Pertanyaan Malilah membuat Petunia terdiam sebentar, kemudian perempuan itu pun menggeleng pelan.
"Se-sejauh ini, saya be-belum pernah berpikir u-untuk memberontak, L-Lil," jawab Petunia santai.
"Kamu juga kenapa bertanya seperti itu, Lilah. Kalau Petunia saja merasa nyaman, dia pasti tidak mungkin menjadi pemberontak."
Malilah memajukan bibirnya. "Kan, dia anak papi. Pasti apa kata papinya, dia langsung nurut aja."
"Atau sebaliknya," timpal Yonna.
"I-iya, te-tetapi kebanyakan saya y-yang ikut kata Papi. Se-sepertinya saya te-terlalu penurut." Petunia pun tertawa kecil.
"Kok, kau tahan sih, begitu?" tanya Malilah lagi penasaran, sebab dirinya tidak begitu suka diatur.
"Itu artinya kamu ada rasa kepada Dovis, Lil!" terka Akia yakin. Masih mengelak, Malilah mengayunkan kedua tangannya dengan kuat. "Kupikir itu wajar, Kiya. Kami kan sudah sering bercanda, bertengkar, jadi pas dia tiba-tiba menjauh begini rasanya sesak aja." "Kalau kau awalnya biasa aja ke Dovis, pasti sekarang juga biasa aja. Kecuali kau merasa spesial." "Sebenarnya tidak juga seperti itu," ucap Akia kemudian, "Saya rasa karena kalian begitu dekat, pertemanan kalian berdua sangat akrab, sehingga saat salah satunya menjauh, akan ada sensasi terluka." Menatap Akia malas, Malilah menunjuk perempuan itu. Sebelumnya Akia begitu yakin bila Malilah menyukai Dovis, lantas kini dugaannya tiba-tiba berubah. "Itu yang aku mau coba jelaskan dari tadi, tahu. Kalian malah kekeh bilang aku suka sama Dovi. Bayangin aja, kebiasaan setiap sekolah selalunya dijailin, eh, tiba-tiba jadi kayak orang asing." Malilah memalingkan wajahnya, kembali menatap layar lapto
Menggerakkan kepalanya naik dan turun secara berulang, Akia memiliki pikiran serupa dengan penyampaian Petunia barusan. "Benar, sebaiknya kita tidak melakukan rencana ini sendirian. Ya, dalam artian hanya berisi perempuan. Akan terlalu berbahaya bagi kita, terlebih lagi saya tidak tahu cara terbaik dalam membela diri. Saya tidak tahu apa-apa soal itu." "Aku tahu caranya melawan, tapi cuma dalam mode kepepet. Apa aja yang aku lihat, pasti bakalan bisa jadi alat," serbu Malilah diiringi tawa, lalu detik berikutnya diikuti oleh Yonna. "Kekuatan dari kepepet itu memang luar biasa, Lil. Tapi nggak selamanya akan berhasil, minimal hasilnya sesuai dari yang kita lakuin. Nggak cukup buat ngejaga kita semua." "I-iya, maka dari i-itu saya menawarkan un-untuk mengajak t-teman laki-laki kalian." Petunia menatap Yonna saat berucap kalimat tersebut, ia tahu jika keputusan Yonna cukup berpengaruh. &
Meninggalkan gundukan tanah berisi jasad Karlo, Yonna menggenggam tangan sang mama, menggiring mamanya itu untuk berjalan menuju pintu keluar. Yulissa menyeka air matanya, lalu menatap Yonna yang berucap akan mendatangi pusara wakil kepala sekolahnya bersama sahabat-sahabatnya yang lain. "Setelah ini, kalian hati-hati ya, berkendaranya. Pelan-pelan saja, fokus ke jalanan dan keadaan sekitar. Kalau merasa ada yang aneh, mau itu ada yang mengikuti atau perasaan janggal lainnya, langsung cari perlindungan. Okay?" Yulissa berucap panjang memberi Yonna beserta teman satu sekolah anaknya tersebut wejangan agar sangat berhati-hati. "Iya, Ma. Jangan terlalu khawatir, nggak baik juga untuk kesehatan Mama," balas Yonna lembut. "Pokoknya hati-hati, jaga satu sama alin, ya? Luther," panggil Yulissa menatap si pemilik nama. "Iya, Tante." "Jaga anak Mama, ya? Jangan sampai lepas dari pandangan kamu!" "Ma…." Yonna mencoba mencegah sang mama supaya ti
