"Memangnya kita ngerayain sesuatu?"Bukan tanpa alasan Agnia bertanya. Ketika mereka berhenti di layanan valet salah satu restoran milik perusahaan yang terkenal dengan resort dan hotel mewahnya, Agnia berpikir kalau mereka akan makan malam di restoran itu. Ternyata dia salah. Narendra tidak membawanya ke dalam restoran yang terletak di tengah hutan kota. Pria itu terus berjalan melewati jalan setapak menuju danau buatan yang berada di bagian belakang restoran itu.Di tepi danau sudah terhampar alas duduk yang dikelilingi keranjang dan kotak kayu berbagai bentuk dan ukuran untuk meletakkan hidangan. Mulai dari hidangan pembuka sampai cake dan puding sebagai hidangan penutup. Tidak hanya itu, beberapa botol wine dengan gelasnya sudah tersaji sempurna di samping minuman lain. Termasuk air mineral yang selalu menjadi pilihan Agnia.Dekorasinya juga dipilih dengan hati-hati. Bunga segar berpadu dengan bunga kering untuk menghadirkan kesan rustic tapi tetap romantis. Suasana romantis juga
Agnia mengusap pinggang flase midi skirt yang dikenakannya malam ini untuk kesekian kali. Setelah itu tangannya tanpa sadar mengusap simpul pita di sisi kiri. Memastikan kalau pita masih tersimpul rapi. Dia menarik napas panjang sambil memperhatikan ujung stiletto berwarna gradasi hitam ke merah dengan sol merah yang menjadi ciri khas salah satu brand sepatu high end. Gadis itu tahu kalau dia sedang tidak baik-baik saja.Bagaimana mungkin dia dapat baik-baik saja kalau beberapa menit lagi dia akan bertemu dengan hampir seluruh keluarga besar kekasihnya. Keluarga Widjaja. Malam ketika Agnia menerima lamaran Narendra, hidupnya seketika berubah. Dia terbangun dengan seluruh media membahas tentang hubungannya dan Narendra. Situasi semakin memanas ketika keluarga Widjaja merilis berita tentang pertunangan antara Agnia dan Narenda yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat. Ketika pertama kali mendengar kabar itu, Agnia sontak menghubungi kekasihnya karena mereka tidak pernah membicarakan
"Wow," tanpa sadar komentar itu keluar dari mulut Agnia.Bagaimana tidak, ketika Narendra mengatakan kalau pertemuan keluarga malam ini diadakan di kediaman orang tuanya, gadis itu membayangkan sebuah pertemuan sederhana. Walau dia tahu keluarga besar kekasihnya akan berkumpul tapi apa yang dilihatnya saat ini sangat jauh dari bayangannya.Beberapa meja panjang ditata mengelilingi satu meja utama dengan sembilan kursi. Sepertinya itu meja yang akan ditempati oleh keluarga utama. Setiap meja juga terlihat indah dengan dekorasi bunga segar dalam pot kristal berbagai ukuran, candlelier mewah yang tergantung di tengah halaman, dan lilin-lilin panjang yang menyala dengan api yang bergoyang pelan menambah kesan romantis. Dalam sekali pandang Agnia tahu kalau membutuhkan waktu panjang menyiapkan ini semua.Bagaimana tidak, selain meja-meja yang tertawa sempurna, halaman belakang juga semakin indah dengan lampu-lampu yang tergantung serta hiasan lain seperti pilar denganGrande. Itu yang ada
"Kamu pasti lelah," Rheinya bertanya tepat ketika asisten rumah tangga meletakkan secangkir marmalade tea di hadapan Agnia, "Menghadapi keluarga Widjaja memang tidak mudah."Selesai makan malam dan pertemuan keluarga, Rheinya tidak memperbolehkan Agnia untuk langsung pulang. Wanita itu mengundang Agnia ke ruang kerjanya untuk menikmati teh dan berbincang. Tentu saja Agnia langsung mengiyakannya. Dia selalu senang menghabiskan waktu bersama sang calon mertua. Rheinya tidak pernah menghakimi atau mengintimidasi. Wanita itu juga begitu cerdas dengan relasi yang luar biasa. Selama ini, Rheinya sudah banyak membantunya dengan menjadi teman bertukar pikiran jika Narendra sedang sibuk."Aku tidak selelah itu, Ma," Agnia tersenyum sambil meletakkan sebuah bantal ke pangkuannya.Rheinya tertawa kecil, "Aku yang sudah bertahun-tahun jadi menantu di keluarga ini masih belum terbiasa. Apa lagi kamu.""Tidak akan pernah menjadi mudah," Rheinya tersenyum penuh simpati, "Menjadi anggota keluarga Wid
