"Jadi kenapa?"
Berbeda dengan yang dikatakannya kepada Narendra, Badi memilih untuk menginterogasi adiknya tanpa menunggu pagi. Dia sama sekali tidak percaya dengan alasan Hanny yang mengatakan kedatangannya karena merindukan kakak semata wayangnya.
Hanny hanya diam sambil menatap ujung jari kakinya. Sesekali dia meremas kaos yang dikenakannya. Menghadapi Badi memang tidak mudah.
"Dek, Mas tanya sama kamu. Kenapa?"
Gadis itu masih diam selama beberapa saat. Dia berusaha menata jawaban di kepalanya.
"Hanny," nada suara Badi sudah berubah.
Hanny tahu dia harus menjawab atau Badi akan berubah menjadi monster, "Aku berantem sama Ibuk."
Giliran Badi yang menghela napas panjang. Ini tidak akan mudah. Ibu dan adiknya memang tidak akur. Tetapi bukan seperti di sinetron yang saling membenci. Mereka berdua sama-sama keras kepala sehingga pertengkaran karena perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dan merupakan makanan se
Narendra masuk ke kontrakan petak sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Dia masih belum menemukan jawaban di mana dia harus tidur malam ini. Dia mengantuk, sangat, tetapi dia tidak yakin untuk tidur di kamar bersama Agnia. Walau gadis itu sekarang adalah pacarnya tetapi dia bellum mendapat persetujuan darinya.Akhirnya, dia memutuskan untuk ke dapur dan membuat secangkir cokelat hangat.“Pinjam kasur lipatnya Bang Ucok apa, ya?” Dia mengaduk cokelat hangat, “Tapi Bang Ucok juga pasti udah tidur.”Dengan secangkir cokelat hangat dia berpindah kembali ke sofa. Selama beberapa saat dia hanya memindah-mindahkan saluran televisi sebelum akhirnya memutuskan untuk menelepon Abimana. Sepupunya terbiasa untuk tidur menjelang subuh. Itu juga hanya selama beberapa jam.“Kenapa, Dra?” Suara Abimana terdengar parau ketika mengangkat telepon.“Tumben kamu sudah tidur jam segini?”Sepupunya terkekeh sebel
"Hm... " Agnia bergumam tidak jels sambil menggeliat ketika terbangun.Tetapi gerakannya seketika berhenti ketika menyadari ada sebelah lengan yang memeluk pinggangnya. Siapa?Dengan cepat gadis itu membuka mata. Ketika dia melihat Narendra yang terbaring di sampingnya, dia langsung tersenyum lebar. Ingatan tentang apa yang terjadi tadi malam langsung memenuhi pikirannya.Konyol rasanya. Dia tersenyum hanya karena mengibgat kebersamaannya dengan pria itu. Padahal ini bukan pertama kalinya dia menjalin hubungan dengan pria. Tetapi memang tidak ada yang membuatnya merasakan sepeti apa yabg dirasakannya ketika bersama tetangganya ini. Narendrantahu bagaimana memanjakannya tetapi juga dapat menajdi teman bertukar pikiran jika dibutuhkan.Selama beberapa saat, Agnia hanya diam memandangi wajah Narendra. Dia memprlerhatikan setiap detail wajah pria itu. Bulu matanya yang ternyata cukup panjang dan tebal, rahangnya yang begitu tegas dan memesona bahkan dia mengh
“Tumben kamu mengunjungi Badi. Ada apa?” Narendra memulai percakapan ketika mereka sedang sarapan bersama, “Ibuk sehat?”“Sehat. Sehat banget malah,” Hanny menjawab dengan sedikit ketus.“Kamu nyamperin Mas kenapa?” Badi bertanya sebelum menyuap sesendok besar nasi goreng buatan Agnia, “Jangan bilang kangen. Mas tahu kalau itu cuma alasan kamu aja.”Hanny menarik napas panjang sambil melirik Narendra. Gadis itu tahu siapa Narendra. Walau dia sudah bertemu beberapa kali dengan pria itu dan Badi akrab selayaknya sahabat dengan pria itu kecuali di beberapa kesempatan ketika mereka sedang serius, masih ada kesungkanan yang tersisa.“Kamu mau cerita sama Badi aja?” Kali ini Agnia yang bertanya lembut, “Kalau memang menurut kamu itu privasi, nggak apa. Nanti aja kamu jawab pertanyaan itu pas kalian berduaan, ya?”“Bukan gitu…” Pengertian Agnia malah mem