Malilah memarkirkan mobil di samping kiri restoran tempat mereka semua berjanji. Konsultasi Akia berjalan lancar, hasilnya pun lebih baik dari perkiraan mereka semua. Membuka pintu, Yonna mencari-cari keberadaan Luther bersama dua laki-laki kembar itu. Setelah menelusuri seisi restoran, Yonna tersenyum saat Clovis melambaikan tangan lebih dahulu. Pemuda itu yang pertama sadar kedatangan mereka di pintu masuk. Luther segera berdiri begitu Yonna dan yang lainnya tiba di meja. Menarikkan sebuah kursi untuk kekasihnya duduki, Luther menerima sorot terpaku dari seseorang. "Gimana tadi hasil diagnosanya, Kiya?" tanya Dovis yang ingin tahu hasil pemeriksaan teman sekelasnya tersebut. "Bagus." "Bagus?" ulang Clovis bingung, satu alisnya naik tajam. "Psikiater itu mengatakan bahwa tidak ada yang terbilang parah, semuanya di batas normal. Tetapi dia tetap m
"Apa sebenarnya kalian paham atas semua rencana gila ini?" Luther menatap tiap mata para wanita itu begitu tajam. "Luther, kau nggak-" "Kau?" ulang Luther atas kata Yonna sebelumnya, tidak biasa perempuan itu menggunakan kau dan bukannya kamu. "Kami cuma mencoba mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, bukan mau ngajak perang. Kenapa kau berlebihan sih, Luther?!" Malilah mengerutkan dahi tanda kesal. "Berlebihan? Kau pikir yang menurut kalian sekadar ingin tahu itu adalah permainan? Di mana ketika kalian terjun dan merasa berbahaya, bisa mundur kapan aja?" "Kau berpikir terlalu jauh, Luther. Memangnya nggak bisa kayak gitu? Kau yang punya permainan ini? Kau yang atur semua ini, sampai ngomong gitu, ha? Niat kami juga baik, asal kau tahu. Bukan mau main-main. Atau kau sudah merasa cukup, sampai nggak ada rasa takut teror ini menerpa orang-orang yang kau sayang?" ser
Yonna membaca pesan yang ia terima, ternyata dari Clovis yang berisi pertanyaan kekhawatiran akan keadaan dirinya. [Kamu nggak papa, 'kan? Please, batalin rencana kalian. Aku takut kamu kenapa-napa. Ini nggak terlihat seperti kasus yang sederhana, Yon. Bukan demi aku, tapi Luther dan mama kamu.] Dalam keadaan hening itu, Yonna memilih tidak membalas dan justru menghapus pesan tersebut. Takut bila Luther melihatnya akan salah paham. Ia tidak ingin ada pertikaian antar sahabat itu lagi. "Ah, maaf. Kita makan dulu, ya. Kasihan makanannya jadi dianggurin." Yonna memajukan tangannya meminta agar yang lain segera mengangkat sendok dan garpu mereka. Menghela napas, Luther mengangguk sekali. Setelah Yonna, lelaki itu menjadi orang kedua yang menyentuh makanan. Tanpa diminta lagi, yang lain pun ikut menyantap makan tersebut. Mulai dingin memang, karena terabaikan oleh topik pembicaraan mereka yang cukup berat dan menguras emosi. Selama makan itu pula t
