"Ponselku di kamar, Ma. Baterainya habis. Kenapa?"
Yulissa menyerahkan tugas untuk menambahkan choco chips pada biskuit cokelat yang hendak dipanggang berikutnya kepada Yonna.
"Mama lupa memberi tahu kalau nomor telepon Mama sudah berganti."
"Kok, diganti? Tapi ... Waktu itu Yonna telepon, panggilannya masuk, Ma. Cuman tidak diangkat saja."
"Hari itu Mama memang masih menggunakan nomor biasa, tetapi tepat sekitar satu jam sebelum mendapat kabar tentang ayahmu, tas kecil Mama yang berisi ponsel dan uang kes dirampok. Ketika sudah pulang dari pusara kemarin, barulah Mama beli gantinya," jelas Yulissa panjang.
"Ya, ampun. Mama nggak kenapa-kenapa, 'kan? Rampok itu apain Mama? Nggak ada yang luka?" tanya Yonna khawatir, disentuhnya tubuh sang mama untuk memeriksa apakah ada yang luka.
Tersenyum simpul mendapatkan perhatian dari anaknya, Yu
Menjelang waktu malam, Yonna tengah duduk di sofa, menonton berita saat ini. Sekalian ingin menunggu teman-temannya datang, semua jajanan sudah siap. Di grup chat mereka, Malilah berkata kalau mereka merencanakan untuk pesta piama. Walau Akia sempat menahan agar kegiatan itu diundur saja, Yonna menolak saran Akia tersebut. Tidak ada yang salah dengan memakai piama selaras, perang bantal, menikmati film sambil makan bersama. Ia pun, setuju dan memutuskan untuk melakukan semuanya bersama. Bagi Yonna, memang buruk jika kita berlarut dalam duka. Tidak ada yang salah dengan mencoba menghibur diri. Namun, bukan pula itu bermaksud untuk tidak menghargai dia yang sudah tiada. Asal tahu batasan, tidak melakukannya secara berlebihan. Meneguk habis jus jeruk yang tersisa sedikit, Sharmion mengerutkan dahi bingung saat di layar televisi tertera nama sekolah yang sangat tidak asing. SMA
Menampilkan raut tengah berpikir, Yonna mengingat apa yang Rasia katakan mengenai apa ucapan Gisel sebelum nyawanya terenggut."Kamu tadi bilang apa, Yon?" tanya Akia yang tidak begitu mendengar jelas perkataan Yonna."Kalian ingat sama yang aku ceritakan waktu itu, nggak?"Malilah membenarkan membenarkan posisi bantal yang dipeluknya. "Yang mana? Banyak yang sudah kau ceritakan ke kita, tahu! Ngomong yang jelas.""Tentang Pertez," jawab Yonna.Terlihat tertarik, Petunia mendekat saat menangkap tubuh Yonna mulai condong ke depan. Seakan hendak menceritakan satu hal yang begitu rahasia di dalam ruangan penuh, walau kenyataannya tidak ada orang selain mereka berempat di sana."Oh, waktu kita teleponan itu, ya?" terka Malilah."Iya.""Ya-yang mana?" Petunia tidak pernah mendengar Yonna bercerita t
Dengan tergagap, Yonna mencoba melangkah keluar dengan hati-hati. Keadaan rumah begitu gelap, tanpa cahaya setitik pun. "Aish, kenapa aku lupa bawa ponsel tadi?" keluh Yonna, jika ia membawa ponsel dan menggunakan cahaya dari sana, ia pasti dapat melihat lebih mudah. "Ma!" teriak Yonna mencari keberadaan mamanya. Tidak berselang lama setelah panggilan tersebut, lampu di rumah mereka tiba-tiba menyala kembali. Seluruh isi ruangan dapat terlihat, hingga ke bagian sudutnya. "Nak, kamu baik-baik saja?" Yulissa muncul dari arah dapur. "Iya, Ma. Ini kok, tumben lampunya mati? Ada pemadaman listrik bergilir, ya?" "Tidak, Nak. Sepertinya tadi Mama dan bibi menggunakan listrik terlalu banyak, jadinya mati. Tapi tadi Pak Gading sudah menghidupkan kembali listriknya, setelah kami kurangin beberapa perangkat," jelas Yulissa atas apa yang terjadi.
