Beranda / Horor / Teror Ghaib / Teror Ghaib 5

Share

Teror Ghaib 5

Penulis: Rani Giza
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-30 19:05:46

Emma berjalan ke arah Dakota. Gadis itu menyeringai. Wajah Emma tidak berubah. Tetap seperti biasa. Tapi, matanya terus melotot. Seperti orang kesurupan.

Semakin dia memandang Emma, ​​Dakota semakin ketakutan. Dia kemudian berlari cepat ke dalam tenda.

"Teman-teman, bangun," kata Dakota sambil menggoyangkan kaki ketiga anak lelaki yang sedang tidur itu.

Anak laki-laki berambut keriting yang bangun lebih dulu. Dia kemudian membangunkan Tony dan siswa laki-laki lainnya yang berponi.

"Ada apa?" tanya Ben, laki-laki berambut keriting.

“Emma … dia,” jawab Dakota. Nafasnya tersengal-sengal.

Tony melihat sekeliling tenda. Dia baru menyadari kalau Emma tidak ada di sana. "Kenapa Emma?" dia bertanya, “Di mana kamu ngeliat dia?”

"Aku...," kata Dakota.

Tak sabar menunggu jawaban Dakota, Tony lalu bergegas keluar tenda. Dia terkejut saat melihat Emma berdiri tak jauh darinya dengan mata melotot. Gadis itu berjalan ke arahnya dengan langkah yang sangat cepat.

"Emma, ada apa?" tanya Tony.

Emma tidak menjawab. Gadis itu malah mengarahkan tangannya ke leher Tony.

"Ngapain kamu?" tanya Tony. Dia berusaha melepaskan tangan Emma namun tidak berhasil. Kekuatan Emma begitu kuat.

"Teman-teman, tolong aku," kata Tony keras-keras saat tangan Emma semakin menekan lehernya.

Tiga orang yang berada di dalam tenda kemudian keluar. Dakota dan anak laki-laki berponi dengan ragu-ragu berjalan ke arah Tony.

“kalian apa?” kata Ben, “cepetan jalannya. Tony bisa mati.”

“Kalian nggak liat apa, Emma lagi kesurupan,” kata Dakota, “dia juga bisa nyerang kita.”

"Aku ... aku panggilin siswa yang lain, ya," ucap anak laki-laki berponi itu. Dia kemudian berjalan cepat meninggalkan empat orang lainnya.

Ben menghampiri Emma. "Lepasin tanganmu," katanya sambil menarik kedua tangan Emma.

Namun, Emma tetap mencekik Tony. Anak laki-laki itu terbatuk.

“Kubilang lepasin tanganmu!” Ben berkata lagi. Ia berusaha menjauhkan tangan Emma dari leher Tony.

Emma tidak berhenti. Gadis itu malah menatap Ben. Matanya melotot seolah hendak keluar.

Pada saat yang sama, para mahasiswa tiba. Dua orang dosen pembimbing acara perkemahan pun ikut datang. Salah satu dosen kemudian segera menghampiri Tony dan Emma. Dia kemudian langsung meraih Emma saat menyadari gadis itu sedang menyerang Tony.

Merasa tenaganya kurang kuat, si dosen kemudian meminta bantuan kepada mahasiswanya. Sekitar tiga orang membantu menarik tangan Emma. Setelah mencoba beberapa detik, akhirnya tangan Emma lemas. Tubuh gadis itu kemudian terkulai. Dia pingsan.

“Ayo cepet kita bawa dia ke dalam tenda,” ajak seorang dosen laki-laki. Tangannya melambai meminta bantuan para siswa laki-laki untuk mengangkat tubuh Emma.

Tony membantu mengangkat tubuh Emma. Dia merasa sangat khawatir dengan kondisi gadis itu.

“Bagi yang tidak berkepentingan, boleh kembali ke tenda,” ucap dosen perempuan itu sebelum masuk ke dalam tenda bersama para mahasiswa yang mengangkat tubuh Emma.

“Apa yang kalian lakukan di luar?” tanya dosen perempuan itu, "kalian tidak mau tidur?"

