"Kenapa Ra?" Tanya Alex lembut melihat ke arah Laura sambil tersenyum."Gak," jawab Laura pelan, lalu mengalihkan tatapannya ke arah lain."Kenapa masih di situ?" Tanya Laura heran, sejak tadi Alex hanya diam berdiri di tempatnya sambil terus memperhatikan Laura.Meskipun Laura tak melihat ke arah Alex langsung tapi ia diam-diam melihat dengan ekor matanya."Cuman mau nemenin, kenapa?" Tanya Alex balik."Pergi aja sana, aku mau istirahat," ucap Laura tanpa mau melihat ke arah Alex, lalu merebahkan tubuhnya tak lupa menyelimuti sampai ke atas kepala."Mau tidur Ra?" Tanya Alex sambil mendekat dan kini sudah berdiri di samping kasur."Hmmm," jawab Laura yang belum menyadari keberadaan Alex yang sudah berada di belakang tubuh Laura.Alex diam, memperhatikan Laura tanpa berkedip, bayangaan Laura yang tengah bercinta dengan Ezra membuat Alex kesal, sejak tadi ia mati-matian menahan agar tak emosi tapi sekarang rasanya Alex ingin memeluk tubuh Laura untuk menghilangkan bekas Ezra pada tubuh
Rafa mendekat ke arah Agatha yang masih berdiam diri di depan pintu ruang rawat Laura,"Gue jelasin tapi gak di sini?" Ucap Rafa sambil menggenggam tangan Agatha."Terus di mana?" Tanya Agatha dengan kening berlipat."Di kantin! Gue lapar belum makan sejak tadi," jelas Rafa menarik Agatha agar mulai berjalan bersamanya."Lex Gue ke kantin dulu," pamit Rafa pada Alex.Alex menganggukan kepalanya, melihat hak itu Rafa dan Agatha bergegas pergi ke kantin.Sesampainya di kantin rumah sakit mereka berdua mengambil tempat duduk di pojok yang agak jauh dari keramaian."Jelasin sekarang," Suruh Agatha gak sabaran, padahal ia sendiri baru saja mendaratkan bokongnya di kursi panjang, sementara Rafa setengah berdiri karena ia baru akan duduk."Bokong gue aja belum duduk! Gak sabaran amat sih," Kesal Rafa."Yaudah cepetan duduk," Kesal Agatha."Jadi," tanya Agatha lagi setelah melihat Rafa sudah duduk anteng si sampingnya."Kita pesen makan aja dulu yah," ucap Rafa sambil melihat ke arah sekitar,
Pov EzraEntah sudah berapa lama aku di dalam mobil, mata ku di tutup oleh kain, yang ku rasa aku seperti masuk ke dalam mobil lalu di dompet oleh dua orang kanan dan kiri ku sehingga aku berada di tengah-tengah mereka tak ada pembicaraan dari mereka, tang aku dengar hanya suara mesin mobil.Awalnya aku kira Bianca yang membantu membebaskan ku, tapi sejak tadi aku bertanya" Siapa yang menyuruh kalian ke sini?" Tak ada jawaban yang aku dapat, itu membuat ku takut, apa ini ulah Laura yang berniat membalas dendam padaku.Aku ia berniat membunuh ku malam ini juga? Tidak aku tidak mau , aku masih punya dua orang yang aku sayang nyokap dan juga adik ku.Entah sudah berapa lama aku di dalam mobil, tubuh ku terasa pegal, apalagi tanganku yang di ikat seperti ini membuat ku sulit untuk bergerak, ku rasakan mobil berhenti aku bernafas lega setidaknya aku bisa bebas bergerak tak bertepatan seperti sekarang ini.Pintu mobil terbuka, dua orang yang duduk di kanan dan kiri ku turun, sambil menarik
