"Dek, Ke-kenapa kamu ada di sini?" tanya Damar gelagapan.
Tentu saja dia tidak mempersiapkan apapun untuk menghadapi kedatangan Tiara yang tiba-tiba. Dia bahkan tidak tahu kalau Tiara bisa mengetahui keberadaannya. Karena selama ini lelaki itu bisa bermain dengan cantik dan Tiara tak pernah curiga apapun tentangnya."Kenapa aku ada di sini? Harusnya aku yang yang bertanya padamu, Mas kenapa bisa ada di sini? Bukankah tadi kamu pamitnya mau keluar kota? Oh, apa ini tugas dari bosmu yang katanya harus lakukan perjalanan bisnis lama beberapa hari itu?" Tiara menatap nyalang suaminya yang terlihat gelisah.Damar berusaha untuk meraih tubuh Tiara namun wanita itu berusaha untuk menghindar. Tidak, sebelum semuanya jelas siapa wanita itu."Dek, dengerin Mas dulu. Ayo kita keluar Mas akan jelaskan semuanya," bujuk Damar pada wanita yang dia nikahi dua tahun yang lalu."Tidak. Katakan saja di sini, Mas! Kenapa harus keluar? Oh ... apa kamu takut kalau wanita itu terbangun dan melihatku ada di sin?" Tiara tersenyum sinis.Dengan gerakan cepat Ibu satu anak itu mendekati ranjang pasien yang di atasnya tergeletak seorang wanita dengan wajah sangat pucat. Tiara menatap wanita itu dengan tatapan tajam. Hatinya bergejolak membayangkan suaminya memiliki wanita lain selain dirinya.Damar melangkah mendekati Tiara lalu memegang kedua pundak istri yang sudah memberinya seorang anak itu dan mencoba untuk membawanya keluar. Namun laki-laki Tiara menolak sentuhan suaminya."Jangan sentuh aku Mas!"Gurat kecewa terlihat jelas di wajah Damar. Istrinya wanita yang selama ini iya sayangi dan ia cintai tiba-tiba menolak sentuhannya. Tentu saja Damar tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi kemarahan Tiara yang biasanya lemah lembut."Dek, tenangkan dirimu. Ayo kita bicara!" Damar berucap selimut mungkin agar Tiara tidak merasa diduakan.Sementara Dina hanya bisa bungkam di pojok ruangan menyaksikan drama sahabat tercintanya. Wanita itu juga tidak percaya dengan apa yang terlihat di depan mata. Selama ini Tiara selalu membangga-banggakan suaminya pada Dina dan itu cukup membuat Dina tahu kalau Damar adalah sosok yang lembut dan penyayang.Tiara memejamkan mata, menghirup udara banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang tiba-tiba sesak. Dalam hati ia terus beristighfar agar kemarahan tidak menguasai dirinya. Ya dia harus mendengar penjelasan suaminya supaya kesalahpahaman ini tidak berlarut-larut. Namun satu sisi dia takut mendengar fakta yang akan membuatnya kecewa dan sakit hati.Perlahan Tiara berjalan menuju sofa yang ada di pojok ruangan. Menjatuhkan bobot tubuhnya lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Bahu wanita itu terguncang hebat menandakan betapa sesak adanya menanggung semua ini.Damar menyusul. Jangan lembut iya mengelus punggung Tiara dengan menggunakan tangan kanan sedang tangan kirinya menggenggam jemari Tiara yang sudah berada di atas pangkuan."Dek, maaf kalau sudah membuatmu kecewa." Damar menjeda kalimatnya, menunggu respon dari Tiara.Sayangnya Ibu dari anaknya itu memilih untuk tetap bungkam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Meski hal itu menguntungkan baginya karena dia bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, tapi diabaikan seperti ini juga membuat hati Damar seperti disayat-sayat."Maaf kalau Mas nggak bisa jujur sama kamu, Dek. Mas nggak bisa melihatmu kecewa jika mendengar kenyataannya," lirih Damar.Spontan