Elara memindai sekeliling.Hatinya terasa tenggelam. Oleh rasa hangat yang memang akan ada setiap mengingat segala sesuatu tentang sisi baik Arion dan oleh rasa sedih yang juga masih menyelimuti dirinya.Tidak semudah itu untuk mempercayai seseorang yang telah jelas-jelas membohongi dirinya.Apalagi ketika ia pernah merasakan arti diri yang tidak dihargai, sehingga orang-orang yang ia pikir menyayangi dan peduli, sanggup begitu saja membuang dan menyingkirkan dirinya.Itu pun sama artinya dengan melukai kepercayaan Elara.Apakah seorang asing seperti Arion lantas layak menerima kepercayaan dari Elara? Setelah ia sekian kali menemukan satu demi satu kebohongan dan dusta pria itu?Entah berapa tabir lagi yang akan tersingkap, sebelum ia bisa betul-betul mengenal diri Arion secara seutuhnya.Kebenaran yang terungkap paling akhir itulah, yang membuat kepercayaan Elara kian terkikis.Siapalah dirinya, untuk mendapatkan semua kepedulian dan perhatian seorang Arion? Di sinilah ia juga harus c
Isabelle yang berlutut, memohon dengan terisak pilu. “Ku mohon… tinggalkan Arion… Ku mohon…”“A-apa…” Elara tersedak ludahnya sendiri. “Bangunlah.. jangan begini.”“Aku tidak akan bangun, sebelum kau berjanji untuk meninggalkan Arion… Aku… aku tidak bisa hidup tanpanya…”“Nona Goldwin, tolong jangan lakukan ini.”“Katakan kau akan meninggalkan Arion… tolong…” Isabelle meraih kedua tangan Elara dan meremasnya kuat dengan tatapan permohonan.Perempuan itu meraung dalam hati, mengutuk dan membenci Elara sepenuh hati. Tidak pernah sekalipun ia mengatakan ‘tolong’ pada orang lain, apalagi hingga memohon seperti ini.Namun ini ia lakukan untuk membuat gadis itu mundur dengan kesadaran diri.“Aku.. tidak bisa,” Elara menggeleng. “Maaf Nona Goldwin. Itu bukan terserah padaku,” ujarnya lagi pelan.“Aku tidak akan bisa pergi dari Arion, jika Arion tidak menginginkannya.”Isabelle berhenti terisak dan mengeratkan rahangnya.Kalimat Elara itu memang tidak salah. Isabelle tahu seberapa keras kepala
Arion menolehkan kepala dengan cepat begitu pintu apartemen terbuka.Isabelle keluar dengan kepala tertunduk lalu terhenti begitu melihat Arion berjalan ke arahnya.Perempuan itu mendongakkan kepala dan hendak mengatakan sesuatu, namun Arion melewatinya begitu saja dan masuk ke dalam tanpa sedikit pun melirik.Di dalam apartemen, tangan Arion masih memegang handel pintu, namun kedua manik kelabunya dengan cepat mencari keberadaan Elara.Gadis itu terlihat duduk diam di atas sofa di ruang tengah.Arion mereguk salivanya dengan alot. Jakun itu bergulir gelisah.Padahal Elara hanya duduk diam terlihat merenung dengan wajah ke depan --bukan menatap Arion, namun pria itu merasakan debaran dada yang resah dan ada rasa cemas menyelinap diam-diam.Wajah merenung gadis itu berhasil membuat dirinya diliputi kecemasan.“Elara…” Arion perlahan melepaskan tangan dari handel pintu dan kaki jenjangnya melangkah maju, mendekati posisi gadis bermanik zamrud itu duduk.“El--”“Berhenti memanggilku,” pot
