Terbangun dari tidur, Yonna membenarkan letak selimut yang sedikit merosot dari badannya. Hingga kini tubuh keduanya masih tidak tertutupi apa pun selain selembar kain tersebut. Melirik sekilas dari jendela kamar, Yonna menduga kalau langit di luar sudah gelap sepenuhnya. Dirinya merasa nyaman ketika satu tangan Luther masih memeluk erat pinggangnya, dan yang satu lagi sebagai bantalan kepala Yonna.
Menatap wajah tenang Luther saat tertidur, Yonna tersenyum manis mengingat beberapa saat lalu mereka sudah melakukan hubungan yang sangat intim, apalagi ini kali pertama untuknya. Di mana Yonna merasakan perlakuan Luther yang terbilang sangat lembut, sangat mengutamakan kenyamanan Yonna sendiri daripada mengejar kehendak nafsu semata.
Menelusuri tajamnya lonjakan hidung Luther, Yonna memberi tiupan kecil ke kelopak mata pacarnya tersebut dengan pelan.
Tiba-tiba Luther membuka kedua matanya, menahan tang
"Iya, kepala sekolah memberi pesan untuk setiap siswa diliburkan dulu selama masa penyelidikan berlangsung," jelas Luther seadanya. "Tapi, kok, sampai dua minggu?" "Keluarga korban yang minta kasus ini diselidiki dengan teliti dan serius, mangkanya mereka minta sekolah tutup sebentar. Kalau nggak, sekolah yang akan dituntut." "Loh? Iya sih, memang lagi berduka dan kita semua juga terluka apalagi hampir semua murid yang menyaksikan. Tapi, rasanya aneh kalau sekolah yang dituntut." "Aku juga nggak tahu, tapi demi kenyamanan keluarga korban akhirnya kepala sekolah turutin aja. Daripada ribet urusannya." "Hm, betul juga. Pasti Rasia terpukul banget, apalagi mereka sudah kenal lama." Luther merespons dengan dehaman. "Menurut kamu, apa yang mendorong Gisel untuk bertindak senekat itu?" tanya Yonna sambil memakan makanannya.
Ucapan Luther yang ingin menyambung kegiatan mereka sebelumnya hanya candaan semata. Sesampainya di kamar, mereka justru asyik menonton drama dari layar laptop. Sebenarnya Luther tidak begitu tertarik, dia lebih suka bermain game, tetapi demi menemani Yonna dia ikut menonton dan malah terbawa suasana. Pasalnya, kini hanya Luther seorang yang masih terjaga di tengah malam menonton episode terakhir drama tersebut, sedangkan Yonna sudah tertidur pulas dalam pelukannya. Dia tidak menyangka sebuah drama bisa semenarik itu untuk disaksikan, Yonna memang tidak salah dalam memilih judul. Setelah cerita berakhir, Luther mematikan layar laptop. Menyisihkan ke atas nakas, dan memperbaiki letak kepala Yonna. Mata perempuan itu bengkak, karena menangis. Meskipun Yonna mengaku dirinya menangis karena menyaksikan salah satu adegan di drama, Luther paham bahwa bukan itu alasan sebenarnya. "Kamu jangan ke mana-mana, di
Mendengar teriakan melengking nyaring, mereka bertiga langsung menghadap ke sumber suara. Di sana, di luar pintu masuk restoran, seorang wanita terlihat berjongkok sembari melindungi bayi di dalam gendongan. Tepat tak jauh dari wanita tersebut, berdiri seorang pria dengan pakaian serba hitam. Bagian wajah tertutup masker, topi jaket, dan setiap masing-masing tangan terbungkus oleh kaus. "Ada apa ini?" tanya Yonna kebingungan. Akia sebagai karyawan di restoran tersebut mengambil langkah maju, bermaksud mendekati wanita dengan bayi di gendongannya. Tetapi seorang pramusaji laki-laki menahan tangan Akia untuk berhenti. "Kita harus membantunya, menanyakan apa yang terjadi," ucap Akia penuh khawatir. Sekali lagi wanita itu berteriak, makin keras. Sang bayi pun turut menangis. "Lepaskan!" Akia menghempaskan tangannya.
