“Apa? Bara nggak ke kantor? Ke mana dia?” tanya Della terkejut mendengar laporan dari Bondan, salah satu orang kepercayaannya, yang mengatakan bahwa Bara tidak ke kantor. Bondan menundukkan kepalanya. “Saya kurang tahu, Bu. Tapi, Bintang Dilara juga tidak ada di kantor. Sepertinya Pak Bara pergi bersama dengan Bintang.” Raut wajah Della berubah mendengar apa yang dikatakan oleh orang kepercayaannya itu. “Jadi, maksud kamu Bara pergi bersama wanita rendahan itu?” tanyanya mendesak untuk orang kepercayaannya itu menjawab. “Menurut saya seperti itu, Bu,” jawab Bondan dengan kepala yang masih tertunduk. Della mengembuskan napas kasar, seraya mengepalkan tangannya kuat. “Bara pasti sudah mendapatkann banyak hasutan dari wanita rendah itu!” Bondan hanya bisa menunduk, karena bingung harus berkata apa. Della mondar-mandir gelisah, akibat pikirannya penuh memikirkan putranya yang masih dekat dengan Bintang—sosok yang sama sekali tidak dia sukai. Sialnya rencananya yang terakhir gagal to
Cahaya matahari menembus sela-sela jendela, menyentuh pipi bulat Bima—yang kini sedang asik bermain robot bersama dengan Mbok Inem. Tampak jelas tatapan mata Bintang menghangat melihat pemandangan di depan mata. Rasa syukur di dalam diri tak pernah berhenti melihat pemandangan ini. Meski Bima dalam keadaan sakit, tapi putra kesayangannya itu selalu menunjukkan raut wajah yang riang gembira—seakan tidak ada penyakit yang menimpa putranya itu. “Mbok Inem, lihat robot Bima bagus, kan?” pekik Bima riang seraya menunjukkan robot miliknya pada Mbok Inem. Mbok Inem tersenyum hangat. “Robot Den Bima bagus sekali.” Bima memeluk robot itu. “Ini pemberian dari Om Keren, Mbok. Bima suka sekali setiap kali Om Keren membelikan mainan untuk Bima.” Mbok Inem kembali tersenyum. “Iya, Om Keren memang sangat baik, Den.” Bima menoleh, menatap Bintang. “Ma, papa mirip Om Keren, kan?” tanyanya spontan yang membuat Bintang terkejut. Bintang sedikit gelagapan mendengar pertanyaan Bima. Lidahnya kelu me
Otak Bintang tak bisa berpikir jernih di kala mendengar ucapan mematikan dari Bara. Semua pikirannya seolah buntu, tak menemukan jalan keluar. Ya, dia sungguh tak tahu apa yang harus dia katakan. Sekarang rasa takut menyelimuti dirinya. “J-jangan sembarangan bicara!” bentak Bintang keras, berusaha menepis kata-kata Bara. Saat kemarahan melingkupi diri Bintang, berbeda dengan Bara yang tenang—tapi terus melayangkan tatapan tajam pada Bintang. Dua insan itu seperti memiliki dinding penjulang tinggi di tengah-tengah mereka. “Bicara sembarangan? Kamu masih mau nutupin kenyataan Bima adalah anakku?” jawab Bara tajam, dan tersirat memiliki ancaman. Bintang mati-matian menahan air matanya agar tidak tumpah. “Bima bukan anakmu, Bara! Nggak usah ngaco kalau ngomong!” Bara tertawa hambar, menertawarakan Bintang yang selalu menutupi sesuatu darinya. Padahal dia sudah tahu akan fakta yang ada. Namun memang selama ini dia tidak langsung menginterogasi karena menunggu waktu yang tepat. “Nga
