Keheningan membentang di kala Bintang menumpahkan semua tentang yang ada di masa lalu pada Bara. Kisah yang selama ini telah dia tutup rapat, dan tak pernah dirinya ingin ungkapkan. Namun, sekarang keadaan telah mendesak dirinya untuk mengakui segalanya. Segala hal yang seharusnya tak perlu lagi diingat-ingat, karena semua masa lalu. Sayang, Bara tetap mempertanyakan hal-hal yang terjadi di belakang. Itu yang membuat Bintang menjadi tersudut dan tak berdaya. Bara dan Bintang saling menatap dalam satu sama lain. Tatapan yang mengisyaratkan mereka sama-sama hancur. Mata mereka sembab dan memerah akibat tangis yang tak bisa tertahankan. Tentu perasaan yang mereka rasakan sama-sama kacau. Apa yang telah terjadi membuat mereka harus terpisah bertahun-tahun. Meski semesta kembali mempertemukan, tetap saja kesedihan akan perpisahan telah membuat hidup mereka kacau. “Jadi benar semua karena ancaman mamaku?” tanya Bara, dengan nada rendah terdengar sangat putus asa. Bintang mengangguk, deng
Bintang tak lepas menatap Bima yang tertidur lelap. Putra kecilnya itu memeluk mainan yang dibelikan oleh Bara. Tampak jelas raut wajah Bintang menunjukkan jelas kelemahan dalam dirinya. Pikirannya terisikan oleh apa yang dikatakan oleh Bara—di mana pria itu akan merampas hak asuh Bima. Sungguh, mengingat akan hal itu membuat hati Bintang benar-benar sangat hancur. Bintang ingin membatalkan jadwal operasi yang telah dokter tentukan. Namun, ingatannya mengingat di mana Bima harus dioperasi agar putranya itu sembuh. Ya, tentu dia tak bisa bersikap egois. Mencari pendonor yang cocok lagi pasti tidak akan mudah. Dia takut karena keegoisan dalam dirinya membuat Bima dalam bahaya. Bintang sekarang hanya bisa pasrah, dan menyingkirkan keegoisan dalam dirinya. Hal yang paling utama baginya adalah Bima harus sembuh. Itu yang ada di dalam benaknya. Sementara ini dia tak mau memikirkan apa pun semua demi pemulihan putra kecilnya. “Bima, kamu anak kuat, Sayang. Kamu anak mama yang kuat,” bisik
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Hari di mana Bima harus menjalani operasi donor tulang sumsum belakang dari Bara. Tentu perasaan yang dirasakan Bintang saat ini benar-benar campur aduk. Tak menampik bukan hanya Bima yang dia khawatirkan, tapi Bara juga dia khawatirkan. Tampak Bintang ditemani oleh Mario dan juga Wilona yang turut hadir di sana. Tatapannya bersama dengan Mario dan Wilona menatap team medis yang mendorong dua brankar. Ada Bara dan Bima yang terbaring di brankar itu. Bintang segera mendekat ke arah Bima—putra kecilnya. “Sayang,” bisik Bintang, dengan nada lemah. Bima tersenyum, menatap Bintang dengan tatapan polos. “Mama, Om Dokter bilang Bima akan diobati agar sembuh. Mama nggak usah khawatir. Bima kuat.” Mata Bintang berkaca-kaca mendengar ucapan Bima. Hati ibu mana yang bisa menerima semua ini. Sungguh, dia benar-benar sangat hancur melihat apa yang ada di hadapannya. Andai saja bisa, dia ingin menukar dirinya yang sakit, bukan putranya. “Mama tunggu di sin
