Ethan mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu tersenyum dengan simpati, meskipun di dalam hatinya masih ada sedikit kebingungan tentang bagaimana ia bisa menemukan makanan khas Bora Bora di San Francisco.“Bora Bora, ya? Hmm...”“Ya,” angguk Elara. “Aku juga ingin Mahi Mahi panggang dengan saus vanili Tahiti. Mahi Mahi adalah hidangan ikonik di Bora Bora. Itu ikan laut segar dipanggang sempurna dan disiram saus vanili yang manis dan gurih. Ah, aku sudah bisa merasakannya di ujung lidahku.”Ethan menyimak dengan seksama. Ia terdiam sejenak, berpikir keras. Lalu, Ethan menekan sebuah tombol pada panel kendali mobil."Leacy, cari restoran yang menyajikan Poisson Cru di sekitar San Francisco," perintahnya kepada perangkat canggih yang tertanam di mobilnya, sebuah asisten virtual yang dirancang untuk menjawab pertanyaan apa pun dan membantu navigasi.Leacy, dengan suara lembut namun jelas, menjawab setelah beberapa detik. "Saya menemukan beberapa restoran Polinesia di sekitar area Anda y
Malam itu, Mansion Grand Haven tampak megah seperti biasa, tapi suasana di sekitar berubah drastis.Lampu-lampu sorot terang menembus gelap, menyoroti setiap sudut halaman rumah, menciptakan bayangan-bayangan panjang dari kendaraan eksekusi yang memenuhi pekarangan.Hujan yang mengguyur dengan deras semakin menambah dramatis situasi. Air menggenang di mana-mana, membasahi para petugas yang datang untuk melaksanakan tugas mereka.Udara terasa tegang, dan suara sirine menggema di seluruh area.Di depan gerbang mansion, situasi semakin memanas.Pintu gerbang besar yang dulu selalu tampak anggun kini tertutup rapat oleh sekumpulan pengawal.Sekumpulan tim keamanan Lenora Ellworth berdiri dengan tegap, berusaha menghalangi petugas pengadilan yang membawa perintah resmi untuk penyitaan rumah.Mereka mengenakan pakaian hitam lengkap dengan perlengkapan keamanan, berusaha keras menghalangi para petugas untuk masuk.Perdebatan sengit terjadi di sana.Wajah mereka tegang, tangan menggenggam sen
Ruangan kamar mewah dengan tirai tebal dan dinding berwarna lembut tampak hangat dalam balutan cahaya lampu temaram.Di atas ranjang king-size yang empuk, Arion Ellworth, CEO yang biasanya dingin dan tegas, akhir-akhir ini memang tampak sangat berbeda.Ia berbaring santai dengan kepalanya bersandar lembut di atas paha istrinya, Elara. Wajahnya yang biasanya keras kini terlihat damai, penuh kehangatan.Elara mengusap rambutnya dengan lembut, seakan ingin memastikan setiap sentuhan terasa nyaman bagi pria yang telah menjadi suaminya itu.Mereka baru saja selesai menonton sebuah film romantis yang menguras emosi.Film itu tentang cinta sejati yang bertahan meski menghadapi berbagai rintangan hidup.Mata Arion masih terarah pada layar televisi yang kini menunjukkan credit scene, sementara pikirannya melayang-layang dalam keheningan.Elara memperhatikan perubahan pada suaminya—mata Arion terlihat merah, bibirnya sedikit menipis seolah menahan emosi yang sulit diungkapkan.Wanita cantik ber
"Keperawananmu untukku, atau.. kau menyerah atas nyawa nenekmu." Pria bermata kelabu itu menatap tanpa sorot emosi dan segera setelahnya udara dingin menyeruak dalam ruangan di mana ia dan seorang gadis berkacamata bulat berada."A-apa?""Kau tidur denganku, atau kau biarkan wanita tua itu mati. Pilihanmu.""Kau! Kau memang pria brengsek! Manusia kejam!!" Gadis itu memekik marah.Tangannya yang memegang berkas dari Rumah Sakit tempat neneknya dirawat, gemetar hebat.Saat ini neneknya membutuhkan transfusi darah Rh-Null dengan segera, atau ia akan tidak tertolong.Dan pria di hadapannya ini, satu-satunya orang yang ia ketahui saat ini --detik ini, memiliki darah dengan golongan yang sama.Sekitar satu jam setengah yang lalu, Elara menerima kabar dari pihak rumah sakit, bahwa neneknya mengalami kecelakaan.Elara yang saat itu tengah berada di kampus, bergegas datang ke rumah sakit tempat neneknya dilarikan.“Bagaimana nenek saya, Dok?” tanya Elara panik ketika tiba di ruang IGD dan bert
