Tangis pilu memenuhi seluruh penjuru ruangan. Seorang gadis tengah memeluk jasad yang tengah terbujur kaku. Tangisannya begitu menyayat hati. Bagaimana tidak? Wulan kakak satu-satunya ditemukan warga di sebuah perkebunan singkong yang tak jauh dari pemukiman warga. Kondisi yang sangat mengenaskan, dengan banyaknya luka sayatan di mana-mana.
"Kak Wulan kenapa harus secepat ini ...."Ressa, terus memeluk jasad itu. Ini seperti mimpi baginya. Andin, selaku sahabat Ressa terus menenangkannya."Ini sudah takdir Ress, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kamu yang iklhas, biar Kak Wulan tenang di sana," kata Andin memeluk Ressa."Kamu tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang Kakak. Setelah Ibu pergi terlebih dahulu, kini giliran Kakaku yang pergi! Kamu tahu Andin, mereka meninggalkanku untuk selamanya bukan sementara!" teriak Ressa mendorong Andin begitu kuat."Kamu bisa berkata iklhas, tapi aku tidak. Iklhas itu berat bagiku, apalagi ini yang kedua kalinya aku merasa kehilangan," sambung Ressa dalam keadaan setengah sadar, karena rasa sedih yang begitu dalam.Andin, hanya diam saja sambil menundukkan kepalanya. Memang kehilangan orang yang kita sayang bukanlah hal yang mudah, Andin pun pernah di posisi itu."Maaf dek, kakaknya harus segera dimakamkan waktu sudah semakin sore," kata Pak Ustadz menghampiri Ressa yang masih memeluk jenazah tersebut. Bukannya menjauh, tangan Ressa tambah begitu erat memeluk tubuh kakaknya."Ressa, aku pernah di posisi mu, aku juga lemah tidak kuat menghadapi kenyataan pahit ini. Tapi, kita harus kuat, harus ikhlas, biar Kak Wulan tenang di alam sana. Kasihani Kak Wulan," tutur Andini lembut, memeluk Ressa yang mulai kendor memeluk jasad Wulan.Pak Ustadz dan yang lainnya mulai bersiap mengangkat jasad itu. Namun tiba-tiba saja, Ressa bangkit dan menghadang mereka yang sudah mengangkat jasad Wulan."Tidak! Tidak ada yang boleh menguburkannya sebelum pembunuh itu ketemu!" teriak Ressa lantang, "siapa orang sudah tega membunuh kakakku, siapa!?" lanjut Ressa menatap nyalang para pelayat yang ada di sana.Tidak ada yang menjawab pertanyaan Ressa, semua terdiam karena memang tidak ada yang tahu."Ressa, biarkan Kak Wulan tenang di alam sana, kamu tidak boleh egois, kasihan Kak Wulan, sudah sejak tadi Kak Wulan ....""Tidak, sebelum aku menemukan pelakunya, ingat itu!" potong Ressa cepat, menatap nyalang Andini.Andini terdiam, Ressa terlalu keras untuk di nasehati. Zaki, selaku ayahnya Ressa pun menghampirinya."Ressa, cobalah untuk iklhas bukan hanya kamu yang merasa kehilangan Wulan, tapi Ayah pun sama," kata Zaki sambil memeluk putrinya."Ayah, kematian mereka itu tidak wajar, minggu lalu Ibu meninggal hanya karena minum teh, dan teh itu buatan Ibu sendiri. Mana mungkin ibu meracuni dirinya sendiri!" hardik Ressa hilang kendali."Kamu pikir Ayah tidak terpukul dengan semua ini. Ikhlaskan mereka ini sudah takdir, Ressa." Zaki memelas, memeluk putrinya dengan air mata yang terus mengalir.Jenazah pun siap di makamkan, di waktu yang sudah hampir gelap. Diiringi isak tangis Ressa yang tak kunjung berhenti.