#Dua 2 dulu ya.... Follow Inst4gram Author @reef.is.me untuk visual mereka dan juga informasi buku selanjutnya Author. See you Senin!
"Keperawananmu untukku, atau.. kau menyerah atas nyawa nenekmu." Pria bermata kelabu itu menatap tanpa sorot emosi dan segera setelahnya udara dingin menyeruak dalam ruangan di mana ia dan seorang gadis berkacamata bulat berada."A-apa?""Kau tidur denganku, atau kau biarkan wanita tua itu mati. Pilihanmu.""Kau! Kau memang pria brengsek! Manusia kejam!!" Gadis itu memekik marah.Tangannya yang memegang berkas dari Rumah Sakit tempat neneknya dirawat, gemetar hebat.Saat ini neneknya membutuhkan transfusi darah Rh-Null dengan segera, atau ia akan tidak tertolong.Dan pria di hadapannya ini, satu-satunya orang yang ia ketahui saat ini --detik ini, memiliki darah dengan golongan yang sama.Sekitar satu jam setengah yang lalu, Elara menerima kabar dari pihak rumah sakit, bahwa neneknya mengalami kecelakaan.Elara yang saat itu tengah berada di kampus, bergegas datang ke rumah sakit tempat neneknya dilarikan.“Bagaimana nenek saya, Dok?” tanya Elara panik ketika tiba di ruang IGD dan bert
Elara berdiri di depan rumah besar berlantai dua di hadapannya. Tidak ada pilihan lain bagi Elara saat ini, selain meminta bantuan dari ayah tirinya, Tony White. Ia masuk dan tepat di depan sana, di ruang keluarga, ia bisa melihat Tony dan Tina --adiknya, duduk bersantai. “Kamu baru pulang heh?!” Suara lengkingan memekakkan telinga, langsung menggema seantero ruangan. Elara menghentikan langkah dan menoleh pada wanita yang mengeluarkan suara melengking, Tina Palmer --bibi tiri Elara. Wanita paruh baya itu memang tidak pernah menyukai kehadiran Elara dalam keluarga White. Elara hanya menatap datar sang bibi, ia tidak bisa menghabiskan waktu berdebat dengan Tina, sementara neneknya memerlukan penanganan segera. Ia pun memutar langkah, mendekati ayah tirinya. “Ayah…” Elara berhenti di samping Tony duduk. “Aku butuh bantuan ayah.” “Hah! Benar-benar anak tak tahu diri!” umpat Tina. “Dari kecil sudah merepotkan, sekarang pun masih ingin merepotkan!” “Bantuan apa?” Suara dalam Tony
04:55 sore. Rasa sesak itu benar-benar terasa menghimpit di dada Elara. Ia baru saja menemukan dirinya memang berada di jalan buntu. Setelah penandatanganan satu berkas, Elara mendapatkan sejumlah uang --cukup banyak, dari ayah tirinya. Namun saat ia mengutarakan maksudnya pada pihak Rumah Sakit, ia tidak mendapatkan jawaban sesuai harapannya. Meskipun tadi Elara mengatakan bersedia membayar mahal pada pihak Rumah Sakit untuk darah neneknya, pihak Rumah Sakit menolak mentah-mentah. Mereka mengatakan tidak mampu mencari atau mendapatkan darah Rh-Null dalam waktu sesingkat itu. Itu darah yang langka. Bahkan jika pun ditemukan, pihak lain telah lebih dulu membelinya dengan harga sangat tinggi. Elara membuang napas beratnya. Ia kini berdiri di depan pintu ruangan yang sama. Kamar dengan angka 707 di atasnya. Itu bangsal di Rumah Sakit tempat nenek-nya dirawat. Tapi bukan bangsal milik sang nenek. Melainkan milik pria yang memiliki golongan darah langka, yang sama seperti nenek nya.
