Ucapan Luther yang ingin menyambung kegiatan mereka sebelumnya hanya candaan semata. Sesampainya di kamar, mereka justru asyik menonton drama dari layar laptop. Sebenarnya Luther tidak begitu tertarik, dia lebih suka bermain game, tetapi demi menemani Yonna dia ikut menonton dan malah terbawa suasana.
Pasalnya, kini hanya Luther seorang yang masih terjaga di tengah malam menonton episode terakhir drama tersebut, sedangkan Yonna sudah tertidur pulas dalam pelukannya. Dia tidak menyangka sebuah drama bisa semenarik itu untuk disaksikan, Yonna memang tidak salah dalam memilih judul.
Setelah cerita berakhir, Luther mematikan layar laptop. Menyisihkan ke atas nakas, dan memperbaiki letak kepala Yonna. Mata perempuan itu bengkak, karena menangis. Meskipun Yonna mengaku dirinya menangis karena menyaksikan salah satu adegan di drama, Luther paham bahwa bukan itu alasan sebenarnya.
"Kamu jangan ke mana-mana, di
Mendengar teriakan melengking nyaring, mereka bertiga langsung menghadap ke sumber suara. Di sana, di luar pintu masuk restoran, seorang wanita terlihat berjongkok sembari melindungi bayi di dalam gendongan. Tepat tak jauh dari wanita tersebut, berdiri seorang pria dengan pakaian serba hitam. Bagian wajah tertutup masker, topi jaket, dan setiap masing-masing tangan terbungkus oleh kaus. "Ada apa ini?" tanya Yonna kebingungan. Akia sebagai karyawan di restoran tersebut mengambil langkah maju, bermaksud mendekati wanita dengan bayi di gendongannya. Tetapi seorang pramusaji laki-laki menahan tangan Akia untuk berhenti. "Kita harus membantunya, menanyakan apa yang terjadi," ucap Akia penuh khawatir. Sekali lagi wanita itu berteriak, makin keras. Sang bayi pun turut menangis. "Lepaskan!" Akia menghempaskan tangannya.
Tak jauh dari mobil yang menabrak penembak, motor Luther berhenti mendadak ikut kaget saat kendaraan di sampingnya melempar tubuh seseorang dengan jauh. Mengetahui di mana dia berhenti, Luther menolehkan kepalanya cepat ke arah kiri. Di mana restoran tempat Yonna berkumpul berada. Mengerutkan keningnya, Luther kebingungan menyaksikan keadaan restoran yang terlihat berbeda. Sebuah mobil kepolisian di belakangnya pun memarkirkan diri di depan restoran. Seisi pengunjung restoran berlari keluar, Luther melihat beberapa di antara mereka langsung menaiki kendaraan tetapi ditahan oleh petugas polisi. Khawatir dengan keadaan Yonna, Luther ikut parkir ke depan restoran, berlari masuk dan mendapati pacarnya berdiri sambil menggendong bayi. Terkejut melihat ada mayat, Luther meraih lengan Yonna. "Kamu nggak papa?" "Nggak papa, cuma syok aja," jawab Yonna lemah. "Sebenarnya a