Lidah Bintang kelu tak sanggup mengeluarkan kata-kata di kala Bara memaparkan semua fakta. Sungguh, dia sama sekali tidak menyangka pria itu akan mencari tahu sampai seperti ini. Ya, semua perkataan Bara sukses membuat Bintang tidak berkutik. Bahkan otak wanita itu seakan blank tak mampu menjawab ucapan Bara. “A-aku, a-aku nggak ngerti maksud kamu!” jawab Bintang pada akhirnya, di kala dia dilanda kebingungan hebat. Bara tersenyum sinis. “Nggak ngerti? Lalu, hal seperti apa yang buat kamu ngerti, hm? Jelasin gimana ceritanya mamaku ngirimin uang ke rekening kamu? Nggak mungkin tiba-tiba uang di rekening mamaku berpindah sendiri ke rekening kamu, kan?” Bintang tak berkutik, wajahnya memucat menunjukkan kepanikan. Tampak yang dilakukannya sekarang hanya bisa merintih kesakitan di kala Bara mencengkeram rahangnya dengan kuat. Dia berusaha berontak, tapi tentu tenaganya akan kalah dengan tenaga Bara. “B-Bara, l-lepasin aku, akh—” Bintang semakin merintih kesakitan. Mata Bara menyalan
Bara melajukan mobilnya di tengah hujan lebat Jakarta, tampak kemarahan di wajahnya di kala mengingat ucapan Mario. Setiap kata yang diucapkan Mario seolah terngiang-ngiang di telinganya, membuat hatinya bergejolak tak menentu. Hujan yang deras seakan mencerminkan emosinya yang sedang meluap.Bara berada di perjalanan menuju tempat yang sudah seharusnya dia tuju. Berbicara dengan Mario, membuat emosi di dalam dirinya tidak bisa terkendali. Dia sekarang tahu ke mana dirinya harus melangkah, dan ke mana dirinya harus menyelesaikan masalahnya. “Den Bara?” sapa sang pelayan, di kala melihat Bara turun dari mobil. Ya, Bara berada di rumah kedua orang tuanya. Pria tampan itu mengabaikan sapaan sang pelayan, dan bergegas masuk ke dalam rumah. Derasnya hujan tak menghentikan tekadnya. Dia tetap melangkah menuju ruang keluarga—ruangan yang dia yakini ibunya berada. “Ma! Mama!” gelegar Bara keras di kala memasuki ruang tengah. Della yang sedang mengobrol hangat dengan Galih terkejut Bara da
Bintang seakan tak memiliki energy untuk tetap membuka mata. Pikiran dan tubuhnya terasa sangat lelah. Bahkan rasanya dia ingin menyudahi kehidupannya, tetapi hal yang terus dia ingat adalah dirinya harus mampu bertahan demi Bima. Sungguh, sekarang yang dia pikirkan hanya berfokus pada putranya. Dia tak peduli pada apa pun. Hal yang utama adalah dirinya selalu berada di dekat Bima. “Bu,” panggil Mbok Inem pelan, di kala Bintang sejak tadi hanya diam sambil menatap Bima yang tertidur. “Iya?” Bintang menatap Mbok Inem. Mbok Inem tampak ingin memberi tahu Bintang sesuatu. “Bu, maaf ada yang mau saya sampaikan ke ibu.” “Ada apa, Mbok?” tanya Bintang hangat. Mbok Inem terdiam sebentar. “Begini, Bu, tadi saat ibu keluar ketemu dokter, Den Bima bilang selalu mimpiin papanya. Den Bima juga bilang papanya selalu datang ke mimpi. Sebentar lagi Den Bima kan operasi, apa ibu keberatan kasih foto papa Den Bima? Maksud saya supaya Den Bima punya semangat, Bu. Jujur, saya selalu kasihan setiap
Flashback on#Napas Bintang terengah-engah di kala Bara mencium bibirnya dengan sedikit liar. Ciuman yang menggebu-gebu, membuatnya tak bisa untuk berhenti. Sungguh, ciuman kekasihnya itu selalu berhasil membuat dirinya terbuai dan terlena. Rasanya dia selalu ingin ada di dekat kekasihnya itu. “Kamu cantik,” bisik Bara kala ciuman itu terlepas. Bintang tersenyum, dengan tatapan indah menatap sang kekasih. “Kamu gombal banget!” jawabnya sambil memukul pelan lengan kekar kekasihnya itu. Bara mengecup hidung mancung Bintang. “Aku nggak gombal. Kamu memang cantik. Kamu itu perempuan yang aku pilih jadi ibu untuk anak-anakku di masa depan.” Bintang kembali tersenyum. “Sebentar lagi kamu lulus kuliah, kamu rencana mau kerja atau lanjut s2?” tanyanya hangat, dan penuh kasih sayang. Bara menghela napas dalam, membawa Bintang ke dalam pelukannya. Dia berada di taman dekat rumah Bintang, dan belum langsung pulang karena masih ingin di dekat kekasihnya itu. “Aku ingin kerja. Aku ingin ku
