Beranda / Horor / Teror Ghaib / Teror Ghaib 6

Share

Teror Ghaib 6

Penulis: Rani Giza
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-30 19:07:01

Emma meraba-raba saku celananya, dia ingin memberitahu Tony tentang batu yang dia temukan. Namun, setelah beberapa menit mencari, Emma tidak dapat menemukan batu tersebut. Sakunya rata. Setelah membuka saku celananya, dia menyadari bahwa sakunya berlubang. Batu itu pasti terjatuh.

Emma bingung. Dia ingin mencari batu itu, tapi langit masih gelap. Hutan juga pasti sangat gelap. Akhirnya Emma memutuskan untuk tidur.

Keesokan harinya, Emma mengatakan bahwa dia mengalami sedikit demam sehingga tidak dapat mengikuti kegiatan. Setelah semua mahasiswa pergi, dia kemudian berjalan melewati hutan. Dia harus menemukan batu itu.

Batu itu menjadi benda yang sangat berharga bagi Emma. Karena dengan uang yang didapat jika batu itu dijual, Emma bisa membeli apapun yang diinginkannya. Dia bisa membeli sepatu mahal, tas dan pakaian mahal. Dengan begitu, dia tidak akan diremehkan dan di-bully lagi di kampus.

Emma merasa kelelahan ketika sudah berjalan sejauh lima ratus meter dari lokasi perkemahan. Dia memutuskan untuk beristirahat. Saat itulah dia melihat seorang siswi dari tim lain sedang meneliti tanaman. Tak ingin ketahuan, Emma pun berdiri. Dia harus pergi dan melarikan diri.

Sayangnya rencana Emma tidak berjalan mulus. Gadis itu memergokinya.

“Hai, Emma si bocah culun,” kata gadis pirang itu, “waktu dosen bilang kamu sakit, aku tahu kamu bohong. Kamu nggak ikut tugas karena pengen jalan-jalan, kan?”

“Aku nggak bohong,” bantah Emma, ​​“aku beneran sakit. Aku lagi nyari sumber air sekarang. Timku kehabisan air minum.”

Gadis pirang itu tertawa. “Bohong,” katanya, “lihat aja, aku akan laporkin kamu ke dosen.”

Gadis pirang itu kemudian mengambil ponselnya dari saku celananya. Namun sebelum sempat menelpon, Emma berhasil merebut ponselnya. Emma kemudian melempar ponsel gadis itu.

"Kamu apaan sih?!" kata gadis pirang itu, “hapeku mahal. Nggak kayak hapemu yang sampah. Kalo rusak, emaangnya kamu bisa ganti?”

"Siapa yang peduli?" kata Emma. Suaranya menjadi lebih dalam, “Kamu yang pertama gangguin aku.”

“Kenapa kamu ngomong gitu kayak aku yang nakal?” ucap gadis pirang itu, "Kamu yang bolos kegiatan. Wajar kalo aku laporin kamu ke dosen."

“Aku nggak suka orang yang terlalu banyak ngomong,” kata Emma. Dia kemudian meraih rambut gadis pirang itu.

Gadis pirang itu menjerit kesakitan. Tangan Emma sangat kuat menarik rambutnya. Kulit kepalanya terasa sakit seolah-olah akan mengelupas.

“Lepasin tangan kamu,” kata gadis pirang itu.

Tapi Emma mengabaikannya. Dia malah menggunakan tangannya yang lain untuk menarik rambut gadis itu. Melihat gadis di depannya semakin kesakitan, Emma pun tertawa terbahak-bahak. Suaranya menjadi lebih berat. Seperti suara orang lain.

Gadis pirang itu tidak kehilangan akalnya. Dia meludah tepat ke mata Emma untuk membuat gadis itu berhenti. Usahanya berhasil. Emma melepaskan tangannya lalu menyeka air liur gadis pirang yang ada di matanya yang menetes ke pipinya.

Saat Emma lengah, gadis pirang itu berlari menjauh. Dia mencoba melarikan diri. Namun usahanya tidak membuahkan hasil dalam jangka waktu lama. Dalam hitungan detik, Emma menyusulnya. Emma menarik dan mencengkeram tangan kanan gadis pirang itu dengan sangat erat.

