"Ni, Agnia!" Reizi mengejar Agnia keluar dari ruang reading. Lima menit yang lalu proses reading untuk proyek film mereka selesai. Sebagian langsung berhambur keluar seperti murid saat bel pelajaran berakhir berdering. Sementara yang lain sibuk bersosialisasi.
"Ya, Kak?" Agnia yang sedang menuju meja berisi makanan dan minuman segera berhenti.
Peran membuat mereka dekat. Sebagai peran utama dan pemeran pembantu utama tentu waktu yang mereka habiskan bersama. Belum lagi karena Agnia memang sejak awal sudah kenal dengan Berlian yang merupakan pemeran utama sekaligus teman Reizi.
"Gimana sama sutradara baru?"
Agnia tahu kalau itu hanya pertanyaan basa-basi tetapi dia masih meladeni karena menghargai pria itu sebagai seoarang senior.
"Sesuai ekspektasiku, sih. Detail banget terus bener-bener tiap adegan dikupas. Tuntutan ke pemain juga tinggi banget. Agak serem, sih, ya. Takut nggak bisa menuhin ekspektasinya Pak Sutradara."
"A
"Haaai..bisa barengan gini, ya?" Agnia tertawa kecil ketika dia tidak sengaja bertemu dengan Narendra dan Badi yang juga baru sampai di kontrakan petak mereka..Narendra tertawa kecil dan langsung memeluk pinggang kekasihnya, "Kamu sudah pulang? Tidak sampai malam? Tumben sekali.""Iya. Aneh, banget, Si Sutradara mau ngomong sama pemeran utama dulu. Nggak tahu mau ngomongin apaan""Semoga semakin sering, ya," Narendra tersenyum, "Kamu udah makan?""Belum, tadi cuma nyemil aja. Mau makan apa? Aku ikut, dong.""Kalian mau penyetan? Kalau mau biar aku yang pergi beli.""Wah, enak. Aku mau.""Aku juga mau!" Agnia langsung terlihat bersemangat, "Yang di seberang, kan? Enak banget, tuh! Aku mau, dong. Mau ayam sama telur dadar. Ekstra sambel terus lalapnya juga.""Bos mau apa?""Samakan saja dengan Nia. Tapi aku tidak mau tambahan sambal.""Siap! Bos, kan, memang nggak doyan pedes," Badi terkekeh, "Untuk Bang Ucok giman
Begitu keluar dari halaman kontrakan letak, Badi tidak langsung menuju ke warung penyetan langganan mereka. Dia berjalan pelan menghampiri seorang pria yang berdiri dalam keremangan bayangan tiang lampu."Bang, pinjem korek," dia meminta sambil mengeluarkan rokok dari saku celana. Badi bukan perokok tetapi pekerjaan membuatnya selalu menyimpan rokok di saku celana. Benda kecil itu selalu dapat menjadi alat memulai pembicaraan.Pria yang disapa Badi sempat kelagapan sebelum berhasil menguasai diri dan segera mengeluarkan korek sesuai permintaan Badi."Mau sampai jam berapa di sini, Bang?" Pertanyaan itu diajukan dengan tenang seakan Badi sedang bertanya sekarang pukul berapa."Ma-maksud Mas apa, ya?" Pria itu kembali gelagapan."Saya tahu Abang sedang mengawasi kontrakan petak itu, kan?""Ti-tidak..kata siapa?" Dia tergagap."Nggak usah bohong, Bang. Kita kerja di bidang yang sama. Saya udah ngawasin Abang dari berapa hari lalu, lho,"