Tapi kini aku menyesal, aku sangat menyesal mengikuti perintah Bianca sejak awal, hanya karena ingin lebih dekat dengan Bianca serta iming-iming uang yang akan ia bayar padaku ketika aku sudah menyelesaikan tugas darinya.Kalau bukan karena uang untuk menafkahi nyokap dan adik ku, susah lama aku pergi meninggalkan Bianca, sejak dulu memang aku sudah sadar bahwa ini salah, dan perasaan ku pada Bianca setiap hari terus pudar karena Bianca yang tak mau membuka hati untuk ku dan selalu mengungkit-ungkit tentang Alex terus menerus yang membuatu muak akan sikapnya, apa kurangnya aku padanya? Aku sudah berkorban banyak serta berjuang agar ia jatuh hati padaku tapi tetap saja Alex yang tetap jadi pemenang di hati Bianca."Gue gak mau," teriak ku muak."Sialan lo Zra, gue udah keluarin uang banyak buat lo," teriak Bianca marah."Gue gak minta, lo yang sejak awal nawarin hal itu sama gue," balas ku tak mau kalah, memang Bianca yang dulu menawarkan untuk membayar ku meskipun aku menolak berkali-
Pov Auhtor Pagi telah tiba, Laura terbangun dari tidurnya karena mendengar keributan, ia melihat ke arah kanan yang menjadi sumber keributan di sana."Ayah," ucap Laura senang, ia tersenyum lebar matanya berbinar ketika melihat pria yang sangat ia sayangi berada di sini, sejak kemarin Laura tak melihat Rio dan itu membuat Laura sangat merindukan sosok ayahnya tersebut."Kamu udah bangun sayang?" Rio berdiri dari duudknya dan melangkah mendekati Laura, sambil tersenyum senang."Ayah kapan ke sini? Laura rindu sama ayah," ucap Laura manja, lalu memeluk tubuh Rio yang sudah berdiri di sampingnya."Ayah datang malam tadi, waktu kamu udah tidur," jawab Rio, sambil mengelus kepala Laura lembut." Kenapa gak bangunin Laura?" Ucqp Laura merujuk, melepaskan pelukannya dan menatap Rio tak suka."Kamu kan udah tidur sayang, Ayah gak tega bangunin kamu," jelas Rio gemas sambil mencium pipi Laura."Bunda juga sama! gak bangunin Laura," ketus Laura sambil melihat ke arah Anita yang akan memasuki l
"Semalam papa mengirimkan hasil video tersebut, ke sebuah nomor yang beridentitas Bianca," ucap Dimas tiba-tiba ketika kami semua sudah selesai sarapan.Alex menatap Dimas heran, "Papa punya nomor Bianca?" "Nomor ponsel hal yang mudah bagi papa, kamu tahu papa menyelidiki hal ini tidak di ketahui oleh orang banyak seperti kemarin, hanya ada papa dan beberapa orang kepercayaan papa yang sudah bekerja cukup lama," "Papa hanya merasa ada seseorang di antara rekan papa yang berkhianat mencoba menutupi apa yang mereka ketahui ke papa," ucap menerka-nerka, karena sejak beberapa hari kemarin, memang ia sudah merasa ada sesuatu yang tidak beres."Jadi ada orang dalam," tanya Alex memastikan."Mungkin," jawab Dimas agak ragu."Kamu tahu, sepertinya mereka sudah melihat rekaman tersebut, dia mencoba menghubungi nomor yang pala pakai, tapi sengaja tak papa angkat agar membuat mereka ketakutan,""Kalau papa bisa tau nomor ponsel Bianca, berarti papa juga tahu keberadaan mereka semalam di mana?"