Tiara menatap suaminya dengan tatapan tajam. Seolah dari sorot matanya itu mampu mencabik-cabik jantung Damar."Itu artinya kamu menyembunyikan sesuatu yang besar dariku, Mas? Tega kamu, Mas! Kupikir kamu seorang imam yang sempurna. Imam yang senantiasa melindungi dan menjaga hati istrinya. Nyatanya kamu sudah menorehkan luka yang teramat dalam di hatiku."Tiara benar-benar kecewa pada suaminya. Selama ini dia terlalu percaya dengan mulut manis Damar yang selalu membuatnya mabuk kepayang. Laki-laki yang sayangnya suaminya itu sudah membuat dirinya jatuh hati sedalam-dalamnya. Namun di saat yang sama dia juga menorehkan luka yang teramat dalam."Aku punya alasan yang kuat untuk menyembunyikan ini, Dik. Makanya nggak ingin kamu terluka. Kamu pasti tidak akan bisa menerima emas kalau Mas jujur sama kamu!" jelas Damar.Lelaki tu tidak sadar kalau ucapannya sudah membuat Tiara penasaran."Jadi benar selama ini kamu membohongiku, Mas?" lirih Tiara.Air mata Ibu satu anak itu sudah menganak sungai di pipinya. Hidung mancungnya memerah dan sepasang matanya yang jernih berubah menjadi merah saking banyaknya air mata yang tumpah. Entah mimpi apa dia semalam hingga disuguhi oleh kenyataan pahit seperti ini."Maaf," ulang Damar."Sekarang kamu jujur, Mas siapa wanita itu?" teriak Tiara membuat pasien yang menjadi perdebatan pasangan suami istri itu membuka matanya. Pertama kali pemandangan yang ia lihat adalah pertengkaran antara Damar dan Tiara."Dek, pelankan suaramu! Ini di rumah sakit. Jangan sampai security masuk untuk mengusirmu karena sudah mengganggu ketenangan para pasien di rumah sakit ini," ucap Damar gemas dengan Tiara yang sudah dikendalikan.Biasanya Tiara selalu menurut padanya. Perangainya yang lembut dan tutur katanya yang sopan membuat Damar jatuh cinta. Namun kini Tiara seolah menjadi pribadi yang lain yang bertolak belakang dengan sifat aslinya."Kenapa memangnya? Apa Mas takut kalau perempuan itu bangun dan mengetahui keberadaanku di sini? Atau jangan-jangan dia juga tidak tahu kalau Mas sudah punya anak dan istri?" Tiara menatap sinis suaminya.Entah bagaimana lagi cara Damar mengendalikan istrinya yang sedang kalap ini. Dia benar-benar tidak memiliki ide untuk mengendalikannya. Pasalnya selama ini Tiara tidak pernah berbuat seperti ini."Dek, please ... jangan seperti ini. Tiara yang aku kenal orangnya lemah lembut dan tidak mudah emosi. Tolong kendalikan dirimu, Dek," mohon Damar."Ya, itu dulu. Sebelum aku mengetahui kebusukanmu, Mas! Menurutmu apa aku masih bisa seperti dulu sementara kamu sudah membohongiku, Mas? Kamu sudah menodai kepercayaanku. Kamu sudah menorehkan luka dalam hatiku." Tiara tergugu.Wanita itu kembali menangis dengan menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan. Saat Damar hendak memeluknya lagi wanita itu kembali menepisnya."Jangan sentuh aku, Mas! Tolong, jangan sentuh aku!" pinta Tiara dengan tatapan terluka.Tak hanya Tiara, Damar juga merasakan luka yang sama ketika melihat kondisi Tiara yang seperti ini."Tiara? Kamu datang? Akhirnya kamu datang?" Tiara mendadak merinding mendengar suara itu.Wanita yang berbaring di atas ranjang itu mengenal dirinya? Apa dia saja yang selama ini seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa? Perlahan Tiara menoleh pada sosok yang tersenyum padanya."Kalian jangan bertengkar lagi!" ucap wanita itu. "Bukan Mas Damar yang salah, Ra. Kalau ada yang perlu dipersalahkan di sini adalah aku," lanjut