“Apakah ini milikmu?”
Elara menoleh lalu mendongak dan sesaat terpaku pada mata biru indah di sana.
“Ini,” Pria itu menyodorkan satu dompet kulit berwarna marun.
“Ah.. iya. Ini milikku,” gegas Elara mengambil dompet itu dari tangan pria itu. “Bagaimana--”
“Sepertinya terjatuh saat kau turun dari taksi, Nona.”
“Oh..” Elara lalu mengangguk kecil dan berterima kasih.
“Apa kau menunggu pesanan?” Pria bermata biru itu bertanya lagi dan Elara menjawab dengan anggukan canggung.
“Aku juga,” kata pria tersebut lalu duduk di kursi meja yang bersebelahan dengan meja Elara.
Elara hanya tersenyum canggung lalu kembali memandang ke arah jendela, menghindari percakapan yang tidak perlu dengan pria asing tersebut.
Kekhawatiran Elara tidak terjadi, karena pria bermata biru itu langsung terlihat asyik dengan ponselnya. Mungkin pria itu paham, Elara tidak ingin diganggu.
Namun di meja yang berada di pojok coffee shop, Guez dan rekan
“Tampan sekali…” desah Jeanne dengan kedua mata tak kunjung berkedip saat memandangi pria bermanik biru yang kini duduk berhadapan dengan dirinya dan juga Elara.Pria itu memutar kursi yang diduduki, hingga mereka kini mampu berbicara dengan saling melihat raut wajah masing-masing tanpa harus memiringkan kepala.Dengan posisi itu pula, Jeanne bisa melihat jelas beberapa kali sang pria bermanik biru terus menerus mencuri pandang pada Elara.“Apa kau tinggal di sini?”“Tidak,” jawab si pria pada Jeanne. “Aku ada urusan bisnis di sini.”“Kau pengusaha rupanya.” Jeanne mengangguk puas. Tebakannya bahwa pria itu adalah seorang pengusaha ternyata benar.“Oh iya, aku Jeanne. Dan temanku yang pemalu ini Elara,” Jeanne memperkenalkan diri dan juga Elara.“Ethan,” tanggap pria itu yang menyambut uluran tangan Jeanne, lalu ia juga menyodorkan tangan pada E
“Elara sialan,” maki Dianne.Ia melihat layar ponsel dan mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari nomor Elara.“Mengapa dia gak sabar banget sih!” Dianne lalu melihat pesan masuk dari Nyonya Besar White yang menyuruhnya agar segera menghubungi Elara dan menyerahkan peninggalan mendiang Annie pada Elara.Ia pun mendengkus kesal dan mengabaikan pesan dari neneknya itu, begitu pula beberapa pesan masuk yang berasal dari Elara sendiri --Dianne bahkan tidak repot-repot membuka pesan itu.Ia merebahkan diri dengan bersandar pada kepala ranjang di suatu motel di San Francisco. Dianne memang tidak pulang setelah bertemu pria tampan dan terlihat kaya di jalan Sansome dan mencari motel yang tidak terlalu mahal untuk memikirkan rencana selanjutnya terhadap pria itu.“Dia sangat tampan,” desah Dianne. “Dan yang lebih penting, dia benar-benar terlihat kaya.”Tangannya kemudian meraih tas dan mengeluarkan kartu nama yang ia dapatkan dari pria bermata biru itu.“Ethan Wayne…” gumam Dianne deng
“Dari mana?” Arion bertanya dengan suara dalam dan rendah yang sangat familiar di telinga Elara.“Ya ampun Tuan Arion! Kau mengagetkan kami…” keluh Jeanne --kesal, tapi tidak berani membentak.Pria tampan itu tidak menanggapi Jeanne. Ia berdiri dari duduk dan menghampiri Elara dengan langkahnya yang tenang, namun sukses membuat jantung kedua gadis yang baru masuk itu, mendadak berpacu.Jeanne mereguk saliva sedikit alot.Ia memiliki dugaan, bahwa mungkin Arion kesal karena Elara keluar rumah tanpa seizin pria itu, sementara mereka berdua masih berada dalam keadaan yang kurang baik.Sahabat Elara itu pun berdiri canggung di sana dan tanpa berkedip memperhatikan pria tampan beraura intimidatif itu kian mendekat pada Elara.Demikian halnya dengan Elara. Gadis bermanik zamrud tersebut berdiri kaku dengan dada yang berdebar cepat dari normal.Namun ia menolak untuk gentar dan menatap lurus manik kelabu suaminya yang kian mengikis jarak antara mereka.Hasil dari itu, Elara merasakan satu gel