“Terima kasih telah bersedia untuk mempertimbangkan usulan kami, Mr. Ellworth. Kami permisi dulu.” Pria paruh baya dengan rambut yang hanya mengisi seperempat area di kepalanya, menyalami Arion lalu keluar ruangan diikuti satu asisten-nya.“Anda akan langsung ke kantor, Tuan?” Garvin bertanya hati-hati.Sudah seminggu ini Bos Besar-nya itu berada dalam suasana hati yang buruk.Semua pegawai --terutama Garvin sendiri, seolah bekerja sambil meniti tepian jurang.Salah sedikit saja, mereka akan terjun bebas menemui akhir karir mereka.Entah apa yang dialami Tuan nya itu, Garvin merasa satu minggu ini Triton Land menjadi tempat bekerja yang menyiksa.Arion tidak menjawab pertanyaan Garvin, ia hanya memandang ke luar jendela besar dan menatap pada titik bias.Entah sampai kapan Elara akan mendiamkan dirinya, ia tidak berani menuntut gadis itu. Ia tahu dirinya yang salah sejak awal, bahkan soal keberadaan Isabelle dan juga tragedi satu malam di dua tahun lalu itu, ia juga tidak terbuka pada
“Kau mengenalku, hm?” Arion menekan tubuhnya pada tubuh Elara.Pria ini tidak ingin menahan dirinya lagi.Semua yang dikatakan Elara tadi sungguh terdengar seksi. Arion terangsang dengan cara yang tidak biasa.Pria itu mengumpat dalam hati bersamaan ia menikmati sensasi tubuhnya yang perlahan terbakar gairah.Usahanya untuk menjaga ketenangan diri, di ambang kegagalan total. Gadis ini begitu mudah mengacaukan apapun yang semula dirinya rencanakan.“Kau menyebutku pembohong, tapi lihatlah dirimu, kau pembohong yang lebih ulung.”“Lepaskan aku!” Elara meronta, meski ia sangat tahu, usahanya itu tidak akan menghasilkan apapun.Pria pemilik netra kelabu itu terlampau kuat.“Kau juga menyebutku pria sejati? Jadi itulah aku dalam pikiranmu?” Napas panas Arion mengembus di telinga Elara. Itu geli sekaligus meresahkan. “Mengapa kau selalu memiliki cara menarik untuk menggodaku, hm?”“Siapa menggodamu! Aku tidak tahu kau ada di belakangku!” Elara menggeliat. “Lepaskan aku! Malu dilihat orang!”
“Rion!!” Elara memekik histeris.Arion ternyata telah muncul di sana dan ia melihat sosok berpakaian hitam dengan balaclava di kepalanya.Ayunan belati itu tidak berhasil mengenai Elara, namun ia bisa melihat lengan kemeja kiri Arion yang koyak dan warna merah mulai mewarnai kemeja putih itu.“Mundur Ara!”Usai berkata demikian Arion menangkis tangan sosok itu yang mengayunkan pisaunya ke arah Arion.Sosok itu mengenakan balaclava (penutup kepala yang hanya terlihat area mata saja) dan membabi buta menyerang Arion dengan pisau di tangannya.Arion tidak terlihat panik dan dengan tenang terus menangkis.Ia menangkap tangan sosok itu dan mengayunkan lututnya ke depan.BUAGHH!!Sosok itu terhuyung mundur dengan membungkuk, tendangan lutut Arion kuat mengenai perutnya.Belum sempat sosok itu siaga kembali Arion memutar tubuh dan satu tendangan indah namun mematikan menghantam sisi kepala sosok penyerang, membuatnya langsung tersungkur tanpa ampun.Itu satu tendangan yang bertenaga. Siapapun
Oh ya ampun!! Ternyata beneran nyampe 20 komentar dari 20 akun berbeda! 50 komentar di cover depan!Alright… Okay… Tambahan Bab buat malam ini! #Yeayyy!!Plis, yang di bawah 18 tahun, menyingkir dulu ya…Oiya, novel ini mengikuti aturan dan kaidah yang ditetapkan oleh GoodNovel. Jadi jika ReeFellows membayangkan adegan dan kata-kata vulgar, berarti salah kamar… Ini bukan buku biru --meskipun covernya dominan warna biru ^,^!Apapun itu, mari bersenang-senang dan… Enjoy!!=== * * * ===“Rion…” rintih Elara.“Ya, Ara. Katakan. Katakan kau menginginkanku memenuhimu…”Tubuh Elara bergerak putus asa.Entah apa namanya ini, ia merasakan kebutuhan yang luar biasa mendesak. Satu keinginan teramat menyiksa mulai merasuki tubuhnya tanpa sanggup ia hentikan.“Ini… tidak… boleh…” Napas Elara tersendat. Kedua matanya terpejam, saat sebelah tangan hendak mendorong Arion untuk menjauh.Tapi ia sungguh kehilangan seluruh tenaganya. Ia merasa amat malu. Tubuhnya telah nyaris tak tertutup apapun.Mereka