wanita itu dengan suara lemah.Tanpa aba-aba Tiara bangkit dan berjalan menuju ranjang pasien. Tatapannya tak pernah lepas dari wajah pucat yang memandangnya dengan tatapan teduh itu."Kamu siapa?" tanya Tiara.Wanita dengan balutan gamis dan kerudung bertali itu masih menatap tajam pada sosok wanita yang terbaring lemah di atas ranjang pasien. Menunggu penjelasan dari wanita itu."Bisakah kalian tinggalkan kami berdua dulu? Kami perlu bicara, Mas," ucap wanita itu.Meski agak heran Tiara membiarkan saja suami dan sahabatnya keluar. Jika Damar tidak mau menjelaskan semuanya dia berharap wanita ini yang menggantikannya. Melihat kondisinya yang sudah sangat lemah Tiara yakin wanita ini tidak akan mampu untuk berbohong."Kamu yakin?" tanya Damar khawatir.Tentu saja pria itu takut kalau terjadi perdebatan antara dua wanita itu. Mengingat saat ini Tiara sedang dikuasai oleh emosi. Sedangkan sosok satunya tidak bisa berbuat apa-apa dalam kondisi yang sangat lemah. Dia takut Tiara akan berbuat nekat yang bisa membuat wanita lainnya semakin ngedrop."Apa kamu juga tidak percaya sama aku, Mas?" tanya wanita tersebut.Dengan berat hati Damar keluar diikuti oleh Dina di belakangnya. Sebelum pintu bena
Tiara terus berlari menuju jalan Raya mencari taksi yang bisa mengantarkan dirinya untuk pulang. Tepat saat sebuah taksi berhenti di depan Tiara, Dina sahabatnya memanggilnya."Tiara! Kamu mau kemana?" Dina berlari mendekati Tiara. Wanita itu khawatir Tiara akan berbuat nekat dengan melakukan sesuatu yang tidak-tidak. Ia langsung menutup kembali pintu taksi sebelum Tiara benar-benar masuk."Kamu mau ke mana, Ra? Jangan pergi dalam kondisi seperti ini. Ayo kita ke sana dulu agar kamu tenang." Dina menunjuk sebuah cafe yang masih buka di seberang jalan."Tidak, Din anakku di rumah sendirian. Aku harus pulang." Tiara kembali membuka pintu taksi dan masuk meninggalkan sahabat. Dina tak mau terjadi apa-apa di jalan sehingga gadis itu ikut masuk menemani Tiara pulang."Aku temani kamu pulang, ya?" Tiara mengangguk.Sepanjang jalan tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Tiara. Ibu satu anak itu memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Semua bayangan kebersamaan dengan sua
Mau tidak mau Damar bergegas ke rumah orang tuanya. Peringatan yang diberikan oleh mamanya melalui telepon barusan membuat pria itu tidak tenang dan terpaksa harus meninggalkan rela di rumah sakit sendiri. Sebelum pergi Damar menitipkan Lela pada perawat jaga yang sudah sangat mengenalnya.Menjadi pasien di rumah sakit itu Lela akhirnya dikenal oleh para dokter dan perawat yang sering menanganinya. Itulah sebabnya Damar selalu bisa menyembunyikan rahasianya selama ini. Dengan kecepatan tinggi Damar mengendarai mobilnya menuju ke rumah kedua orang tuanya.Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 malam saat lelaki itu memasuki rumah mewah milik kedua orang tuanya. Rupanya wanita yang melahirkannya ke dunia ini 30 tahun yang lalu sudah menunggu di ruang tamu. "Ada apa, Ma kenapa malam-malam begini menyuruhku datang ke sini?" tanya Damar sembari mencium tangan mamanya.Wanita berusia 50 tahun itu memasang wajah garang. Tatapannya pada Damar terlihat sangat tidak bersahabat. "Bagaimana Tiara