“Apa tadi kau bilang?” Arthur menghentikan gerakan kakinya yang semula melangkah stabil sejak ia memasuki Grand Haven.Kepalanya menoleh ke arah Lenora dengan kening sedikit berkerut.“Arion membatalkan acara malam besok.” Lenora mengulang kalimat yang telah ia katakan beberapa detik lalu, begitu suaminya tiba di mansion mereka.“Aku mengatur kegiatan ku untuk pulang, hanya untuk tahu acara ini tidak jadi?”Lenora terpaku sesaat.Ia tidak mengira bahwa reaksi Arthur saat mendengar pembatalan jamuan makan malam besok dengan keluarga Goldwin, akan mendapatkan reaksi seperti ini.Arthur bukannya merasa kecewa karena sikap Arion yang serampangan membatalkan acara yang telah disepakati kedua keluarga, justru kesal karena kedatangannya pulang ke Grand Haven adalah serupa kesia-siaan.Bukan ini yang Lenora harapkan. Namun dirinya tahu dengan baik, ia tidak bisa mengeluh atau memprotes sang suami, Arthur Ellworth.Kedua tangan Lenora terangkat dan mengalungkannya ke lengan kanan Arthur. “M
Arthur menghentikan kegiatannya membaca dokumen.Kedua matanya melirik ke arah ranjang besar, di mana Lenora terlihat telah tidur dengan membelakangi dirinya.Pria paruh baya yang masih terlihat gagah itu kemudian meraih ponsel di atas meja lalu menekan satu nomor.Ia tidak perlu menunggu lama, panggilan itu langsung terhubung.“Periksa kegiatan Arion di San Francisco.” Usai mengatakan demikian, Arthur menutup telepon dan menurunkan tangan untuk meletakkan ponselnya.Melihat Lenora yang lesu, setelah mengabarkan batalnya acara jamuan esok malam, memang sedikit membuat Arthur memperhatikan istrinya itu.Namun bukan itu alasan terbesar dirinya kemudian menyuruh seseorang untuk memeriksa Arion.Arion selama ini dibiarkan oleh Arthur untuk mengelola kerajaan bisnisnya karena ia telah melihat kemampuan Arion.Ia bahkan tidak peduli, jika pun Arion hendak bersenang-senang, selama putranya itu menjalankan perusahaan dengan baik.Perkara urusan dengan keluarga Goldwin, Arthur hanya menganggap
Beberapa saat Isabelle terpaku dengan tangan yang gemetar. Pikirannya kacau, sekacau penampilannya saat ini.Wajah pucat yang biasanya ia buat sedemikian rupa agar merebut simpati Arion, saat ini betul-betul pias.Semua ancaman Byron yang tadi dikatakan lelaki itu, membuat tubuh Isabelle bergidik ngeri.Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika semua rahasia kelam dan semua rencana yang dulu tersusun teramat rapi dan penuh perhitungan itu, kelak diketahui Arion.Bukan tanpa alasan Isabelle melakukan apa yang ia lakukan dan nekad membuat jebakan seperti itu.Isabelle mendengar tanpa sengaja percakapan Arion dengan seseorang yang belakangan ia ketahui, adalah seorang psikiater.Ia menangkap beberapa kalimat yang menyebutkan soal trauma masa lalu Arion yang menyebabkan Arion tidak bisa melihat tubuh telanjang wanita.Isabelle juga mendengar kalimat lain, yang ia jadikan sebagai kalimat kunci bagi dirinya kemudian untuk menjebak Arion, yakni, Arion terkena serangan panik setiap
