#PJSR2_______________PoV Bang Ovhi_______________"Hmmh, benar kata orang, terkadang realita tidak sejalan dengan ekspektasi. Kadang perasaan memang sering salah ... aku salah mengartikan setiap ucapan manis manjanya yang seringkali membuatku terlanjur nyaman." Dalam sepi aku merutuki diri sambil tertawa kecil. Konyol, pikirku. "Tapi, kenapa dia terkadang seperti ngasih kode ... seperti ngasih harapan? Hah, apa semua perempuan seperti itu ... ngasih harapan terus ninggalin pas udah terlanjur nyaman dan terlanjur sayang?" lanjutku bicara pada diri sendiri. Srrkkk!Tiba-tiba suara gesekan ranting dan daun kering yang terinjak membuyarkan lamunanku. Suara itu berasal dari arah semak yang tak jauh dari tempatku berdiri. Kuarahkan cahaya headlamp ke arah suara untuk memastikan. Mataku memburu ke arah beberapa sudut dan berusaha menangkap sosok di balik semak."Siapa tuh?" tanyaku sambil mengarahkan cahaya ke arah rerimbunan tumbuhan strawberry hutan.Perlahan, kulangkahkan kaki dengan
#PJSR 2________________PoV Bang Ochi________________Harapanku sederhana, semoga suatu masa nanti aku dan kamu dapat melihat malam yang hujan dari satu pintu tenda yang sama dan meremas dinginnya malam.Apakah sesulit ini memahami seorang perempuan? Setiap sikapnya seakan mengabarkan isyarat, tapi sayangnya aku dan dia hanya seperti memiliki banyak momen tanpa sebuah komitmen. Aku memang tidak pernah memilikimu, tapi aku merasa kehilangan.Apakah alam sebercanda ini terhadapku? Ia datang menitip rasa, tapi setelah rasa itu kujaga, ia pergi menyisakan sesak. Kurang ajar! Hah!Mulai detik ini, aku tidak akan gagal melupa tentangnya. Aku sadar, aku hanya menjalani lakon hidup yang seringkali tidak sejalan dengan skenario yang sudah kurancang."Bang Ochi, makasi ya kopinya, aku mau balik ke tenda dulu siapin sarapan buat kakek," ucap Citra membuyarkan lamunanku."Oh, iya, silakan," ucapku dengan sedikit senyum."Teman-teman, ayok masak-masak dulu ... kita bergerak lebih pagi supaya te
#PJSR2_______________PoV Bang Ochi_______________Sepanjang jalan menanjak kugandeng tangan mungilnya. Ia hanya tersenyum dengan pipi yang memerah. Panas yang terik dan terpaan angin yang menerbangkan debu-debu membuat sempurna momen itu. Zahra berkali-kali harus berhenti karena lelah dan haus. Tentu saja, aku dengan penuh perhatian memberikan air dari tumbler milikku."Bang, ini gak mengubah apa-apa lho, walaupun Abang peratian gini dan gandeng aku dari tadi," ucap Zahra. "Aku cuma menghargai rasa, bukan membalas rasa, Bang," lanjutnya kemudian.Ucapannya begitu membelati menyayat ulu hati. Aku hanya bisa tersenyum diam dan menghargai dia yang sedang berusaha memperbaiki hubungan dengan mantan pacarnya. Karena menjaga martabat lelaki, aku harus tetap kokoh."Hmm, aku juga gak ada rasa apa-apa sama kamu! Teman, hanya itu ... gak lebih!" balasku."Terus, ngapain Abang gandeng-gandeng aku dari tadi, terus maksa-maksa kita jadian?" tanya Zahra agak sinis."Tu karena kamu jalannya miri