“Kami semua tadinya tertidur,” kata Dakota, “tapi saya terbangun karena gigitan nyamuk. Saat itu aku menyadari kalau Emma tidak ada di sana. Ketika aku meninggalkan tenda dan melihat Emma duduk tidak jauh dari api unggun, aku mendekatinya. Tapi, dia malah nyengir dan melotot. Sangat menakutkan."

“Tony,” kata sang dosen, “kamu teman dekat Emma, ​​kan?”

"Ya," kata Tony.

"Apa kamu sering melihat Emma seperti itu?" Dia bertanya.

Tony menggelengkan kepalanya. “Tidak, Bu,” jawabnya, “Aku hanya melihatnya seperti ini sekali.”

“Pastikan dia banyak istirahat,” kata dosen tersebut, “jika kondisinya belum membaik hingga besok pagi, dia tidak perlu mengikuti aktivitas.”

Tony mengangguk. "Ya," katanya.

Setelah semua orang yang tidak ada dalam tim dan dua orang dosen meninggalkan tenda, Tony kemudian menghampiri Emma yang matanya masih terpejam.

"Ayo kita tidur lagi," kata laki-laki berponi itu.

"Tidurlah," kata Tony. Dia melihat arlojinya, “Ini masih jam setengah empat. Masih ada waktu sebelum jam enam pagi.”

Tony tidak mau tidur lagi meski matanya masih mengantuk. Dia menunggu Emma bangun.

Saat Emma terbangun, Tony langsung menghampiri gadis itu.

“Kenapa kamu nunggu di sampingku?” tanya Emma, ​​“Kamu nggak mau tidur? Apa yang terjadi?"

"Tadi kamu kesurupan," jawab Tony, "emangnya kamu nggak sadar?"

Emma menggelengkan kepalanya. “Nggak,” katanya. Dia kemudian tertawa, “berhenti bohong. Jangan bikin aku takut, Tony.”

“Aku nggak bohong, Emma,” katanya, “kamu hampir bunuh aku dengan mencekikku.”

Emma hanya tertegun mendengar apa yang dikatakan Tony. Dia benar-benar tidak percaya akan hal itu.

"Udahlah lupain, semoga kamu nggak ngalamin hal itu lagi," kata Tony. Dia kemudian berbaring. "Tidur sana. Jam enam pagi masih beberapa jam lagi.”

Tony kemudian segera memejamkan matanya dan berbaring membelakangi Emma.

“To ... Tony, aku,” kata Emma.

Bab terkait

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 6

    Emma meraba-raba saku celananya, dia ingin memberitahu Tony tentang batu yang dia temukan. Namun, setelah beberapa menit mencari, Emma tidak dapat menemukan batu tersebut. Sakunya rata. Setelah membuka saku celananya, dia menyadari bahwa sakunya berlubang. Batu itu pasti terjatuh. Emma bingung. Dia ingin mencari batu itu, tapi langit masih gelap. Hutan juga pasti sangat gelap. Akhirnya Emma memutuskan untuk tidur. Keesokan harinya, Emma mengatakan bahwa dia mengalami sedikit demam sehingga tidak dapat mengikuti kegiatan. Setelah semua mahasiswa pergi, dia kemudian berjalan melewati hutan. Dia harus menemukan batu itu. Batu itu menjadi benda yang sangat berharga bagi Emma. Karena dengan uang yang didapat jika batu itu dijual, Emma bisa membeli apapun yang diinginkannya. Dia bisa membeli sepatu mahal, tas dan pakaian mahal. Dengan begitu, dia tidak akan diremehkan dan di-bully lagi di kampus. Emma merasa kelelahan ketika sudah berjalan sejauh lima ratus meter dari lokasi perkemahan.