Keheningan membentang di kala Bintang menumpahkan semua tentang yang ada di masa lalu pada Bara. Kisah yang selama ini telah dia tutup rapat, dan tak pernah dirinya ingin ungkapkan. Namun, sekarang keadaan telah mendesak dirinya untuk mengakui segalanya. Segala hal yang seharusnya tak perlu lagi diingat-ingat, karena semua masa lalu. Sayang, Bara tetap mempertanyakan hal-hal yang terjadi di belakang. Itu yang membuat Bintang menjadi tersudut dan tak berdaya. Bara dan Bintang saling menatap dalam satu sama lain. Tatapan yang mengisyaratkan mereka sama-sama hancur. Mata mereka sembab dan memerah akibat tangis yang tak bisa tertahankan. Tentu perasaan yang mereka rasakan sama-sama kacau. Apa yang telah terjadi membuat mereka harus terpisah bertahun-tahun. Meski semesta kembali mempertemukan, tetap saja kesedihan akan perpisahan telah membuat hidup mereka kacau. “Jadi benar semua karena ancaman mamaku?” tanya Bara, dengan nada rendah terdengar sangat putus asa. Bintang mengangguk, deng
Matahari menyinari bumi begitu terik dan indah. Cahayanya menembus sela-sela jendela. Bintang sudah terbangun di pagi hari, menatap ke arah jendela. Tubuhnya masih lemah di ranjang. Luka bakar yang dia derita cukup parah membuatnya masih belum bisa untuk pergi dari ruang rawatnya. “Bu, apa ibu ingin makan sesuatu?” tanya sang perawat yang kebetulan ada di sana. Sekitar lima menit lalu, Bara keluar untuk menjawab telepon. Sementara Bima dibawa oleh Mbok Inem berjemur di taman. Hanya ada perawat yang menemani Bintang, karena memang Bintang yang meminta Mbok Inem untuk membawa Bima berjemur di taman. Bintang menggelengkan kepalanya pelan. “Saya masih kenyang. Tadi sudah sarapan cukup banyak. Terima kasih sudah nawarin.” Tiba-tiba, pintu ruang rawat terbuka. Tatapan Bintang teralih pada Wilona yang ternyata datang. Ya, tentu dia sama sekali tak menyangka Wilona datang ke rumah sakit. Kejadian yang menimpa dirinya, membuatnya sempat hilang kontak dengan rekan kerja, karena kondisi pon
Bintang menatap Della yang kini meninggalkan ruang rawatnya dibantu oleh perawat yang sudah dipanggil. Permintaan maaf telah lolos di bibir Della. Sebuah perkataan yang tak pernah Bintang sangka akan dia dengar. Selama ini, dia sangat mengenal sifat ibu Bara itu, tetapi ternyata pada akhirnya ibu Bara menyadari kejahatan yang dilakukan. Bintang tak menaruh dendam sedikit pun pada Della. Bahkan meski dulu ibu Bara itu telah memisahkannya dengan Bara, tetap tidak membuat Bintang menaruh dendam. Kecewa ada, karena Bintang juga manusia biasa, tetapi untuk membenci, dia merasa sangat tidak pantas. Sebab, bagaimanapun ibu Bara hanya ingin yang terbaik untuk Bara. Alasan utama Bintang tak menaruh dendam, karena dulu dia menyadari akan posisinya. Bara bagaikan langit, sedangkan Bintang hanya bumi. Terlalu perbedaan yang sangat jauh. Oleh karena itu, dia berusaha mengerti bahwa memang Della menginginkan yang terbaik untuk Bara—meski dengan cara yang sangat salah. “Harusnya tadi kamu kasih t
