Suara ketukan di pintu menarik perhatian Agnia. Gadis itu segera mengambil tisu dan mengeringkan air mata yang membasahi wajahnya. Beberapa kali dia juga membersit untuk membersihkan hidung sebelum merapikan penampilannya. Setelah merasa cukup layak, gadis itu bangkit dan berjalan menuju pintu kontrakan petaknya.
"Kamu belum siap?" Kenny yang berdiri di depan pintu kontrakan petak Agnia.
"Astaga," gadis itu bergumam pelan, "Aku lupa. Bukan benar-benar lupa hanya saja tadi aku ter-distract oleh sesuatu."
"Hei..kamu habis nangis? Mau cerita alasannya?" Kenny bertanya dengan hati-hati.
Walau Agnia sudah menerima kehadirannya sepenuhnya. Gadis itu juga dengan senang hati berusaha membangun hubungan sebagai anak dan ayah dengan Kenny serta menutupi kealpaan Kenny selama bertahun-tahun dari hidupnya dengan berbagi cerita hidupnya, pria paruh baya itu masih belum cukup ahli bertindak sebagai seorang ayah.
"Aku ... baik-baik aja," Agnia menjawab kemudian m
"Ayah siap?" Agnia tersenyum ke arah Kenny yang baru saja mematikan mesin mobilnya."Tentu," ada senyuman yang terulas walau Agnia tahu ayahnya tidak seyakin itu, "Ayah udah nunggu bertahun-tahun buat ketemu sama ibu kamu lagi."Agnia tersenyum. Hatinya tiba-tiba menghangat. Walau dia tidak dapat melihat pertemuan ayah dan ibunya saat mereka berdua masih ada tetapi pertemuan ini sudah cukup untuknya. Setidaknya mereka bertemu. Ayahnya menemukan akhir dari pencariannya."Oke," gadis itu tertawa kecil. Pancaran bahagia terlihat dari matanya, "Kita turun kalau gitu. Kasihan kalau Ibu kelamaan nunggu.""Sebelum itu ada yang pengin ayah tanyain." pria itu tersenyum hangat, "Kenapa kamu dandan secantik itu? Kamu mau ketemu siapa habis ini? Kencan?"Pertanyaan Kenny tidak aneh mengingat untuk mengunjungi makan ibunya gadis itu sengaja mengenakan terusan selutut berwarna biru pastel bermotif bunga forget-me-not. Tidak hanya itu, dia juga berdandan walau ha
Rheinya segera berbalik ketika mendengar ada yang memanggilnya. Rasa terkejut dengan cepat berganti dengan sebuah senyuman ketika menyadari siapa yang menyapa."Kenny, long time no see," Rheinya tertawa dengan anggun sebelum pandangannya beralih menatap Agnia, "Ini pasti...Agnia, benar? samahita Agnia. Aku hapal sekali nama itu karena Gayatri selalu mengulang nama itu sejak hamil. Entah berapa puluh bahkan ratus kali."Agnia tersenyum canggung karena dia tidak tahu harus membalas apa. Dia tahu siapa yang berdiri di depannya. Rheinya Widjaja merupakan istri dari pemimpin keluarga Widjaja dan itu berarti satu hal, wanita itu merupakan ibu dari kekasihnya."Kamu pasti kaget melihat kehadiranku di sini," Rheinya tersenyum sebelum mendekat dan memeluk Agnia dengan penuh kehangatan."Ya," jawaban Agnia terdengar seperti bisikan. Dia masih belum tahu harus bersikap sebagai apa. Anak dari sahabat wanita itu atau ... calon menantu walau besar kemungkinan Rheinya b
Setelah Agnia memperkenalkan mereka kembali kepada sang ibu, bergantian Kenny dan Rheinya mengobrol bersama Gayatri. Gadis itu dan Rheinya bahkan sedikit menjauh dari makam karena ingin memberi privasi kepada Kennya. Bagaimanapun mereka adalah kekasih yang sudah berpuluh tahun tidak bertemu. Tentu ada banyak yang ingi disampaikan."Aku belum bilang terima kasih untuk kedatangan Tante ke sini," Agnia membuka percakapan setelah selama beberapa saat mereka saling berdiam diri."Berterima kasih?" Rheinya menatap Agnia dengan bingung."Ya," Agnia tersenyum kecil, "Makasih karena Tante mau datang jenguk Ibu. Pasti menyakitkan waktu tahu Ibu udah meninggal, kan? Nggak mudah buat datang ke sini. Tante pasti penginnya Ibu masih ada.""Sejujurnya ... ya," wanita itu ikut tersenyum, "Bertahun-tahun aku berharap Gayatri masih hidup. Aku terus menjaga harapan itu dengan membayangkan suatu hari kami dapat kembali bertemu. Menyambung kembali persahabatan yang dulu sempa
Agnia dan Kenny sudah lama meninggalkan makam Gayatri. Berbeda dengan Rheinya. Wanita itu masih berdiri di sana. Menatap makam sahabatnya sambil sesekali mengenang masa lalu. Saat masih bersama dengan Gayatri. Saat mereka masih menjadi aktris dan berjuang bersama. Pilihan hidup mereka yang membuat jalan mereka terpisah."Aku minta maaf," Rheinya berbisik, "Agnia mengatakan aku tidak perlu meminta maaf tetapi aku merasa kalau aku harus melakukan ini, Tri.""Aku minta maaf," dia mengulangi ucapannya.Tidak ada jawaban. Tentu saja tidak ada jawaban. Hanya desau angin yang terdengar berbisik lembut di telinganya."Aku benar-benar minta maaf. Seharusnya aku tahu kalau saat itu kamu sedang tidak baik-baik saja. Andai saja aku sedikit lebih peka. Andai saja ..."Suaranya menghilang dan berganti dengan isak tangis. Akhirnya tangis itu pecah juga. Tangis yang sjak tadi ditahannya. Entah berapa lama hingga akhirnya tangis itu mereda dengan sendirinya.