Hari dengan cepat berganti tanpa terasa. Senin berubah menjadi Selasa dan dalam sekejap mata sudah menjadi Jumat. Sebagian besar budak korporat akan merasa bahagia karena itu artinya akhir pekan akan segera datang. Ada jeda untuk melupakan pekerjaan dan tanggung jawab sampai kembali bertemu di hari Senin.“Bang Ucok ada ngasih tahu kalian hari ini dia mau ngapain?”Badi dan Narendra yang sebelumnya asyik mengobrol di sofa ruang tengah kontrakan petak Narendra sontak menggeleng untuk menjawab pertanyaan Agnia yang baru bergabung bersama mereka.“Kerja, kan? Mana pernah Bang Ucok bolos.”Tadi pagi Badi memang melihat Bang Ucok berangkat bekerja seperti biasa. Dia sempat menyapa dan mengobrol sejenak. Tapi dari omongan itu, Bang Ucok tidak membahas rencana apa pun. Lagi pula apa istimewanya hari Jumat ini?“Setelah kerja dia nggak ada bilang punya rencana atau apa?”Pertanyaan Agnia ini membuat rasa penasaran
“Hah! Rapi kali kalian. Mau ke mana? Masa kencan pun si Badi masih kau bawa?”Ketika memasuki halaman kontrakan petak, Bang Ucok langsung bertanya dengan suara khasnya yang mengelegar.“Kita bukan mau kencan, Bang,” Narendra menjawab sambil memberikan kode ke arah Badi dan Agnia. Meminta mereka untuk merayu pria itu.“Bang Ucok nggak tahu kalau hari ini Amelia berangkat?” Agnia memulai pembicaraan ketika pria berbadan besar itu sudah duduk di teras kontrakan petaknya.Bang Ucok yang akan melepaskan sepatu langsung membeku. Tentu saja dia tahu. Amelia sudah memberitahukannya. Bahkan gadis itu seakan sengaja membahas tentang keberangkatannya setiap Bang Ucok berada cukup dekat untuk mendengar suaranya. Sepertinya Amelia benar-benar ingin Bang Ucok tahu kapan dia akan meninggalkan negara ini.“Tahunya aku,” dia menjawab pelan.Ada pahit yang tiba-tiba hadir di mulutnya. Dia tidak ingin berada di t
“Yakinnya kau ini?! Kalau dia sudah berangkat macam mana? Percumanya ini!”Sejak mereka meluncur menuju bandara, pria itu tidak berhenti mengeluh. Bukan mengeluh, pria itu seakan ingin menggunakan seluruh kemampuan yang dimilikinya untuk menggagalkan perjalanan mereka ke bandara.Dia tidak siap untuk menghadapi ketakutannya sendiri.Semakin mendekat ke bandara, semakin banyak ketakutan yang hadir. Takut bertemu dengan Amelia. Takut jika ternyata dia telat dan gadis itu sudah berangkat sehingga mereka tidak bertemu. Tetapi jika bertemu dia juga bingung harus berucap apa. Kata-kata perpisahan? Hanya itu? Jika kata-kata yang lain…apa yang harus diucapkannya?“Jangan terlalu dipikirkan, Bang,” Narendra tiba-tiba berujar, “Nanti dihadapi saja.”Deg! Kalimat pendek dari Narendra sukses menamparnya.“Belum tentu yang ada dipikiran kita akan menjadi kenyataan.”“Bijak kali omongan k
“”Amel…” Bang Ucok menepuk bahu seorang gadis dengan perawatan mirip dengan Amelia, “Mak…maaf. Salah orangnya aku,” dengan cepat dia meminta maaf ketika menyadari kalau gadis yang disapanya bukan Amelia.Dia terus melakukan itu selama beberapa kali. Mencari seorang di tengah kerumunan tidak mudah. Sama sekali tidak mudah. Dia tidak memiliki pilihan lain selain menghampiri dan menyapa seluruh gadis yang memiliki perawakan serupa dengan Amelia.Sejak tadi dia masih terus melakukan itu. Sejauh ini dia sama sekali belum beruntung. Tidak seorang pun yang disapanya adalah Amelia.“Macam mana lah ini!” Pria itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil memutar pandangan.Agnia dan Narendra terlihat sama sibuknya dengan Bang Ucok. Mereka berlari ke sana kemari dan menyapa beberapa gadis dengan harapan gadis itu adalah Amelia. Sama seperti Bang Ucok, mereka juga belum beruntung. Di mana Amelia?!