"Kau nggak pernah cerita kalau kau punya fobia juga, Lil," ujar Yonna yang memilih menutup kembali laptopnya."Aku itu selalu mau cerita, tapi nggak tahu kenapa sering lupa. Sebenarnya ini juga aku baru sadari, sekitar tiga bulan lalu."Petunia yang selesai mengirim pesan pada psikiater kenalan papanya, mengubah posisi duduk menjadi lebih dekat dengan mereka. "Ka-kamu fobia apa, M-Malilah?""Hm, katakan!" desak Yonna yang sudah kepalang penasaran."Sini, dekat-dekat. Biar aku cerita," titah Malilah yang langsung dituruti oleh mereka, termasuk Akia."Kami sudah merapat, sekarang waktunya kamu cerita, Lil. Jangan bikin kami penasaran aja," ujar Akia, membuat yang lain mengangguk setuju."Okay, jadi aku itu fobia sama kata-kata yang panjang banget! Banget!"Dahi Yonna mengerut, dibenarkannya ikatan rambutnya yang mulai longgar, l
Pertanyaan Malilah membuat Petunia terdiam sebentar, kemudian perempuan itu pun menggeleng pelan. "Se-sejauh ini, saya be-belum pernah berpikir u-untuk memberontak, L-Lil," jawab Petunia santai. "Kamu juga kenapa bertanya seperti itu, Lilah. Kalau Petunia saja merasa nyaman, dia pasti tidak mungkin menjadi pemberontak." Malilah memajukan bibirnya. "Kan, dia anak papi. Pasti apa kata papinya, dia langsung nurut aja." "Atau sebaliknya," timpal Yonna. "I-iya, te-tetapi kebanyakan saya y-yang ikut kata Papi. Se-sepertinya saya te-terlalu penurut." Petunia pun tertawa kecil. "Kok, kau tahan sih, begitu?" tanya Malilah lagi penasaran, sebab dirinya tidak begitu suka diatur.
"Itu artinya kamu ada rasa kepada Dovis, Lil!" terka Akia yakin. Masih mengelak, Malilah mengayunkan kedua tangannya dengan kuat. "Kupikir itu wajar, Kiya. Kami kan sudah sering bercanda, bertengkar, jadi pas dia tiba-tiba menjauh begini rasanya sesak aja." "Kalau kau awalnya biasa aja ke Dovis, pasti sekarang juga biasa aja. Kecuali kau merasa spesial." "Sebenarnya tidak juga seperti itu," ucap Akia kemudian, "Saya rasa karena kalian begitu dekat, pertemanan kalian berdua sangat akrab, sehingga saat salah satunya menjauh, akan ada sensasi terluka." Menatap Akia malas, Malilah menunjuk perempuan itu. Sebelumnya Akia begitu yakin bila Malilah menyukai Dovis, lantas kini dugaannya tiba-tiba berubah. "Itu yang aku mau coba jelaskan dari tadi, tahu. Kalian malah kekeh bilang aku suka sama Dovi. Bayangin aja, kebiasaan setiap sekolah selalunya dijailin, eh, tiba-tiba jadi kayak orang asing." Malilah memalingkan wajahnya, kembali menatap layar lapto
Menggerakkan kepalanya naik dan turun secara berulang, Akia memiliki pikiran serupa dengan penyampaian Petunia barusan. "Benar, sebaiknya kita tidak melakukan rencana ini sendirian. Ya, dalam artian hanya berisi perempuan. Akan terlalu berbahaya bagi kita, terlebih lagi saya tidak tahu cara terbaik dalam membela diri. Saya tidak tahu apa-apa soal itu." "Aku tahu caranya melawan, tapi cuma dalam mode kepepet. Apa aja yang aku lihat, pasti bakalan bisa jadi alat," serbu Malilah diiringi tawa, lalu detik berikutnya diikuti oleh Yonna. "Kekuatan dari kepepet itu memang luar biasa, Lil. Tapi nggak selamanya akan berhasil, minimal hasilnya sesuai dari yang kita lakuin. Nggak cukup buat ngejaga kita semua." "I-iya, maka dari i-itu saya menawarkan un-untuk mengajak t-teman laki-laki kalian." Petunia menatap Yonna saat berucap kalimat tersebut, ia tahu jika keputusan Yonna cukup berpengaruh. &