Gadis pirang itu ketakutan. Apalagi saat melihat wajah Emma berubah. Bukan wajah Emma yang dia kenali. Saat melihat mata Emma melotot, gadis pirang itu menarik tangannya kuat-kuat.

“Aduh, sakit!” kata gadis pirang itu, “tolong.”

Emma tidak peduli dengan permintaan gadis itu. Dia menyeringai. Tangannya yang lain mencakar pipi gadis pirang itu.

“Arrgh!” gadis pirang itu berteriak. Pipinya terasa panas karena kulitnya mengelupas. Dalam hitungan detik kulitnya berdarah.

Melihat itu, Emma tertawa puas. Ia kemudian mencoba mencakar sisi lain wajah gadis pirang itu. "Tidak ada yang bisa menindas saya," katanya. Suaranya masih berat dan semakin menakutkan.

“Lepasin aku,” kata gadis pirang itu, “aku janji nggak akan ngasih tau siapa pun kalo kamu bohong.”

“Nggak,” kata Emma, ​​“aku akan bikin kamu nyesel karena sudah gngguin aku.”

"Hei, ada apa?!"

Itu adalah suara Tony yang tidak sengaja lewat. Tak ingin terjadi hal yang lebih buruk, ia kemudian berlari menghampiri Emma dan gadis pirang itu. Dengan sekuat tenaga ia meraih tangan Emma. “Hentikan bodoh,” katanya. Dia mengatakan itu untuk mengalihkan perhatian Emma.

Emma melepaskan tangannya dan menoleh ke Tony. "Apa katamu?"

"Kamu bodoh," ulang Tony. Tangannya melambai, memberi isyarat agar gadis pirang itu pergi.

Emma melotot. Dia menyeringai dan menatap Tony dengan penuh kebencian. "Kamu ...."

Bab terkait

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 7

    "Apa?" kata Tony. Sebenarnya Tony sudah curiga sejak awal Emma menyerangnya. Dia tahu bahwa Emma dirasuki hantu. Dia semakin yakin setelah mengetahui kalau gadis itu juga membuat Dakota takut. Jadi, kini dia tidak perlu takut. Sebab, semasa kecilnya ia sering bermeditasi untuk berhubungan dan berkomunikasi langsung dengan mahluk halus. “Kamu juga harus dimusnahkan,” kata Emma. Matanya melotot. Tony tidak peduli, dia berjalan cepat meninggalkan Emma dan mengambil ponselnya. Dia kemudian menghubungi orang tua Emma. Setelah menunggu beberapa detik, Robin mengangkat teleponnya. "Ada apa, Tony?" tanya Robin, "apa terjadi sesuatu yang buruk sama Emma? Apa dia sakit?" “Nggak,” jawab Tony, “Dia cuma ….” "Cuma apa?" tanya Tony. Dia tidak sabar. "Emma... kayaknya dia kerasukan, Pak Robin," jawab Tony. "Apa maksudmu?" Robin bertanya. Bukannya dia tidak percaya hantu, dia hanya tidak menyangka dan ingin memastikannya. Sambil terus berjalan cepat menjauhi Emma yang juga berjalan cepat ke

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-31
  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 8

    Emma takut melihat wajahnya sendiri di cermin. Hidung, mata dan mulutnya berkerut-kerut, tidak terlihat jelas. Bentuknya tidak jelas dan seperti ada titik-titik bekas darah mengering. Dia sangat merinding dan tubuhnya gemetar. Sambil menangis, dia menyentuh wajahnya yang bentuknya sangat mengerikan. Kaget mendengar suara Emma, ​​orangtua Emma berlari menuju kamar gadis itu. Mereka berusaha membuka pintu dan menggedor pintu dengan harapan Emma akan membukakannya. Karena dalam beberapa menit pintu tidak dibuka juga dari dalam, Robin kemudian berlari mencari kunci cadangan. “Biar aku cari kunci cadangan,” kata Robin, “kamu tunggu, aku akan cepet balik.” Lily mengangguk. Dia kemudian mengetuk pintu kamar Emma lagi. “Emma, ​​buka pintunya, Sayang,” katanya, “ada apa? Kamu kenapa?” "Emma, ​​maafkan kita kalau kita mengecewakan kamu, Nak," kata Lily lagi, "tolong buka pintunya." Robin kembali setelah pergi selama beberapa menit. Dia datang dengan membawa kunci cadangan. Dia segera membu