Hingga seberkas cahaya mentari di siang hari berikutnya, mengintip dari celah jendela yang masih tertutup tirai tebal dan tinggi, Arion masih terpejam dengan sebelah lengan menjadi bantalan bagi Elara.Tubuh keduanya berada di atas ranjang besar dan hanya ditutupi selembar selimut tipis, dengan kerutan yang menyuarakan pergulatan panas mereka --yang berpindah ke atas ranjang, semalaman hingga menjelang dini hari.Elara mengerjap, terbangun karena merasakan gerakan samar dari belakangnya.Serta merta ia bangkit dan berbalik dengan wajah cemas. “Apa lukanya berdarah lagi?”Arion menekan bibir ke dalam.Ia tidak bermaksud membangunkan Elara, ia hanya hendak meraih ponselnya di atas nakas untuk memberikan perintah pada Max.Penyerang yang membahayakan Elara, tentu tidak akan ia biarkan hidup nyaman di dalam penjara.Tentu ia harus tahu apa tujuan penyerang itu.Sayangnya, gerakan yang sudah dilakukan dengan amat hati-hati oleh Arion itu, malah membangunkan istrinya.“Rion.”“Tidak Ara, ini
Aveline menjerit keras, suaranya memenuhi lorong sempit yang hanya diterangi lampu jalanan buram.Tubuhnya gemetar saat sebuah tangan kuat tiba-tiba meraih pinggangnya."Apa maksudnya ini?!" Aveline berteriak lagi, mencoba melawan, tapi tak ada yang mendengarnya.Udara malam yang dingin membuatnya semakin waspada, namun pria di depannya begitu cepat.Sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, bibirnya langsung tertutup oleh sesuatu yang hangat dan mendesak—bibir pria yang kini mencengkeramnya erat.Aveline meronta-ronta, hatinya dipenuhi kepanikan.Tubuhnya kaku saat pria itu memeluknya dengan kuat, membuka jaket kulit hitamnya seolah bersiap melakukan sesuatu yang lebih buruk.Mata Aveline melebar ketakutan.‘Tidak mungkin,’ pikirnya, ‘Apakah dia akan memperkosaku?’Ia semakin panik, berusaha membebaskan diri dari genggaman pria itu.Namun, pria itu begitu kuat.Semua tenaga Aveline seolah menguap, terjebak dalam dekapannya yang erat.Lalu, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan.Sekelo
Langit sore yang kemerahan menyelimuti San Francisco Bay, tempat di mana sebagian besar kehidupan cinta sepasang insan berkisah.Suara ombak yang berdeburan pelan di pantai menciptakan melodi yang damai, selaras dengan angin sepoi-sepoi yang menyapu lembut permukaan laut.Elara berdiri di ujung dermaga kayu, menatap cakrawala yang tampak tanpa batas, tempat di mana langit bertemu lautan.Matanya menerawang, namun wajahnya kini memancarkan ketenangan yang baru.Dalam dekapan hangatnya, bayi kecil mereka terlelap, wajahnya damai seperti ibunya.Sudah lama sejak pertarungan hidup dan mati di acara peresmian Imera Sky Tower, dan sejak saat itu, kehidupan Elara dan Arion berubah drastis.Banyak hal yang telah dilalui—pengkhianatan, luka, cinta yang terlupakan dan kemudian dipulihkan.Namun hari ini, di bawah cahaya senja yang lembut, semuanya terasa sempurna.Tiba-tiba, langkah kaki yang berat namun mantap terdengar dari belakangnya.Elara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.A