"Aku kecewa."Agnia berdiri di tengah kamar Narendra di kediaman utama keluarga Widjaja. Gadis itu memandang sekeliling sambil sesekali mengambil beberapa barang yang menarik perhatiannya."Kenapa?" Narendra yang berbaring di tempat tidur langsung bangkit dan menggunakan siku sebagai tumpuan."Kamar kamu nggak jauh beda sama kontrakan petak kamu," Agnia tertawa kecil, "Kamu yakin kalau ini kamar waktu kamu remaja?""Maaf kalau aku mengecewakanmu," pria itu mengulurkan tangan seakan meminta kekasihnya untuk mendekat, "Tapi aku memang tidak pernah menyukai sesuatu secara berlebihan. Kamu pasti membayangkan kamarku penuh dengan poster klub atau semacamnya, ya?"Gadis itu mengangguk, "Atau poster band. Tahunya malah rapi banget gini.""Dari dulu aku memang tidak menyukai sesuatu secara berlebihan. Terlebih aku hanya menggunakan kamar ini sampai usiaku dua belas tahun. Belum sempat fanatik terhadap sesuatu.""Kayaknya sampai sekarang juga gitu, ya?" Agnia berdiri di antara kaki Narendra da
"Mbaak!" Sari menarik tangan Agnia seakan ingin menghentikan langkah aktrisnya yang dengan santai berlenggang memasuki salah satu restoran mewah Ibukota."Kenapa?" Agnia akhirnya berhenti dan menoleh ke arah asistennya, "Kita udah telat, lho!""Mbak yakin ngajak aku makan di sini?" Dia berbisik pelan di telinga Agnia. Ini akan sangat memalukan jika ada waitress atau pengunjung lain yang mendengar."Memangnya kenapa?" Entah mengapa Agnia ikut berbisik."Di sini mahal banget, lho, Mbak! Kemarin aku lihat selebgram makan di sini berlima habis sampai lima puluh juta! Lagian aku itu nggak cocok sama makanan yang secimit-secimit gitu! Porsiku ini porsi kuli!"Agnia tertawa mendengar celotehan asistennya, "Tenang aja. Nanti kamu bisa makan sepuas yang kamu mau. Nggak usah pikirin bayarnya. Hari ini aku yang traktir.""Tapi Mbaaak ...""Apalagi?" Agnia baru akan melangkah ketika protesan kembali terdengar dari mulut asistennya."Aku malu! Mbak nggak lihat pakaian aku? Aku kira cuma bakalan di
"Maaf," Narendra melangkah masuk bergabung dengan Abimana, Badi dan Bang Ucok di salah satu lounge mewah yang terletak tidak jauh dari gedung Widjaja Group. "Mendadak ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.""Kerjaan? Kok, lo nggak manggil gue?" Abimana langsung bereaksi ketika mendengar kata pekerjaan. Bagaimanapun dia merupakan tangan kanan Narendra. Seharusnya dia membantu dan memperingan pekerjaan sepupunya itu sekalipun sudah di luar jam kerja seperti sekarang."Bukan masalah besar," Narendra melepas kancing jas sebelum duduk di salah satu sofa bersalut kulit, "Hanya saja harus diselesaikan secepat mungkin. Sudah aku email ke kamu, besok bisa kamu periksa dan pastikan semuanya dilaksanakan.""As you wish," Abimana tersenyum lebar, "Kita udah mulai duluan kayak yang lo suruh.""Mantap kali minuman di sini. Puas kali aku dari tadi nyobain macam-macam," Bang Ucok terbahak, "Bartendernya pun pintar. Banyak dapat pengetahuan baru aku tentang minuman. Kapan-kapan aku ke sini lagi sama
"Masih ada lagi, Mbak?" Calya mengeluarkan sebotol air mineral dari kulkas. "Ada," Aruna membuka iPad yang berisi jadwal kegiatannya. Sejak remaja gadis itu terbiasa mencatat dan merencanakan kegiatannya. Jika dulu di buku catatan maka sekarang dia mencatat segalanya di Ipad, "Memilih desainer untuk gaun pengantin memang nggak mudah. Makanya aku bikin janji dengan beberapa desainer." "Kak Agnia belum capek, kan?" Setelah mengambil dua botol air mineral lagi baru Calya kembali ke sofa tempat Agnia dan Aruna berada. "Dibanding syuting ini nggak ada apa-apa," Agnia tertawa kecil untuk mencairkan suasana, "Lagian ini buat aku juga, kan?" Calya mengangguk, "Iya, dong! Yang mau nikah, kan, Kak Agnia bukan atau Mbak Aruna," dia tersenyum, "Desainer berikutnya datang jam berapa?" "Lima belas menit lagi sepertinya. Lumayan kita bisa istirahat bentar, kan?" Gadis itu mencatat sesuatu di iPadnya, "Tapi aku penasaran, deh, Kak. Kenapa Kakak nggak pakai desainer luar aja? Kakak mau siapa tingg