Bara berdiri di hadapan ruang dokter, menunggu team dokter yang sedang berdiskusi tentang apa yang telah terjadi pada putranya. Pria itu sengaja ingin bicara dengan dokter yang menangani Bima, karena dia tak sabar untuk tahu obat apa yang disuntikan di dalam tubuh Bima. Bara tak mengajak bicara dokter di depan Bintang, agar Bintang tak merasa disudutkan. Pun dengan apa yang telah terjadi, dia tak ingin Bintang merasa tersudut akan semua itu. Hal itu yang membuatnya memutuskan untuk bicara dengan dokter yang menjadi petanggung jawab Bima secara berdua tanpa melibatkan Bintang. “Pak Bara?” Dokter yang bertanggung jawab atas Bima keluar dari ruangannya, dan menatap sopan Bara. Bara yang melihat sang dokter keluar, langsung melangkah menghampiri dokter itu. “Saya ingin tahu obat apa yang disuntikan ke dalam tubuh putra saya?” tanyanya tegas, tanpa basa-basi. Sang dokter terdiam sebentar, dengan raut wajah yang tampak menunjukkan kegelisahan. “Pak Bara, saya minta maaf.” Kening Bara m
Bara membanting kasar pintu mobilnya, dan turun berjalan cepat masuk ke dalam rumah keluarganya. Pria tampan itu melangkahkan kaki dengan langkah tegas dan terburu-buru. Tampak jelas aura wajahnya memancarkan jelas kemarahan yang berkobar. “Ma! Mama!” gelegar Bara memasuki rumah mewah milik keluarganya. Kemarahan di wajah Bara, membuat para pelayan yang tadi ingin menyapanya langsung menundukkan kepala tidak berani. Pun Bara terus melangkah mengabaikan keberadaan pelayan. “Ma!” gelegar Bara lagi memanggil ibunya. Della menuruni undakan tangga, menatap Bara dengan tatapan hangat. “Sayang, kenapa kamu panggil Mama teriak-teriak gitu? Pelan aja, Mama juga dengar,” ujarnya sambil melangkah mendekat pada putranya itu. Bara menatap tajam ibunya itu. “Bilang sama aku, apa yang udah Mama lakuin?!” bentaknya dengan nada tinggi. Della terkejut mendapatkan bentakan dari putranya itu. “Sayang, kamu kenapa bentak Mama? Ada apa sebenarnya?” tanyanya tak mengerti kenapa Bara datang marah-mara
Ketegangan menyelimuti ruang rawat Bima. Suara tangis Bintang memilukan, dan Bara begitu sigap memeluk Bintang yang tak henti-hentinya menangis di kala team medis mengambil tindakan menyelamatkan Bima. Tanda-tanda detak jantung masih belum kembali, membuat kecemasan semua orang di sana begitu melanda. Mbok Inem yang ada di sana juga menangis melihat kondisi Bima yang berada di ambang maut. Bahkan Galih—ayah Bara—yang selalu bersikap dingin menunjukkan raut wajah gelisah. Bisa dikatakan semua orang di sana sama-sama takut hal buruk menimpa Bima. “Dokter, jantung pasien lost,” ucap salah satu perawat dengan panik. Dokter mengambil tindakan memompa jantung Bima agar kembali berdetak. Ya, perkataan perawat membuat tangis Bintang pecah, dan bukan hanya Bintang yang menangis, tapi Bara juga meneteskan air mata. Dua insan yang terpisah lama itu kini saling berpelukan dengan erat. “Bima anak kuat. Bima nggak mungkin nyerah,” isak Bintang pilu dari dalam pelukan Bara. “Kamu benar. Bima
Della mondar-mandir gelisah, bercampur dengan rasa takut di kala rencana yang sudah dia susun telah diketahui. Tidak hanya diketahui oleh Bara saja, tapi bahkan diketahui oleh suaminya. Itu yang membuat rasa takut dan cemas telah membentang di dalam dirinya. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” gumam Della seraya menggigit kukunya, dan menunjukkan raut wajah panik. Della tampak frustrasi dan putus asa. Rencana yang harusnya berjalan dengan sempurna malah berantakan. Bahkan putra dan suaminya sekarang memusuhi dirinya. Hal tersebut yang membuatnya dilanda kebingungan dan rasa cemas yang mendera. “Apa aku pura-pura bodoh saja?” gumam Della lagi, mencari ide agar putra dan suaminya tidak membencinya. “Kamu ingin pura-pura bodoh setelah apa yang kamu lakuin?!” Galih muncul, menghampiri sang istri dengan sorot mata penuh kemarahan. Della terkejut melihat suaminya ada di hadapannya. “S-sayang? K-kamu udah pulang? K-kenapa kamu muncul buat aku kaget?” Galih tak mengindahkan pertanya