Pov AlexAlex berjalan di belakang Anita yang melangkah dengan riang sambil membawa totebag yang entah berisi apa? Alex berbaik hati membawakan totebag tersebut tapi malah kena marah Anita."Sebenarnya apa isi totebag tersebut sih? Apa jangan-jangan bom," Batin Alex berucap penuh curiga sambil terus memperhatikan totebag tersebut."Ah gak mungkin," elak Alex sambil menggelengkan kepalanya kiri dan ke kanan "Ngapain juga emak gue bawain bom ke rumah sakit, mau jadi teroris dia," lanjut Alex kembali.Plak"Awwsss," ringis Alex sakit dan terkejut, ia menatap Anita penuh tanda tanya."Kamu gak dengerin mama ngomong Lex?" Tanya Anita penuh selidik.Alex terbengong seketika, "Boro-boro dengerin mama ngomong, sedari tadi gue mikirin isi dari totebag tersebut," ucap Alex yang hanya bisa terucap dalam hati, kalau sampai ia ucapkan sih bisa-bisa kena pukul plus di marahi habis-habisan."Hehehe," aku hanya tersenyum sambil memperlihatkan barisan gigi ku."Ketawa kamu?" Sentak Anita garang.Ale
Pov Alex"Sorry Ra aku gak ada niat untuk buat kamu sedih lagi kayak tadi," ucap ku lirih sambil berjalan di lorong rumah sakit, perasaan bersalah kian membuncah aku tak mengira jika lelucon ku akan membuat Laura histeris kembali."Gue bener-bener bodoh, harusnya gue bisa jaga ucapan gue sama Laura, apalagi gerak-gerik Laura yang seakan memang menghindar dari gue," ucapku sendiri yang kini sudah sampai parkiran rumah sakit tempat motorku di parkirakan."Gue harus nyelesaikan masalah ini secepatnya," tekad ku kuat, aku yakin jika masalah ini akan cepat selesai termasuk cepat juga Laura sembuhnya.Aku meronggoh saku celana di mana ponsel ku letakan di sana, dengan lincah aku mengutak-ngetik ponsel ku."Lo di mana?" Tanya Ku to the point setelah panggilan tersambung."Apaan sih Lex! Gue baru bangun elah," kesal Rafa di ujung telepon."Kebo lo, matahari udah naek lo masih tidur, cepet siap-siap kita ketemuan di panti jompo sekarang juga," ucap ku."Sekarang Lex," tanya Rafa memastikan."
Esok paginya, Laura melangkah ke ruang makan dengan langkah santai, meski wajahnya masih menunjukkan sisa kelelahan. Di meja makan, Rio sudah duduk sambil memangku Kenzo, yang terlihat segar setelah dimandikan. Bayi itu tertawa kecil, tangannya menggapai-gapai wajah Rio, membuat suasana terasa lebih hidup.Di dapur, Sinta sedang membuatkan kopi sambil tersenyum melihat pemandangan itu. Ketika Laura mendekat, Sinta menyapanya. "Pagi, Laura. Mau sarapan apa?" tanyanya ramah.Laura hanya mengangguk kecil dan duduk di kursinya, menghindari kontak mata dengan Kenzo. Ia mengambil roti yang sudah tersedia di meja dan mulai memakannya dalam diam.Rio, yang melihat sikap Laura, tersenyum kecil. "Ra, kamu nggak mau gendong Kenzo? Dia lagi ceria banget pagi ini," ucapnya sambil menggerakkan Kenzo sedikit ke arah Laura.Laura menghentikan kunyahannya sejenak, lalu menjawab tanpa menatap ayahnya. "Ayah tahu jawabannya," ujarnya datar.Rio menghela napas pelan, menatap putrinya dengan penuh kesabar
Laura melangkah masuk ke dalam kamarnya di rumah dengan langkah lelah. Setelah percakapannya dengan Alex di pantai, tubuh dan pikirannya terasa begitu berat. Ia menjatuhkan dirinya di atas ranjang, menatap langit-langit kamar yang dihiasi oleh balok kayu khas Bali.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang terus berputar. Kata-kata Alex masih terngiang jelas di benaknya. "Mau seribu kali pun lo nolak gue, gue gak akan pernah menyerah, Ra."Laura menutup matanya, mencoba meredakan kekacauan di dalam dirinya. "Kenapa semua ini harus sekompleks ini?" gumamnya pelan. Di satu sisi, ia merasa bersalah telah membuat Alex terus berharap, tapi di sisi lain, ia tahu bahwa perasaannya sendiri belum benar-benar sembuh dari luka di masa lalu.Ia bangkit perlahan, berjalan menuju balkon kamarnya. Udara malam Bali yang sejuk menyapa wajahnya. Suara debur ombak dari kejauhan terdengar menenangkan, meski hatinya tetap terasa berat."Pernah nggak sih gue benar-benar tahu apa yang g