***Seminggu setelah kepergian Wulan ....Srek Srek SrekRessa terbangun, suara itu persis saat sebelum kakaknya menghilang dari kamar.Ressa memeluk bantalnya erat, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.Tepat di balik jendela kamarnya, Ressa melihat bayangan hitam yang sepertinya memegang senjata tajam.Ressa meringkuk sambil mengintip di balik selimutnya.Tok tok tokKetukan pintu membuyarkan semuanya, bisa Ressa lihat bayangan hitam tadi berlari dan menghilang di balik jendelanya."Non, apa sudah tidur?"Suara di balik pintu membuat Ressa kembali ke bawah alam sadarnya."Iya Bi, tunggu sebentar," jawab Ressa buru-buru bangkit dan membukakan pintu."Non kenapa? kok kayak orang ketakutan gitu?" tanya Rosmi, asisten rumah tangga Ressa."Tidak ada apa-apa Bi, ada apa Bibi kesini?" tanya Ressa dengan suara bergetar karena menahan rasa takut."Ini saya mengantar susu hangat untuk Non." Rosmi menyodorkan nampan yang dia bawa."Terimakasih, Bibi boleh kembali."Ressa pun kembali ke dalam kamarnya, sambil membawa susu.Prang"HAH!" Ressa terkejut di balik jendelanya kini tampak lagi bayangan hitam dengan kapak di tangannya."Si-si-si-apa ka-mu?" Ressa memberanikan diri bicara.Namun, bukan jawaban yang Ressa dapatkan melainkan sebuah kapak yang mengayun-ayun ke udara.Ressa terduduk lemas di antara pecahan gelas dengan berlinang air mata, tubuhnya menggigil menahan rasa takut.'Apa sekarang adalah giliranku,' batin Ressa ketakutan.Ressa beringsut mundur, tangannya meraba raba ke dinding tembok, perlahan tubuhnya berdiri.Dan ....CetrekSaklar lampu berhasil Ressa nyalakan, setidaknya dengan keadaan terang benderang seperti ini makhluk pembawa kapak sudah tidak terlihat lagi.Ressa, teringat dengan mendiang kakaknya. Sebelum kakaknya berpulang, Ressa melihat manusia pembawa kapak itu muncul di balik kamar jendela kakaknya. Namun, saat itu Ressa berpikir kalau itu hanyalah halusinasinya saja, tapi kini Ressa merasakannya."Aku harus bisa membongkar semunya, tidak mungkin hantu berkeliaran tanpa sebab yang jelas," tekad Ressa menatap gorden, yang di baliknya ada seseorang yang membawa kapak menyunggingkan senyuman.***"Kamu tau, dia membawa kapak. Saat aku lihat di pagi harinya tembok rumahku di sayat-sayat sama dia, mungkin sama kapaknya itu. Andini, tolong bantu aku memecahkan kasus ini, aku hanya punya kamu, entah ada masalah apa dia sama keluargaku. Kamu bisa kan nanti malam nginap di rumahku?"Ressa menceritakan kejadian yang menimpanya."Akan aku usahakan ya Ress. Tapi, aku tidak janji," jawab Andini."Sebelumnya aku ucapkan terimakasih, tapi aku mau kamu kerumahku," kata Ressa sedikit pemaksaan."Baiklah demi sahabat ku aku kesana. Walaupun aku tidak percaya kalau hantu itu ada," ucap Andini sambil mengunyah makanannya."Kamu memang sahabat terbaikku, Andini."Ressa memeluk Andini sebentar, kemudian kedua sahabat itu melanjutkan makan siangnya. Ressa dan Andini adalah siswa SMA yang sudah menginjak kelas 3."Hey cupu bayarin makanan punya kita dong. Lo kan anak orang kaya. Ibu dan kakak lo juga udah dijadikan tumbal pesugihan, pasti uangnya semakin banyak dong hahaha ...."Sekar, salah satu siswa primadona di sekolah itu meninggalkan kantin bersama kedua temannya, tanpa merasa bersalah.Andini, memegang tangan Ressa berusaha menenangkannya agar dia tidak tersulut emosi. Hampir saja Ressa menggebrak meja."Sabar Ress, kita tinggalin aja biar dia sendiri