Arion mengerjapkan matanya pelan lalu berkata, “Aku juga belum sarapan.”Gerakan tangan Elara yang mengupas telur, terhenti. Kepalanya terangkat sedikit dengan kedua bola mata zamrud-nya melirik Arion.‘Apa dia minta dibuatkan sarapan?’ Elara mengerutkan kening.“Jika kau tidak bersedia membuatkan satu lagi untukku, biarkan aku berbagi denganmu.” Usai mengucapkan itu, Arion menarik kursi yang ada di samping Elara dan mengempas bokongnya dengan cepat lalu mengambil garpu yang belum digunakan Elara dan mencomot muffin di atas piring Elara.Gadis itu kian mengerut dan melempar tatapan sewot pada Arion. “Ini makanan ku. Yang benar adalah aku berbagi denganmu, bukan kau berbagi denganku!” ralatnya.Arion mengangguk, “Terima kasih.” Kemudian ia menusuk bacon sebagai sasaran selanjutnya untuk dimasukkan ke dalam mulut.“Hey!”“Apa?” Arion mengerjap lagi dengan mulut asyik mengunyah.“Kau ini--” Sebenarnya Elara ingin menyemburkan kalimat amarah yang panjang, namun menyadari manik kelabu itu
Dianne mengedarkan pandangan dan berhenti di satu sudut yang cukup luas.Di sana telah duduk pria bermata biru yang terlihat asyik membaca sesuatu di layar ponselnya.Gadis berambut pirang itu melirik ke sekitar, dan sedikit heran karena mendapati cafe itu amat lengang untuk jam makan siang seperti ini.Mungkin karena ini di lantai dua, pengunjung hanya memadati lantai bawah --Dianne tidak peduli.Setelah merapikan rambut serta dress yang ia kenakan, dengan tanpa tergesa Dianne berjalan menuju meja tempat pria bermanik biru itu berada.“Maaf menunggu lama, Mr. Wayne,” ucap Dianne begitu tiba di depan meja tempat Ethan Wayne duduk.Pria itu mengangkat wajah lalu tersenyum ramah. Ia berdiri dan mengulurkan tangan bersalaman dengan Dianne.Dianne pun duduk setelah Ethan memberi isyarat tangan mempersilakan dirinya.“Tidak, Nona. Aku juga belum lama sampai sini.” Ethan tersenyum, lalu memanggil pelayan cafe untuk memesan.“Silakan,” ucap Ethan mempersilakan Dianne.Dianne membalas dengan s
Aveline menjerit keras, suaranya memenuhi lorong sempit yang hanya diterangi lampu jalanan buram.Tubuhnya gemetar saat sebuah tangan kuat tiba-tiba meraih pinggangnya."Apa maksudnya ini?!" Aveline berteriak lagi, mencoba melawan, tapi tak ada yang mendengarnya.Udara malam yang dingin membuatnya semakin waspada, namun pria di depannya begitu cepat.Sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, bibirnya langsung tertutup oleh sesuatu yang hangat dan mendesak—bibir pria yang kini mencengkeramnya erat.Aveline meronta-ronta, hatinya dipenuhi kepanikan.Tubuhnya kaku saat pria itu memeluknya dengan kuat, membuka jaket kulit hitamnya seolah bersiap melakukan sesuatu yang lebih buruk.Mata Aveline melebar ketakutan.‘Tidak mungkin,’ pikirnya, ‘Apakah dia akan memperkosaku?’Ia semakin panik, berusaha membebaskan diri dari genggaman pria itu.Namun, pria itu begitu kuat.Semua tenaga Aveline seolah menguap, terjebak dalam dekapannya yang erat.Lalu, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan.Sekelo
Langit sore yang kemerahan menyelimuti San Francisco Bay, tempat di mana sebagian besar kehidupan cinta sepasang insan berkisah.Suara ombak yang berdeburan pelan di pantai menciptakan melodi yang damai, selaras dengan angin sepoi-sepoi yang menyapu lembut permukaan laut.Elara berdiri di ujung dermaga kayu, menatap cakrawala yang tampak tanpa batas, tempat di mana langit bertemu lautan.Matanya menerawang, namun wajahnya kini memancarkan ketenangan yang baru.Dalam dekapan hangatnya, bayi kecil mereka terlelap, wajahnya damai seperti ibunya.Sudah lama sejak pertarungan hidup dan mati di acara peresmian Imera Sky Tower, dan sejak saat itu, kehidupan Elara dan Arion berubah drastis.Banyak hal yang telah dilalui—pengkhianatan, luka, cinta yang terlupakan dan kemudian dipulihkan.Namun hari ini, di bawah cahaya senja yang lembut, semuanya terasa sempurna.Tiba-tiba, langkah kaki yang berat namun mantap terdengar dari belakangnya.Elara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.A