Meninggalkan gundukan tanah berisi jasad Karlo, Yonna menggenggam tangan sang mama, menggiring mamanya itu untuk berjalan menuju pintu keluar. Yulissa menyeka air matanya, lalu menatap Yonna yang berucap akan mendatangi pusara wakil kepala sekolahnya bersama sahabat-sahabatnya yang lain. "Setelah ini, kalian hati-hati ya, berkendaranya. Pelan-pelan saja, fokus ke jalanan dan keadaan sekitar. Kalau merasa ada yang aneh, mau itu ada yang mengikuti atau perasaan janggal lainnya, langsung cari perlindungan. Okay?" Yulissa berucap panjang memberi Yonna beserta teman satu sekolah anaknya tersebut wejangan agar sangat berhati-hati. "Iya, Ma. Jangan terlalu khawatir, nggak baik juga untuk kesehatan Mama," balas Yonna lembut. "Pokoknya hati-hati, jaga satu sama alin, ya? Luther," panggil Yulissa menatap si pemilik nama. "Iya, Tante." "Jaga anak Mama, ya? Jangan sampai lepas dari pandangan kamu!" "Ma…." Yonna mencoba mencegah sang mama supaya ti
“Nggak, jangan dulu,” sambut Luther tiba-tiba. “Jangan tembak aku sekarang, tahan senjatamu sampai seenggaknya pagi datang … Sayang. Dengan begini aku masih bisa memastikan kamu selamat sampai meninggalkan tanah terkutuk ini. Aku nggak mungkin meninggalkanmu sebelum semuanya berakhir, tapi … aku pun nggak bisa menghadapi apa yang kamu pikirkan tentangku.”Yonna menangis tersedu-sedu, dia terduduk di tangan sambil menutupi wajahnya yang basah oleh air mata. Dapat dipastikan bahwa malam telah melewati tengah, mungkin sudah hendak mencapai pagi. Mata mereka, hati mereka, kaki, semuanya telah lelah, tak sanggup menahan teror yang semakin menjadi dan menyisakan mereka.Sekonyong-konyong sebuah tepuk tangan tiba-tiba muncul dari belakang sana. Yonna mengangkat wajah dengan bingung, sedangkan Luther membeliakkan mata menatap sosok di belakang Yonna. Laki-laki itu langsung berlari dan menarik Yonna berada di belakangnya.“Kau?” kaget Luther diiringi keterkejutan Yonna.Terkekeh, Petunia terse
Setelah kehadiran bisikan dari penglihatan Peramal itu, tak ada yang tenang. Sampai salah seorang berseru dan menyampaikan bahwa jika mereka ingin selamat, maka ingin tidak ingin apa yang disampaikan Peramal barusan harus dilakukan. Pro dan kontra tidak luput mengambil posisi di antara mereka semua.Ada yang berpikir Luther-lah si pelaku, tetapi ada yang berpendapat orang yang bersikeras menuduh Luther inilah yang telah membunuh Petunia dan kedua orang tuanya. Karena hal itu pula, mereka justru terbagi-bagi menjadi dua regu.Semula mereka berpencar, masih ada di benak bahwa pelakunya tengah bersembunyi dan mengintai. “Aku nggak peduli, siapa pun dia harus kubunuh. Aku masih ingin pulang dari sini hidup-hidup.”Di antara mereka yang menolak bahwa pelakunya Luther, sedang membuat rencana. Mereka takkan berpencar, tetap bersama, tetapi mencoba memahami lokasi yang mungkin saja dijadikan sebagai tempat persembunyian berdasarkan tempat Petunia di bunuh.Akia bersuara, “Bagaimana kalau tern