Bintang membelai lembut pipi bulat Bima. Meski putra kecilnya itu masih belum membuka mata, tetapi dia selalu tenang mendengar bunyi mesin pendeteksi detak jantung. Ya, dia tak henti mengucapkan syukur karena sekarang anaknya berhasil selamat dari maut. “Aku dengar dari Mbok Inem, kamu belum makan,” tegur Bara yang muncul, sambil mendekat pada Bintang. Pria tampan itu baru saja mendengar aduan dari Mbok Inem tentang Bintang yang belum makan siang. Bintang mendongakkan kepalanya, menatap Bara. “Aku belum lapar.” “Kamu nggak akan pernah ngerasain lapar selama Bima sakit,” balas Bara dengan nada tegas. “Kalau kamu terus-terusan kayak gini, gimana kamu bisa jaga Bima? Apa kamu nggak mikir kalau kamu sakit, akan ngebuat kami jadi nggak bisa jaga Bima?” lanjutnya mengingatkan Bintang. Bintang terdiam sebentar, mendengar kata-kata tegas yang terlontar di bibir Bara. Dia sangat sadar tindakannya bisa membuat tubuhnya sakit, tetapi nafsu makannya benar-benar menghilang. Semua karena pikira
Bintang melangkah keluar dari ruang rawat Bima, bersamaan dengan Bara yang kebetulan juga keluar dari ruang rawat Bima. Bintang menitipkan Mbok Inem untuk menjaga Bima dengan baik. Tentu saja Bintang menitipkan Bima, karena ada hal yang Bintang ingin bicarakan pada Bara berdua—dan yang pasti tak ingin didengar siapa pun. “Bara,” panggil Bintang pelan, seraya menatap dalam Bara. Bara terdiam, membalas tatapan Bintang. “Aku tahu apa yang ingin kamu bahas, tapi bicaralah. Aku akan dengar.” Bintang mengatur napasnya, berusaha untuk tenang meski jujur itu sangat sulit. “Pertama, aku mau minta maaf untuk semuanya. Maaf, karena udah nutupin tentang kebenaran, dan maaf karena aku bilang sama Bima tentang kamu udah ada di surga. Jujur, aku bingung harus jawab apa setiap kali Bima nanya tentang papanya. Satu-satunya kata yang muncul di otakku ini adalah surga. Mungkin memang bodoh, aku akuin, tapi sekali lagi maafin aku.” Bara memilih tetap diam mendengar ucapan maaf terlontar di bibir Bint
Asap rokok mengepul di udara, lalu dalam sekejap hilang oleh angin. Bara duduk di area di rumah sakit yang diperbolehkan untuk merokok. Pikirannya belakangan ini sudah penuh dengan banyak hal. Pria itu merokok guna menenangkan semua hal yang berkecamuk dalam diri. “Pak Bara?” sapa Andi melangkah menghampiri Bara. Bara mengalihkan pandangannya, menatap sang asisten yang berdiri di hadapannya. “Apa kamu ingin melaporkan sesuatu?” tanyanya menduga. “Tadi, saat Bima siuman, ada Pak Mario datang,” jawab Andi memberi tahu bosnya. “Mario datang?” ulang Bara memastikan. Andi mengangguk. “Iya, Pak. Pak Mario datang. Beliau tadinya ingin menemui Bu Bintang dan Bima, tapi saat melihat Bima siuman, membuatnya mengurungkan niat.” Bara terdiam sebentar. “Hal ini tidak perlu kamu sampaikan sama Bintang. Cukup saya saja yang tahu,” jawabnya lagi tak ingin Bintang mengetahui Mario datang. Andi menggaruk tengkuk lehernya tak gatal. “Jadi, saya tidak perlu menyampaikan ini ke Bu Bintang, Pak?” ta