Merasa pergerakannya tertahan, Luther melirik tangan Yonna yang satunya ditahan oleh Malilah. "Kenapa?" "Tadi Yonna datang ke sini bareng aku, berarti pulangnya juga bareng aku!" "Siapa yang buat aturan itu?" "Aku!" Malilah meletakkan kedua tangannya di pinggang. "He-em. Aku tadi ke sini sama Malilah, masa pulangnya diantar kamu? Nggak adil." "Kan, nggak salah?" "Iya, nggak salah tapi bisa jadi salah. Aku juga nggak mau. Lagian kamu 'kan, mau ambil pesanan mama kamu. Pasti Tante sudah menunggu, kamu duluan aja. Aku sama Malilah." Meratakan dahinya yang sempat berkerut, Luther akhirnya setuju. Usai meminta agar Malilah hati-hati dalam mengemudi, Luther melenggang pergi ke luar restoran lebih dahulu. "Hati-hati!" tukas Yonna. "Kau masih di sini, Ki?" tanya Malilah sambi
Tak lama setelah mereka memutuskan sambungan, ponsel Yonna kembali mendapatkan sebuah panggilan masuk. Kali ini benar dari Malilah. "Lagi teleponan sama Luther, ya?" tebak Malilah begitu saja dalam panggilan grup mereka. "Bukan, tadi Rasia yang telepon." "Hah? Rasia?" tanya Malilah kaget, Akia pun terdengar menanyakan hal yang sama. "Iya, dia nanya tentang penembakan di restoran tadi, soal ibunya Gisel. Rasia mau cari kebenarannya, takut yang tersebar itu palsu atau salah orang." "Pasti Rasia kaget, kemarin sahabatnya, sekarang ibu dari sahabatnya yang meninggal. Saya tidak bisa membayangkan betapa terlukanya Rasia waktu dengan berita ini." "Ho-oh, apalagi cara mereka kehilangan nyawa nggak ada yang masuk akal. Sadis semua," tambah Malilah. "Eh! Mulutmu lemas banget, Lil," tegur Yonna. "Kenapa?" tanya
Yonna menekan-nekan tombol remote control dengan malas, ia tidak menemukan satu pun tayangan televisi yang menarik untuk dinikmati. Melempar pengendali jarak jauh itu ke sudut sofa, Yonna membuang napas panjang. "Nggak ada yang menarik untuk ditonton, nih? Aish!" Bibi datang membawa segelas jus jeruk, meletakkannya di atas meja. "Nggak ada, Non. Zaman sekarang susah cari tayangan yang berkualitas, aneh-aneh sekarang, mah." "Bi," panggil Yonna, tetapi matanya melirik sebuah ponsel yang terletak tak jauh dari gelas. "Iya, Non?" "Kenapa Mama belum ada kasih kabar, ya?" "Mungkin, Bu Yulissa sedang rehat dari penggunaan ponsel, Non. Kan, kalau Bu Yulissa main ponsel terus, dia bisa ingat tentang Bapak." "Yonna telepon juga nggak aktif nomornya, berarti benar rehat dari ponselnya ya, Bi?" "Iya, N
"Arghh!" Luther menggeram. Tubuh Yonna bergetar karena tangisan, ia masih setia dengan posisi duduk di lantai. Menatap Luther, Yonna meraih ujung baju laki-laki tersebut. "Luther, aku mohon sama kamu. Tolong, percaya aku! Aku nggak punya rasa apa pun sama dia. Iya, salahku karena menerima tawaran pelukan itu, jadi aku mohon maaf! Maafkan aku, Luther. Ya?" bujuk Yonna. "Mungkin kamu nggak punya perasaan sama dia sekarang, tapi gimana kalau besok? Setiap dia datang ke sini, memberi perhatian lebih, apa kamu nggak akan tertarik sama dia?" "Nggak akan, Luther! Serius! Aku cuma suka sama kamu! Selamanya akan begitu! Dugaan kamu nggak akan pernah terwujud! Nanti aku yang akan minta Clovis buat nggak pernah datang ke sini lagi, aku akan ngomong sama dia. Tapi, berhenti marah, ya?" "Dia itu suka sama kamu!" teriak Luther, berkata jujur.