“Tadi siapa, Bang?Narendra tiba-tiba sudah berdiri di samping Bang Ucok yang menatap ragu ponsel dalam genggamannya. Ketika orang tua Amelia meninggalkannya, pria itu terburu mengeluarkan ponsel untuk menghubungi nomor Amelia yang begitu dihapalnya. Tetapi keraguan membuatnya berujung hanya menatap ponsel dalam genggamannya.“Ha? Siapa?” Pria itu menjawab tanpa sempat berpikir.“Tadi Abang berbicara dengan siapa?” Narendra kembali mengulang pertanyannya.“Oh, itu! Mereka orang tuanya Amelia.”“Lalu?”“Amelia sudah check in katanya. Orang tuanya nyuruh aku telepon dia. Siapa tahu dia masih bisa keluar sebentar.”“Sudah Abang telepon?” Narendra bertanya sambil mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan Agnia.Bang Ucok menggeleng, “Tadinya mau kutelepon tapi tak jadi.”“Takut?”“Bukan karena taku
“Bos, aku langsung, ya?” Badi membuka pintu pagar kontrakan petak mereka.“Tumben. Masih pagi, lho,” Agnia berkomentar sambil tertawa kecil, “Mau teleponan sama Antari, ya? Salam, ya!” gadis itumbai ke arah Badi yang berjalan menuju kontrakan petaknya.“Memangnya sekarang jam berapa?” Narendra mempererat genggamannya.“Jam sepuluh, sih. Udah lumayan malam,” Agnia menguap, “Begitu lihat kontrakan baru kerasa kalau aku ternyata ngantuk banget.”“Kamu sudah ngantuk?” Pria itu mengusap lembut rambut kekasihnya, “Mau tidur?”“Mandi terus tidur kayaknya. Capek banget,” gadis itu berujar manja.“Mau aku temani?”“Apa? Mandi? Jangan macam-macam, ya, Rendra!” Agnia tergelak.“Maksudku, temani kamu tidur, Nia. Aku sama sekali tidak berpikiran ke sana, ya.”Tawa Agnia semakin pecah karena e
"Nia, kamu sudah selesai berganti pakaian?"Suara Narendra membuat Agnia yang sedang berada di kamar mandi segera melepas kimono sutra yang dikenakan ketika dia membersihkan riasan wajah dengan bantuan seorang asisten MUA yang diminta oleh Reinya untuk tinggal sampai setelah acara selesai. Gadis itu mengambil piyama yang diberikan oleh Calya khusus untuk Agnia dan Narendra. Piyama berbahan sutra itu merupakan salah satu brand mewah dan salah satu yang tertua di Inggris. Kualitasnya sudah tidak perlu dipertanyakan karena sekelas Ratu Elizabeth II saja mempercayakan pakaian tidurnya kepada mereka.Agnia tidak pernah menduga kalau hal tersulit yang harus dilakukannya setelah memutuskan menikah dengan Narendra adalah beradaptasi dengan begitu banyak priviledge yang tiba-tiba dimilikinya. Semua serba dapat dimiliki. Tidak hanya sekadar memiliki tetapi selalu yang terbaik. Apapun itu."Nia?" Terdengar ketukan pelan di pintu kamar mandi."Sebentar," tergesa gadis itu menggelung rambut kemudi
"Macam inilah! Sah udah kalian sekarang," Bang Ucok langsung menyapa ketika seluru prosesi akad nikah selesai. Penampilan pria berbadan besar itu terlihat berbeda hari ini. Seperti seluruh undangan pria, Bang Ucok juga mengenakan three piece suit. Amelia turut hadir juga terlihat menawan dengan whimsical garden-inspired maxi dress. Penampilan disempurnakan dengan rambut tergelung model french twist yang memamerkan leher jenjangnya."Akhirnya, Bang," Agnia tertawa kecil, "Sekarang Bang Ucok udah nggak perlu khawatir lagi sama aku, kan? Aku udah nggak sendiri lagi.""He! Macam manaa... tak mungkin aku tak khawatir sama kau. Adik akunya kau ini," Bang Ucok berpura-pura bersungut kesal, "Jangan sementang kau sudah nikah terus kau anggap tak peduli lagi aku sama kau, ya!"Narendra terkekeh memperhatikan interaksi antara Agnia dan Bang Ucok. Walau mereka sudah tidak lagi di kontrakan petak tetapi tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama seperti dulu."Maaf, Bang," Narendra menyela percak