#PJSR2________________PoV Bang Ochi________________"Emang, kakimu sakit, ya?" tanyaku sambil menggendong Zahra di punggung."Sebenernya gak terlalu sih, Baaang," jawabnya manis manja di telingaku."Terus kenapa minta, gendong?" tanyaku lagi."Pengen aja!""Astaga, kamu ini aneh!""Emang abang capek?""Ya pasti capek, sih ... kamu itu berat, tapi demi kamu ... apa sih yang nggak?""Kali ini aku jujur, Bang ... sebenarnya, dari dulu aku cuma ingin Abang benar-benar berusaha aja. Soalnya, aku butuh diyakinkan, Bang! Bosen digombalin mulu.""Lalu, apa kabar denganku? Apa gak butuh diyakinkan?" sindirku."Iya ... iya ... maaf, tapi Abang kan laki!""Emang kalau laki, kenapa?" tanyaku."Jelas beda dong, yang harus ngejer itu laki, Bang. Perempuan itu kan sejatinya menunggu. Kalau perempuan yang ngejer, hmm ... harga dirinya di mana? Ini sebenarnya harus jadi pegangan buat kaum perempuan, jangan ngejer laki, tapi ngodein, bolehlah," jawabnya panjang lebar."Hmm, ya sudah ... kamu ini pem
#PJSR2_________________PoV Alit_________________"Awas!" perintah bocah kecil bertelanjang dada itu. Anehnya, dia tak merasa kedinginan karena terpaan angin gunung yang terus berembus tanpa henti, apalagi di waktu surup.Aku sedikit menyingkir dan tidak berkata apa-apa. Aku benar-benar merasa ada yang aneh di tempat ini. "Kenapa tiba-tiba ada suara dari dalam bilik? Bukannya bilik itu tadi kosong? Bukannya udah gak kepakai dan baunya busuk?" Banyak pertanyaan muncul dalam benakku karena bingung. Seketika tengkukku terasa berat dan bulu-bulu halus meremang hebat."Itu B-bapakmu?" tanyaku terbata pada anak kecil itu.Ia menjawab dengan gelengan kepala. Pertanda itu bukan bapaknya."Kamu sama siapa? Mana bajumu?" Kuberanikan diri untuk lanjut bertanya karena khawatir dengan bocah itu. Suhu sedingin ini bisa berbahaya untuk dia."Cepat pergi kamu!" suruh bocah kecil itu tanpa menjawab pertanyaanku. Ia seperti ingin menyampaikan sesuatu. Matanya liar melirik kiri dan kanan serta tebin
#PJSR2___________________PoV Bang Ochi___________________Malam ini kami sepakat untuk menunda pendakian menuju puncak. Selain kondisi Alit yang syok, kaki Zahra juga masih sakit karena terkilir. Ada baiknya pendakian menuju puncak memang harus ditunda, apalagi puncak gunung tidak akan ke mana-mana. Kami bisa beristirahat membaringkan lelah malam ini karena seharian berjalan. Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Sebagian teman-teman sudah masuk ke dalam tenda untuk istirahat, sebagian lagi masih duduk di luar melingkari api unggun memburu hangat dan merasai malam. Pun denganku, rasanya rugi kalau pemandangan malam yang menawan dengan pendaran cahaya bulan bersama lingkaran halo-nya tidak kunikmati. Belum lagi suara hutan yang kayunya bergesekan berderit merintih, desau angin, dan suara hewan nokturnal mencari makan. Sempurna.Kunikmati malam yang jauh dari bising suara mesin kendaraan dan hingar-bingar kehidupan kota yang terkadang penuh kepalsuan, belum lagi drama yang disiarka
#PJSR_________________PoV Bang Ochi_________________Detik semakin bergeser mendekati waktu tengah malam dan gunung kian lengang manakala satu per satu pendaki masuk ke dalam tenda untuk merebahkan lelah.Cahaya penerang dalam tenda pendaki pun mulai padam satu demi satu. Mereka harus menabung tenaga untuk bersiap menuju puncak pukul dua dini hari nanti. Oleh karena kami memutuskan tidak ke puncak malam ini, kami bisa bersantai dan menikmati malam bertabur bintang dengan kerlap-kerlipnya yang khas.Di seberang sana, masih tampak satu dua porter duduk berselimut sarung bermotif kotak-kotak di pinggir perapian. Tangannya lincah memasak untuk turisnya yang lapar.Asik menikmati suasana malam khas gunung, perlahan di kejauhan, samar-samar kudengar deru angin berembus cukup kencang, lalu menimbulkan suara derit dahan bergesekan. Tak lama suara itu semakin dekat, lalu angin menerpa wajah dan sedikit menggoyangkan tubuhku. Deretan tenda-tenda pun turut bergoyang, menari bersama angin diir