Tiara menatap sahabatnya dengan tatapan sendu. Lalu beralih pada buah hatinya yang mengerjap-ngerjap lucu. Ia peluk Ara erat-erat dalam dekapannya, berharap semua rasa sakit yang ia rasa sekarang terobati."Tiara, aku bukannya mau bela siapa-siapa. Aku juga nggak ada niat mengusirmu dari sini. Aku senang bisa membantumu. Tapi ... aku juga nggak mau melihatmu seperti ini. Aku yakin kamu paham seorang wanita bersuami tidak boleh keluar rumah tanpa izin. Apa tidak sebaik-""Aku tahu!" sahut Tiara cepat. Aku ... akan pulang," putus Tiara akhirnya. Setelah memikirkan masalah yang membeli rumah tangganya selama beberapa hari ini akhirnya Tiara memutuskan untuk pulang sementara demi anaknya. Dia masih butuh klarifikasi dari suamiya. Meski dalam hati merasa kecewa tapi Tiara tidak mau hawa nafsunya menang.Tiara bukanlah wanita yang tidak paham hukum syariat sama sekali. Bahkan orang tuanya senantiasa menasehatinya agar tidak mempertirutkan hawa nafsu. Dina tersenyum mendengar jawaban sahab
Tiara memasuki rumah yang selama ini ia tinggali bersama Damar. Lelaki yang selalu memperlakukan dirinya bak ratu sekaligus menorehkan luka mendalam karena memiliki wanita lain dalam hidupnya. Menghela nafas panjang, Tiara memindai seluruh ruangan yang penuh kenangan. Tak terasa air mata mengalir membasahi pipi. Setiap sudut ruangan ini menyimpan banyak kenangan. Entah apa yang terjadi selanjutnya dalam hidup Tiara. Mampukah dia menjalani kehidupan rumah tangga seperti ini? Sekali lagi Tiara menarik nafas panjang. Mengisi paru-parunya dengan udara sebanyak-banyaknya agar sesak yang menghimpit dada perlahan memudar. Sentuhan lembut dari tangan mungil Ara membuat wanita itu tersadar. Dalam sedihnya, ia mengulas senyum untuk sang buah hati tercinta. Dia tak mau putri kecilnya yang masih kecil ikut merasakan kesedihan yang ia rasa. "Ibu sudah pulang? Rumah ini sangat sepi tanpa Ibu," ucap Marni, ART yang mengurusi seluruh kebersihan rumah ini. "Bibik, apa Bapak pernah pulang selama sa
Setelah salat subuh Tiara menyibukkan diri di dapur. Meskipun dia sedang tak ingin berbicara dengan suaminya tapi wanita itu tetap berusaha untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Yang membuat sarapan kesukaan suami dan anaknya. Setelah semalaman berpikir Tiara memutuskan untuk mencoba menjalani kehidupan ini lebih dulu. Jika dia kuat bertahan maka dia akan terus berada di sisi suaminya tapi jika dia sudah nggak kuat maka dia akan memilih untuk menyerah. Menu sarapan pagi sudah terhidang di atas meja makan. Damar tersenyum senang melihat sang istri sudah kembali menjalankan rutinitasnya. Rumah yang beberapa hari ini terasa begitu sunyi tanpa kehadiran Tiara sekarang mulai terasa hangat karena wanita yang menjadi ratu di rumah itu sudah kembali. Damar menatap punggung Tiara dengan perasaan tak menentu. berbagai rasa bercampur aduk di dalam hatinya saat ini. Ingin mendekat tapi ada rasa segan setelah sang istri mengetahui rahasianya. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya
Dalam kebimbangan, Damar melirik sang istri yang tampak acuh tak acuh. Sesuai perjanjian dengan Lela bahwa dia tak akan menghubungi Damar jika posisi suaminya itu sedang bersama Tiara. Namun telepon ini membuat lelaki itu berada di persimpangan jalan. Di satu sisi dia ingin meyakinkan Tiara kalau dirinya mampu bersikap adil pada dua istrinya. Namun di sisi lain ada kekhawatiran kalau-kalau terjadi sesuatu pada Lela. Pasalnya wanita itu tidak akan pernah berani menghubungi dirinya jika sedang bersama dengan Tiara. Cukup lama ponsel Damar menjerit-jerit minta diangkat. Namun pria itu tetap bergeming karena tak ingin kepercayaan Tiara padanya semakin hilang. "Kenapa nggak diangkat, Mas? Bagaimana kalau istri tercintamu sedang membutuhkan kamu saat ini?" sarkas Tiara.Sungguh Damar sempat terkesiap dengan cara Tiara bertutur yang mulai berubah. Namun pikirannya ia tepis jauh-jauh karena ia yakin perubahan Tiara karena kecewa. Ya, dia tahu pasti kalau wanita yang mengisi sebagian ruang