Elara berdiri di depan rumah besar berlantai dua di hadapannya. Tidak ada pilihan lain bagi Elara saat ini, selain meminta bantuan dari ayah tirinya, Tony White. Ia masuk dan tepat di depan sana, di ruang keluarga, ia bisa melihat Tony dan Tina --adiknya, duduk bersantai. “Kamu baru pulang heh?!” Suara lengkingan memekakkan telinga, langsung menggema seantero ruangan. Elara menghentikan langkah dan menoleh pada wanita yang mengeluarkan suara melengking, Tina Palmer --bibi tiri Elara. Wanita paruh baya itu memang tidak pernah menyukai kehadiran Elara dalam keluarga White. Elara hanya menatap datar sang bibi, ia tidak bisa menghabiskan waktu berdebat dengan Tina, sementara neneknya memerlukan penanganan segera. Ia pun memutar langkah, mendekati ayah tirinya. “Ayah…” Elara berhenti di samping Tony duduk. “Aku butuh bantuan ayah.” “Hah! Benar-benar anak tak tahu diri!” umpat Tina. “Dari kecil sudah merepotkan, sekarang pun masih ingin merepotkan!” “Bantuan apa?” Suara dalam Tony
04:55 sore. Rasa sesak itu benar-benar terasa menghimpit di dada Elara. Ia baru saja menemukan dirinya memang berada di jalan buntu. Setelah penandatanganan satu berkas, Elara mendapatkan sejumlah uang --cukup banyak, dari ayah tirinya. Namun saat ia mengutarakan maksudnya pada pihak Rumah Sakit, ia tidak mendapatkan jawaban sesuai harapannya. Meskipun tadi Elara mengatakan bersedia membayar mahal pada pihak Rumah Sakit untuk darah neneknya, pihak Rumah Sakit menolak mentah-mentah. Mereka mengatakan tidak mampu mencari atau mendapatkan darah Rh-Null dalam waktu sesingkat itu. Itu darah yang langka. Bahkan jika pun ditemukan, pihak lain telah lebih dulu membelinya dengan harga sangat tinggi. Elara membuang napas beratnya. Ia kini berdiri di depan pintu ruangan yang sama. Kamar dengan angka 707 di atasnya. Itu bangsal di Rumah Sakit tempat nenek-nya dirawat. Tapi bukan bangsal milik sang nenek. Melainkan milik pria yang memiliki golongan darah langka, yang sama seperti nenek nya.
Sungguh Elara telah pasrah.Tangannya yang memegang akta pernikahan, sedikit bergetar.Demi Tuhan, dirinya masih muda dan memiliki begitu banyak mimpi serta hal-hal yang ingin ia lakukan. Tapi saat ini, ia telah menjadi istri seseorang.Elara melirik pria yang berdiri di sampingnya yang tengah menerima telepon.Pria itu kembali mengenakan pakaian proyek yang tadi siang Elara lihat. Namun itu sama sekali tidak mampu menutupi kharisma misterius pria tersebut.Wajah tampannya terlalu angkuh. Dengan rupa sempurna seperti itu --meski ia mengenakan pakaian lusuh sekalipun, wanita mana yang tidak terhipnotis oleh pesonanya? Elara terkesiap, pria itu telah mengakhiri teleponnya dan menoleh pada Elara.“Aku kerja dulu. Mulai hari ini ada satu mulut lagi yang harus kuberi makan. Kau. Setelah selesai urusanku, aku akan kembali ke Rumah Sakit. Sekarang aku akan mengantarmu dulu kembali ke sana.” Tanpa berjeda, pria itu berkata pada Elara. “Tidak perlu. Aku akan pergi sendiri. Kau urus saja ker
“Nenek! Tidaak! Bangun Nek! Kumohon! Jangan tinggalkan aku! Neneek…!” Ratapan pilu Elara terdengar begitu menyayat hati.Tubuhnya membungkuk, memeluk tubuh kaku sang nenek di atas brankar yang telah ditutupi selimut hingga muka.Rasa sakit yang bagai mengiris seluruh sisa jiwa dan harapan dalam dirinya, membuat Elara tak henti memohon dalam tangis.“Neneek…”Ia tidak ingin ditinggalkan seperti ini.Ia sudah tidak memiliki siapapun lagi.Bagaimana ia akan merasa rela ditinggalkan begitu saja oleh seseorang yang paling memerhatikan dan tulus menyayangi dirinya, setelah mendiang ibunya?“Kami telah berusaha semaksimal yang kami bisa, maaf kami tidak bisa menolongnya,” Seorang dokter berkata untuk kesekian kalinya pada Elara, sebelum ia akhirnya meninggalkan bangsal tempat Elara dan tubuh kaku Nyonya Willow berada.Elara tidak lagi menanggapi dokter tadi, karena ia telah menghujani dokter itu dengan puluhan, bahkan ratusan pertanyaan mengapa tindakan operasi yang dilakukan justru membuat