“Mbok, di mana Bima?” tanya Bintang pada Mbok Inem yang menyuapinya makan. Tadi, beberapa menit lalu perawat mengantarkan makanan. Itu yang membuat Bintang sekarang sedang makan siang. Namun, dia dibantu oleh Mbok Inem, karena kondisinya masih lemah. “Den Bima tadi ke mini market membeli ice cream bersama Pak Galih,” jawab Mbok Inem sopan memberi tahu. Dia begitu cekatan menjaga Bintang.Bintang menganggukkan kepalanya pelan. “Lalu, di mana Bara? Aku dari tadi nggak lihat dia. Apa dia bertemu Andi?” tanyanya ingin tahu. Sekitar sepuluh menit lalu, Bintang baru saja bangun tidur. Namun, di kala dia membuka mata hanya ada Mbok Inem yang ada di dekatnya. Bima tidak ada. Begitu juga dengan Bara yang tidak ada. “Tadi Pak Bara terima telepon, Bu. Tapi karena sampai sekarang Pak Bara belum kembali, mungkin Pak Bara menemui dokter,” jawab Mbok Inem sopan. Bintang menganggukkan kepalanya. “Bara selalu ketemu dokter. Dia selalu cemas sama keadaanku, Mbok. Padahal aku baik-baik aja. Mungkin
Bara dan Bintang hanyut akan ciuman yang mereka ciptakan, sampai mereka benar-benar tak sadar bahwa Mario sejak tadi menatap mereka. Tentu adegan di mana Bara dan Bintang berciuman, telah membuat Mario tampak sangat hancur. Namun, meski tampak hancur, Mario nyatanya tetap diam tak bersuara sedikit pun. Perlahan, Mario memilih untuk meninggalkan tempat di mana dia berdiri. Pria berperawakan tampan itu menyadari bahwa dirinya hanya mengganggu Bara dan Bintang. Pergi adalah cara yang terbaik. Meski hatinya sekarang benar-benar kacau. “Pak Mario?” Andi yang kebetulan ada di depan ruang rawat Bintang, menyapa Mario. Mario menghentikan langkahnya, menatap Andi dengan tatapan tenang. “Saya ke sini ingin menjenguk Bintang. Saya baru saja mendapatkan kabar musibah yang dialami Bintang,” jawabnya dengan nada datar. Andi mengangguk sopan. “Baik, Pak. Kebetulan Bu Bintang sudah siuman. Bu Bintang sudah melewati masa kritisnya. Anda ingin bertemu dengan Bu Bintang sekarang?” tanyanya hati-hati
Bintang menatap hangat Bima yang kini terlelap di pelukan Mbok Inem. Putra kecilnya itu tadi sempat terlelap di pelukannya, tapi karena kondisi tubuhnya diperban menyulitkannya untuk memeluk erat tubuh Bima. Hal itu yang membuat Bima sekarang digendong oleh Mbok Inem. “Den Bima anak yang pintar dan kuat,” kata Mbok Inem seraya menimang tubuh Bima. Bintang tersenyum lembut. “Aku benar-benar beruntung memiliki putra yang pintar dan kuat seperti Bima, Mbok. Aku yakin di masa depan nanti Bima akan menjadi sosok pria yang hebat.” Mbok Inem mengangguk setuju. “Saya juga berpikir demikian, Bu. Perpaduan antara ibu dan Pak Bara sangat sempurna.” Bintang kembali tersenyum menanggapi ucapan Mbok Inem. “Bima tidur?” Bara masuk ke dalam ruang rawat Bintang, menatap Bima yang ada digendongan Mbok Inem. Senyuman di wajahnya terlukis, padahal tadi dia meminta Bima untuk menjaga Bintang, tapi malah putra kecilnya itu tertidur pulas. Mbok Inem mengangguk sopan. “Iya, Pak. Den Bima tidur.” Bara
“Mama! Mama!” Bima berlari masuk ke dalam ruang rawat Bintang, dan langsung dibantu Bara duduk di ranhang Bintang, memeluk ibunya itu. Tampak jelas kebahagiaan di wajah bocah laki-laki itu kala memeluk ibunya. Bintang tersenyum sambil mengusap punggung Bima. “Anak Mama yang tampan, Mama kangen banget!” bisiknya lembut. Bima mengurai pelukan itu. “Bima juga kangen sekali sama Mama! Bima takut Mama tinggalin Bima.” Bintang membelai lembut pipi bulat Bima. “Mama nggak akan tinggalin Bima. Mama janji akan selalu temani Bima.” Bima mengangguk, tetapi sedikit muram. “Papa juga bilang kayak gitu. Papa bilang kalau Mama nggak akan mungkin tinggalin Bima. Soalnya Mama udah janji selalu temenin Bima. Tapi, kemarin Mama nggak sadar. Mama juga punya banyak luka. Jadi, Bima takut.” “Mama nggak apa-apa. Luka Mama akan segera sembuh,” jawab Bintang hangat. “Bu, saya senang sekali ibu sudah siuman.” Mbok Inem yang ada di sana mendekat, menatap hangat Bintang. Bintang mengalihkan pandangannya,