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-02
  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 9

    "Kenapa sama anak kita?" Lily bertanya, tidak sabar. "Gimana kalau anak kita nggak sengaja ganggu mereka dan mereka pun marah," jawab Robin. Lily tertawa. "Nggak mungkin itu Emma ngelakuin itu," katanya setelah selesai tertawa, "anak kita bukan anak nakal yang suka membuat onar." “Dunia mereka berbeda dengan dunia kita, Lily,” kata Robin, “Mereka nggak kelihatan. Emma bisa aja melakukan sesuatu secara nggak sengaja." Lily menghela napas dengan kasar. “Aku beneran nggak ngerti maksud kamu,” katanya, “tapi kalau ada yang bisa kita lakukan untuk membuat Emma normal kembali, aku akan melakukannya. Apapun itu." *** Tony lega melihat Emma di kelas. Dengan begitu dia yakin kondisi gadis itu sudah membaik. Namun rasa penasarannya terhadap apa yang terjadi pada Emma belumlah tuntas. Dia kemudian berjalan ke kursi gadis itu. Dia bermaksud menanyakan apa yang terjadi pada Emma selama berada di hutan. “Emma, ​​kalau kamu nggak keberatan, aku pengen tahu apa yang terjadi sama kamu pas pert

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-02
  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 10

    "Ayah akan mengizinkanmu, tapi aku harus bicara sama ibumu dulu," kata Jeremy. Jeremy kemudian keluar dari kamar Tony. Dia kemudian berjalan menuju taman di depan rumah. Di sore hari seperti ini, biasanya istrinya menyiram tanaman. Tebakan Jeremy benar. Istrinya sedang merapikan tanaman. Wanita itu memotong beberapa pucuk tanaman yang tidak rata. "Sayang, bisakah kamu berhenti sejenak dari aktivitasmu," ucap Jeremy saat langkahnya terhenti di belakang Sofia. Sofia berbalik. “Iya,” katanya, “apa ada hal yang penting yang ingin kamu bicarakan?” Jeremy mengangguk. "Ya," katanya, "ayo kita duduk di sana dulu." Dia menunjuk ke sebuah kursi panjang di tepi taman. "Mau bicara apa?" tanya Sofia setelah dia duduk, "sepertinya masalahnya penting sekali." “Ya,” jawab Jeremy, “ini menyangkut nyawa anak kita. Sofia membelalakkan matanya. "Ada apa dengan Tony?" tanyanya."Tony bilang dia pengen meditasi lagi kayak dulu," jawab Jeremy, "dia pengen berkomunikasi sama makhluk astral untuk bant

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-03
  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 11

    "Kenapa dengan dia?" Sofia bertanya, penasaran. "Dia ingin Emma ikut bersamanya ke dunianya," jawab Tony. Sofia membelalakkan matanya, "Nggak bisa dibiarkan," katanya, "Emma mungkin sudah melakukan kesalahan fatal." Tony mengangguk. "Memang," katanya, "tapi aku yakin aku bisa membuat makhluk astral itu ngelepasin Emma." Tony kemudian meninggalkan ibu dan ayahnya. Dia berjalan dengan langkah cepat. “Hei, mau pergi kemana, Nak?” Jeremy berteriak. "Aku mau ke rumah Emma," kata Tony tanpa berbalik, "Aku harus bicara sama orang tuanya." *** Tony mengemudi dengan kecepatan di atas normal. Dia ngebut. Dia menyalip setiap kendaraan di depannya seperti seorang pembalap. Dia tidak sabar untuk berbicara dengan Emma dan orangtuanya. Karena ngebut, perjalanan menuju rumah Emma yang biasanya memakan waktu sepuluh menit, menjadi sekitar lima menit. Tony sendiri bahkan tidak menyangka akan bisa sampai ke rumah Emma dengan selamat setela