Tak jauh dari mobil yang menabrak penembak, motor Luther berhenti mendadak ikut kaget saat kendaraan di sampingnya melempar tubuh seseorang dengan jauh. Mengetahui di mana dia berhenti, Luther menolehkan kepalanya cepat ke arah kiri. Di mana restoran tempat Yonna berkumpul berada. Mengerutkan keningnya, Luther kebingungan menyaksikan keadaan restoran yang terlihat berbeda. Sebuah mobil kepolisian di belakangnya pun memarkirkan diri di depan restoran. Seisi pengunjung restoran berlari keluar, Luther melihat beberapa di antara mereka langsung menaiki kendaraan tetapi ditahan oleh petugas polisi. Khawatir dengan keadaan Yonna, Luther ikut parkir ke depan restoran, berlari masuk dan mendapati pacarnya berdiri sambil menggendong bayi. Terkejut melihat ada mayat, Luther meraih lengan Yonna. "Kamu nggak papa?" "Nggak papa, cuma syok aja," jawab Yonna lemah. "Sebenarnya a
Merasa pergerakannya tertahan, Luther melirik tangan Yonna yang satunya ditahan oleh Malilah. "Kenapa?" "Tadi Yonna datang ke sini bareng aku, berarti pulangnya juga bareng aku!" "Siapa yang buat aturan itu?" "Aku!" Malilah meletakkan kedua tangannya di pinggang. "He-em. Aku tadi ke sini sama Malilah, masa pulangnya diantar kamu? Nggak adil." "Kan, nggak salah?" "Iya, nggak salah tapi bisa jadi salah. Aku juga nggak mau. Lagian kamu 'kan, mau ambil pesanan mama kamu. Pasti Tante sudah menunggu, kamu duluan aja. Aku sama Malilah." Meratakan dahinya yang sempat berkerut, Luther akhirnya setuju. Usai meminta agar Malilah hati-hati dalam mengemudi, Luther melenggang pergi ke luar restoran lebih dahulu. "Hati-hati!" tukas Yonna. "Kau masih di sini, Ki?" tanya Malilah sambi
Tak lama setelah mereka memutuskan sambungan, ponsel Yonna kembali mendapatkan sebuah panggilan masuk. Kali ini benar dari Malilah. "Lagi teleponan sama Luther, ya?" tebak Malilah begitu saja dalam panggilan grup mereka. "Bukan, tadi Rasia yang telepon." "Hah? Rasia?" tanya Malilah kaget, Akia pun terdengar menanyakan hal yang sama. "Iya, dia nanya tentang penembakan di restoran tadi, soal ibunya Gisel. Rasia mau cari kebenarannya, takut yang tersebar itu palsu atau salah orang." "Pasti Rasia kaget, kemarin sahabatnya, sekarang ibu dari sahabatnya yang meninggal. Saya tidak bisa membayangkan betapa terlukanya Rasia waktu dengan berita ini." "Ho-oh, apalagi cara mereka kehilangan nyawa nggak ada yang masuk akal. Sadis semua," tambah Malilah. "Eh! Mulutmu lemas banget, Lil," tegur Yonna. "Kenapa?" tanya
Yonna menekan-nekan tombol remote control dengan malas, ia tidak menemukan satu pun tayangan televisi yang menarik untuk dinikmati. Melempar pengendali jarak jauh itu ke sudut sofa, Yonna membuang napas panjang. "Nggak ada yang menarik untuk ditonton, nih? Aish!" Bibi datang membawa segelas jus jeruk, meletakkannya di atas meja. "Nggak ada, Non. Zaman sekarang susah cari tayangan yang berkualitas, aneh-aneh sekarang, mah." "Bi," panggil Yonna, tetapi matanya melirik sebuah ponsel yang terletak tak jauh dari gelas. "Iya, Non?" "Kenapa Mama belum ada kasih kabar, ya?" "Mungkin, Bu Yulissa sedang rehat dari penggunaan ponsel, Non. Kan, kalau Bu Yulissa main ponsel terus, dia bisa ingat tentang Bapak." "Yonna telepon juga nggak aktif nomornya, berarti benar rehat dari ponselnya ya, Bi?" "Iya, N
"Arghh!" Luther menggeram. Tubuh Yonna bergetar karena tangisan, ia masih setia dengan posisi duduk di lantai. Menatap Luther, Yonna meraih ujung baju laki-laki tersebut. "Luther, aku mohon sama kamu. Tolong, percaya aku! Aku nggak punya rasa apa pun sama dia. Iya, salahku karena menerima tawaran pelukan itu, jadi aku mohon maaf! Maafkan aku, Luther. Ya?" bujuk Yonna. "Mungkin kamu nggak punya perasaan sama dia sekarang, tapi gimana kalau besok? Setiap dia datang ke sini, memberi perhatian lebih, apa kamu nggak akan tertarik sama dia?" "Nggak akan, Luther! Serius! Aku cuma suka sama kamu! Selamanya akan begitu! Dugaan kamu nggak akan pernah terwujud! Nanti aku yang akan minta Clovis buat nggak pernah datang ke sini lagi, aku akan ngomong sama dia. Tapi, berhenti marah, ya?" "Dia itu suka sama kamu!" teriak Luther, berkata jujur.