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-30
  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 7

    "Apa?" kata Tony. Sebenarnya Tony sudah curiga sejak awal Emma menyerangnya. Dia tahu bahwa Emma dirasuki hantu. Dia semakin yakin setelah mengetahui kalau gadis itu juga membuat Dakota takut. Jadi, kini dia tidak perlu takut. Sebab, semasa kecilnya ia sering bermeditasi untuk berhubungan dan berkomunikasi langsung dengan mahluk halus. “Kamu juga harus dimusnahkan,” kata Emma. Matanya melotot. Tony tidak peduli, dia berjalan cepat meninggalkan Emma dan mengambil ponselnya. Dia kemudian menghubungi orang tua Emma. Setelah menunggu beberapa detik, Robin mengangkat teleponnya. "Ada apa, Tony?" tanya Robin, "apa terjadi sesuatu yang buruk sama Emma? Apa dia sakit?" “Nggak,” jawab Tony, “Dia cuma ….” "Cuma apa?" tanya Tony. Dia tidak sabar. "Emma... kayaknya dia kerasukan, Pak Robin," jawab Tony. "Apa maksudmu?" Robin bertanya. Bukannya dia tidak percaya hantu, dia hanya tidak menyangka dan ingin memastikannya. Sambil terus berjalan cepat menjauhi Emma yang juga berjalan cepat ke

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-31
  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 8

    Emma takut melihat wajahnya sendiri di cermin. Hidung, mata dan mulutnya berkerut-kerut, tidak terlihat jelas. Bentuknya tidak jelas dan seperti ada titik-titik bekas darah mengering. Dia sangat merinding dan tubuhnya gemetar. Sambil menangis, dia menyentuh wajahnya yang bentuknya sangat mengerikan. Kaget mendengar suara Emma, ​​orangtua Emma berlari menuju kamar gadis itu. Mereka berusaha membuka pintu dan menggedor pintu dengan harapan Emma akan membukakannya. Karena dalam beberapa menit pintu tidak dibuka juga dari dalam, Robin kemudian berlari mencari kunci cadangan. “Biar aku cari kunci cadangan,” kata Robin, “kamu tunggu, aku akan cepet balik.” Lily mengangguk. Dia kemudian mengetuk pintu kamar Emma lagi. “Emma, ​​buka pintunya, Sayang,” katanya, “ada apa? Kamu kenapa?” "Emma, ​​maafkan kita kalau kita mengecewakan kamu, Nak," kata Lily lagi, "tolong buka pintunya." Robin kembali setelah pergi selama beberapa menit. Dia datang dengan membawa kunci cadangan. Dia segera membu

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-02
  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 9

    "Kenapa sama anak kita?" Lily bertanya, tidak sabar. "Gimana kalau anak kita nggak sengaja ganggu mereka dan mereka pun marah," jawab Robin. Lily tertawa. "Nggak mungkin itu Emma ngelakuin itu," katanya setelah selesai tertawa, "anak kita bukan anak nakal yang suka membuat onar." “Dunia mereka berbeda dengan dunia kita, Lily,” kata Robin, “Mereka nggak kelihatan. Emma bisa aja melakukan sesuatu secara nggak sengaja." Lily menghela napas dengan kasar. “Aku beneran nggak ngerti maksud kamu,” katanya, “tapi kalau ada yang bisa kita lakukan untuk membuat Emma normal kembali, aku akan melakukannya. Apapun itu." *** Tony lega melihat Emma di kelas. Dengan begitu dia yakin kondisi gadis itu sudah membaik. Namun rasa penasarannya terhadap apa yang terjadi pada Emma belumlah tuntas. Dia kemudian berjalan ke kursi gadis itu. Dia bermaksud menanyakan apa yang terjadi pada Emma selama berada di hutan. “Emma, ​​kalau kamu nggak keberatan, aku pengen tahu apa yang terjadi sama kamu pas pert

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-02
  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 10

    "Ayah akan mengizinkanmu, tapi aku harus bicara sama ibumu dulu," kata Jeremy. Jeremy kemudian keluar dari kamar Tony. Dia kemudian berjalan menuju taman di depan rumah. Di sore hari seperti ini, biasanya istrinya menyiram tanaman. Tebakan Jeremy benar. Istrinya sedang merapikan tanaman. Wanita itu memotong beberapa pucuk tanaman yang tidak rata. "Sayang, bisakah kamu berhenti sejenak dari aktivitasmu," ucap Jeremy saat langkahnya terhenti di belakang Sofia. Sofia berbalik. “Iya,” katanya, “apa ada hal yang penting yang ingin kamu bicarakan?” Jeremy mengangguk. "Ya," katanya, "ayo kita duduk di sana dulu." Dia menunjuk ke sebuah kursi panjang di tepi taman. "Mau bicara apa?" tanya Sofia setelah dia duduk, "sepertinya masalahnya penting sekali." “Ya,” jawab Jeremy, “ini menyangkut nyawa anak kita. Sofia membelalakkan matanya. "Ada apa dengan Tony?" tanyanya."Tony bilang dia pengen meditasi lagi kayak dulu," jawab Jeremy, "dia pengen berkomunikasi sama makhluk astral untuk bant