Bintang bangkit berdiri dari tempat duduknya, di kala dokter membuka pintu ruang operasi. Tampak dokter yang menangani operasi donor tulang sumsum belakang Bima berdiri di ambang pintu, seraya menurunkan masker yang menutupi wajah sang dokter. Detik itu juga, yang dilakukan Bintang adalah mendekat ke arah sang dokter, dengan raut wajah yang menunjukkan jelas kecemasan nyata. “Dok, bagaimana keadaan Bara dan Bima? Mereka baik-baik saja, kan?” tanya Bintang cepat, ingin tahu. Wanita itu tak hanya menanyakan tentang kondisi Bima saja, tapi dia juga menanyakan tentang kondisi Bara. Apa pun alasannya, bahkan meski dia dan Bara sempat bertikai, hatinya tak bisa menutupi bahwa dirinya juga mencemaskan Bara. Sang dokter menatap sopan Bintang. “Operasi berjalan dengan baik. Tinggal tunggu hasil pemeriksaan lanjutan pasca operasi.” Bintang mendesah lega mendengar ucapan sang dokter mengatakan bahwa operasi berjalan dengan baik. Paling tidak kecemasannya mulai terobati. Meski tentu rasa takut
Bintang selalu ada di sisi Bima pasca operasi. Wanita cantik itu tampak masih sangat khawatir pada putra kecilnya. Dia menunggu dokter memberi tahu tentang keadaan putra kecilnya. Namun, memang hasil masih belum ada. Dia kini harus menunggu dan wajib lebih bersabar. “Bima akan segera pulih. Aku yakin itu,” ucap Mario memberikan dukungan pada Bintang. Bintang tersenyum dan mengangguk, menanggapi ucapan Mario. “Bintang, boleh aku tanya sesuatu?” ujar Mario hati-hati, dan pelan. Pria tampan itu berani mengajukan pertanyaan, karena kebetulan Wilona sedang berada di luar mencari makan siang. Pun Bima masih belum membuka mata. Bintang menatap Mario. “Kamu ingin tanya apa, Mario?” “Apa Bara sudah tahu?” Mario langsung to the point. Bintang terdiam sebentar mendengar pertanyaan Mario. “Ya, Bara sudah tahu semuanya. Dia sudah menyelidiki, dan sudah melakukan test DNA.” Mario belum berkata-kata, karena sekarang sesuatu hal menyelinap masuk ke dalam dirinya. “Apa yang diinginkan Bara sete
Langit terang telah berubah menjadi langit gelap. Pun cahaya di kota Jakarta sedang kurang baik, karena hujan terus menerus turun. Bara dan Wilona sudah berpamitan pulang pada Bintang tepat sebelum hujan turun. Sementara Bintang tentu kini berada di ruang rawat Bima, menjaga putra kecilnya itu yang masih menutup mata. “Bu, ibu nggak mau makan dulu?” tanya Mbok Inem sopan, menawarkan Bintang untuk makan. Bintang menggelengkan kepalanya. “Aku nggak lapar, Mbok.” Mbok Inem tersenyum lembut. “Bu, saya tahu ibu pasti selalu mencemaskan Den Bima, tapi ibu juga harus memikirkan diri ibu. Kalau sampai ibu sakit, bagaimana dengan Den Bima?” ujarnya mengingatkan Bintang untuk lebih menjaga kesehatan. Bintang terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Mbok Inem. “Bu, saya ingin ke kantin rumah sakit, saya saja beliin makanan buat ibu, ya? Sekalian saya juga ingin beli makanan,” kata Mbok Inem menawarkan diri. Bintang tersenyum, dan mengangguk. “Makasih, Mbok.” “Ibu mau makan apa?” tanya Mb
Bintang tak henti menangis di kala dokter melakukan pemeriksaan pada Bima. Rasa takut membentang di dalam diri bercampur dengan merutuki kebodohan dalam dirinya sendiri. Hal yang paling dirinya benci adalah dirinya begitu ceroboh sampai tak bisa menjaga dengan baik putranya sendiri. “Bima?” Bara menerobos masuk, dan langsung menatap Bintang yang kini menangis cukup keras. Bintang menoleh, menatap rapuh Bara. “Bara, maafkan aku.” “Kenapa dengan Bima?” tanya Bara yang meminta penjelasan. Bintang hanya terisak sesenggukan, tak mampu menjawab pertanyaan Bara. Sementara Bara tentu dilanda kebingungan bercampur dengan panik, karena Bintang tak menjawab. Namun, tampaknya Bara tak mau menyudutkan. Pria itu malah kini menarik Bintang—membawa wanita itu masuk ke dalam pelukannya. “Maafin aku nggak becus jaga Bima,” isak Bintang sesenggukan dalam pelukan Bara. Bara terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Bintang. Pria itu tak ingin menyudutkan Bintang dalam kondisi seperti ini. Meski dir