Sungguh Elara telah pasrah.Tangannya yang memegang akta pernikahan, sedikit bergetar.Demi Tuhan, dirinya masih muda dan memiliki begitu banyak mimpi serta hal-hal yang ingin ia lakukan. Tapi saat ini, ia telah menjadi istri seseorang.Elara melirik pria yang berdiri di sampingnya yang tengah menerima telepon.Pria itu kembali mengenakan pakaian proyek yang tadi siang Elara lihat. Namun itu sama sekali tidak mampu menutupi kharisma misterius pria tersebut.Wajah tampannya terlalu angkuh. Dengan rupa sempurna seperti itu --meski ia mengenakan pakaian lusuh sekalipun, wanita mana yang tidak terhipnotis oleh pesonanya? Elara terkesiap, pria itu telah mengakhiri teleponnya dan menoleh pada Elara.“Aku kerja dulu. Mulai hari ini ada satu mulut lagi yang harus kuberi makan. Kau. Setelah selesai urusanku, aku akan kembali ke Rumah Sakit. Sekarang aku akan mengantarmu dulu kembali ke sana.” Tanpa berjeda, pria itu berkata pada Elara. “Tidak perlu. Aku akan pergi sendiri. Kau urus saja ker
“Nenek! Tidaak! Bangun Nek! Kumohon! Jangan tinggalkan aku! Neneek…!” Ratapan pilu Elara terdengar begitu menyayat hati.Tubuhnya membungkuk, memeluk tubuh kaku sang nenek di atas brankar yang telah ditutupi selimut hingga muka.Rasa sakit yang bagai mengiris seluruh sisa jiwa dan harapan dalam dirinya, membuat Elara tak henti memohon dalam tangis.“Neneek…”Ia tidak ingin ditinggalkan seperti ini.Ia sudah tidak memiliki siapapun lagi.Bagaimana ia akan merasa rela ditinggalkan begitu saja oleh seseorang yang paling memerhatikan dan tulus menyayangi dirinya, setelah mendiang ibunya?“Kami telah berusaha semaksimal yang kami bisa, maaf kami tidak bisa menolongnya,” Seorang dokter berkata untuk kesekian kalinya pada Elara, sebelum ia akhirnya meninggalkan bangsal tempat Elara dan tubuh kaku Nyonya Willow berada.Elara tidak lagi menanggapi dokter tadi, karena ia telah menghujani dokter itu dengan puluhan, bahkan ratusan pertanyaan mengapa tindakan operasi yang dilakukan justru membuat
“Aku benar-benar minta maaf, El!” Jeanne mendekap erat tubuh Elara dan berulang kali mengatakan penyesalan, permintaan maaf serta belasungkawa kepada Elara.“Tidak apa, J.”“Apanya yang tidak apa!” Jeanne tergugu mendengar jawaban Elara. “Aku seharusnya berada di samping mu saat kau melalui itu semua kemarin. Aku benar-benar minta maaf!”Gadis teman dekat Elara itu baru saja kembali dari luar kota dan ia menerima berita duka dari Elara tentang neneknya.Yang lebih menyedihkan lagi untuk Jeanne, saat mendengar dari Elara bahwa anggota keluarga White tidak satu pun yang hadir pada pemakaman itu.Jeanne adalah salah satu yang mengetahui bahwa Elara bukanlah anak kandung Tony White, dan satu-satunya yang mengetahui serta melihat sendiri perlakuan keluarga White yang kurang manusiawi terhadap Elara.Sekali waktu ia pernah berkunjung ke rumah Elara yang tidak masuk kuliah karena sakit.Betapa terkejutnya Jeanne saat menerima hinaan dari wanita paruh baya yang kemudian ia ketahui, sebagai bib
Elara berada di dalam kamarnya yang sempit. Kamar itu tidak seperti kamar lainnya yang berada dalam kediaman White ini.Tentu saja tidak, karena Elara menempati salah satu kamar di samping area servis. Kamar untuk pelayan di sana.Sejak Annie Willow --ibu kandungnya-- meninggal, Elara dipaksa untuk keluar dari kamar miliknya dan berpindah ke kamar pelayan, dengan alasan kamar Elara akan digunakan oleh Dianne Palmer, anak dari Tina.Elara menghela napas yang terasa begitu berat dan menyisakan sedikit sesak dalam dadanya.Ia masih dalam masa berkabung, rasa kehilangan yang nyata dan begitu membuat dirinya --sekali lagi-- merasa luar biasa kesepian, semenjak kepergian mendiang ibunya.Namun Elara tahu, ia tidak boleh terus terlarut dalam duka ini.Amarahnya pada keluarga White, membuat Elara bertekad untuk betul-betul tidak tergantung lagi pada mereka dan membalas mereka kelak.Elara lalu meletakkan album foto yang sejak tadi ia pegang dengan erat. Rasa rindu yang kuat, membuat Elara meng
“El!”Elara mendongak dan mengarahkan pandangan pada sumber teriakan itu. Mata zamrud-nya menangkap sosok Jeanne yang berlari padanya.Kantin tempat Elara berada sedang tidak terlalu ramai, sehingga lengkingan suara Jeanne terdengar begitu jelas.“El!”“Tidak perlu berteriak, aku mendengarmu,” ujar Elara.“Apa kau sudah dengar?” Jeanne terengah saat berhenti di dekat Elara.“Iya. Aku dengar. Kau berteriak begitu kencang, bagaimana aku tidak mendengarnya?” ledek Elara.“Bukan!” Jeanne menggeleng kuat-kuat. Ia menarik kursi di depan Elara dan duduk dengan tergesa. “Edric sudah pulang dan sedang dipanggil dekan.”Elara menatap Jeanne. “Dipanggil dekan?”Anggukan kuat dari Jeanne menjawab pertanyaan Elara itu.“Kenapa?”“Mana ku tahu!” Jeanne menyorotkan tatapan menuding pada Elara. “Kup