Arion duduk di ujung ranjang, pandangannya terpaku pada sosok mungil yang ada dalam dekapannya.Bayi perempuan itu terlelap dengan tenang, tubuhnya begitu kecil dan lembut seperti boneka porselen.Pipinya yang kemerahan tampak menggemaskan, kulitnya sehalus sutra dengan bulu-bulu halus yang masih tersisa di atas kepalanya.Mata bayi itu masih tertutup, namun ketika sempat terbuka sesaat, Arion melihat dengan jelas iris matanya yang kelabu, warna yang sama seperti miliknya—sebuah tanda tak terbantahkan bahwa bayi itu adalah darah dagingnya.Bibir kecilnya bergerak perlahan, seakan sedang menghisap udara, dan tangannya yang mungil mengepal erat, menggenggam sepotong kain selimut.Arion tersenyum kecil, hatinya penuh dengan rasa takjub yang tak pernah ia sanggup perkirakan sebelumnya.Di dalam ruangan itu, hanya suara napas lembut bayi perempuannya yang terdengar, membuatnya seperti terhanyut dalam keajaiban kecil yang ia pegang.Sudah lebih dari setengah jam, namun Arion tak bisa melepa
Arion mengangguk pelan, melanjutkan penjelasannya. “Selama aku menjalankan peranku sebagai The Draven, orang itu mengambil peran menjadi diriku, Arion Ellworth. Sehingga tidak ada yang curiga. Kecelakaan di Sunol itu terjadi pada doppelganger-ku.”Elara terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. “Jadi... orang itu? Apakah dia tewas dalam kecelakaan itu? Bagaimana aku bisa membedakan kalian? Bagaimana jika suatu saat aku salah mengenali orang itu sebagai dirimu?”Arion tersenyum melihat kepanikan sang istri. “Jangan khawatir, Honey. Orang itu berhasil selamat oleh orang-orangku. Wajahnya tidak sepenuhnya mirip denganku. Hanya postur tubuh dan perilakunya yang serupa. Aku membuatnya menjalani operasi plastik untuk mengubah beberapa bagian, seperti rahang dan hidung saja. Namun, saat dia menjalankan peran sebagai aku, dia menggunakan prosthetic mask yang dibuat menyerupai wajahku.”Elara memandang Arion, dengan sorot kompleks. “Astaga… sampai seperti itu kau m
Elara dan Arion berdiri di tengah keheningan, menghadap sebuah makam dengan batu nisan marmer yang megah. Di atasnya terukir dengan indah: Imelda Ellworth. Satu buket mawar putih mewah yang segar ditempatkan rapi di atas pusara, memberikan sentuhan penuh penghormatan. Pemakaman ini, yang terletak di Cypress Lawn Memorial Park, San Francisco—tempat peristirahatan terakhir para keluarga kaya dan terpandang—dikelilingi oleh pohon-pohon ek yang menjulang tinggi. Jalanan berkerikil putih menghubungkan setiap makam, dan di kejauhan terlihat pemandangan laut yang tenang, menambah suasana damai nan elegan. Udara pagi terasa sejuk, disertai suara angin yang membelai lembut pepohonan. Elara memandang ke sekeliling area pemakaman yang tampak megah, penuh dengan nisan-nisan yang terbuat dari batu marmer putih dan hitam. Di antara semua itu, nisan Imelda berdiri sebagai salah satu yang paling indah, seperti sebuah karya seni yang mencerminkan kehidupan seseorang yang telah meninggalkan jejak