Siapa yang menyangka bahwa pada hari itu garis takdir mereka berubah drastis. Apa yang sebenarnya hendak ditinggalkan, justru mengejar mereka dari belakang hingga tiba di tempat persinggahan. Yonna, Luther, Malilah, Dovis, Akia, Clovis, dan peserta lain telah ditunggu kehadirannya oleh sebuah teror berdarah.Begitu sampai di tempat yang dimaksud, mereka berbondong-bondong turun menyaksikan pemandangan yang dipenuhi oleh hutan. Terdapat sebuah perumahan kayu yang memuat sejumlah kamar, dan sebuah bangunan tunggal yang disebutkan sebagai gudang. Masing-masing mereka membawa tas memasuki kamar yang sudah dipersiapkan, para perempuan sendiri dan laki-laki sendiri. Sementara di sana, Petunia mengatakan bahwa dia mungkin akan bersama ibu dan ayahnya. Sedang perempuan itu pikirkan.Baik Yonna, Malilah, maupun Akia sebenarnya tak mempermasalahkan, begitupun yang lainnya. Bagaimanapun mereka ikut di bawah ajakan Petunia dan keluarganya.“Aku sudah nggak sabar!”“Sama!”“Pasti akan sangat seru!
Memerlukan waktu cukup lama bagi Yulissa untuk pada akhirnya memberikan izin kepada sang anak, Yonna. Dalam sekali gerakan, perempuan itu mengangguk seraya berdeham. “Kamu bersungguh-sungguh bahwa bukan hanya kalian berdua, benar?” Secepatnya Yonna mengangguk mantap, ini adalah lampu hijau baginya. Mengangkat dua jari telunjuk dari tengahnya, Yonna berkata, “Sungguh, Ma. Yonna berani bersumpah, ini tuh perjalanan regu. Merayakan Hallowen.” Yulissa kembali diam, dia melirik sejenak kepada Bibi. Dia teringat akan percakapan mereka sebelumnya, di mana kabar akan teror yang hanya terjadi di kota ini, sedangkan pada cakupan luar hampir tidak pernah terusik. Mereka berdua sempat kebingungan akan apa yang pelaku teror itu inginkan sehingga mengincar benar penduduk kota ini. Sehingga kini, Yulissa berpendapat di dalam hati, “Jika anakku berada di luar dari kota ini, tidakkah itu memberinya perlindungan secara tidak langsung? Ah, aku berharap begitu. Sungguh, aku takut jika anakku berkelia
"Beneran, Petunia?" Yonna menatap Petunia dengan terkejut, dahinya sampai mengerut, tetapi sorotnya justru ceria. Petunia tersenyum seraya mengangguk. "Be-benar, Yon. Sa-saya mengajak kalian se-semua ikut serta. Papi j-juga sudah setuju, d-dia yakin kalian ad-adalah teman baik saya." Malilah menyeringai senang. "Wih, biaya perjalanan ditanggung atau sendiri-sendiri ini?" Akia yang duduk di sebelah Malilah langsung menyenggol lengan perempuan itu sebagai teguran. Dia tersenyum meringis ke arah Petunia, Akia ingin teman baru mereka tersebut tak memikirkan serius apa yang barusan Malilah katakan. "Malilah hanya bercanda, Petunia. Kamu tidak perlu memikirkannya dengan benar-benar." "Ti-tidak masalah, Kiya. Sa-saya Juga ingin mengatakan i-itu. Papi y-yang akan menanggung semua ke-kebutuhan kalian, kita a-akan tinggal di se-sebuah villa besar. Pa-papi saya sudah me-memesannya khusus re-rencana ini