Bara berdiri di hadapan ruang dokter, menunggu team dokter yang sedang berdiskusi tentang apa yang telah terjadi pada putranya. Pria itu sengaja ingin bicara dengan dokter yang menangani Bima, karena dia tak sabar untuk tahu obat apa yang disuntikan di dalam tubuh Bima. Bara tak mengajak bicara dokter di depan Bintang, agar Bintang tak merasa disudutkan. Pun dengan apa yang telah terjadi, dia tak ingin Bintang merasa tersudut akan semua itu. Hal itu yang membuatnya memutuskan untuk bicara dengan dokter yang menjadi petanggung jawab Bima secara berdua tanpa melibatkan Bintang. “Pak Bara?” Dokter yang bertanggung jawab atas Bima keluar dari ruangannya, dan menatap sopan Bara. Bara yang melihat sang dokter keluar, langsung melangkah menghampiri dokter itu. “Saya ingin tahu obat apa yang disuntikan ke dalam tubuh putra saya?” tanyanya tegas, tanpa basa-basi. Sang dokter terdiam sebentar, dengan raut wajah yang tampak menunjukkan kegelisahan. “Pak Bara, saya minta maaf.” Kening Bara m
Matahari menyinari bumi begitu terik dan indah. Cahayanya menembus sela-sela jendela. Bintang sudah terbangun di pagi hari, menatap ke arah jendela. Tubuhnya masih lemah di ranjang. Luka bakar yang dia derita cukup parah membuatnya masih belum bisa untuk pergi dari ruang rawatnya. “Bu, apa ibu ingin makan sesuatu?” tanya sang perawat yang kebetulan ada di sana. Sekitar lima menit lalu, Bara keluar untuk menjawab telepon. Sementara Bima dibawa oleh Mbok Inem berjemur di taman. Hanya ada perawat yang menemani Bintang, karena memang Bintang yang meminta Mbok Inem untuk membawa Bima berjemur di taman. Bintang menggelengkan kepalanya pelan. “Saya masih kenyang. Tadi sudah sarapan cukup banyak. Terima kasih sudah nawarin.” Tiba-tiba, pintu ruang rawat terbuka. Tatapan Bintang teralih pada Wilona yang ternyata datang. Ya, tentu dia sama sekali tak menyangka Wilona datang ke rumah sakit. Kejadian yang menimpa dirinya, membuatnya sempat hilang kontak dengan rekan kerja, karena kondisi pon
Bintang menatap Della yang kini meninggalkan ruang rawatnya dibantu oleh perawat yang sudah dipanggil. Permintaan maaf telah lolos di bibir Della. Sebuah perkataan yang tak pernah Bintang sangka akan dia dengar. Selama ini, dia sangat mengenal sifat ibu Bara itu, tetapi ternyata pada akhirnya ibu Bara menyadari kejahatan yang dilakukan. Bintang tak menaruh dendam sedikit pun pada Della. Bahkan meski dulu ibu Bara itu telah memisahkannya dengan Bara, tetap tidak membuat Bintang menaruh dendam. Kecewa ada, karena Bintang juga manusia biasa, tetapi untuk membenci, dia merasa sangat tidak pantas. Sebab, bagaimanapun ibu Bara hanya ingin yang terbaik untuk Bara. Alasan utama Bintang tak menaruh dendam, karena dulu dia menyadari akan posisinya. Bara bagaikan langit, sedangkan Bintang hanya bumi. Terlalu perbedaan yang sangat jauh. Oleh karena itu, dia berusaha mengerti bahwa memang Della menginginkan yang terbaik untuk Bara—meski dengan cara yang sangat salah. “Harusnya tadi kamu kasih t