#PJSR________________PoV Bang Ochi________________Pagi tampak sendu dengan kabut abu membawa dingin yang beku. Kubuat perapian dari ranting-ranting cemara yang mati dan mengering agar pagi ini menghangat. Bau asap menguar di sekitar tenda dan sesekali membuatku terbatuk. Di seberang sana, Opik, Mila, Utari, dan Alika tampak sedang membongkar tenda dan mengemas perlengkapan mereka. Sesuai kesepakatan, mereka akan turun ke danau dengan rencana masing-masing. Mila hendak menikah dengan pria yang melamarnya. Jadi, Opik akan menemani Mila ke sana untuk mengenang almarhum Bang Ron untuk terkahir kalinya. Sedangkan, Utari dan Alika, mereka memang mendaki untuk hunting gambar."Pagi sekali, Bro, kok udah beres-beres aja?" tanyaku menyapanya."Eh, iya, Bang ... biar nanti selesai sarapan, langsung joss," balas Opik."Tenang, bentar lagi sarapan siap," sela Zahra yang asik menumis sayur ditemani Diah.Aku pun mengarahkan pandangan kepada perempuan berhidung minimalis itu. Mengetahui aku me
Ket.: Detik-detik menjelang gempa saat di puncak.PoV Citra_______________Ini kali pertama aku berada di puncak gunung. Merasai angin dingin menerpa tubuh dan menyentuh awan. Ingin rasanya berlama-lama di tempat tertinggi di Lombok ini. Kapan lagi aku bisa setinggi ini? Indah seluas mata memandang. Kusadari, betapa kecilnya aku. Mungkin, ini maksud Kakek, aku harus tumbuh dewasa dengan kesan yang berarti. Kuhirup udara dingin, hmm ... dinginnya terasa merasuk ke dalam rongga dada. Kurasa mulai saat ini, aku jatuh cinta pada gunung."Rinjani ... aku ingin menetap di sini saja ...!" Kulepas rasa bahagiaku dengan berteriak di ujung pasak bumi di pulau ini. Ada rasa bangga dan puas memenuhi dada.Lalu, aku menunggu giliran untuk dapat mengabadikan momen ini. Kapan lagi bisa ke puncak Rinjani?Ujung puncak Rinjani berupa sisa letusan Samalas beratus-ratus tahun silam dengan luas hanya beberapa meter saja. Jadi, tak ada cara lain selain harus menunggu giliran. Tak bisa kubayangkan berapa
#PJSR2_________________PoV Bang Ochi__________________Jeritan dan tangis pilu itu masih terdengar dari para pendaki asing maupun lokal. Mereka turun dari puncak dengan raut panik dan takut memenuhi wajah mereka, semua takut akan mati.Debu-debu mengangkasa dan mengurapi tubuh kami sampai terbaluri dari ujung kaki hingga ujung rambut. Tubuh kami pun berwarna senada dengan tanah. Gempa susulan berkali-kali terasa. Setiap datangnya gempa selalu disusul runtuhan tebing yang membuat debu semakin pekat. Gempa benar-benar mengubah wajah Rinjani. Tanah yang terpijak pecah menganga. Rinjani terkoyak."Ayo, Kek ... kita tunggu mereka di sana," ajakku sambil menuntun Kakek Mustafa untuk menunggu di tempat yang lebih teduh dan aman.Raut keberatan tampak jelas tergambar pada wajahnya yang keriput."Kakek duduk dulu di sini, biar aku yang pastiin kalau teman-teman semua baik-baik saja," saranku berusaha menenangkan.Kakek Mustafa tak menjawab dan hanya memadangi jalur puncak yang terselimuti