Keluar dari restoran, mereka berencana langsung menuju kantor polisi. "Tu-tunggu, apa tidak m-masalah bila kita me-melaporkan hal ini langsung?" "Kenapa, Ki? Biasanya kan, orang-orang langsung laporan ke sana," ujar Malilah bingung. "Ho-oh, memangnya mau ke mana lagi?" tanya Dovis. "S-saya takut ki-kita dianggap mempermainkan m-mereka." "Jangan takut, Petunia. Maka dari itu bagusnya kita langsung laporan sama mereka, kita kan bawa barang bukti. Kalau tadi lewat telepon, baru deh, mereka berhak curiga." Malilah membenarkan ucapan Yonna. "Betul, tuh. Kalau kita langsung ngomong empat mata, polisi di sana bisa aja nilai sendiri kita ini bohong apa nggak." Petunia mengangguk paham, sebenarnya ia ingin menawarkan untuk menghubungi salah satu aparat yang Papinya kenal. Agar lebih mudah dan nyaman. "Memangnya kamu ingin menggunakan cara apa selain yang tadi, Petunia?" Akia membenarkan letak tas selempangnya. "Sa-
Memperdalam ciuman, Yonna menggigit kecil bibir Luther. Dari posisi itu, Yonna dapat merasakan senyuman terbit dari bibir kekasihnya.Melepaskan diri, keduanya meraih udara sebanyak mungkin. Dada bergerak naik dan turun. Keringat juga mengalir di pelipisnya masing-masing.Sama-sama menetralkan tatapan yang sayu, Yonna menopangkan dagunya pada pundak Luther. "Kamu beneran sudah nggak marah lagi, 'kan? Nanti sampai di rumah, tahu-tahu diemin aku lagi besoknya.""Nggak. Kenapa mikir gitu?""Kan, siapa tahu." Yonna mencari posisi yang nyaman, tetapi memberi efek yang berbeda terhadap Luther."Shh… Jangan gerak yang aneh-aneh, Cantik. Kalau bangun, gimana?"Terkekeh, Yonna akhirnya diam. "Nggak sengaja."Mengelus punggung Yonna dengan lembut, Luther mengambil remote televisi. Menghidupkan layar besar yang menem
“Nggak, jangan dulu,” sambut Luther tiba-tiba. “Jangan tembak aku sekarang, tahan senjatamu sampai seenggaknya pagi datang … Sayang. Dengan begini aku masih bisa memastikan kamu selamat sampai meninggalkan tanah terkutuk ini. Aku nggak mungkin meninggalkanmu sebelum semuanya berakhir, tapi … aku pun nggak bisa menghadapi apa yang kamu pikirkan tentangku.”Yonna menangis tersedu-sedu, dia terduduk di tangan sambil menutupi wajahnya yang basah oleh air mata. Dapat dipastikan bahwa malam telah melewati tengah, mungkin sudah hendak mencapai pagi. Mata mereka, hati mereka, kaki, semuanya telah lelah, tak sanggup menahan teror yang semakin menjadi dan menyisakan mereka.Sekonyong-konyong sebuah tepuk tangan tiba-tiba muncul dari belakang sana. Yonna mengangkat wajah dengan bingung, sedangkan Luther membeliakkan mata menatap sosok di belakang Yonna. Laki-laki itu langsung berlari dan menarik Yonna berada di belakangnya.“Kau?” kaget Luther diiringi keterkejutan Yonna.Terkekeh, Petunia terse
Setelah kehadiran bisikan dari penglihatan Peramal itu, tak ada yang tenang. Sampai salah seorang berseru dan menyampaikan bahwa jika mereka ingin selamat, maka ingin tidak ingin apa yang disampaikan Peramal barusan harus dilakukan. Pro dan kontra tidak luput mengambil posisi di antara mereka semua.Ada yang berpikir Luther-lah si pelaku, tetapi ada yang berpendapat orang yang bersikeras menuduh Luther inilah yang telah membunuh Petunia dan kedua orang tuanya. Karena hal itu pula, mereka justru terbagi-bagi menjadi dua regu.Semula mereka berpencar, masih ada di benak bahwa pelakunya tengah bersembunyi dan mengintai. “Aku nggak peduli, siapa pun dia harus kubunuh. Aku masih ingin pulang dari sini hidup-hidup.”Di antara mereka yang menolak bahwa pelakunya Luther, sedang membuat rencana. Mereka takkan berpencar, tetap bersama, tetapi mencoba memahami lokasi yang mungkin saja dijadikan sebagai tempat persembunyian berdasarkan tempat Petunia di bunuh.Akia bersuara, “Bagaimana kalau tern