“Kak Agnia keren bangeeet!!!” Hanny menyambut Agnia dengan pelukan ketika gadis itu selesai melakukan pemotretan.“Beneran?” Agnia balas memeluk.“Bener! Tapi aku baru tahu kalau pemotretan itu serem. Kakak diteriak-teriakin gitu. Model lain juga.”Agnia tertawa, “Itu karena konsep pemotretan kali ini agak susah. Kalau konsepnya biasa juga nggak bakalan diteriakin karena kita bisa deliver maunya klien dengan mudah.”Kali ini Agnia menjalani pemotretan untuk sebuah brand ponsel terkenal dari Korea Selatan. Sesuai dengan desain dan konsep ponsel terbaru mereka, para model diminta menunjukkan sisi dinamis sekaligus fierce mereka.Akan gampang seandainya tidak ada tambahan brief kalau mereka diminta berpose dengan kondisi digantung pada ketinggian lima meter dari tanah. Selain itu merek ajuga diminta untuk berpose yang menunjukkan kesan fleksibel.Pengarah gaya d
“Enak?” Agnia bertanya sambil menatap Narendra yang sedang menikmati makan malamnya.Seperti yang dijanjikan Agnia membawa nasi uduk untuk tiga pria tetangga kontrakan petaknya. Saat ini mereka berlima sedang berkumpul di kontrakan petak Narendra. Entah sejak kapan, kontrakan pria itu sudah menjadi tempat berkumpul mereka.“Maaak! Rendra aja yang kau tanya sekarang? Tau kau anggap lagi abang kau ini?” Bang Ucok yang baru saja kembali dari dinas luar kota bertanya dengan mulut penuh nasi uduk.“Jorok, Bang! Telan dulu itu,” Agnia tertawa sambil melempar tisu yang sudah dibulat-bulatkannya ke arah tetangganya itu, “Aku tanya Rendra kaarena dia belum pernah nyobain nasi uduk di situ. Padahal terkenal banget, kan?”“Tak aneh. Rendra itu macam hidup dalam batok kelapa. Tak tahu apa-apanya dia itu!” Bang Ucok kembali berkomentar, kali ini setelah mengosongkan mulutnya.“Enak,” Narend
"Ibuk kenapa ke sini? Badi udah bilang kalau Hanny butuh beberapa hari buat nenangin diri, kan?""Lah ya gimana. Nggak tenang Ibuk. Kepikiran terus. Kalau di Ibu kota lebih gampang anak itu terjerumus.""Terjerumus apa, sih, Buk? Hanny itu nggak aneh-aneh, kok.""Kamu jangan belain adik kamu, ya. Nggak usah kamu sembunyiin. Ibu udah tahu, ya! Dia itu jual diri! Sedih Ibuk. Kecewa juga. Salah Ibuk di mana? Kok bisa dia begitu? Apa yang kurang dari cara Ibuk mendidik dia? Sama aja Ibuk didik kamu dan dia. Tapi kok ya..""Buk, Hanny nggak pernah jual diri. Nggak mungkin dia mau melakukan itu. Ibuk kayak nggak kenal sama anak sendiri."Wanita paruh baya itu menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya sejak Sang Ibu tiba, Badi memperhatikan raut wajah beliau. Wanita itu seakan terlihat beberapa tahun lebih tua sejak terakhir mereka melakukan video call. Padahal itu baru seminggu lalu. Mungkin kekecewaan karena salah paham itu membuat beliau terlihat m
Hanny duduk diam di ruang tengah kontrakan petak Agnia. Gadis itu melipat kedua kaki sambil menahan air matanya. Matanya sudah memanas sejak tadi. Tetapi dia tidak ingin menangis di depan orang lain. Dia tidak ingin membuat orang lain mengkhawatirkan dirinya.“Kamu nggak apa-apa?” Agnia bertanya sambil melesakkan diri ke sofa di samping Hanny.“Nggak apa-apa,” gadis itu menjawab pelan.“Bener?” Agnia mengusap bahu Hanny dengan lembut, “Kalau kamu apa-apa juga nggak apa-apa, lho. Wajar kamu kaget dan marah karena tiba-tiba diteriakin kayak tadi, kan?”“Aku nggak marah,” suaranya semakin parau, “Aku merasa bersalah sama Ibuk.”“Kenapa?” Dengan hati-hati Agnia bertanya.“Omongan Bang Ucok bikin aku mikir. Seharusnya aku nggak langsung marah, kan? Ibuk juga punya alasan kenapa langsung nuduh gitu.”“Nggak cuma itu. Semalam aku juga sempat
“Kenapa aku tidak dikabari terkait pergantian sutradara?”Narendra dan Abimana sudah berbicara selama hampir satu jam. Mereka sudah selesai membicarakan berbagai hal terkait pekerjaan ketika pertanyaan itu meluncur dari mulut Narendra.“Sutradara apa?” Abimana menjawab sambil menahan kuap. Tidak aneh mengingat sekarang sudah hampir pukul tiga pagi.“Sutradara apa lagi? Proyek film itu.”“Oh!” Dia langsung memperbaiki duduknya, “Belum pasti.”“Belum pasti tapi para kru dan pemain sudah tahu?”“Memangnya mereka udah tahu?” Sepupunya malah balik bertanya.“Kamu pikir aku tahu dari mana? Aku dapat informasi ini dari Agnia.”“Besok gue cari tahu siapa yang bocorin. Itu harusnya confidential karena sampai sekarang belum ada pembicaraan official.”“Can you give me an update?” Nada su