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-03
  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 11

    "Kenapa dengan dia?" Sofia bertanya, penasaran. "Dia ingin Emma ikut bersamanya ke dunianya," jawab Tony. Sofia membelalakkan matanya, "Nggak bisa dibiarkan," katanya, "Emma mungkin sudah melakukan kesalahan fatal." Tony mengangguk. "Memang," katanya, "tapi aku yakin aku bisa membuat makhluk astral itu ngelepasin Emma." Tony kemudian meninggalkan ibu dan ayahnya. Dia berjalan dengan langkah cepat. “Hei, mau pergi kemana, Nak?” Jeremy berteriak. "Aku mau ke rumah Emma," kata Tony tanpa berbalik, "Aku harus bicara sama orang tuanya." *** Tony mengemudi dengan kecepatan di atas normal. Dia ngebut. Dia menyalip setiap kendaraan di depannya seperti seorang pembalap. Dia tidak sabar untuk berbicara dengan Emma dan orangtuanya. Karena ngebut, perjalanan menuju rumah Emma yang biasanya memakan waktu sepuluh menit, menjadi sekitar lima menit. Tony sendiri bahkan tidak menyangka akan bisa sampai ke rumah Emma dengan selamat setela

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-04
  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 12

    Wajah Emma berubah. Hidung, mata, dan mulut gadis itu tidak terlihat jelas. Berkerut-kerut. Ada bercak merah di wajahnya. Seperti darah kering. Di tangannya, dia membawa sebuah ranting besar. "Tinggalin aku sendiri," katanya sambil melambaikan tongkatnya pada Tony. Suaranya dalam, seolah itu bukan suara Emma biasanya. "Emma sadar," kata Tony. Dia berusaha menghindari pukulan Emma. Tapi Emma mengabaikan Tony. Dia terus mengayunkan dahan. Dia terlihat sangat berambisi untuk memukul Tony. Melihat hal itu tentu saja Jeremy tak tinggal diam. Dia mencoba menghentikan Emma. Dia mengunci gerakan gadis itu dengan menarik tangannya ke belakang. Emma memberontak, “lepasin aku,” katanya. Suaranya keras dan berat. Tony membantu Jeremy. Ia pun memegang tangan Emma. "Biarin aku pergi," kata Emma lagi. Suaranya lebih pelan. Beberapa detik kemudian, tubuh gadis itu terjatuh dan pingsan. "Ayo kita bawa dia ke mobil," kata Jeremy. Tony mengangguk. Dia kemudian mengangkat tubuh Emma bersama Jerem

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-05
  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 13

    Emma melotot. Dia mendekatkan kedua tangannya ke leher Petrus. Dia mencoba mencekik Petrus. Seluruh wajahnya berubah, seperti terbakar. "Aku nggak mau," kata Emma, ​​"aku mau mainanku kembali atau gadis ini menemaniku biar aku nggak kesepian." Peter tidak bisa menahan kekuatan Emma. Kedua orang tua Emma ikut membantu mengendalikan gadis itu. Lily memegang tangan Emma, ​​​​sedangkan Robin memegang tubuh Emma dan menariknya menjauh dari Petrus. Setelah tubuhnya berhasil ditarik, beberapa detik kemudian Emma pingsan. “Kita mohon maaf atas kejadian ini,” kata Lily. Petrus mengangguk. “Tidak masalah,” katanya, “Aku sering diserang oleh mereka. Mereka memang pengganggu." "Kita akan mengantar Emma pulang," kata Robin. “Baiklah,” kata Petrus, “kalau kalian ada waktu lagi, kalian bisa kembali ke sini. Aku akan mengumpulkan kekuatan untuk melawan makhluk astral itu.” Robin dan Lily mengangguk hampir bersamaan. Lily kemudian memberikan Petrus sebuah amplop berisi uang tunai. “Terima kasih