Kini penyakit Lela sudah demikian parah. Kanker rahim yang dideritanya sudah menggerogoti tubuh. Menyebar ke organ-organ lain bahkan sampai ke paru-paru. Kemoterapi yang dia jalani tidak menyembuhkan sama sekali, hanya menghambat penyebaran agar tidak semakin meluas. Tubuh wanita itu juga semakin kurus karena makanan yang masuk ke dalam lambung terus menerus dimuntahkan kembali. Efek kemoterapi dan radiasi membuat rambutnya rontok hingga tak tersisa. Namun ketegaran dan keikhlasannya dalam menerima takdir ini sangat luar biasa. Bahkan dia masih terlihat kuat meski suaminya tak lagi fokus pada dirinya karena ada wanita lain yang harus diberi waktu dan perhatian yang sama. Bahkan porsinya bmlebih banyak dengan wanita yang berstatus madunya itu lantaran ada anak yang selama ini sangat didambakan oleh sang suami dan mertuanya. Jika ditanya kenapa Lela begitu iklhas berbagi suami dengan wanita lain yang lebih muda dan cantik, jawabnya karena dia sadar diri. Sebagai wanita dia sudah tak b
Ucapan Tania terus terngiang-ngiang di kepala Tiara. Wanita itu tak bisa mengabaikan kalimat yang sederhana tapi sangat mengerikan jika dipahami dengan benar. Ya, dia terlalu gegabah dengan pergi tanpa pamit. Ia yakin saat ini suami dan mertuanya pasti sudah sadar kalau dirinya pergi. "Tapi ... kalau memang Mas Damar sudah menyadari kalau aku pergi, kenapa tidak ada usaha untuk mencariku? Apa dia terlalu sibuk dengan istrinya sampai tidak butuh aku? Ah, bukankah aku sendiri yang memilih untuk mundur?" Tiara berperang dengan batinnya sendiri. Satu sisi dia kasihan pada madunya dan bertekad untuk tidak kembali ke rumah, tapi di sisi lain dia takut dosa karena pergi tanpa pamit. Perlahan wanita yang baru memiliki satu buah hati itu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian dia kembali dengan wajah yang segar karena terkena air wudhu. Selanjutnya Tiara menggelar sajadah dan menunaikan qiyamul lail dengan khusyuk. Mohon petunjuk kepada Allah agar
Damar spontan berdiri. Menghadang salah satu perawat yang ikut berlari. "Suster, ada apa?" tanya Damar cemas. Tak bisa dipungkiri, hati Damar disapu badai kecemasan. Di dalam ruang ICU hanya ada 2 pasien dan salah satunya Lela. Meski demikian ia berharap bukan istrinya yang saat ini sedang dalam kondisi bahaya."Pasien atas nama Nyonya Lela mengalami henti nafas," jawab perawat sambil berlalu. Seperti disambar petir mendengar jawaban itu. Mendadak tubuh Damar limbung. Lututnya terasa lemas. Bobot tubuhnya tak mampu ditopang oleh dua kakinya yang gemetar. Pria beristri dua itu ambruk dan bersimpuh di lantai. "Allah, jangan kau panggil Lelaki secepat ini. Aku belum bisa membahagiakannya ya Allah. Aku masih ingin melihatnya akur dengan Tiara."Damar menjambaki rambutnya sendiri. Walau ia tau saat seperti ini pasti akan tiba, tapi tetap saja ia belum siap saat tiba-tiba Lela meninggalkannya. Dalam hati lelaki tampan itu berharap sang istri pertama bisa bertahan."Sayang, bukankah kamu