nanti yang bayar," kata Andini."Tapi ....""Udah biar mereka tau rasa, sudah lama kamu di jadikan alat oleh mereka. Sampai Sekar menyebut ibu dan kak Wulan kamu jadikan tumbal. Apa itu kurang cukup sakit di hati kamu, Ress?" kata Andini penuh tekanan.Ressa termenung, apa yang di katakan Andini memang benar."Baiklah, akan aku beri pelajaran sesekali." Ressa menyunggingkan senyumannya. Untuk pertama kalinya Ressa akan mengerjai Sekar squad.Setelah membayar makanan mereka, dengan perlahan Andini mengajak Ressa berdiri menuju kelasnya.***"Udah berani lo ya sama gue, udah gue bilangin bayar makanan gue ngeyel banget sih. Puas lo, udah bikin gue di suruh cuci piring sama Mbak Ati?!" hardik Sekar, menghentikan langkah Ressa dan Andini yang hendak pulang."Makananmu tanggung jawabmu, bukan tanggung jawabku," jawab Ressa dengan tangan bersedekap."Kamu!" Sekar menunjuk wajah Ressa, sambil menahan amarahnya."Iya, aku, kenapa?" tantang Resa, manaik turunkan sebelah alisnya."Udah berani lo ya sama gue?" Sekar menghampiri Ressa dengan sorot mata yang begitu tajam."Jelas aku berani, karena semut pun jika terus di injak bukannya dia akan mengigit? begitupun aku Sekar, aku sudah muak dengan kelakuan kamu!"Andini dan Ressa pun pulang meninggalkan Sekar yang terus bersungut-sungut mengatai Ressa.Mobil yang menjemputnya sudah lama berada di depan sekolah. Ressa dan Andini langsung menaikinya. Andini, sudah terbiasa karena memang Ressa selalu mengajaknya pulang bersama."Aaahh apa ini?" teriak Ressa panik.CiiiiiittttJedukMobil yang mereka kendarai berhenti secara tiba-tiba. Tio, selaku supir dari keluarga Herlambang menoleh ke belakang."Ada apa, Non" tanyanya heran."Ke-na-pa ada darah di kursi ini?" tanya Ressa ketakutan, memperlihatkan darah yang tidak sengaja mengenai tangannya."Da-darah," gumam Andini dan Tio bersamaan.Mereka celingukan melihat tempat di mana mereka berhenti. Ternyata, jalanan sepi yang di sampingnya terdapat pepohonan besar. Ya, tempat di mana Ressa tinggal memanglah masih berada di perkampungan.Saat Ressa melihat ke arah belakang tiba tiba ...."Aaahh." Ressa menjerit menutup wajahnya. Sebuah kapak di balik pohon besar melambai-lambai ke arahnya. Kapak itu berlumuran darah dan sepertinya darah itu masih segar terlihat dari banyaknya darah yang menetes ke bawah."Ada apa Ress?" tanya Andini cemas."Tidak ada," jawab Ressa singkat. Ressa tidak mau memperkeruh suasana.Detak jantungnya tidak beraturan, kapak itu memenuhi isi pikirannya."Pak bisa jalan sekarang," kata Andini memecah keheningan."Sepertinya mobilnya mogok," ucap Tio pelan."Mo-gok?" Ressa memastikan perkataan supirnya."Iya Non, mobilnya gak mau nyala," kata Tio membuat Ressa dan Andini tambah panik."Ba-gai-mana bisa?" gumam Ressa masih dengan menahan rasa takutnya."Sebentar saya cek dulu."Tio buru-buru keluar mengecek keadaan mobilnya. Namun, Tio tidak menemukan apapun semua baik-baik saja."Aneh," gumamnya pelan, kemudian menutup depan mobilnya kembali.Tio masuk ke dalam mobilnya, dengan raut wajah bingung."Bagaimana Pak?" tanya Andini."Semua baik baik saja," jawabnya pelan, sambil menggaruk belakang kepalanya.Untuk sesaat mereka terdiam, padahal waktu baru saja menunjukan puku 13.30 tapi suasana begitu terasa mencekam. BUGH"Aaaaaaaaaa!" jerit Ressa dan Andini bersamaan.Sebuah batu seuukuran bola kasti tepat menghantam bagian atas mobil mereka.Rasa takut kembali muncul, Ressa melirik kanan dan kiri. Tiba tiba saja ....PlukSesuatu yang berbulu terlihat dari balik kaca jendela mobilnya, bagian atas.Ressa, memejamkan matanya. Sesuatu yang be