"Argh!" Yonna membanting ponselnya dengan keras ke sudut kamar. Sudah lebih dari tiga hari, tetapi Luther tidak kunjung menghubunginya. Pesan-pesan yang Yonna kirimkan tidak dibalas, bahkan panggilan telepon pun tidak diangkat. "Kan! Bukannya istirahat, hubungan kita malah sekarat! Ini yang aku nggak mau, Luther! Ini!" Yonna tidak berhenti mengacak-acak rambutnya. Setiap hari Yonna berusaha makan tepat waktu, menjaga kesehatan dirinya. Memaksa makan, walau sebenarnya Yonna sendiri tidak dapat merasakan kenikmatan makanan dengan baik. Semuanya terasa hambar, bahkan meminum air gula sekalipun, tidak ada manis-manisnya. "Luther, kumohon! Datang, datang, datang!" Yonna mengintip dari jendela kamarnya, berharap Luther akan berada di luar rumahnya. "Nggak mungkin hubungan kita berakhir, nggak mungkin! Aku nggak mau, Luther. Aku nggak mau," monolog Yonna sembari me
"Astaga, Nona? Apa yang terjadi?" kaget bibi ketika membukakan pintu yang diketuk. "Nggak papa, Bi. Semuanya sudah baik-baik saja," ujar Luther yang tidak ingin membuat bibi ikut khawatir. "Aduh, mangkanya Bibi tadi merasa nggak enak. Kalau tahu gini, Bibi larang Nona keluar malam-malam." "Nggak papa, Bi. Tolong ambilkan air putih." Luther membawa Yonna duduk di sofa, masih dengan posisi yang saling memeluk. "Jangan kaya gitu lagi, ya?" pinta Luther lembut. "Maaf. Aku memang bodoh, suka ambil keputusan mendadak, suka mengejar risiko-" "Sstt! Nggak boleh ngomong gitu, cantik. Kamu nggak bodoh, semua itu nggak bener. Okay?" "Tapi-" "Sudah." Luther melirik bibi yang datang membawakan air putih, "Minum dulu," pintanya kemudian. "Jangan ke mana-mana," taha
“Nggak, jangan dulu,” sambut Luther tiba-tiba. “Jangan tembak aku sekarang, tahan senjatamu sampai seenggaknya pagi datang … Sayang. Dengan begini aku masih bisa memastikan kamu selamat sampai meninggalkan tanah terkutuk ini. Aku nggak mungkin meninggalkanmu sebelum semuanya berakhir, tapi … aku pun nggak bisa menghadapi apa yang kamu pikirkan tentangku.”Yonna menangis tersedu-sedu, dia terduduk di tangan sambil menutupi wajahnya yang basah oleh air mata. Dapat dipastikan bahwa malam telah melewati tengah, mungkin sudah hendak mencapai pagi. Mata mereka, hati mereka, kaki, semuanya telah lelah, tak sanggup menahan teror yang semakin menjadi dan menyisakan mereka.Sekonyong-konyong sebuah tepuk tangan tiba-tiba muncul dari belakang sana. Yonna mengangkat wajah dengan bingung, sedangkan Luther membeliakkan mata menatap sosok di belakang Yonna. Laki-laki itu langsung berlari dan menarik Yonna berada di belakangnya.“Kau?” kaget Luther diiringi keterkejutan Yonna.Terkekeh, Petunia terse
Setelah kehadiran bisikan dari penglihatan Peramal itu, tak ada yang tenang. Sampai salah seorang berseru dan menyampaikan bahwa jika mereka ingin selamat, maka ingin tidak ingin apa yang disampaikan Peramal barusan harus dilakukan. Pro dan kontra tidak luput mengambil posisi di antara mereka semua.Ada yang berpikir Luther-lah si pelaku, tetapi ada yang berpendapat orang yang bersikeras menuduh Luther inilah yang telah membunuh Petunia dan kedua orang tuanya. Karena hal itu pula, mereka justru terbagi-bagi menjadi dua regu.Semula mereka berpencar, masih ada di benak bahwa pelakunya tengah bersembunyi dan mengintai. “Aku nggak peduli, siapa pun dia harus kubunuh. Aku masih ingin pulang dari sini hidup-hidup.”Di antara mereka yang menolak bahwa pelakunya Luther, sedang membuat rencana. Mereka takkan berpencar, tetap bersama, tetapi mencoba memahami lokasi yang mungkin saja dijadikan sebagai tempat persembunyian berdasarkan tempat Petunia di bunuh.Akia bersuara, “Bagaimana kalau tern