"Kamu yakin?""Ayah," Agnia hanya berpaling karena hiasan kepalanya cukup berat, "Ayah sudah berulang kali nanyain itu, lho. Mau Ayah tanya sampai seratus bahkan ribuan kali, jawaban Agnia tetap sama. Agnia yakin.""Tapi gimana kalau sampai tersebar? Memang pernikahan kamu private tapi tetap aja, di depan venue itu wartawan udah ngumpul kayak mau demo.""Memangnya kenapa kalau sampai nyebar?" Agnia menatap Kenny melalui cermin, "Ayah malu kalau sampai publik tahu aku ini anak ayah?""Bukan gitu," Kenny membalas tatapan Agnia, "Ayah bertanya karena Ayah nggak mau kamu menyesali kepuutusanmu.""Aku nggak akan nyesal, Yah," Agnia menjawab dengan yakin, "Percaya sama aku. Ini bukan keputusan impulsif. Aku udah mikirin ini dari lama. Dan itu keinginan aku. Pertanyaannya sekarang, apa Ayah mau ngelakuinnya atau nggak?""Tentu saja Ayah mau, Nia," Kenny menghampiri anak semata wayangnya dan meletakkan kedua tangan di bahu Agnia yang terbuka karena kebaya pernikahannya memiliki leher yang cuk
Narendra menatap pantulan diri pada cermin sambil menghembuskan napas dengan pelan. Dirinya terlihat sempurna dengann three pieces suit warna kelabu yang dipilihkan Agnia untuk hari istimewa ini. Kekasih yang akan segera menjadi istrinya itu mengatakan kalau kelabu merupakan warna yang hangat, dan itu sesuai dengan apa yang dirasakannya setiap kali berada di dekat Narendra. Sebagai seorang pria, Narendra menyerahkan sepenuhnya kepada Agnia.Ketika gadis itu meminta agar pernikahan mereka dilakukan secara private dan hanya mengundang keluarga dekat serta sahabat, Narendra juga dengan segera menyetujuinya. Beruntung keluarga besar mereka mau berkompromi. Walau pernikahan akan dirayakan secara sederhana tetapi resepsi akan diselenggarakan besar-besaran dan mengundang seluruh kenalan mereka. Agnia yang menyadari posisi mereka, Narendra merupakan pewaris keluarga Widjaja dan dirinya yang merupakan selebritas, setuju dengan itu."Narendra," Asija bersama dengan Reinya memasuki ruangan yang
"Lo gila," Abimana masuk ke ruang kerja Narendra sambil menggulirkan jari di tablet."Ada apa?" Narendra masih sibuk memperhatikan layar ponselnya. Dia sedang memeriksa portofolio saham miliknya sambil beristirahat dari memeriksa berbagai dokumen pekerjaan.Ketika Narendra kembali dari Seoul kemarin, dia disambut dengan tumpukan dokumen di meja kerja. Hanya dua hari tetapi tumpukan dokumen itu seakan Narendra sudah tidak mengantor selama berbulan-bulan. Seandainya bisa, dia ingin mengabaikan dokumen-dokumen itu. Tetapi tentu saja dia tidak dapat melakukannya karena ada tanggung jawab yang dipikul di bahunya.Asija menanggapi keputusan Narendra yang akhirnya setuju untuk menjadi pewaris Widjaja Group dengan serius. Walau pria itu mengatakan akan menggantikan Asija beberapa tahun lagi, pria paruh baya itu dengan cerdik mulai mengalihkan pekerjaan dan tanggung jawabnya kepada Narendra. Tentu saja Narendra tahu apa yang dilakukan oleh ayahnya tetapi dia tidak merasa keberatan dengan itu.