“Mbok, di mana Bima?” tanya Bintang pada Mbok Inem yang menyuapinya makan. Tadi, beberapa menit lalu perawat mengantarkan makanan. Itu yang membuat Bintang sekarang sedang makan siang. Namun, dia dibantu oleh Mbok Inem, karena kondisinya masih lemah. “Den Bima tadi ke mini market membeli ice cream bersama Pak Galih,” jawab Mbok Inem sopan memberi tahu. Dia begitu cekatan menjaga Bintang.Bintang menganggukkan kepalanya pelan. “Lalu, di mana Bara? Aku dari tadi nggak lihat dia. Apa dia bertemu Andi?” tanyanya ingin tahu. Sekitar sepuluh menit lalu, Bintang baru saja bangun tidur. Namun, di kala dia membuka mata hanya ada Mbok Inem yang ada di dekatnya. Bima tidak ada. Begitu juga dengan Bara yang tidak ada. “Tadi Pak Bara terima telepon, Bu. Tapi karena sampai sekarang Pak Bara belum kembali, mungkin Pak Bara menemui dokter,” jawab Mbok Inem sopan. Bintang menganggukkan kepalanya. “Bara selalu ketemu dokter. Dia selalu cemas sama keadaanku, Mbok. Padahal aku baik-baik aja. Mungkin
Bara dan Bintang hanyut akan ciuman yang mereka ciptakan, sampai mereka benar-benar tak sadar bahwa Mario sejak tadi menatap mereka. Tentu adegan di mana Bara dan Bintang berciuman, telah membuat Mario tampak sangat hancur. Namun, meski tampak hancur, Mario nyatanya tetap diam tak bersuara sedikit pun. Perlahan, Mario memilih untuk meninggalkan tempat di mana dia berdiri. Pria berperawakan tampan itu menyadari bahwa dirinya hanya mengganggu Bara dan Bintang. Pergi adalah cara yang terbaik. Meski hatinya sekarang benar-benar kacau. “Pak Mario?” Andi yang kebetulan ada di depan ruang rawat Bintang, menyapa Mario. Mario menghentikan langkahnya, menatap Andi dengan tatapan tenang. “Saya ke sini ingin menjenguk Bintang. Saya baru saja mendapatkan kabar musibah yang dialami Bintang,” jawabnya dengan nada datar. Andi mengangguk sopan. “Baik, Pak. Kebetulan Bu Bintang sudah siuman. Bu Bintang sudah melewati masa kritisnya. Anda ingin bertemu dengan Bu Bintang sekarang?” tanyanya hati-hati
Bintang menatap hangat Bima yang kini terlelap di pelukan Mbok Inem. Putra kecilnya itu tadi sempat terlelap di pelukannya, tapi karena kondisi tubuhnya diperban menyulitkannya untuk memeluk erat tubuh Bima. Hal itu yang membuat Bima sekarang digendong oleh Mbok Inem. “Den Bima anak yang pintar dan kuat,” kata Mbok Inem seraya menimang tubuh Bima. Bintang tersenyum lembut. “Aku benar-benar beruntung memiliki putra yang pintar dan kuat seperti Bima, Mbok. Aku yakin di masa depan nanti Bima akan menjadi sosok pria yang hebat.” Mbok Inem mengangguk setuju. “Saya juga berpikir demikian, Bu. Perpaduan antara ibu dan Pak Bara sangat sempurna.” Bintang kembali tersenyum menanggapi ucapan Mbok Inem. “Bima tidur?” Bara masuk ke dalam ruang rawat Bintang, menatap Bima yang ada digendongan Mbok Inem. Senyuman di wajahnya terlukis, padahal tadi dia meminta Bima untuk menjaga Bintang, tapi malah putra kecilnya itu tertidur pulas. Mbok Inem mengangguk sopan. “Iya, Pak. Den Bima tidur.” Bara
“Mama! Mama!” Bima berlari masuk ke dalam ruang rawat Bintang, dan langsung dibantu Bara duduk di ranhang Bintang, memeluk ibunya itu. Tampak jelas kebahagiaan di wajah bocah laki-laki itu kala memeluk ibunya. Bintang tersenyum sambil mengusap punggung Bima. “Anak Mama yang tampan, Mama kangen banget!” bisiknya lembut. Bima mengurai pelukan itu. “Bima juga kangen sekali sama Mama! Bima takut Mama tinggalin Bima.” Bintang membelai lembut pipi bulat Bima. “Mama nggak akan tinggalin Bima. Mama janji akan selalu temani Bima.” Bima mengangguk, tetapi sedikit muram. “Papa juga bilang kayak gitu. Papa bilang kalau Mama nggak akan mungkin tinggalin Bima. Soalnya Mama udah janji selalu temenin Bima. Tapi, kemarin Mama nggak sadar. Mama juga punya banyak luka. Jadi, Bima takut.” “Mama nggak apa-apa. Luka Mama akan segera sembuh,” jawab Bintang hangat. “Bu, saya senang sekali ibu sudah siuman.” Mbok Inem yang ada di sana mendekat, menatap hangat Bintang. Bintang mengalihkan pandangannya,