Tiara menyingkap sedikit korden untuk mengetahui siapa gerangan yang mengetuk pintu. Dahinya mengernyit melihat sosok wanita tak dikenal berada di depan pintu rumah kontrakannya. Dengan sedikit ragu-ragu Tiara membuka pintu. "Ya? Cari siapa ya, Mbak?" tanya Tiara seramah mungkin. Wanita berhijab maroon yang berdiri di depan pintu mengulas senyum. Menatap Tiara teduh lalu mengucap salam. "Maaf, Mbak kalau menganggu. Kenalkan saya Rania, tinggal di seberang jalan. Saya dengar dari Abi ada tetangga baru jadi saya ke sini untuk mengenalkan diri." Wanita itu mengulurkan tangan pada Tiara.Tiara menyambut uluran tangan itu lalu ikut tersenyum. "Mari masuk! Maaf saya belum sempat berkenalan dengan para tetangga di sini. Tapi saya sudah lapor pak RT." Tiara menyilakan tamunya duduk di sofa yang sudah tersedia sebagai fasilitas dari rumah kontrakan ini. Beruntung Tiara mendapatkan rumah kontrakan yang nyaman dan sudah lengkap dengan perabotannya. Meskipun minimalis, tapi Tiara merasa beta
Damar membulatkan kedua matanya. Meski wanita yang sedang berjuang antara hidup dan mati itu sudah beberapa kali meminta untuk berpisah karena penyakitnya, tetap saja ketika permintaan talak itu kembali diucapkan rasa kesal bercampur kaget tetap ada."Jangan memaksaku untuk melakukan apa yang tidak ingin kulakukan, Sayang. Please, tak bisakah kamu fokus saja pada kesembuhanmu?" Damar menatap nanar pada wajah pucat di hadapannya. Lela melengos. Tak sanggup menatap wajah sendu suaminya. Lelaki yang sampai detik ini masih teramat ia cintai meskipun sudah memiliki istri lain. Lela tak pernah mempermasalahkan pernikahan kedua suamiya karena memang dirinyalah yang menginginkan sang suami menikah lagi. Sebagai penyitas kanker stadium akhir, Lela tak ingin lelaki yang menjadi prioritas utama dalam hidupnya itu sibuk mengurusnya sedangkan dirinya sendiri tidak ada yang mengurus. Dia juga sadar bahwa selamanya tidak akan mampu memberikan keturunan bahkan sekadar memberikan haknya pun tidak ma
Akhir-akhir ini Tiara lebih banyak menghabiskan waktu di kamar putri kecilnya. Dia selalu menghindari Damar ketika pria itu berada di rumah. Namun begitu semua kebutuhan suamiya tetap ia siapkan. Seperti baju kerja, sarapan, maupun lainnya. Hanya saja Tiara akan bergerak cepat memilihkan baju kerja saat suaminya tengah mandi. Lalu semuanya akan siap ketika lelaki itu selesai mandi dan sudah tidak mendapati sang istri di kamarnya lagi. Seperti pagi ini, Damar memandangi setelan baju kerja yang sudah siap di atas kasur. Lalu kaos kaki, dasi, sepatu dan jam tangan yang juga sudah siap di tempatnya. Hembusan nafas kasar terdengar dari mulut lelaki yang memiliki dua istri tersebut. Dia sangat merindukan saat-saat Tiara menyambut paginya dengan senyum merekah dan ucapan selamat pagi. Wajah wanita itu akan terlihat berseri-seri saat melayani suaminya. Namun kini semua itu sudah tak bisa dirasakan Damar lagi sejak ketahuan kalau dirinya memiliki istri lain selain Tiara. Tak ingin terlihat
Setiap kata yang diucapkan oleh mama mertua barusan terus terngiang di telinga Tiara. Wanita itu tak bisa membayangkan andai dirinya berada di posisi Lela. Di saat ia membutuhkan dukungan untuk menemani hari-hari terakhirnya, justru penolakan dari mertua dan keluarga suaminya. Tiara membelokkan mobilnya kembali ke rumah sakit. Alasan terlalu lama meninggalkan Ara hanya alibi untuk bisa terbebas dari mertuanya yang terus menghina dan menjelekkan Lela. Walau dirinya juga masih belum bisa menerima kenyataan tentang rumah tangganya, tapi Tiara mencoba untuk tidak egois."Mungkin ini terakhir kalinya aku bisa berbuat baik padanya. Andai benar ia akan segera menghadap Yang Maha Kuasa, aku bisa memberinya kesan terbaik padanya," gumam Tiara. Tiara berjalan dengan langkah berat menuju kamar rawat Lela. Dalam hati ia berdoa semoga suaminya sudah tidak ada di sana karena ia ingin berbicara berdua saja dengan Lela. Tepat saat dia berbelok ke lorong yang menghubungkan kamar rawat Lela, lelaki