Pov GrettaGretta dan Rafa berjalan santai di tepi pantai, pasir lembut menyentuh kaki mereka. Mereka baru saja membeli beberapa makanan ringan dari penjual yang ada di sepanjang pantai—kacang rebus, jagung bakar, dan es kelapa muda. Gretta memegang gelas es kelapa dengan satu tangan, sementara tangan satunya sibuk menepis Rafa yang terus menggoda."Lo tahu nggak, Gretta, gue beli jagung bakar ini khusus buat lo. Supaya lo bisa ngunyah sambil diem, nggak terus-terusan ngetawain gue," ucap Rafa sambil menyeringai.Gretta tertawa keras, hampir menjatuhkan gelasnya. "Hah! Emang lucu banget lo, ya. Humor lo tuh receh banget, Raf. Tapi gue akui, kadang itu yang bikin gue betah sama lo.""Kadang? Jadi gue cuma lucu 'kadang-kadang'?" Rafa pura-pura cemberut, membuat Gretta tertawa lebih keras.Mereka berhenti sejenak, duduk di atas pasir sambil menikmati angin malam. Gretta menyandarkan kepalanya ke bahu Rafa, sementara Rafa dengan santai melingkarkan lengannya di bahunya."Raf, lo sadar ngg
...Setelah suasana menjadi lebih cair, mereka semua mulai berbincang lebih santai bersama orang tua Laura. Sinta dan suaminya, Rio, ikut duduk di meja mereka, membuat obrolan semakin hidup.Namun, meski suasana terlihat akrab, Alex sesekali mencuri pandang ke arah Laura. Perasaan yang ia pendam selama bertahun-tahun sejak kepergian Laura tampak jelas di matanya. Gretta, yang duduk di samping Laura, menyadari hal itu tapi memilih untuk tidak berkomentar.Tasya, di sisi lain, merasa tidak nyaman dengan cara Alex memandang Laura. Ia mencoba mengalihkan perhatian Alex dengan memulai obrolan. "Alex, gue denger katanya li mau kuliah di luar negeri?" tanyanya dengan nada ceria.Alex tersenyum kecil, meski jelas terganggu oleh interupsi Tasya. "Iya, tha tapi gue juga gak.tahu, mungkin oindah rencana kuliah di tempat lain," ucapnya sambil melirik ke arah Laura.Tasya tersenyum kaku, menyadari bahwa Alex tidak sepenuhnya memperhatikannya. Ia menggenggam gelasnya lebih erat, mencoba menahan ras
Laura muncul dengan langkah tenang, tapi tatapan matanya tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dress putih sederhana yang dikenakannya berkibar pelan tertiup angin dari luar, membuatnya terlihat seperti bayangan dari masa lalu yang tiba-tiba hadir.Alex menatapnya dengan campuran emosi yang sulit diuraikan. “Laura...” panggilnya pelan, seolah takut suara lebih keras akan membuat momen ini menghilang.Laura menghentikan langkahnya, matanya terarah pada Alex. "Kamu... Alex?" gumamnya, suaranya bergetar.Semua orang terdiam. Gretta menatap Laura dengan raut wajah tak percaya, sementara Tasya mencuri pandang ke arah Alex, mencari reaksi dari pria itu."Kenapa kalian semua di sini?" tanya Laura sambil mendekat, suaranya tenang, meskipun sorot matanya penuh kebingungan.Alex, yang sedari tadi duduk, berdiri begitu Laura tiba di hadapannya. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung menarik Laura ke dalam pelukannya, memeluknya dengan erat, seolah