Ressa memandang tajam tulisan di hadapannya, tiba tiba kertas itu bergulir dan menampilkan tulisan lain.KELUARGA PEMBUNUHDegup jantung Ressa semakin kuat, ada apa ini sebenarnya ?Ressa memejamkan matanya, mencerna kata-kata yang tadi tertulis di kertas tersebut.BRAKKedua mata Ressa terbuka seketika, pintu kamarnya kembali tertutup sekarang.Dengan gerakan perlahan Ressa turun dari ranjangnya, dengan berbekal sebilah golok di tangannya Ressa keluar dari kamarnya.Ressa celingukan waspada dengan keadaan yang begitu sunyi.Tiba tiba Ressa melihat sekelebat bayangan hitam di bawah sana. Dengan cepat Ressa turun ke bawah, dan segera menuju pintu depan. Ressa sangat yakin kalau dia lewat pintu depan."Kemana dia?" gumam Ressa masih dengan waspada.TrengSebuah kaleng menggelinding tepat di hadapannya. Sebelum Ressa mengambilnya, Ressa melihat-lihat dulu suasana disekitar rumahnya. aman, tidak ada siapapun. Ressa, mengambil kaleng berbentuk tabung itu lalu membukanya.Lagi lagi sebuah k
"Ayah, aku mau rumah ini dijual!" ucap Ressa tiba-tiba.Zaki yang sedang memeriksa berkas menghentikan aktivitasnya, matanya menatap Ressa heran."Kenapa?" "Rumah ini horor aku gak tenang tinggal di rumah ini!" teria Ressa menggebu gebu. Kejadian di sekolah membuatnya berontak, Ressa tidak bisa menerima saat Sekar meyebutnya anak pesugihan."Jangan bicara aneh-aneh kamu cepat masuk!" seru Zaki tidak suka. Ressa pulang sekolah langsung marah-marah tidak jelas."Tapi, aku berkata jujur," sahut Ressa memelas. Ressa mulai muak dengan hidupnya, yang tiba-tiba ada teror entah dari mana datangnya, dan entah apa tujuannya."Sudah Papah pikirkan, kita akan pergi ke kota, tapi setelah kamu lulus sekolah," ujar Zaki tegas.Ressa menundukkan kepalanya, lulus sekolah masih lama, sekarang baru menginjak semester pertama berarti 6 bulan lagi Ressa harus bertahan.Ressa mendesah pelan sebelum meninggalkan Zaki yang sedang bermesraan dengan Dea. Sampai di kamar, Ressa merebahkan tubuhnya, menatap lan
Malam sudah tiba, Andini menggelegar karpet di kamarnya karena kasurnya yang kekecilan tidak muat untuk tidur berdua, jadi Andini menghubungkannya dengan karpet. Selesai menggelar karpet, Andini menyiapkan bantal dan juga selimutnya untuk Ressa."Terimakasih yah kamu baik banget selalu ada untuk aku, andai tidak ada kamu entah harus kemana aku pergi," ucap Ressa melihat Andini yang sedang menyiapkan tempat tidur untuknya"Tidak masalah, kita kan sahabat," balas Andini terseyum."Maaf ya aku selalu merepotkan,""Jangan seperti itu, aku sudah anggap kamu keluarga," Andini merangkul bahu Ressa."Terimakasih Andini," ujar Ressa yang beringsut ke tempat tidur. Kakinya masih perih, karena banyaknya luka akibat gesekan dari tumbuhan yang berduri."Istirahatlah aku mau ke belakang dulu bantu Bibi."Ressa menjawabnya dengan anggukan kepala. Sepeninggalan Andini, Ressa membaringkan tubuhnya di atas kasur, matanya menatap langit langit yang terbuat dari anyaman bambu memikirkan kehidupannya yang
