur selebar kurang dua meter. Pendaki lokal dan mancanegara pun saling menyemangati untuk menaklukkan puncak di malam yang beku.Di posisi paling belakang, aku bersama Kakek Mustafa memantau pergerakan teman-teman agar tak salah arah.
#PJSR2_______________PoV Bang Ochi_______________Di puncak, sudah ada teman-teman yang sedari tadi menunggu kedatangan kami. Bersamaan dengan udara yang semakin menghangat, kaki terus melangkah menapaki titik tertinggi pulau Lombok."Ra, itu lima langkah ke sana, itu puncak tertinggi Rinjani. Ayo sana!" suruhku sambil menunjuk sudut tempat bendera tertancap."Kata Abang tadi mau samaan," balas Zahra."Tugasku kan cuma ngedampingi kamu sama teman-teman yang lain, Ra," ucapku dengan senyum."Abaang, aku tu mau kita samaan ke sana," balas Zahra semakin menitikkan air mata.Melihatnya meminta seperti itu, tak tega rasanya kutolak. Aku pun mengangguk sebagai tanda menyetujui.Dari puncak tertinggi, pemandangan sungguh menakjubkan dengan birunya danau Segara Anak dan Gunung Baru Jari yang masih aktif mengeluarkan asap vulkanik. Diah yang sudah menunggu, berteriak memanggil nama Zahra dan mereka pun saling menghambur berpelukan.Ada tangis haru yang tak dapat lagi mereka bendung. Meliha
#PJSR2__________________PoV Bang Ochi__________________Ternyata ini adalah moment yang dinanti Alit. Kupikir hanya rencanaku saja, tapi bagaimanapun juga laki-laki harus tetap kokoh. "Bang Ochi, mau ke mana? Aku ikut." Citra melangkah cepat membuntutiku di belakang."Gak ke mana-mana, anginnya kenceng banget, cuma mau ke sana," tunjukku ke balik batu besar bermaksud menghindari terpaan angin langsung. Dari tempatku yang agak rendah, drama katakan cinta itu tak terlihat, suaranya pun terbawa pergi bersama angin. Apapun jawabannya, tidak perlu aku tahu di gunung ini. "Ih, Abang ... jalannya cepet banget, sih," ucap Citra mencoba mendahului."Lagian kamu ngapain ikut? udah sana puas-puasin foto, ntar lagi kita turun," balasku sambil menyandarkan punggung pada permukaan batu yang tampak kecokelatan.Baru saja aku bersandar melepas lelah, kulihat ada sesuatu yang aneh terjadi pada Kakek Mustafa. Ia berjalan turun meninggalkan teman-teman yang sedang asyik berfoto. Tiba-tiba, ia terd
Ket: Tim danau sebelum gempa terjadi______________PoV Opik______________Malam lembab dengan kabut cukup tebal menyelimuti area perkemahan danau Segara Anak. Kulihat jam yang melingkar di tanganku baru saja menunjukkan pukul 7.30 malam. Suasana di danau cukup padat oleh tenda-tenda pendaki. Bulan ini memang bulan padat pengunjung mendaki Rinjani. "Masak apa, Pik? Wangi butter-nya enak banget," tanya Utari sambil sedikit mengangkat dagu membaui udara dari pintu tenda."Eh, ini ... aku bikin pancake, buat makan malam kita," jawabku sambil membalik adonan yang sudah mulai kering di bagian bawahnya.Mendengar jawabanku, Utari keluar dari tenda dan melangkah ke arahku."Mila mana?" tanyaku karena tak melihat adanya Mila di tenda perempuan."Tuh, dia jalan ke sana tadi, kayanya dia lagi pengen sendiri. Oh ya, Bang Ron itu siapa, terus Mila siapanya Bang Ron?" tanya Utari penasaran."Waduh, aku merinding bahas masalah itu, Tari. Kita omongin itu nanti aja ya kalau udah di bawah.""Dikit