Siapa yang menyangka bahwa pada hari itu garis takdir mereka berubah drastis. Apa yang sebenarnya hendak ditinggalkan, justru mengejar mereka dari belakang hingga tiba di tempat persinggahan. Yonna, Luther, Malilah, Dovis, Akia, Clovis, dan peserta lain telah ditunggu kehadirannya oleh sebuah teror berdarah.Begitu sampai di tempat yang dimaksud, mereka berbondong-bondong turun menyaksikan pemandangan yang dipenuhi oleh hutan. Terdapat sebuah perumahan kayu yang memuat sejumlah kamar, dan sebuah bangunan tunggal yang disebutkan sebagai gudang. Masing-masing mereka membawa tas memasuki kamar yang sudah dipersiapkan, para perempuan sendiri dan laki-laki sendiri. Sementara di sana, Petunia mengatakan bahwa dia mungkin akan bersama ibu dan ayahnya. Sedang perempuan itu pikirkan.Baik Yonna, Malilah, maupun Akia sebenarnya tak mempermasalahkan, begitupun yang lainnya. Bagaimanapun mereka ikut di bawah ajakan Petunia dan keluarganya.“Aku sudah nggak sabar!”“Sama!”“Pasti akan sangat seru!
Memerlukan waktu cukup lama bagi Yulissa untuk pada akhirnya memberikan izin kepada sang anak, Yonna. Dalam sekali gerakan, perempuan itu mengangguk seraya berdeham. “Kamu bersungguh-sungguh bahwa bukan hanya kalian berdua, benar?” Secepatnya Yonna mengangguk mantap, ini adalah lampu hijau baginya. Mengangkat dua jari telunjuk dari tengahnya, Yonna berkata, “Sungguh, Ma. Yonna berani bersumpah, ini tuh perjalanan regu. Merayakan Hallowen.” Yulissa kembali diam, dia melirik sejenak kepada Bibi. Dia teringat akan percakapan mereka sebelumnya, di mana kabar akan teror yang hanya terjadi di kota ini, sedangkan pada cakupan luar hampir tidak pernah terusik. Mereka berdua sempat kebingungan akan apa yang pelaku teror itu inginkan sehingga mengincar benar penduduk kota ini. Sehingga kini, Yulissa berpendapat di dalam hati, “Jika anakku berada di luar dari kota ini, tidakkah itu memberinya perlindungan secara tidak langsung? Ah, aku berharap begitu. Sungguh, aku takut jika anakku berkelia
"Beneran, Petunia?" Yonna menatap Petunia dengan terkejut, dahinya sampai mengerut, tetapi sorotnya justru ceria. Petunia tersenyum seraya mengangguk. "Be-benar, Yon. Sa-saya mengajak kalian se-semua ikut serta. Papi j-juga sudah setuju, d-dia yakin kalian ad-adalah teman baik saya." Malilah menyeringai senang. "Wih, biaya perjalanan ditanggung atau sendiri-sendiri ini?" Akia yang duduk di sebelah Malilah langsung menyenggol lengan perempuan itu sebagai teguran. Dia tersenyum meringis ke arah Petunia, Akia ingin teman baru mereka tersebut tak memikirkan serius apa yang barusan Malilah katakan. "Malilah hanya bercanda, Petunia. Kamu tidak perlu memikirkannya dengan benar-benar." "Ti-tidak masalah, Kiya. Sa-saya Juga ingin mengatakan i-itu. Papi y-yang akan menanggung semua ke-kebutuhan kalian, kita a-akan tinggal di se-sebuah villa besar. Pa-papi saya sudah me-memesannya khusus re-rencana ini