"Aldo," seru Ressa kaget. Dia pikir orang misterius itu kembali, tapi ternyata yang ada di belakangnya adalah Aldo, teman sekelasnya."Maaf, aku bikin kamu kaget." Aldo berlari kecil menghampiri Ressa."Oh tidak," kata Ressa menepi. Berjalan kembali tidak memperdulikan kehadiran Aldo. Ressa ingin segera sampai. Hatinya sedang tidak tenang, Ressa tidak ingin berbicara dengan siapa pun."Aku duluan," ucap Ressa, kemudian berlari menerobos hujan yang sudah mulai reda. Ressa tidak peduli saat Aldo memanggilnya, itu tidak penting baginya.Tidak berapa lama, Ressa sudah sampai di rumahnya. Dengan tubuh menggigil, Ressa memaksakan diri masuk setelah gedoran pintu tidak ada yang membukanya."Ressa!" tiba-tiba seseorang memanggilnya begitu keras.Ressa mendongak ke atas, melihat Zaki yang sedang berkacak pinggang di sana."Kenapa kamu masuk dalam keadaan basah kuyup seperti ini? Astaga ...." Zaki menghampiri Ressa yang mematung menatapnya."Pantas tidak ada yang membuka pintu, pantas sampai ti
Ressa memandang foto tersebut. Wajahnya begitu rupawan, dengan tahi lalat di dagunya menambah kesan manis pada foto wanita itu.Senyumannya terukir begitu tulus, memakai sanggul, dan kebaya berwarna putih. Ressa, kemudian membalikan foto tersebut."Kehancuran," gumam Ressa pelan.Ressa, menatap tulisan tersebut yang berada di balik foto. Heran, sudah pasti dia rasakan. Hatinya pun bertanya-tanya, tentang siapa wanita cantik itu? Kenapa bisa berada di ruangan kerja Ayahnya?"Ehh, Bibi ngapain di sini?" tanya Ressa kaget. Saat mau keluar dari ruang kerja Zaki, Rosmi berdiri di ambang pintu."Maaf Non, ada Pak Tomo bersama Mutia," kata Rosmi mengatakan tujuannya. "Oh, terimakasih," ujar Ressa, kemudian berlalu dari hadapan Rosmi. Tidak lupa Ressa mengunci ruangan kerja Ayahnya. Beruntung hanya Ressa dan Zaki saja yang punya kunci ruangan tersebut. Ressa, turun ke bawah dengan langkah kaki tergesa. Tampak Tono dan Mutia tengah duduk di ruang tamu. "Apa kabar, Non Ressa?" Tomo berdiri saat
Ressa tersentak kaget, batu sebesar bola kasti mengenai tanah, tepatnya di belakang Ressa. Ressa memperhatikan batu yang menggelinding ke arahnya. Matanya menatap seluruh penjuru di sekitarnya."Hey berhenti!" teriak Ressa tiba-tiba saat melihat daun yang bergoyang tidak jauh di mana dia berdiri. Ressa, tidak menghiraukan panggilan Dea yang ketakutan sendirian. Ressa lebih mementingkan orang yang berani mengerjainya. Ressa, terus berlari hingga sampai di tepi sungai. Ressa, celingukan mencari sosok yang sempat dia lihat. Namun, tidak ada siapa pun di sana, Ressa kehilangan jejak."Kamu mencariku."Suara itu kembali, suara yang sudah tidak asing di telinga Ressa. Dengan gerakan perlahan, Ressa memutar tubuhnya.Plak"Aaawwww, hey .... Apa yang kamu lakukan?"Ressa terperanjat, suara itu berganti. Padahal Ressa dengan jelas mendengar suara si pemilik kapak tersebut."Tante ngapain di sini?" tanya Ressa heran."Ya jelas nyusul kamulah!" jawab Dea marah. Saat itu, Ressa memang berbalik de