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-04
  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 12

    Wajah Emma berubah. Hidung, mata, dan mulut gadis itu tidak terlihat jelas. Berkerut-kerut. Ada bercak merah di wajahnya. Seperti darah kering. Di tangannya, dia membawa sebuah ranting besar. "Tinggalin aku sendiri," katanya sambil melambaikan tongkatnya pada Tony. Suaranya dalam, seolah itu bukan suara Emma biasanya. "Emma sadar," kata Tony. Dia berusaha menghindari pukulan Emma. Tapi Emma mengabaikan Tony. Dia terus mengayunkan dahan. Dia terlihat sangat berambisi untuk memukul Tony. Melihat hal itu tentu saja Jeremy tak tinggal diam. Dia mencoba menghentikan Emma. Dia mengunci gerakan gadis itu dengan menarik tangannya ke belakang. Emma memberontak, “lepasin aku,” katanya. Suaranya keras dan berat. Tony membantu Jeremy. Ia pun memegang tangan Emma. "Biarin aku pergi," kata Emma lagi. Suaranya lebih pelan. Beberapa detik kemudian, tubuh gadis itu terjatuh dan pingsan. "Ayo kita bawa dia ke mobil," kata Jeremy. Tony mengangguk. Dia kemudian mengangkat tubuh Emma bersama Jerem

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-05
  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 13

    Emma melotot. Dia mendekatkan kedua tangannya ke leher Petrus. Dia mencoba mencekik Petrus. Seluruh wajahnya berubah, seperti terbakar. "Aku nggak mau," kata Emma, ​​"aku mau mainanku kembali atau gadis ini menemaniku biar aku nggak kesepian." Peter tidak bisa menahan kekuatan Emma. Kedua orang tua Emma ikut membantu mengendalikan gadis itu. Lily memegang tangan Emma, ​​​​sedangkan Robin memegang tubuh Emma dan menariknya menjauh dari Petrus. Setelah tubuhnya berhasil ditarik, beberapa detik kemudian Emma pingsan. “Kita mohon maaf atas kejadian ini,” kata Lily. Petrus mengangguk. “Tidak masalah,” katanya, “Aku sering diserang oleh mereka. Mereka memang pengganggu." "Kita akan mengantar Emma pulang," kata Robin. “Baiklah,” kata Petrus, “kalau kalian ada waktu lagi, kalian bisa kembali ke sini. Aku akan mengumpulkan kekuatan untuk melawan makhluk astral itu.” Robin dan Lily mengangguk hampir bersamaan. Lily kemudian memberikan Petrus sebuah amplop berisi uang tunai. “Terima kasih

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-06
  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 14

    Saat melihat wajah Emma, ​​Desy dan Anne pun ikut berteriak. “Nggak mungkin,” kata Anne. Dia berjalan mundur perlahan. “Kenapa nggak mungkin?” kata Emma. Suaranya dalam, “kamu mau ke mana? Permainan kita sangat seru. Ayo lanjutkan." "TIDAK!" teriak Anne. Dia kemudian berlari. Sabrina dan Desy mengikutinya dari belakang. Karena si pengganggu sudah pergi, Emma kembali duduk di kursinya. Dia terus makan. Beberapa menit kemudian Tony datang. "Hei, Emma," kata Tony. Dia kemudian duduk di kursi yang paling dekat dengan kursi Emma. "Hei, Tony," sapa Emma sambil mengunyah kentang goreng, "dari mana aja kamu?" "Aku dari fakultas kedokteran, habis ketemu sama Jake," kata Tony, "kita ngebahas tema pesta ulang tahunnya yang akan diadain besok malam." “Kelihatannya menyenangkan,” kata Emma, ​​“tapi dia pasti nggak akan ngundang aku karena aku bukan sahabatnya.” "Kamu mau dateng?" tanya Tony. Emma tersenyum. "Lupain aja," katanya. “Hei,