#PJSR2_____________PoV Opik_____________Dari dalam tenda, aku benar-benar mencemaskan matahari yang rasanya tak kunjung meninggi. Kupikir lebih baik aku diam saja sementara di dalam sambil packing barang bawaan. Begitu matahari terlihat, aku harus pergi bawa mereka turun. "Opik ...," panggil Alika dari luar tenda tiba-tiba. "Ya," jawabku dari dalam tenda."Sarapan pakai mie sama telur, gak apa-apa ya ... biar cepat kita berangkat," ucap Alika."Iya, apa aja yang penting cepat," balasku.Setelah beberapa menit menunggu, kuintip dari lubang tenda untuk memastikan kakek itu pergi. Karena kurasa aman, aku pun segera keluar setelah yakin dia benar-benar tidak di sana lagi. Aku bersyukur karena cuaca semakin cerah dan kabut sudah tak lagi melingkupi kami.Kulihat di atas karimat, empat piring mie kuah sudah tertata. Terlihat jelas uap hangat menari-nari di atas kuah mie yang panas. Aku pun makan dengan cepat agar segera habis dan dapat pergi dari sini sebelum Alit turun ke danau.Di p
#PJSR2____________PoV Opik____________"Opik ... Opik!" teriak Utari menunjuk ke arahku sambil menangis.Sontak beberapa orang pendaki melompat ke dalam air karena mengira aku tenggelam. Padahal, aku bisa berenang dan hanya sedang mencari keberadaan Mila yang ternyata tidak berada di sini. Mila berada di tepi bersama Utari dan Alika.Sambil tangan dan kakiku terus mengayuh berenang, aku terheran, siapa yang baru saja kulihat kalau Mila ada di sana? Tiba-tiba, dari dalam air danau yang dingin, kulihat sebentuk benda bulat besar menyembul berwarna kekuningan. Awalnya, kukira itu adalah alat bantu renang yang di bawa pendaki, tapi semakin kuperhatikan, ia semakin mendekat, lalu tiba-tiba berkedip. Aku pun panik dan berusaha menjauh secepat mungkin karena sepasang mata yang sangat besar itu semakin mendekat ke arahku. Ia seakan mengintai dari balik kabut pekat."Ahhh, tolong!" teriakku dengan suara bergetar.Sebisa mungkin aku berusaha berenang kembali ke tepian, tapi air yang tadinya
Ket: Tim danau sebelum gempa terjadi______________PoV Opik______________Malam lembab dengan kabut cukup tebal menyelimuti area perkemahan danau Segara Anak. Kulihat jam yang melingkar di tanganku baru saja menunjukkan pukul 7.30 malam. Suasana di danau cukup padat oleh tenda-tenda pendaki. Bulan ini memang bulan padat pengunjung mendaki Rinjani. "Masak apa, Pik? Wangi butter-nya enak banget," tanya Utari sambil sedikit mengangkat dagu membaui udara dari pintu tenda."Eh, ini ... aku bikin pancake, buat makan malam kita," jawabku sambil membalik adonan yang sudah mulai kering di bagian bawahnya.Mendengar jawabanku, Utari keluar dari tenda dan melangkah ke arahku."Mila mana?" tanyaku karena tak melihat adanya Mila di tenda perempuan."Tuh, dia jalan ke sana tadi, kayanya dia lagi pengen sendiri. Oh ya, Bang Ron itu siapa, terus Mila siapanya Bang Ron?" tanya Utari penasaran."Waduh, aku merinding bahas masalah itu, Tari. Kita omongin itu nanti aja ya kalau udah di bawah.""Dikit
#PJSR2__________________PoV Bang Ochi__________________Ternyata ini adalah moment yang dinanti Alit. Kupikir hanya rencanaku saja, tapi bagaimanapun juga laki-laki harus tetap kokoh. "Bang Ochi, mau ke mana? Aku ikut." Citra melangkah cepat membuntutiku di belakang."Gak ke mana-mana, anginnya kenceng banget, cuma mau ke sana," tunjukku ke balik batu besar bermaksud menghindari terpaan angin langsung. Dari tempatku yang agak rendah, drama katakan cinta itu tak terlihat, suaranya pun terbawa pergi bersama angin. Apapun jawabannya, tidak perlu aku tahu di gunung ini. "Ih, Abang ... jalannya cepet banget, sih," ucap Citra mencoba mendahului."Lagian kamu ngapain ikut? udah sana puas-puasin foto, ntar lagi kita turun," balasku sambil menyandarkan punggung pada permukaan batu yang tampak kecokelatan.Baru saja aku bersandar melepas lelah, kulihat ada sesuatu yang aneh terjadi pada Kakek Mustafa. Ia berjalan turun meninggalkan teman-teman yang sedang asyik berfoto. Tiba-tiba, ia terd