"Andini, apa kamu kenal dengan foto ini?" tanya Ressa memperlihatkan foto yang dia bawa. "Aku tidak tahu, Ressa." Andini menjawab begitu singkat, setelah beberapa saat dia terdiam."Coba kamu perhatikan dulu, Andini," pinta Ressa memelas."Aku tidak mengenalnya, Ressa. Kalau pun aku tahu pasti aku akan memberitahu semuanya. Sayangnya aku tidak tahu," kata Andini, kemudian sibuk kembali dengan bacaan di depannya.Ressa termenung, sudah dari semalam dia memikirkan foto tersebut. Dari riasannya, terlihat wanita tersebut seperti seorang pengantin. Ressa memperhatikan foto tersebut dengan teliti, tapi tetap saja Ressa tidak tahu siapa dia."Mungkin itu ibumu saat masih muda," celetuk Andini, saat melihat Ressa bengong."Ibuku tidak punya tahi lalat. Tunggu .... Kenapa wajah kamu bagitu mirip dengan foto ini." Resa membandingkan foto yang berada di tangannya dengan Andini di depannya. "Bukannya di dunia ini setiap manusia memiliki 7 kembaran? Jangan berpikir kalau dia adalah ibuku. Aku m
"Paman." Ressa terkejut saat Sam berada di dekatnya, entah kapan dia datang."Ada apa dengan kalian?" Sam kembali bertanya."Tidak ada paman, ini hanya sebatas masalah sekolah saja. Kami beda pemahaman, kami sedang membahas soal pelajaran yang tadi Bu Wanda terangkan," ucap Andini berbohong."I-iya itu benar," timpal Ressa membenarkan."Apa itu benar?" Sam kembali memastikan, dia menatap Andini dan Ressa secara bergantian.Ressa menganggukkan kepalanya, dia terpaksa harus berbohong. Tidak baik juga melibatkan orang lain dalam permasalahan pribadinya."Baiklah, paman kembali bekerja. Teruskan belajar kalian."Ressa bernafas lega begitupun dengan Andini saat Sam tidak banyak bertanya."Maafkan aku Andini, maaf karena perkataanku yang mungkin saja sudah melukai hatimu," ucap Ressa tulus.Andini tersenyum, dia tidak mempermasalahkannya."Jika aku di posisimu, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama," ucap Andini, "tapi, akan lebih baik jika kamu tidak langsung menuduh juga, walaupun
Ressa menarik tas besar yang berada di kolong ranjang Rosmi. Setelah tas itu berhasil dikeluarkan, Ressa berusaha membukanya. Namun sayangnya begitu sulit sekali, ternyata terdapat gembok kecil di sana."Tas apa ini, Non?" tanya Tio."Pak Tio keluar saja, sebelum kamera pengintai itu curiga, karena Pak Tio tak kunjung kembali," kata Ressa pelan, dia tidak mau rencananya gagal."Pak Tio pura-pura apa saja di dapur, sementara itu aku akan menyelesaikan tugasku disini," lanjut Ressa, dia benar-benar cemas sekali takut terjadi apa-apa.Tio tidak menolaknya, dia pun kembali ke dapur setelah memastikan Ressa baik-baik saja. Tio berpura-pura menyeduh kopi sambil mencari sesuatu di lemari dapurnya, mencari alat untuk membenarkan lampu itu salah satunya. Tio naik kembali ke atas tangga setelah selesai menyeduh kopi. Tio berpura-pura mengotak-atik lampu yang ada di atasnya. Tio melepasnya lampu itu dan membawanya ke bawah. Untuk sekilas lampu itu terlihat seperti lampu biasa pada umumnya, namun