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-06

Bab terbaru

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 163

    Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 162

    Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 161

    Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 160

    Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 159

    Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 158

    Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 157

    Emma masuk kuliah lagi, tiga hari dari hari pertama dia di rumah sakit. Sebelum masuk ke dalam kelas, Ethan dan Jake menyambutnya di ambang pintu. Mereka mengulurkan tangan dan agak sedikit membungkuk seperti mempersilakan otang penting. Emma tersenyum melihatnya.“Kalian ini kayak aku siapa saja,” kata Emma.Baru duduk sebentar, Tony lalu berdiri lagi. Dia lalu mengajak Ethan dan Jake keluar kelas.“Aku nggak diajak nih?” tanya Emma.“Aku mau ngobrol sebentar sama mereka,” kata Tony. Dia lalu tersenyum, “ini urusan laki-laki.”Emma menghembuskan napas kasar. “Males banget deh kalo bawa-bawa gender,” katanya.“Bentar doang kok,” kata Tony.Tony, Ethan dan Jake lalu berjalan keluar kela. Mereka menghentikan langkahnya di taman. Tony lalu memilih bangku yang ada di sudut taman untuk duduk. Tempat itu lumayan jah dari jangkauan orang-orang karena kanan dan kirinya adalah barisan tembok ruang dekan.“Kamu ngapain sih ngajak kita ke sini?” tanya Jake setelah dia duduk.“Aku mau ngomong ser

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 156

    Saat Sabrina masuk, Jake sedang mengobrol dengan Emma. Laki-laki itu berdiri di dekat ranjang sambil agak membungkuk, mendengarkan suara Emma yang mungkin masih terdengar pelan. Dia membelakangi Sabrina. Di sampingnya ada Ethan. Sementara itu, Tony berdiri di sisi ranjang yang lain sehingga dia menjadi orang yang lebih dulu mengetahui kehadiran Sabrina.Karena menyadari arah pandang Tony, Jake akhirnya menoleh.“S ... sore semua,” kata Sabrina.Tony tak menyahut. Emma juga. Yang menyahut adalah Jake. “Sore,” ujarnya pelan. Dia lalu menghadap Emma lagi.“Emma sakit apa? Habis jatuh kah?” tanya Sabrina karena dia melihat ada bekas jahitan di kening Emma sebelah kanan.“Iya,” sahut Sabrina pelan.“Sekarang udah mendingan apa masih sakit?” tanya Sabrina.“Udah mendingan kok,” sahut Emma.“Maaf ya, aku nggak sempet beliin apa-apa,” kata Sabrina.“Nggak apa-apa,” sahut Emma.Sejujurnya, Emma tidak yakin Sabrina tulus. Dia sebenarnya malas menanggapi gadis itu. Rasanya mustahil seorang Sabri

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 155

    Saat jam istirahat siang, Jake dan Ethan kelimpungan mencari Tony dan Emma di kelasnya. Mereka bertanya-tanya ke mana perginya dua orang itu. Jake yang paling penasaran. Tentu saja. Setelah duduk di meja kantin, Jake lalu menelfon Emma. Karena tak ada tanggapan dari gadis itu, dia lalu menelfon Tony. “Aku yakin sih ini mereka pasti pergi berdua,” kata Jake selagi menunggu panggilannya mendapat respon dari Tony. “Kayaknya sih,” sahut Ethan sambil menyendok basonya. “Kamu bolos bareng Emma ya?” kata Jake setelah mendengar suara Tony dari seberang. “Bolos ... bolos kepalamu? Aku lagi jenguk Emma di rumah sakit,” sahut Tony. “Rumah sakit?” ulang Tony, “Emangnya Emma sakit apa?” “Ceritanya panjang. Entar juga kamu tahu sendiri kalo ke rumah sakit,” sahut Tony. “Di rumah sakit mana?” tanya Jake. “Biasa. Yang deket sama rumah Emma,” sahut Tony. “Siapa yang sakit?” tanya Ethan setelah Jake meletakan ponselnya di atas meja. “Emma,” jawab Jake. “Sakit apa?” sahut Ethan. Dia membelala

DMCA.com Protection Status