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-09

Bab terbaru

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 163

    Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 162

    Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 161

    Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 160

    Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 159

    Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 158

    Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 157

    Emma masuk kuliah lagi, tiga hari dari hari pertama dia di rumah sakit. Sebelum masuk ke dalam kelas, Ethan dan Jake menyambutnya di ambang pintu. Mereka mengulurkan tangan dan agak sedikit membungkuk seperti mempersilakan otang penting. Emma tersenyum melihatnya.“Kalian ini kayak aku siapa saja,” kata Emma.Baru duduk sebentar, Tony lalu berdiri lagi. Dia lalu mengajak Ethan dan Jake keluar kelas.“Aku nggak diajak nih?” tanya Emma.“Aku mau ngobrol sebentar sama mereka,” kata Tony. Dia lalu tersenyum, “ini urusan laki-laki.”Emma menghembuskan napas kasar. “Males banget deh kalo bawa-bawa gender,” katanya.“Bentar doang kok,” kata Tony.Tony, Ethan dan Jake lalu berjalan keluar kela. Mereka menghentikan langkahnya di taman. Tony lalu memilih bangku yang ada di sudut taman untuk duduk. Tempat itu lumayan jah dari jangkauan orang-orang karena kanan dan kirinya adalah barisan tembok ruang dekan.“Kamu ngapain sih ngajak kita ke sini?” tanya Jake setelah dia duduk.“Aku mau ngomong ser

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 156

    Saat Sabrina masuk, Jake sedang mengobrol dengan Emma. Laki-laki itu berdiri di dekat ranjang sambil agak membungkuk, mendengarkan suara Emma yang mungkin masih terdengar pelan. Dia membelakangi Sabrina. Di sampingnya ada Ethan. Sementara itu, Tony berdiri di sisi ranjang yang lain sehingga dia menjadi orang yang lebih dulu mengetahui kehadiran Sabrina.Karena menyadari arah pandang Tony, Jake akhirnya menoleh.“S ... sore semua,” kata Sabrina.Tony tak menyahut. Emma juga. Yang menyahut adalah Jake. “Sore,” ujarnya pelan. Dia lalu menghadap Emma lagi.“Emma sakit apa? Habis jatuh kah?” tanya Sabrina karena dia melihat ada bekas jahitan di kening Emma sebelah kanan.“Iya,” sahut Sabrina pelan.“Sekarang udah mendingan apa masih sakit?” tanya Sabrina.“Udah mendingan kok,” sahut Emma.“Maaf ya, aku nggak sempet beliin apa-apa,” kata Sabrina.“Nggak apa-apa,” sahut Emma.Sejujurnya, Emma tidak yakin Sabrina tulus. Dia sebenarnya malas menanggapi gadis itu. Rasanya mustahil seorang Sabri

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 155

    Saat jam istirahat siang, Jake dan Ethan kelimpungan mencari Tony dan Emma di kelasnya. Mereka bertanya-tanya ke mana perginya dua orang itu. Jake yang paling penasaran. Tentu saja. Setelah duduk di meja kantin, Jake lalu menelfon Emma. Karena tak ada tanggapan dari gadis itu, dia lalu menelfon Tony. “Aku yakin sih ini mereka pasti pergi berdua,” kata Jake selagi menunggu panggilannya mendapat respon dari Tony. “Kayaknya sih,” sahut Ethan sambil menyendok basonya. “Kamu bolos bareng Emma ya?” kata Jake setelah mendengar suara Tony dari seberang. “Bolos ... bolos kepalamu? Aku lagi jenguk Emma di rumah sakit,” sahut Tony. “Rumah sakit?” ulang Tony, “Emangnya Emma sakit apa?” “Ceritanya panjang. Entar juga kamu tahu sendiri kalo ke rumah sakit,” sahut Tony. “Di rumah sakit mana?” tanya Jake. “Biasa. Yang deket sama rumah Emma,” sahut Tony. “Siapa yang sakit?” tanya Ethan setelah Jake meletakan ponselnya di atas meja. “Emma,” jawab Jake. “Sakit apa?” sahut Ethan. Dia membelala

DMCA.com Protection Status