Siapa yang menyangka bahwa pada hari itu garis takdir mereka berubah drastis. Apa yang sebenarnya hendak ditinggalkan, justru mengejar mereka dari belakang hingga tiba di tempat persinggahan. Yonna, Luther, Malilah, Dovis, Akia, Clovis, dan peserta lain telah ditunggu kehadirannya oleh sebuah teror berdarah.Begitu sampai di tempat yang dimaksud, mereka berbondong-bondong turun menyaksikan pemandangan yang dipenuhi oleh hutan. Terdapat sebuah perumahan kayu yang memuat sejumlah kamar, dan sebuah bangunan tunggal yang disebutkan sebagai gudang. Masing-masing mereka membawa tas memasuki kamar yang sudah dipersiapkan, para perempuan sendiri dan laki-laki sendiri. Sementara di sana, Petunia mengatakan bahwa dia mungkin akan bersama ibu dan ayahnya. Sedang perempuan itu pikirkan.Baik Yonna, Malilah, maupun Akia sebenarnya tak mempermasalahkan, begitupun yang lainnya. Bagaimanapun mereka ikut di bawah ajakan Petunia dan keluarganya.“Aku sudah nggak sabar!”“Sama!”“Pasti akan sangat seru!
Memerlukan waktu cukup lama bagi Yulissa untuk pada akhirnya memberikan izin kepada sang anak, Yonna. Dalam sekali gerakan, perempuan itu mengangguk seraya berdeham. “Kamu bersungguh-sungguh bahwa bukan hanya kalian berdua, benar?” Secepatnya Yonna mengangguk mantap, ini adalah lampu hijau baginya. Mengangkat dua jari telunjuk dari tengahnya, Yonna berkata, “Sungguh, Ma. Yonna berani bersumpah, ini tuh perjalanan regu. Merayakan Hallowen.” Yulissa kembali diam, dia melirik sejenak kepada Bibi. Dia teringat akan percakapan mereka sebelumnya, di mana kabar akan teror yang hanya terjadi di kota ini, sedangkan pada cakupan luar hampir tidak pernah terusik. Mereka berdua sempat kebingungan akan apa yang pelaku teror itu inginkan sehingga mengincar benar penduduk kota ini. Sehingga kini, Yulissa berpendapat di dalam hati, “Jika anakku berada di luar dari kota ini, tidakkah itu memberinya perlindungan secara tidak langsung? Ah, aku berharap begitu. Sungguh, aku takut jika anakku berkelia
"Beneran, Petunia?" Yonna menatap Petunia dengan terkejut, dahinya sampai mengerut, tetapi sorotnya justru ceria. Petunia tersenyum seraya mengangguk. "Be-benar, Yon. Sa-saya mengajak kalian se-semua ikut serta. Papi j-juga sudah setuju, d-dia yakin kalian ad-adalah teman baik saya." Malilah menyeringai senang. "Wih, biaya perjalanan ditanggung atau sendiri-sendiri ini?" Akia yang duduk di sebelah Malilah langsung menyenggol lengan perempuan itu sebagai teguran. Dia tersenyum meringis ke arah Petunia, Akia ingin teman baru mereka tersebut tak memikirkan serius apa yang barusan Malilah katakan. "Malilah hanya bercanda, Petunia. Kamu tidak perlu memikirkannya dengan benar-benar." "Ti-tidak masalah, Kiya. Sa-saya Juga ingin mengatakan i-itu. Papi y-yang akan menanggung semua ke-kebutuhan kalian, kita a-akan tinggal di se-sebuah villa besar. Pa-papi saya sudah me-memesannya khusus re-rencana ini