Arion duduk di ujung ranjang, pandangannya terpaku pada sosok mungil yang ada dalam dekapannya.Bayi perempuan itu terlelap dengan tenang, tubuhnya begitu kecil dan lembut seperti boneka porselen.Pipinya yang kemerahan tampak menggemaskan, kulitnya sehalus sutra dengan bulu-bulu halus yang masih tersisa di atas kepalanya.Mata bayi itu masih tertutup, namun ketika sempat terbuka sesaat, Arion melihat dengan jelas iris matanya yang kelabu, warna yang sama seperti miliknya—sebuah tanda tak terbantahkan bahwa bayi itu adalah darah dagingnya.Bibir kecilnya bergerak perlahan, seakan sedang menghisap udara, dan tangannya yang mungil mengepal erat, menggenggam sepotong kain selimut.Arion tersenyum kecil, hatinya penuh dengan rasa takjub yang tak pernah ia sanggup perkirakan sebelumnya.Di dalam ruangan itu, hanya suara napas lembut bayi perempuannya yang terdengar, membuatnya seperti terhanyut dalam keajaiban kecil yang ia pegang.Sudah lebih dari setengah jam, namun Arion tak bisa melepa
Arion mengangguk pelan, melanjutkan penjelasannya. “Selama aku menjalankan peranku sebagai The Draven, orang itu mengambil peran menjadi diriku, Arion Ellworth. Sehingga tidak ada yang curiga. Kecelakaan di Sunol itu terjadi pada doppelganger-ku.”Elara terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. “Jadi... orang itu? Apakah dia tewas dalam kecelakaan itu? Bagaimana aku bisa membedakan kalian? Bagaimana jika suatu saat aku salah mengenali orang itu sebagai dirimu?”Arion tersenyum melihat kepanikan sang istri. “Jangan khawatir, Honey. Orang itu berhasil selamat oleh orang-orangku. Wajahnya tidak sepenuhnya mirip denganku. Hanya postur tubuh dan perilakunya yang serupa. Aku membuatnya menjalani operasi plastik untuk mengubah beberapa bagian, seperti rahang dan hidung saja. Namun, saat dia menjalankan peran sebagai aku, dia menggunakan prosthetic mask yang dibuat menyerupai wajahku.”Elara memandang Arion, dengan sorot kompleks. “Astaga… sampai seperti itu kau m
Elara dan Arion berdiri di tengah keheningan, menghadap sebuah makam dengan batu nisan marmer yang megah. Di atasnya terukir dengan indah: Imelda Ellworth. Satu buket mawar putih mewah yang segar ditempatkan rapi di atas pusara, memberikan sentuhan penuh penghormatan. Pemakaman ini, yang terletak di Cypress Lawn Memorial Park, San Francisco—tempat peristirahatan terakhir para keluarga kaya dan terpandang—dikelilingi oleh pohon-pohon ek yang menjulang tinggi. Jalanan berkerikil putih menghubungkan setiap makam, dan di kejauhan terlihat pemandangan laut yang tenang, menambah suasana damai nan elegan. Udara pagi terasa sejuk, disertai suara angin yang membelai lembut pepohonan. Elara memandang ke sekeliling area pemakaman yang tampak megah, penuh dengan nisan-nisan yang terbuat dari batu marmer putih dan hitam. Di antara semua itu, nisan Imelda berdiri sebagai salah satu yang paling indah, seperti sebuah karya seni yang mencerminkan kehidupan seseorang yang telah meninggalkan jejak