Perlahan mata Bintang mulai bergerak, dan pelupuk matanya terbuka secara pelan. Keningnya sedikit mengerut di kala cahaya lampu menyorot ke matanya. Suara hangat dan tenang menyerukan namanya begitu terdengar di indra pendengarannya. Hal tersebut membuatnya terpaku beberapa saat, menyadari yang memanggilnya adalah Bara. “B-Bara,” panggil Bintang dengan susah payah. Bara tersenyum haru melihat Bintang sudah membuka mata. “Terima kasih sudah membuka matamu, Bintang.” “A-aku d-di mana?” tanya Bintang lemah, seakan dirinya tak memiliki energi untuk bicara dengan Bara. “Tunggu sebentar. Aku panggilin dokter. Kamu jangan banyak gerak.” Bara mulai khawatir, dan memutuskan untuk menekan tombol darurat guna memanggil tim medis. Tak selang lama, dokter datang bersama dengan perawat. Sang dokter yang melihat Bintang sudah membuka mata, langsung segera memeriksa Bintang. Pun tentu Bara yang ada di sana—sedikit menjauh agar sang dokter bisa leluasa dalam memeriksa keadaan Bintang. Bara tampa
Bara menatap Galih yang melangkah menghampirinya. Pria tampan itu melihat jelas aura kemarahan di wajah sang ayah. Hal itu menandakan bahwa memang ada yang membuat ayahnya itu marah, dan tentu dia tahu akar permasalahan yang membuat ayahnya itu murka. “Pa,” sapa Bara kala Galih tiba di hadapannya. “Bagaimana keadaan Bintang?” tanya Galih yang langsung menanyakan Bintang. Bara terdiam sebentar, dan mengembuskan napas kasar. “Bintang masih belum siuman. Aku harap setelah ini Bintang bisa segera siuman. Terlalu banyak penderitaan yang Bintang alami, setelah dia siuman aku berjanji akan memperbaiki segala kekacauan ini.” Galih menatap dingin, dan tegas Bara. “Beri tahu Papa, kenapa kamu lebih menyelamatkan mamamu daripada Bintang? Apa Bintang yang meminta semua ini?” tanyanya yang sudah menduga, tetapi demi memastikan dia harus bertanya agar tak salah. Bara memejamkan mata singkat, mendengar pertanyaan ayahnya. “Ya, ini semua atas permintaan Bintang. Saat gudang kebakaran, dia dan ma
Bara sudah cukup lega melihat kedatangan Mbok Inem yang dijemput oleh Andi. Paling tidak, ada yang membantunya untuk menjaga Bima dan menenangkan Bima. Selama ini Mbok Inem selalu menemani Bima. Itu yang membuatnya cukup lega, paling tidak hadirnya Mbok Inem bisa membuat Bima tak selalu berfokus pada keadaan Bintang. Bara kini berdiri di depan ruang rawat Bintang. Terdiam seraya memejamkan mata singkat. Pikirannya sangat kacau, tak sanggup untuk berpikir jernih. Dia ingin bertindak, tetapi pikirannya masih berantakan akibat mendengar ucapan sang dokter. “Pak Bara,” panggil Andi cepat seraya melangkah menghampiri Bara. Bara mengalihkan pandangannya, menatap Andi yang wajahnya babak belur mendekat ke arahnya. “Apa yang ingin kamu laporkan?” tanyanya sudah menduga akan ada yang dilaporkan oleh asisten pribadinya itu. Saat ini Bara hanya seorang diri saja di depan ruang rawat Bintang. Bima diajak Mbok Inem untuk ke kantin rumah sakit, karena Bima sejak tadi belum makan. Sementara ayah