"Mungkin di dianya kali yang gangguan," balas Malilah acuh tak acuh. Yonna mengangguk mencoba memahami, bisa saja masalah sambungan sebenarnya terdapat pada ponsel Petunia. "Oke, deh. Jadi, fix ini ya, mereka sudah urus?" tanyanya sekali lagi ingin meyakinkan. Mendengar itu, Malilah mengangguk mantap. "Iya, jadi nggak usah lagi pikirin. Kita tinggal tunggu hasil, semoga aja bisa selesai secepatnya." "Semoga. Terus, liburan sekolah gimana?" Yonna berbaring di atas ranjangnya, punggung perempuan itu terasa penat. Malilah mengedikkan bahu, dia juga belum mendengar kabar terbaru mengenai masa libur sekolah. "Nggak tahu, Yon. Kalau diminta sekolah lagi, kayaknya banyak yang belum setuju. Menurutku ya, ini." Mengangguk, Yonna setuju. "Setuju, sih. Soalnya terornya cuma di kota kita. Sedangkan di kota-kota lain, nggak ada kabarnya. Aku jadi heran sendiri, punya dendam apa sih,
Yonna baru selesai membersihkan diri, dia tidak tahan dengan rasa gerah di badan. Luther sudah pulang beberapa menit yang lalu. Beruntung masalah tadi tidak berakhir panjang, dia tidak ingin bila harus bertengkar lagi dengan Luther. Kini, pertengkaran adalah hal yang paling dia hindari.Mengeringkan rambut, Yonna melirik jam di dinding. Pukul setengah tujuh. Dia kembali memandang pantulan wajahnya di cermin. Selama mengarahkan pengering rambut, tanpa sengaja mata Yonna tertuju pada ukulele kecil di belakang. Tampak kaku dan berdebu. Warna asli tidak begitu kelihatan, menampakkan dengan jelas kalau benda tersebut sudah lama tidak tersentuh.Mematikan pengering rambut, Yoona melangkah dan bergerak mengambil ukulele kesayangannya."Aish, aku suda
Memperdalam ciuman, Yonna menggigit kecil bibir Luther. Dari posisi itu, Yonna dapat merasakan senyuman terbit dari bibir kekasihnya.Melepaskan diri, keduanya meraih udara sebanyak mungkin. Dada bergerak naik dan turun. Keringat juga mengalir di pelipisnya masing-masing.Sama-sama menetralkan tatapan yang sayu, Yonna menopangkan dagunya pada pundak Luther. "Kamu beneran sudah nggak marah lagi, 'kan? Nanti sampai di rumah, tahu-tahu diemin aku lagi besoknya.""Nggak. Kenapa mikir gitu?""Kan, siapa tahu." Yonna mencari posisi yang nyaman, tetapi memberi efek yang berbeda terhadap Luther."Shh… Jangan gerak yang aneh-aneh, Cantik. Kalau bangun, gimana?"Terkekeh, Yonna akhirnya diam. "Nggak sengaja."Mengelus punggung Yonna dengan lembut, Luther mengambil remote televisi. Menghidupkan layar besar yang menem
Keluar dari restoran, mereka berencana langsung menuju kantor polisi. "Tu-tunggu, apa tidak m-masalah bila kita me-melaporkan hal ini langsung?" "Kenapa, Ki? Biasanya kan, orang-orang langsung laporan ke sana," ujar Malilah bingung. "Ho-oh, memangnya mau ke mana lagi?" tanya Dovis. "S-saya takut ki-kita dianggap mempermainkan m-mereka." "Jangan takut, Petunia. Maka dari itu bagusnya kita langsung laporan sama mereka, kita kan bawa barang bukti. Kalau tadi lewat telepon, baru deh, mereka berhak curiga." Malilah membenarkan ucapan Yonna. "Betul, tuh. Kalau kita langsung ngomong empat mata, polisi di sana bisa aja nilai sendiri kita ini bohong apa nggak." Petunia mengangguk paham, sebenarnya ia ingin menawarkan untuk menghubungi salah satu aparat yang Papinya kenal. Agar lebih mudah dan nyaman. "Memangnya kamu ingin menggunakan cara apa selain yang tadi, Petunia?" Akia membenarkan letak tas selempangnya. "Sa-