Arthur Ellworth, atau Clay Mallory, kini duduk di sudut sel gelap penjara federal, matanya kosong menatap dinding dingin yang tak lagi bergema dengan wibawa yang pernah ia miliki.Hanya bayangan suram yang tersisa, menggantung di antara kesadaran dan kehancuran. Di penjara ini, waktu seolah-olah melambat, setiap detik menjadi siksaan yang tidak berujung.Hari ini, seorang penjaga penjara menghampiri pintu selnya.Wajah penjaga itu datar, tidak ada belas kasihan, tidak ada penghormatan.Hanya secarik kertas yang dilempar ke lantai di depan Arthur, yang langsung mengenal lambang Ellworth di atasnya.Tangannya yang dulu perkasa sekarang gemetar ketika meraih kertas itu.Di dalamnya, satu pesan singkat yang menghantamnya dengan kejam: "Semua aset, kekayaan, dan perusahaan yang pernah kau curi telah dikembalikan kepada pemiliknya yang sah—Aiden Ellworth."Arthur meremas kertas itu dengan tangannya yang gemetar, rasa panas menjalar da
Markas utama di San Bernardino tampak penuh ketegangan. Di ruang pertemuan besar, cahaya lampu gantung memantul di atas meja panjang tempat para eksekutif utama The Draven berkumpul. Ketiga Executor—Albert, Isaac, dan Samuel—duduk di posisi masing-masing, menatap sosok Arion Ellworth, pria yang selama ini mereka kenal sebagai The Draven, pemimpin mereka yang tak terbantahkan. Samuel, Executor wilayah San Jose, adalah pria bertubuh tegap dengan garis wajah tegas. Rambutnya mulai memutih, namun sorot matanya masih tajam, mencerminkan kekuatan dan ketenangan yang ia bawa selama bertahun-tahun memimpin wilayahnya. Isaac, Executor wilayah Mount Horeb, Wisconsin, berbeda. Tubuhnya ramping, wajahnya lebih halus, tetapi matanya menyiratkan kejeniusan yang sering kali tersembunyi di balik sikapnya yang tenang. Ia terkenal sebagai ‘otak cadangan’ di balik banyak rencana besar yang berhasil dijalankan The Draven. Albert, Executor wilayah San Bernardino, adalah yang termuda. Dengan rahang pers
Aiden tersenyum tipis, sebuah senyuman yang mengandung ketegasan, bahkan ancaman halus di baliknya.“The Orcus bukan ancaman bagi pemerintah. Kami tidak pernah bergerak melawan kalian, Donovan. Jika ada yang perlu kau pahami, ketahuilah ini: The Orcus hanya berurusan dengan mereka yang mengincar kami atau mereka yang berada dalam wilayah kami. Kami adalah perisai, bukan pedang.”Donovan menatapnya, tak sepenuhnya yakin apakah pernyataan itu adalah bentuk pembelaan atau manipulasi.Aiden melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih dalam dan penuh makna. “The Orcus tidak akan pernah menjadi ancaman bagi pemerintah Amerika Serikat… kecuali, jika pemerintah membuat kami tidak punya pilihan lain.”Kalimat itu menggantung di udara, begitu dingin dan tajam seperti bilah pedang yang tersembunyi di balik kata-kata.Donovan tahu, ini bukan ancaman langsung, tapi sebuah peringatan yang tak bisa diabaikan.Aiden sangat c
Matahari pagi yang hangat menyinari kamar tidur mewah di mana Elara sedang berdiri, merapikan dasi Arion dengan penuh perhatian.Arion Ellworth, dengan tubuh tegapnya dan postur sempurna, tampak gagah dalam setelan formal berwarna gelap yang membingkai fisiknya dengan sempurna.Mata kelabu pria itu berkilauan, menambah kesan misterius sekaligus memikat.Ketampanannya terasa tak terbantahkan, membuat Elara sejenak terpana, seperti kembali mengenang saat pertama kali bertemu dengannya.Arion telah kembali ke wujud lamanya—kuat, berwibawa, dan penuh energi—setelah beberapa bulan melemah akibat Couvade Syndrome.Selama sekitar 4 bulan, pria yang biasanya tegas dan tak tergoyahkan ini harus terkapar karena gejala kehamilan palsu yang dialaminya.Namun, kini di bulan kelima kehamilan Elara, semua gejala itu telah sirna.Tidak ada lagi mual, muntah, atau kelelahan yang membebani Arion. Dia kembali pada dirinya yang dulu, dengan e