Ressa dan Andini menyelesaikan makanannya dengan cepat karena waktu istirahat sebentar lagi habis."Kamu udah tahu siapa namanya?" tanya Andini memicingkan matanya."Pak Alvin, tadi aku tidak sengaja melihat papan namanya," jawab Ressa tersenyum. Kalau dipikir-pikir memang wajahnya begitu tampan sekali. Pak Alvin masih terlalu muda untuk menjadi seorang guru, dan sepertinya dia belum menikah."Ressa!" Andini mengibaskan tangan di depan Ressa yang tersenyum lebar sendirian."Aku tidak papa," jawab Ressa cepat setelah kesadarannya kembali. Pak Alvin tiba-tiba saja mengganggu pikirannya."Ayo cepat, bel sudah berbunyi kita harus segera masuk kelas." Andini beranjak dari kursi makannya, dia menatap Ressa yang masih duduk santai. Ressa tersenyum menggoda Andini kemudian ikut berdiri dan beranjak dari kantin.***"Ressa, aku pulang duluan, ya? Aku ada kepentingan hari ini," ucap Andini saat bel pulang sudah berbunyi. Andini langsung meninggalkan Ressa setelah Ressa menganggukan kepalanya. H
Ressa menganggukan kepalanya, kemudian berjalan untuk menemui Zaki. Ponsel Wulan sudah Ressa amankan di saku celananya. Terlihat Tomo dan Rosmi sedang berada di sana, mereka melihat keadaan Zaki."Ayah, apa Ayah baik-baik saja?" tanya Ressa mendekati Zaki."Ayah baik hanya badan saja terasa linu sekali," jawab Zaki sambi mengerjakan kedua bahunya. Badannya terasa sakit semua mungkin karena Zaki jatuh yang mendadak saat sebuah pukulan mendarat di tengkuknya."Syukurlah, apa yang terjadi dengan Ayah?"Zaki tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, Zaki tidak berani mengatakan yang sebenarnya. Zaki tahu, Ressa sedang berusaha mencari informasi tapi Zaki juga sedang berusaha menutupinya."Istirahatlah, biar Ayah ditemani Pak Tio dan Pak Tomo saja," ucap Zaki yang merasa cemas melihat keadaaan Ressa."Aku gak papa, Ayah.""Pergi Ressa, dan jangan berpikir macam-macam. Ayah aman bersama mereka, Bi Rosmi juga bisa beristirahat.""Cepat sembuh, Ayah."Ressa keluar bersama Rosmi, Ressa menuju
Zaki tidak bisa berkata apa-apa, dia terdiam dengan hati sudah pasrah jika hantunya Sarah menginginkan nyawanya. Lama Zaki terpejam, namun tanda-tanda Sarah menyerang belum Zaki rasakan. Zaki membukanya matanya perlahan, ternyata hantu Sarah sudah menghilang. Zaki celingukan mencari keberadaan hantu tersebut tapi, hantu tidak ada.Buk!***Ressa yang sejak tadi berdiam diri di belakang rumahnya, kini dia mulai masuk. Lama sekali Ressa mencari sesuatu yang tak kunjung dia temukan. Ressa hanya menemukan foto ibunya, Wulan, dan Sarah."Apa ini sejenis tumbal?" gumam Sarah.Zaki pernah mengatakan kalau Sarah adalah sahabatnya. Tapi hati Ressa berkata lain. Apa iya, jika memang Sarah adalah sahabat Ayahnya, apa perlu Zaki melakukan hal seperti itu? Ressa naik ke lantai atas, namun tiba-tiba pandangannya terhenti saat Ressa melihat Zaki terbaring di lantai dengan keadaan tengkurap."Apa yang terjadi?" tanya Ressa pada dirinya sendiri.Ressa berusaha membangunkan Zaki, namun Zaki tidak sad
Ressa melihat seseorang yang berjalan mengendap-endap di bawah sana. Dia memakai pakaian serba hitam. Sayangnya, wajahnya tidak begitu jelas hingga Ressa sulit mengenali orang itu. Kebetulan sekali di sampingnya ada sebuah gagang pel yang rusak. Tanpa pikir panjang lagi Ressa melayangkan gagal perlu tersebut kepada orang di bawah sana yang jaraknya lumayan jauh.Tepat sasaran, gagal pel yang di lemparnya tepat mengenai punggung orang tersebut. Ressa tersenyum manis saat orang itu menengadahkan wajahnya. Belum sempat Ressa melihatnya dengan jelas tiba-tiba saja kabut tebal menyelimutinya hingga penglihatannya terhalang."Sial," umpat Ressa memukul pagar di depannya. "Darimana datangnya kabut ini?" tanya Ressa heran. Suasana di luar begitu terang benderang hanya kebun pisangnya saja yang dipenuhi kabut. Ada yang aneh, jika Ressa perhatikan, kabut itu berasal dari tanah. Bukannya kabut itu berasal dari atas?"Maaf Non, Tuan pulang."Ressa terhenyak, Tio membuyarkan pikirannya yang seda