Entah berapa kali Ardiansyah membenarkan posisi duduknya. Tidak ada yang salah. Bukan juga karena tidak nyaman. Ardiansyah melakukan itu tanpa sadar karena dia sangat gugup. Bagaimana tidak, dia baru kembali ke ibukota beberapa hari lalu dan kemarin Calya mengatakan kalau orang tuanya ingin bertemu dengannya. Kejutan yang sungguh berhasil membuat perutnya melilit sejak mendengar kabar itu dari pacarnya."Kamu kenapa, sih?" Calya tersenyum geli melihat tindak tanduk Ardiansyah sejak beberapa menit lalu."Masih pelu kamu tanya aku kenapa?" Ardiansyah tidak bermaksud menjawab ketus. Dia hanya terlalu gugup.Tawa Calya pecah, "Berapa kali aku harus bilang kalau santai aja? Ini cuma makan malam, Di.""Aku tahu ... tapi tetap saja," pria itu menghela napas panjang, "Ketemu orang tua kamu.""Nggak ada yang perlu ditakutin, kan? Mereka nggak akan tiba-tiba nodong kamu buat nikahin aku atau apa," Calya kembali tertawa geli, "Mereka cuma pengin tahu karena k
"Belum tidur, Calya?" Rheinya yang sudah berganti pakaian dengan piyama dilapis bedrobe berbahan sutra memasuki kamar anak bungsunya setelah mengetuk pintu.Calya yang sedang asyik menonton TV series favoritnya ditemani satu pint es krim rasa chocomint langsung menoleh ke sumber suara, "Hei, Ma. Belum, aku masih pengin nonton satu atau dua episode lagi.""Nonton apa, kok, kayaknya seru sekali?" Rheinya menduduki ruang kosong di samping Calya."Drama Korea. Konfliknya menarik," Calya sudah kembali serius nonton sambil menikmati sesendok es krim."Hm ..." Rheinya bergumam pelan sambil mengambil sendok yang tersedia di atas meja dan ikut menikmati es krim di pangkuan Calya.Setelah beberapa menit baru Calya kembali bersuara, "Mama mau nanya apa?""Tanya apa? Mama diam aja, lho, dari tadi."Calya tertawa kecil, "Ayolah, Ma. Aku hapal sama kelakuan Mama. Nggak mungkin nggak ada apa-apa kalau Mama malam-malam gini main ke kamarku. Mama, kan
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Seorang resepsionis muda berpenampilan menarik menyapa Ariyanto Sabian yang terlihat kebingungan di dalam lift."Saya ingin bertemu dengan Pak Sabda," dia menjawab dengan nada sombong sambil menegakkan dagu. Walau saat ini dia sedang bingung tetapi tidak boleh ada seorangpun yang menyadarinya."Maaf, apakah Bapak sudah memiliki janji?" resepsionis muda itu menahan pintu lift agar tidak tertutup, "Beberapa lantai hanya dapat diakses dengan menggunakan kartu khusus.""Janji? Kamu tidak tahu saya siapa?" Harga dirinya sedikit tergores mendengar ucapan yang dilontarkan oleh sang resepsionis."Tentu saya tahu Bapak siapa," sesuai dengan pelatihann yang didapatkannya, resepsionis itu masih tersenyum dengan ramah, "Anda Pak Ariyanto Sabian, benar?""Kalau begitu kenapa kamu berani-beraninya bertanya apakah saya memiliki janji atau tidak?!""Saya bertanya karena menurut catatan hari ini Pak sabda tidak memiliki janji
"Masih terlalu pagi untuk sebuah kunjungan, bukan?" Narendra tersenyum ketika melihat sosok Ariyanto Sabian memasuki ruang meeting disusul oleh tangan kanannya, Abimana."Menurut saya tidak," sepertinya kearoganan masih tersisa dalam diri pria itu."Begitu," Narendra bahkan tidak merasa perlu untuk bangun dari duduknya, "Mungkin karena saya bukan morning person sehingga ini masih terlalu pagi. Kamu setuju Abimana?"Abimana tersenyum sambil menaik kursi di samping sepupunya kemudian duduk dengan nyaman, "Terlalu pagi. Kopi aku bahkan belum habis."Narendra tertawa kecil, "Tapi karena Anda sudah di sini," Narendra menunjuk kursi kosong di hadapannya, "Saya tidak punya pilihan lain selain menerima Anda.""Bagus," Ariyanto Sabian menatap lawan bicaranya, "Karena saya bukan orang yang mudah menerima penolakan."Tawa Narendra kembali pecah, "Begitu? Tapi sebagian besar orang memang sulit menerima penolakan," dia tersenyum geli, "Kopi?""Ya,