“Kita nginep di Wavecrest Hotel. Gue udah booking dua kamar di sana,” ucap Alex sambil melirik ke arah spion belakang, memastikan semuanya baik-baik saja di kursi penumpang.“Wavecrest Hotel?” tanya Gretta sambil menatap Tasya.“Iya, tempatnya persis di samping kafe Laura,” lanjut Alex dengan nada santai.“Wah, pas banget dong. Jadi nggak perlu ribet kalau mau ketemu Laura,” komentar Rafa sambil melihat peta di layar ponsel.Gretta tersenyum tipis. “Bagus sih, biar kita juga punya waktu buat istirahat sebelum ketemu dia.”Mobil pun terus melaju menuju Canggu, mengikuti suara navigasi yang membimbing mereka."Gue denger, bukannya Laura pergi tanpa pamitan? Kok kalian masih mau jauh-jauh ke sini buat nemuin dia?" tanya Tasya tiba-tiba, suaranya terdengar tajam.Mendengar itu, Gretta langsung menoleh dengan tatapan tak suka. "Maksud lo apa, Tasya?" tanyanya, nadanya jelas menunjukkan ketidaksenangan.Rafa mencoba menenangkan suasana, tapi Gretta sudah melanjutkan, "Gue kenal Laura udah l
Sore telah tiba, suasana bandara mulai dipenuhi hiruk-pikuk orang yang bersiap untuk penerbangan mereka. Alex duduk di salah satu kursi tunggu, wajahnya menampilkan kegelisahan. Penerbangan menuju Bali tinggal 30 menit lagi, namun Rafa dan Grettha, dua sahabatnya yang berjanji menemaninya, belum juga terlihat.Semalam, mereka bertiga berbincang panjang tentang rencana ini. Alex meyakinkan Rafa dan Grettha untuk ikut bersamanya menemui Laura,. Keduanya dengan antusias menyetujui, bahkan menjanjikan akan tepat waktu di bandara. Namun, sekarang janji itu terasa seperti angin lalu.Alex meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Rafa lebih dulu. Nada sambung terdengar, tetapi tak ada jawaban. Ia lalu mencoba menelepon Grettha, namun hasilnya sama—tak diangkat. Ia menghela napas panjang, menatap layar ponselnya sejenak sebelum menyimpan kembali perangkat itu ke dalam sakunya.Beberapa menit berlalu, akhirnya Rafa dan Gretta muncul di pintu masuk dengan koper masing-masing. Alex mendesah lega
Setelah selesai dengan acara perpisahan di sekolahnya, Alex pulang ke rumah dengan langkah gontai. Meski acara berjalan meriah, hatinya tetap terasa hampa."Alex Pulang," teriak Alex dengan suara lesu saat memasuki rumah.Ia melemparkan tasnya ke sofa, lalu duduk di ruang tamu. Kepalanya bersandar ke sandaran sofa, matanya menerawang ke langit-langit. Pikirannya kembali melayang, lagi-lagi ke sosok Laura.Di ruang tamu yang sepi, hanya suara jarum jam yang terdengar. Alex menghela napas berat, mencoba mengusir rasa penat yang mendera hatinya. Namun, semakin ia mencoba melupakan, bayangan Laura justru semakin jelas.“Ra... sebenarnya lo di mana?” gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.Di ruang tamu itu, Alex duduk lama, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia tahu ia harus melanjutkan hidup, seperti yang Agatha bilang, tapi rasa kehilangan itu masih terlalu kuat. Hari ini mungkin berhasil ia tutupi dengan senyuman palsu di sekolah,
Setahun telah berlalu, dan kini Alex telah menyelesaikan masa SMA-nya. Hari ini seharusnya menjadi momen yang penuh kebahagiaan, saat dia dan teman-temannya merayakan kelulusan di aula sekolah. Suara riuh canda dan tawa memenuhi ruangan, namun bagi Alex, semuanya terasa hampa.Di sudut aula, Alex duduk sendirian, pandangannya tertuju ke arah panggung di mana teman-temannya sedang berfoto bersama, menyanyikan lagu perpisahan dengan penuh semangat. Tapi Alex hanya bisa terdiam. Kepergian Laura yang tanpa kabar masih menjadi beban berat di hatinya.Setahun ini, ia terus mencoba mencari tahu keberadaan Laura. Media sosial Laura sudah tidak aktif, seolah lenyap begitu saja. Pesan-pesan yang ia kirim ke keluarga Laura pun tak pernah mendapatkan balasan. Meski berita tentang pelecehan yang pernah menimpa Laura sudah lama tenggelam, bayangan gadis itu tetap hidup dalam pikirannya."Kenapa harus seperti ini, Ra?" gumam Alex pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Ken