"Woaa!" Lee Jieun, aktris yang menjadi salah seorang lawan main Agnia di serial yang bekerja sama dengan Netflix itu memasuk lobi sambil berseru tidak percaya, "Mereka penasaran sekali sama kalian, ya!"Setelah Agnia, aktris berikutnya yang tidak di red carpet adalah Lee Jieun. Sayangnya, beberapa pewarta masih penasaran mengapa Agnia ditemani oleh Narendra sehingga mereka masih melontarkan pertanyaan itu berulang kali. Berkat pengalaman panjang menjadi aktris dan penyanyi, dengan cepat Lee Jieun dapat mengendalikan suasana dan menarik perhatian para pewarta. Setelah meladeni permintaan untuk berfoto dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan serta berbincang dengan MC, gadis itu memasuki lobi gedung tempat acara digelar dan segera menyapa Agnia yang kebetulan masih belum memasuki ruangan tempat acara akan berlangsung."Eonnie," Agnia tertawa penuh rasa bersalah. Seharusnya spotlight hari ini milik Lee Jieun yang merupakan aktris utama di serial yang mereka bintangi. Tetapi karena kehad
"Surprise!" Narendra tertawa kecil sambil menjawil hidung kekasihnya, "May I be you plus one?""Ren... dra?" Agnia masih tidak percaya kalau pria yang sudah menunggu di mobil adalah kekasihnya, "Kamu ngapain di sini?""Jadi plus one kamu. Boleh?" Narendra masih menatap kekasihnya sambil tersenyum, "Shit! I really want to kiss you but it will ruins your lipstick."Sisa kebingungan Agnia menghilang dan berganti dengan tawa, "Kamu udah nggak ketemu aku lama terus itu kalimat pertama kamu?"Narendra masih tersenyum tanpa rasa bersalah sama sekali, "Seaneh itu? Bagian mana yang aneh dari seorang pria yang ingin mencium kekasihnya?""Bukan aneh," Agnia masih tertawa, "Tapi aku nggak nyangka kalau itu yang bakalan kamu ucapin setelah kita nggak ketemu selama beberapa minggu.""Beberapa minggu?" Senyuman masih tersisa walau sekarang pria itu mengernyit bingung, "Bukannya beberapa hari lalu kita baru bertemu, ya?""Beberapa hari?" Agnia berpiki selama beberapa saat, "Aaah! Aku ingat! Astagaa,
Suara ketukan disusul dengan seseorang gadis membuka pintu kamar hotel yang digunakan Agnia sejak beberapa malam lalu. Gadis berheadset dan memeluk clipboard berdiri di ambang pintu."Selamat siang Nona Agnia," senyumnya merekah sempurna, "Kita sesuai dengan jadwal. Lima menit lagi Anda sudah harus turun. Mobil yang akan mengantarkan Anda ke lokasi sudah siap."Agnia yang berdiri di tengah ruangan dan dikelilingi oleh begitu banyak orang dengan kesibukan masing-masing hanya dapat menoleh sambil tersenyum kemudian menganggukkan kepala. Dia tidak dapat melakukan lebih dari itu. Penata busana sedang memastikan seluruh lekuk tubuh artisnya menonjol dengan tepat tanpa ada kerutan atau lipatan yang merusaknya. Asisten penata busana sudah menyodorkan entah pasangan sepatu ke berapa untuk dicobanya. Hairdresser sejak tadi memastikan kalau rambut Agnia sempurna sesuai dengan keinginannya sementara make up artist yang dipercaya oleh artis muda itu sedang melakukan retouch pada beberapa bagian w
"Paman Leo," Narendra tersenyum ketika melihat pria paruh baya yang sudah berpuluh tahun bekerja di tailor yang sudah menjadi langganan keluarga besar Widjaja. "Saya tidak pernah menyangka kalau saya masih diberi kesempatan untuk mengukur dan menyiapkan suits untuk pernikahan Anda," Leo menyapa dengan ramah. "Paman pasti masih menganggapku anak kecil," Narendra terkekeh. "Kebiasaan orang tua," dengan hati-hati Leo mengarahkan Narendra yang ditemani Abimana dan Badi untuk berjalan ke bagian belakang yang lebih tertutup, "Rasanya baru kemarin Anda ke sini untuk pengukuran suits pertama. Bahan wol, warna kelabu. Three pieces dengan celana pendek." "Untuk ulang tahun pernikahan Papa dan Mama," Narendra menyambung, "Saya juga masih mengingatnya dengan baik, Paman." Selama beberapa saat Leo berdiri sambil menatap Narendra. Tatapannya penuh dengan kenangan bercampur kebanggaan. Dia sempat larut sebelum menyadari kalau ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Dengan cepat dia mengeluarkan