"Mungkin di dianya kali yang gangguan," balas Malilah acuh tak acuh. Yonna mengangguk mencoba memahami, bisa saja masalah sambungan sebenarnya terdapat pada ponsel Petunia. "Oke, deh. Jadi, fix ini ya, mereka sudah urus?" tanyanya sekali lagi ingin meyakinkan. Mendengar itu, Malilah mengangguk mantap. "Iya, jadi nggak usah lagi pikirin. Kita tinggal tunggu hasil, semoga aja bisa selesai secepatnya." "Semoga. Terus, liburan sekolah gimana?" Yonna berbaring di atas ranjangnya, punggung perempuan itu terasa penat. Malilah mengedikkan bahu, dia juga belum mendengar kabar terbaru mengenai masa libur sekolah. "Nggak tahu, Yon. Kalau diminta sekolah lagi, kayaknya banyak yang belum setuju. Menurutku ya, ini." Mengangguk, Yonna setuju. "Setuju, sih. Soalnya terornya cuma di kota kita. Sedangkan di kota-kota lain, nggak ada kabarnya. Aku jadi heran sendiri, punya dendam apa sih,
Yonna baru selesai membersihkan diri, dia tidak tahan dengan rasa gerah di badan. Luther sudah pulang beberapa menit yang lalu. Beruntung masalah tadi tidak berakhir panjang, dia tidak ingin bila harus bertengkar lagi dengan Luther. Kini, pertengkaran adalah hal yang paling dia hindari.Mengeringkan rambut, Yonna melirik jam di dinding. Pukul setengah tujuh. Dia kembali memandang pantulan wajahnya di cermin. Selama mengarahkan pengering rambut, tanpa sengaja mata Yonna tertuju pada ukulele kecil di belakang. Tampak kaku dan berdebu. Warna asli tidak begitu kelihatan, menampakkan dengan jelas kalau benda tersebut sudah lama tidak tersentuh.Mematikan pengering rambut, Yoona melangkah dan bergerak mengambil ukulele kesayangannya."Aish, aku suda
Memperdalam ciuman, Yonna menggigit kecil bibir Luther. Dari posisi itu, Yonna dapat merasakan senyuman terbit dari bibir kekasihnya.Melepaskan diri, keduanya meraih udara sebanyak mungkin. Dada bergerak naik dan turun. Keringat juga mengalir di pelipisnya masing-masing.Sama-sama menetralkan tatapan yang sayu, Yonna menopangkan dagunya pada pundak Luther. "Kamu beneran sudah nggak marah lagi, 'kan? Nanti sampai di rumah, tahu-tahu diemin aku lagi besoknya.""Nggak. Kenapa mikir gitu?""Kan, siapa tahu." Yonna mencari posisi yang nyaman, tetapi memberi efek yang berbeda terhadap Luther."Shh… Jangan gerak yang aneh-aneh, Cantik. Kalau bangun, gimana?"Terkekeh, Yonna akhirnya diam. "Nggak sengaja."Mengelus punggung Yonna dengan lembut, Luther mengambil remote televisi. Menghidupkan layar besar yang menem
Keluar dari restoran, mereka berencana langsung menuju kantor polisi. "Tu-tunggu, apa tidak m-masalah bila kita me-melaporkan hal ini langsung?" "Kenapa, Ki? Biasanya kan, orang-orang langsung laporan ke sana," ujar Malilah bingung. "Ho-oh, memangnya mau ke mana lagi?" tanya Dovis. "S-saya takut ki-kita dianggap mempermainkan m-mereka." "Jangan takut, Petunia. Maka dari itu bagusnya kita langsung laporan sama mereka, kita kan bawa barang bukti. Kalau tadi lewat telepon, baru deh, mereka berhak curiga." Malilah membenarkan ucapan Yonna. "Betul, tuh. Kalau kita langsung ngomong empat mata, polisi di sana bisa aja nilai sendiri kita ini bohong apa nggak." Petunia mengangguk paham, sebenarnya ia ingin menawarkan untuk menghubungi salah satu aparat yang Papinya kenal. Agar lebih mudah dan nyaman. "Memangnya kamu ingin menggunakan cara apa selain yang tadi, Petunia?" Akia membenarkan letak tas selempangnya. "Sa-