Ia terkejut bukan main. Hampir saja ia refleks melakukan pukulan. Akan tetapi untungnya ia segera menyadari sesuatu sesaat setelah nyawanya sudah terkumpul semua."Thomas, ini ibu. Kamu kenapa?"Thomas pun mengubah posisi dari tiduran menjadi duduk. Napasnya masih terdengar terengah-engah. Ia seperti habis dikejar oleh anjing."Thomas," panggil ibunya lagi."Ibu nanya, loh. Kamu kenapa berteriak?" lanjutnya bertanya.Thomas memandang wajah sang ibunda. Ia menyimpulkan bahwa perempuan yang kini sedang berada di depannya itu memang benar-benar ibundanya. Thomas sedikit bisa bernapas lega. Meski begitu, dirinya masih tetap diam. Jantungnya juga masih berdegup kencang. Sementara ibunya pun memutuskan untuk menunggunya berbicara saja. Ya memang lumayan lama, tapi cuma itu yang ia bisa."Tidak. Nggak kenapa-napa, Bu," jawab Thomas.Sang ibu mengernyitkan dahinya. Sepertinya ia tidak percaya dengan apa yang Thomas katakan. Ya, naluri seorang ibu memang tidak bisa dianggap remeh."Kamu mimpi
“Malah ketawa,” ucap ibunya Thomas.“Udahlah, Bu. Mending telepon ayah. Aku khawatir,” ucap Thomas.“Ibu juga khawatir.”“Makanya telepon ayah, Bu. Kalaupun emang ayah harus lembur, setidaknya kita udah tahu dan gak begitu khawatir lagi,” kata Thomas.Si ibu membenarkan ucapan Thomas. Ia pun segera mengambil ponselnya dan mencoba untuk menghubungi suaminya. Pertama menghubungi, gagal. Kedua juga gagal. Begitupun dengan yang ke-tiga. Hal itu membuat rasa khawatir keduanya semakin besar.“Nggak diangkat, Thomas.”“Coba sekali lagi, Bu,” ucap Thomas.Sang ibu pun mengiyakan apa yang Thomas minta. Ia langsung menelepon ke nomor sang suami lagi. Tapi apa yang didapatkan? Lagi dan lagi, suaminya ini tak dapat dihubungi. Sebuah perasaan khawatir pun semakin menjadi-jadi. Hingga beberapa saat setelah itu, mereka mendengar lagi ada yang mengetuk pintu rumah.“Siapa lagi tuh?” tanya Ibu Thomas.Thomas cuma diam. Ia teringat dengan peristiwa yang terjadi tadi. Tentang sang pengetuk pintu yang ta
Rio dan Nana mengangguk. Sejatinya mereka masih ragu tentang apakah rencana yang telah dibuat oleh Thomas ini akan berhasil atau tidak. Ya, mereka bahkan tidak yakin akannya. Namun seperti apa yang telah Thomas katakan, bahwa jika belum dicoba, maka belum tahu. Jadi, mereka pun akhirnya setuju.“Jadi kapan kita akan memeriksanya?”“Lebih cepat lebih baik,” jawab Thomas.“Bagaimana kalau besok?” tanya Rio.“Kelamaan. Kalau bisa nanti, kenapa harus besok?”“Bukannya apa-apa. Kau ini baru sembuh, Thomas,” ucap Rio.“Ya, aku tahu.”“Nah, itu. Lebih baik pulihkan dulu tubuhmu. Baru setelah itu kita lakukan rencana kita,” ucap Rio. Thomas menganngguk. Biar bagaimanapun juga, ia harus memikirkan kondisi tubuhnya. Tubuh yang lemah akan rentan untuk dirasuki makhluk tak kasat mata. Jika itu terjadi, maka akan sangat merepotkan.Malam harinya pun tetap seperti biasanya. Ada saja orang yang diteror oleh makhluk tak kasat mata itu. Sebenarnya, masalah tentang teror itu sudah dibicarakan ol
“Salah dia bicara kayak gitu.”“Iya. Maksudku, mukulnya yang lebih kenceng lagi. Biar benjol tuh kepala,” ucap Rio.“Kawan sialan!” ucap Thomas.Rio pun tertawa. Puas sekali ketika dirinya melihat sahabatnya yang satu ini dipukul oleh Nana. Jujur, sebenarnya ia juga ingin ikut memukul. Hanya saja ia tidak tega.“Huff ... Oke, aku mengerti. Tak apalah kalau emang Cuma kalian saja yang masuk ke rumah itu. Tapi kalian harus benar-benar bisa mendapatkan petunjuk,” kata Nana.“Lha kok maksa.”“Gimana? Sanggup, nggak?”“Hadeh. Iya, iya,” jawab Thomas.“Bagus. Sebagai konsekuensinya, kalau kalian gagal, kalian harus mentaraktir aku makan selama seminggu,” kata Nana.“Lah. Malah mengambil kesempatan.”“Gimana? Mau, nggak?”“Hadeh. Ribet emang cewek yang satu ini. Iya, deh, iya.”“Nah, gitu dong.”Singkatnya, jam pulang sekolah pun tiba. Kelima anak muda itu benar-benar ingin memeriksa apa yang ada di dalam rumah Tante Marni. Thomas, yang seolah berperan sebagai sang ketua pun mendatangi rumah