"Sekar, kamu kenapa?" tanya Melly cemas, tiba-tiba saja Sekar terduduk di tanah."Kakiku sakit, siapa yang bikin jebakan di sini?" teriak Sekar, sebelah kakinya terperosok ke dalam lubang yang tidak begitu dalam, tapi mampu membuat jantung bekerja lebih cepat dari biasanya."Sini aku bantu." Melly mengulurkan tangannya ke hadapan Sekar. Tidak ada penolakan, Sekar langsung menggenggam tangan Melly dengan erat."Awww .... Kakiku .... " Sekar meringis kesakitan saat Melly mencoba menarik tangannya."Kenapa?" tanya Andini mendekat."Kamu gak lihat, kakiku terperosok ke dalam lubang sempit yang di dalamnya terdapat duri!? Apa jangan-jangan kamu yang sudah siapin ini untukku, ya?!" hardik Sekar sambil menahan sakit di kakinya."Jangan bicara seenaknya, aku aja baru kesini," kata Andini tidak terima. Mana dia tahu soal jebakan, Andini saja baru pertama kali menginjakkan kakinya di sini. Karena Sekar terlalu cengeng, dengan sekuat tenaga Andini menariknya, dan terlepaskan kaki Sekar dari luban
Ressa melihat dengan jelas sekali, lampu yang berada di atas pecah. Tanpa berkata apa-apa Ressa berlari memastikan hal lainnya. Tio termenung menatap tali yang baru saja di potong oleh majikannya. Semakin hari semakin terlihat, ketidakberesan di rumah keluarga Herlambang. Tio bekerja di sana baru beberapa tahun saja, setelah Zaki dan Ajeng menikah. Ajeng, ibunya Ressa. Tio belum mengetahui sepenuhnya tentang rumah tersebut."Kenapa jadi merinding disko gini, ya?" gumam Tio pada dirinya sendiri. Tio meninggalkan taman yang sedang di bersihkannya dengan perasaan tidak enak. Tio pergi ke belakang menemui Rosmi."Ros .... Selama kamu kerja di sini, kamu pernah ngalami hal aneh gak?" tanya Tio, melepas rasa penasarannya."Aneh gimana, Pak? Perasan gak ada deh aman-aman saja," jawab Rosmi."Barusan aku nemuin tali di taman kemudian dipotong sama Non Ressa, eehh lampu atas pecah sepertinya itu lampu memang sengaja terhubung sama itu lampu," cerita Tio pada Rosmi."Kebetulan aja kali Pak, mun
"Saya kurang tahu, Non," jawab Tio.Perlahan Ressa bangkit sambil menahan nyeri di bagian lehernya. Orang rumah tidak ada yang bangun, selain Tio. Aneh, padahal keributan terjadi cukup lama dan menimbulkan suara keras."Biar saya bantu, Non," kata Pak Tio menawarkan bantuan."Tidak usah Pak, terimakasih. Bapak istrirahat saja sepertinya Pak Tio kelelahan," ucap Ressa menolak secara halus. Ressa berjalan ke atas kamarnya kembali. Namun tiba-tiba saja ...."Aaaaaaaaa .... "Ressa terpleset tepat saat dia akan menginjak tangga terakhir. Tubuhnya menggelinding ke bawah, kepalanya juga beberapa kali terbentur. Rasa nyeri menjalar ke seluruh tubuhnya, tulang-tulangnya terasa linu akibat benturan pada tangga. "Pak Tio .... " panggil Ressa dengan suara lemah. Dia tidak bisa berdiri walaupun sudah beberapa kali mencobanya, kakinya keseleo. Tio pun tidak nampak batang hidungnya saat dia memanggilnya, mungkin Tio sudah kembali beristirahat di kamarnya. Ressa beringsut mendekati anak tangga, ke