Perlahan mata Bintang mulai bergerak, dan pelupuk matanya terbuka secara pelan. Keningnya sedikit mengerut di kala cahaya lampu menyorot ke matanya. Suara hangat dan tenang menyerukan namanya begitu terdengar di indra pendengarannya. Hal tersebut membuatnya terpaku beberapa saat, menyadari yang memanggilnya adalah Bara. “B-Bara,” panggil Bintang dengan susah payah. Bara tersenyum haru melihat Bintang sudah membuka mata. “Terima kasih sudah membuka matamu, Bintang.” “A-aku d-di mana?” tanya Bintang lemah, seakan dirinya tak memiliki energi untuk bicara dengan Bara. “Tunggu sebentar. Aku panggilin dokter. Kamu jangan banyak gerak.” Bara mulai khawatir, dan memutuskan untuk menekan tombol darurat guna memanggil tim medis. Tak selang lama, dokter datang bersama dengan perawat. Sang dokter yang melihat Bintang sudah membuka mata, langsung segera memeriksa Bintang. Pun tentu Bara yang ada di sana—sedikit menjauh agar sang dokter bisa leluasa dalam memeriksa keadaan Bintang. Bara tampa
Bara menatap Galih yang melangkah menghampirinya. Pria tampan itu melihat jelas aura kemarahan di wajah sang ayah. Hal itu menandakan bahwa memang ada yang membuat ayahnya itu marah, dan tentu dia tahu akar permasalahan yang membuat ayahnya itu murka. “Pa,” sapa Bara kala Galih tiba di hadapannya. “Bagaimana keadaan Bintang?” tanya Galih yang langsung menanyakan Bintang. Bara terdiam sebentar, dan mengembuskan napas kasar. “Bintang masih belum siuman. Aku harap setelah ini Bintang bisa segera siuman. Terlalu banyak penderitaan yang Bintang alami, setelah dia siuman aku berjanji akan memperbaiki segala kekacauan ini.” Galih menatap dingin, dan tegas Bara. “Beri tahu Papa, kenapa kamu lebih menyelamatkan mamamu daripada Bintang? Apa Bintang yang meminta semua ini?” tanyanya yang sudah menduga, tetapi demi memastikan dia harus bertanya agar tak salah. Bara memejamkan mata singkat, mendengar pertanyaan ayahnya. “Ya, ini semua atas permintaan Bintang. Saat gudang kebakaran, dia dan ma
Bara sudah cukup lega melihat kedatangan Mbok Inem yang dijemput oleh Andi. Paling tidak, ada yang membantunya untuk menjaga Bima dan menenangkan Bima. Selama ini Mbok Inem selalu menemani Bima. Itu yang membuatnya cukup lega, paling tidak hadirnya Mbok Inem bisa membuat Bima tak selalu berfokus pada keadaan Bintang. Bara kini berdiri di depan ruang rawat Bintang. Terdiam seraya memejamkan mata singkat. Pikirannya sangat kacau, tak sanggup untuk berpikir jernih. Dia ingin bertindak, tetapi pikirannya masih berantakan akibat mendengar ucapan sang dokter. “Pak Bara,” panggil Andi cepat seraya melangkah menghampiri Bara. Bara mengalihkan pandangannya, menatap Andi yang wajahnya babak belur mendekat ke arahnya. “Apa yang ingin kamu laporkan?” tanyanya sudah menduga akan ada yang dilaporkan oleh asisten pribadinya itu. Saat ini Bara hanya seorang diri saja di depan ruang rawat Bintang. Bima diajak Mbok Inem untuk ke kantin rumah sakit, karena Bima sejak tadi belum makan. Sementara ayah