"Mungkin di dianya kali yang gangguan," balas Malilah acuh tak acuh. Yonna mengangguk mencoba memahami, bisa saja masalah sambungan sebenarnya terdapat pada ponsel Petunia. "Oke, deh. Jadi, fix ini ya, mereka sudah urus?" tanyanya sekali lagi ingin meyakinkan. Mendengar itu, Malilah mengangguk mantap. "Iya, jadi nggak usah lagi pikirin. Kita tinggal tunggu hasil, semoga aja bisa selesai secepatnya." "Semoga. Terus, liburan sekolah gimana?" Yonna berbaring di atas ranjangnya, punggung perempuan itu terasa penat. Malilah mengedikkan bahu, dia juga belum mendengar kabar terbaru mengenai masa libur sekolah. "Nggak tahu, Yon. Kalau diminta sekolah lagi, kayaknya banyak yang belum setuju. Menurutku ya, ini." Mengangguk, Yonna setuju. "Setuju, sih. Soalnya terornya cuma di kota kita. Sedangkan di kota-kota lain, nggak ada kabarnya. Aku jadi heran sendiri, punya dendam apa sih,
Yonna baru selesai membersihkan diri, dia tidak tahan dengan rasa gerah di badan. Luther sudah pulang beberapa menit yang lalu. Beruntung masalah tadi tidak berakhir panjang, dia tidak ingin bila harus bertengkar lagi dengan Luther. Kini, pertengkaran adalah hal yang paling dia hindari.Mengeringkan rambut, Yonna melirik jam di dinding. Pukul setengah tujuh. Dia kembali memandang pantulan wajahnya di cermin. Selama mengarahkan pengering rambut, tanpa sengaja mata Yonna tertuju pada ukulele kecil di belakang. Tampak kaku dan berdebu. Warna asli tidak begitu kelihatan, menampakkan dengan jelas kalau benda tersebut sudah lama tidak tersentuh.Mematikan pengering rambut, Yoona melangkah dan bergerak mengambil ukulele kesayangannya."Aish, aku suda
Memperdalam ciuman, Yonna menggigit kecil bibir Luther. Dari posisi itu, Yonna dapat merasakan senyuman terbit dari bibir kekasihnya.Melepaskan diri, keduanya meraih udara sebanyak mungkin. Dada bergerak naik dan turun. Keringat juga mengalir di pelipisnya masing-masing.Sama-sama menetralkan tatapan yang sayu, Yonna menopangkan dagunya pada pundak Luther. "Kamu beneran sudah nggak marah lagi, 'kan? Nanti sampai di rumah, tahu-tahu diemin aku lagi besoknya.""Nggak. Kenapa mikir gitu?""Kan, siapa tahu." Yonna mencari posisi yang nyaman, tetapi memberi efek yang berbeda terhadap Luther."Shh… Jangan gerak yang aneh-aneh, Cantik. Kalau bangun, gimana?"Terkekeh, Yonna akhirnya diam. "Nggak sengaja."Mengelus punggung Yonna dengan lembut, Luther mengambil remote televisi. Menghidupkan layar besar yang menem
Keluar dari restoran, mereka berencana langsung menuju kantor polisi. "Tu-tunggu, apa tidak m-masalah bila kita me-melaporkan hal ini langsung?" "Kenapa, Ki? Biasanya kan, orang-orang langsung laporan ke sana," ujar Malilah bingung. "Ho-oh, memangnya mau ke mana lagi?" tanya Dovis. "S-saya takut ki-kita dianggap mempermainkan m-mereka." "Jangan takut, Petunia. Maka dari itu bagusnya kita langsung laporan sama mereka, kita kan bawa barang bukti. Kalau tadi lewat telepon, baru deh, mereka berhak curiga." Malilah membenarkan ucapan Yonna. "Betul, tuh. Kalau kita langsung ngomong empat mata, polisi di sana bisa aja nilai sendiri kita ini bohong apa nggak." Petunia mengangguk paham, sebenarnya ia ingin menawarkan untuk menghubungi salah satu aparat yang Papinya kenal. Agar lebih mudah dan nyaman. "Memangnya kamu ingin menggunakan cara apa selain yang tadi, Petunia?" Akia membenarkan letak tas selempangnya. "Sa-