#PJSR2_______________PoV Bang Ochi_______________Di puncak, sudah ada teman-teman yang sedari tadi menunggu kedatangan kami. Bersamaan dengan udara yang semakin menghangat, kaki terus melangkah menapaki titik tertinggi pulau Lombok."Ra, itu lima langkah ke sana, itu puncak tertinggi Rinjani. Ayo sana!" suruhku sambil menunjuk sudut tempat bendera tertancap."Kata Abang tadi mau samaan," balas Zahra."Tugasku kan cuma ngedampingi kamu sama teman-teman yang lain, Ra," ucapku dengan senyum."Abaang, aku tu mau kita samaan ke sana," balas Zahra semakin menitikkan air mata.Melihatnya meminta seperti itu, tak tega rasanya kutolak. Aku pun mengangguk sebagai tanda menyetujui.Dari puncak tertinggi, pemandangan sungguh menakjubkan dengan birunya danau Segara Anak dan Gunung Baru Jari yang masih aktif mengeluarkan asap vulkanik. Diah yang sudah menunggu, berteriak memanggil nama Zahra dan mereka pun saling menghambur berpelukan.Ada tangis haru yang tak dapat lagi mereka bendung. Meliha
_____________Pov Bang Ochi_____________Engahan napas terdengar di mana-mana. Ratusan pendaki berjalan pelan pada jalur yang tak lebar. Jarak pandang kami terbatas hanya sejauh pendaran cahaya headlamp. Debu-debu tampak beterbangan menyesaki kami sepanjang jalur menuju punggungan. Kami terus berusaha mencapai punggungan walau sesekali terbatuk karena debu dan terpeleset karena kemiringan jalur. Jalur pendakian memang cukup sulit untuk dilewati karena butiran pasir sebesar biji ketumbar membuat pijakan kaki tidak menapak dengan baik pada permukaan tanah yang miring."Ayo semangat." Sambil menyeka keringat yang mengalir di kening, Alit terus memberi semangat untuk tim. Ratusan cahaya headlamp memenuhi jalur pendakian dan menciptakan suasana ramai pada jalur selebar kurang dua meter. Pendaki lokal dan mancanegara pun saling menyemangati untuk menaklukkan puncak di malam yang beku.Di posisi paling belakang, aku bersama Kakek Mustafa memantau pergerakan teman-teman agar tak salah arah.
________________PoV Bang Ochi_________________Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Udara cukup tenang dan langit tampak bersih dari gumpalan awan, tak ada tanda-tanda akan datangnya badai angin ataupun hujan. Satu per satu cahaya headlamp terpendar dari para pendaki yang bersiap menaklukkan puncak setinggi 3.726 MDPL.Dari dalam tenda dengan pintu yang kubuka menganga, kulihat Alit sedang membangunkan teman-teman agar melakukan persiapan untuk summit attack malam ini. Sesuai kesepakatan, pendakian menuju puncak akan dilakukan pukul dua dini hari ini. Setelah membangunkan teman-teman, Alit melangkah ke arahku."Bang Ochi, bisa bantu kasih arahan ke teman-teman? Kita briefing dulu sebelum berangkat," ucap Alit dengan nada pelan."Apa gak kamu aja sekalian, Lit, kan kamu leadernya." Aku menolak dengan halus."Ayolah, Bang ... Abang punya pengalaman lebih ketimbang aku, jadi Abang bantu sekedar untuk kasih arahan aja," desak Alit."Tapi, yang mimpin sampai ke puncak tetap kamu, ya."