Wajah makhluk itu tak nampak karena tertutup oleh rambut panjangnya. Namun tetap saja terlihat sangat menyeramkan.Thomas mengembalikan pensil alis itu ke tempat semula. Setelah itu ia memutuskan untuk mencari sesuatu yang lain. Di saat yang bersamaan, sosok hantu menyeramkan itu juga sudah menghilang dari sana."Ah, apa Tante Marni tidak meninggalkan sesuatu yang lain soal kepergiannya?" tanya Thomas pada dirinya sendiri.Ia mengembuskan napas pelan. Entah kenapa ia merasa bahwa penyelidikan ini pasti akan berakhir dengan sebuah kegagalan. Itu yang ada di pikiran Thomas saat ini.Thomas terus mencari sesuatu yang berada di kamar itu. Ia benar-benar mengesampingkan rasa takutnya, atau bahkan bisa dibilang menghilangkan rasa takutnya itu. Berada di dalam kamar yang gelap dan sepi tanpa ditemani oleh siapapun. Jelas itu terasa seperti uji nyali baginya. Namun ia seolah tak peduli dengan itu semua. Misinya jauh lebih penting daripada rasa takutnya."Seandainya aku punya indera ke-enam. A
"Rumit, sih. Kalau aku hubungkan dengan yang difilm-film, kayaknya Tante Marni ini diperkosa seseorang. Mungkin sampai hamil. Lalu setelah mengetahui bahwa dirinya hamil, dia jadi malu dan memutuskan untuk pergi dari kampung sini," ucap Thomas."Terus soal teror hantu itu?""Kurasa itu emang hantunya Tante Marni. Ini mungkin, ya. Mungkin ketika perjalanan pergi, si pelaku itu membunuh Tante Marni dan membuangnya di suatu tempat yang kita tidak tahu di mana. Makanya itu arwahnya jadi tidak tenang dan menghantui kampung ini.""Nah, sekarang yang jadi pertanyaan, kenapa yang dihantui kampung ini. Maksudku, kenapa dia gak menghantui orang yang udah memerkosa dia?" tanya Nana.Thomas tersenyum meremehkan. Ia sudah menebak dari awal kalau bakalan ada yang bertanya seperti itu, dan ternyata benar, Nana bertanya seperti yang ia pikirkan."Itulah alasan kenapa aku tidak ingin siapapun tahu tentang penemuan test pack itu, tak terkecuali juga Pak RT. Hantu Tante Marni meneror kampung ini, kemung
"Gak, gak. Aku berani," ucap Sendy."Oh. Syukur deh. Kalau begitu tunggu di rumah dulu. Jangan berangkat dulu.""Kenapa?""Aku belum izin orang tua. Hahaha. Kalau gak diizinin ya gak jadi.""Lah. Parah banget.""Lha iya. Tapi akan tetap aku usahakan. Ya udah. Udah dulu. Aku mau bilang ke mereka.""Siap, deh."Thomas mematikan panggilan teleponnya. Ia pun kemudian berniat untuk menemui orang tuanya yang kini sedang menonton televisi. Entah diberi izin atau tidak, ia tetap harus mencoba untuk meminta izin."Eee ... Aku mau keluar, boleh nggak?" tanya Thomas ke keduanya."Keluar ke mana, sih? Harusnya kalau malam-malam di rumah aja," kata ibunya."Harusnya sih gitu, Bu. Tapi ini penting banget," kata Thomas."Penting apa?" Kali ini ayahnya yang bertanya."Ada tugas. Lagian entar aku juga sama Rio. Sama si Sendy juga. Aku gak sendiri, kok."Ada keraguan di hati kedua orang tuanya untuk memberikan izin kepada sang anak. Tentu itu disebabkan oleh teror hantu yang akhir-akhir ini ada di kamp
Sendy yang mendengar ucapan Thomas pun langsung terkejut dan melihat ke arah yang ditunjuk. Ternyata di sana tidak ada apa-apa."Mana?""Hahaha. Nggak, nggak. Aku cuma bercanda.""Sialan! Jangan kayak gitu!""Kenapa mendadak jadi penakut? Padahal tadi siang berani banget nyelidiki sampe toilet," ucap Thomas."Masalahnya ini baru aja habis ngelihat hantu. Ya kesan takutnya masih kerasa, lah. Entah kalau nanti. Mungkin akan hilang. Ya biasanya kayak gitu," ucap Sendy."Berarti berani pulang sendiri, entar?" Kali ini Rio yang bertanya."Mungkin.""Yeee. Ya jangan mungkin. Yang yakin, dong.""Hmm. Ya, ya. Aku berani. Aku laki-laki. Ngapain juga harus takut," ucap Sendi."Baguslah. Kita emang gak boleh takut," ucap Thomas.Setelah itu, ketiganya pun diam. Musik mulai menyala, dan sang penyanyi di cafe itupun mulai menyanyikan sebuah lagi. Thomas, Rio dan Sendi dapat melihat dengan jelas tentang bagaimana penyanyi cantik itu bernyanyi serta berjoget di sana. Namun itu bukan tujuan utama mer