Arthur Ellworth, atau Clay Mallory, kini duduk di sudut sel gelap penjara federal, matanya kosong menatap dinding dingin yang tak lagi bergema dengan wibawa yang pernah ia miliki.Hanya bayangan suram yang tersisa, menggantung di antara kesadaran dan kehancuran. Di penjara ini, waktu seolah-olah melambat, setiap detik menjadi siksaan yang tidak berujung.Hari ini, seorang penjaga penjara menghampiri pintu selnya.Wajah penjaga itu datar, tidak ada belas kasihan, tidak ada penghormatan.Hanya secarik kertas yang dilempar ke lantai di depan Arthur, yang langsung mengenal lambang Ellworth di atasnya.Tangannya yang dulu perkasa sekarang gemetar ketika meraih kertas itu.Di dalamnya, satu pesan singkat yang menghantamnya dengan kejam: "Semua aset, kekayaan, dan perusahaan yang pernah kau curi telah dikembalikan kepada pemiliknya yang sah—Aiden Ellworth."Arthur meremas kertas itu dengan tangannya yang gemetar, rasa panas menjalar da
Markas utama di San Bernardino tampak penuh ketegangan. Di ruang pertemuan besar, cahaya lampu gantung memantul di atas meja panjang tempat para eksekutif utama The Draven berkumpul. Ketiga Executor—Albert, Isaac, dan Samuel—duduk di posisi masing-masing, menatap sosok Arion Ellworth, pria yang selama ini mereka kenal sebagai The Draven, pemimpin mereka yang tak terbantahkan. Samuel, Executor wilayah San Jose, adalah pria bertubuh tegap dengan garis wajah tegas. Rambutnya mulai memutih, namun sorot matanya masih tajam, mencerminkan kekuatan dan ketenangan yang ia bawa selama bertahun-tahun memimpin wilayahnya. Isaac, Executor wilayah Mount Horeb, Wisconsin, berbeda. Tubuhnya ramping, wajahnya lebih halus, tetapi matanya menyiratkan kejeniusan yang sering kali tersembunyi di balik sikapnya yang tenang. Ia terkenal sebagai ‘otak cadangan’ di balik banyak rencana besar yang berhasil dijalankan The Draven. Albert, Executor wilayah San Bernardino, adalah yang termuda. Dengan rahang pers
Aiden tersenyum tipis, sebuah senyuman yang mengandung ketegasan, bahkan ancaman halus di baliknya.“The Orcus bukan ancaman bagi pemerintah. Kami tidak pernah bergerak melawan kalian, Donovan. Jika ada yang perlu kau pahami, ketahuilah ini: The Orcus hanya berurusan dengan mereka yang mengincar kami atau mereka yang berada dalam wilayah kami. Kami adalah perisai, bukan pedang.”Donovan menatapnya, tak sepenuhnya yakin apakah pernyataan itu adalah bentuk pembelaan atau manipulasi.Aiden melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih dalam dan penuh makna. “The Orcus tidak akan pernah menjadi ancaman bagi pemerintah Amerika Serikat… kecuali, jika pemerintah membuat kami tidak punya pilihan lain.”Kalimat itu menggantung di udara, begitu dingin dan tajam seperti bilah pedang yang tersembunyi di balik kata-kata.Donovan tahu, ini bukan ancaman langsung, tapi sebuah peringatan yang tak bisa diabaikan.Aiden sangat c
Matahari pagi yang hangat menyinari kamar tidur mewah di mana Elara sedang berdiri, merapikan dasi Arion dengan penuh perhatian.Arion Ellworth, dengan tubuh tegapnya dan postur sempurna, tampak gagah dalam setelan formal berwarna gelap yang membingkai fisiknya dengan sempurna.Mata kelabu pria itu berkilauan, menambah kesan misterius sekaligus memikat.Ketampanannya terasa tak terbantahkan, membuat Elara sejenak terpana, seperti kembali mengenang saat pertama kali bertemu dengannya.Arion telah kembali ke wujud lamanya—kuat, berwibawa, dan penuh energi—setelah beberapa bulan melemah akibat Couvade Syndrome.Selama sekitar 4 bulan, pria yang biasanya tegas dan tak tergoyahkan ini harus terkapar karena gejala kehamilan palsu yang dialaminya.Namun, kini di bulan kelima kehamilan Elara, semua gejala itu telah sirna.Tidak ada lagi mual, muntah, atau kelelahan yang membebani Arion. Dia kembali pada dirinya yang dulu, dengan e