Tiara menatap sosok pria yang saat ini tengah berjalan menuju arah yang sama dengannya. Untuk sesaat otaknya berpikir apakah benar dia mengenal pria itu. "Kamu benar-benar lupa sama aku?" tanya pria berwajah blesteran itu. Sebenarnya Tiara malas meladeni pria tersebut. Pasalnya saat ini dia sedang terburu-buru memenuhi panggilan mama mertuanya. Ditambah lagi suasana hatinya yang tengah kacau membuat ia enggan untuk menanggapi pria tersebut."Maaf," ucap Tiara singkat lalu pergi menuju ke arah mobilnya sendiri. Pria itu hendak mengejar Tiara tapi melihat gelagat wanita berhijab itu yang sedang terburu-buru dan tampak tak ingin diganggu ia memilih untuk mengurungkan niatnya. Toh dia yakin suatu saat bisa pertama kembali. Tak butuh waktu lama bagi Tiara untuk melajukan mobilnya di jalanan yang cukup ramai karena waktu yang menunjukkan jam istirahat para pekerja kantor. Namun sebisa mungkin Tiara tetap fokus pada jalanan meski pikirannya terus terang ini yang dengan ucapan Lela yang
Dengan air mata terus berlinang Tiara tugas menuju ke mobilnya setelah menitipkan Ara pada baby sitternya. Tujuan wanita itu adalah Rumah sakit tempat di mana Lela dirawat saat ini.Meskipun ia merasa kecewa dengan fakta yang baru saja ia ketahui tapi hati nurani Tiara tetap tak bisa mengabaikan pesan Lela yang baru saja ia baca. Pikirannya terus berkecamuk memikirkan hal-hal yang belum tentu akan terjadi. Wanita berhijab itu menghilang nafas panjang lalu membuangnya perlahan. Ia lakukan hal itu berulang-ulang sampai rasa sesak di dalam dada perlahan mulai longgar. "Aku nggak mau menyesal kalau sampai terjadi apa-apa sama wanita itu. Mungkin ini kesempatan terakhirku untuk bertemu dengan. Mungkin juga dia punya pesan penting sehingga ingin bertemu denganku," gumam Tiara.Sambil sesekali menyusut air matanya yang terus mengalir Tiara terus mengendalikan setir agar mobil tetap berjalan di jalurnya. Semua prasangka mulai saling tumpang tindih di dalam benaknya. Terlebih jika mengingat
"Dek, Mas berangkat kerja dulu, ya?" pamit Damar. Tiara hanya mengangguk sebagai jawaban. Wanita itu berubah menjadi irit bicara sejak beberapa hari terakhir. Damar menghela nafas pasrah. Inginnya sang istri melepas kepergiannya seperti biasa dengan senyum ceria dan untaian do'a. Namun lelaki itu harus sadar diri karena telah menorehkan luka pada wanitanya. Terlalu menuntut banyak hanya akan membuatnya kehilangan, sehingga ia memilih untuk pasrah dengan sikap Tiara yang berubah.Tiara menyodorkan tangan untuk menyalami suaminya lalu mencium tangan itu seperti biasa. Damar mengulas senyum teduhnya pada sang istri tercinta meski ekspresi wanita itu masih tetap datar. Ia pikir wanita yang telah melahir putri kecil untuknya itu tak bersedia lagi untuk menyentuhnya walau sekadar bersalaman seperti ini. Damar mengulurkan tangan hendak mengelus puncak kepala Tiara seperti biasa tapi wanita itu segera mundur sehingga tangan lelaki tersebut hanya mengambang di udara. 'Baiklah, rasanya terl