Bebasnya Bima dari kanker membuat semua orang bahagia. Bintang dan Bara tak bisa terbendung lagi bagaimana mengungkapkan haru bahagia mereka. Perjuangan yang luar biasa telah berakhir dengan manis. Itu sesuatu hal anugerah yang tak bisa lagi terkira. “Mama, hari ini benar Bima boleh pulang?” tanya Bima dengan antusias, sambil menatap Bintang. Bintang mengangguk. “Ya, Sayang. Kita akan pulang. Dokter bilang Bima sudah sehat. Jadi, Bima nggak lagi dirawat di rumah sakit.” “Yeay! Bima bisa pulang!” pekik Bima riang sambil memeluk robotnya. Bara tersenyum hangat melihat kebahagiaan di wajah Bima. Pria tampan itu mengecup pipi Bima sambil berkata, “Kamu anak pintar dan kuat.” Bima mengangguk, dan tersenyum menatap Bara. “Ya, Om. Bima anak pintar dan kuat karena punya Mama dan Papa yang hebat.” Bara dan Bintang saling melemparkan tatapan satu sama lain, mendengar apa yang dikatakan oleh Bima. Tentu ini adalah tugas utama bagi mereka untuk memberi tahu pada Bima tentang semuanya. “Bim
Matahari menyinari bumi begitu terik dan indah. Cahayanya menembus sela-sela jendela. Bintang sudah terbangun di pagi hari, menatap ke arah jendela. Tubuhnya masih lemah di ranjang. Luka bakar yang dia derita cukup parah membuatnya masih belum bisa untuk pergi dari ruang rawatnya. “Bu, apa ibu ingin makan sesuatu?” tanya sang perawat yang kebetulan ada di sana. Sekitar lima menit lalu, Bara keluar untuk menjawab telepon. Sementara Bima dibawa oleh Mbok Inem berjemur di taman. Hanya ada perawat yang menemani Bintang, karena memang Bintang yang meminta Mbok Inem untuk membawa Bima berjemur di taman. Bintang menggelengkan kepalanya pelan. “Saya masih kenyang. Tadi sudah sarapan cukup banyak. Terima kasih sudah nawarin.” Tiba-tiba, pintu ruang rawat terbuka. Tatapan Bintang teralih pada Wilona yang ternyata datang. Ya, tentu dia sama sekali tak menyangka Wilona datang ke rumah sakit. Kejadian yang menimpa dirinya, membuatnya sempat hilang kontak dengan rekan kerja, karena kondisi pon
Bintang menatap Della yang kini meninggalkan ruang rawatnya dibantu oleh perawat yang sudah dipanggil. Permintaan maaf telah lolos di bibir Della. Sebuah perkataan yang tak pernah Bintang sangka akan dia dengar. Selama ini, dia sangat mengenal sifat ibu Bara itu, tetapi ternyata pada akhirnya ibu Bara menyadari kejahatan yang dilakukan. Bintang tak menaruh dendam sedikit pun pada Della. Bahkan meski dulu ibu Bara itu telah memisahkannya dengan Bara, tetap tidak membuat Bintang menaruh dendam. Kecewa ada, karena Bintang juga manusia biasa, tetapi untuk membenci, dia merasa sangat tidak pantas. Sebab, bagaimanapun ibu Bara hanya ingin yang terbaik untuk Bara. Alasan utama Bintang tak menaruh dendam, karena dulu dia menyadari akan posisinya. Bara bagaikan langit, sedangkan Bintang hanya bumi. Terlalu perbedaan yang sangat jauh. Oleh karena itu, dia berusaha mengerti bahwa memang Della menginginkan yang terbaik untuk Bara—meski dengan cara yang sangat salah. “Harusnya tadi kamu kasih t
“Mbok, di mana Bima?” tanya Bintang pada Mbok Inem yang menyuapinya makan. Tadi, beberapa menit lalu perawat mengantarkan makanan. Itu yang membuat Bintang sekarang sedang makan siang. Namun, dia dibantu oleh Mbok Inem, karena kondisinya masih lemah. “Den Bima tadi ke mini market membeli ice cream bersama Pak Galih,” jawab Mbok Inem sopan memberi tahu. Dia begitu cekatan menjaga Bintang.Bintang menganggukkan kepalanya pelan. “Lalu, di mana Bara? Aku dari tadi nggak lihat dia. Apa dia bertemu Andi?” tanyanya ingin tahu. Sekitar sepuluh menit lalu, Bintang baru saja bangun tidur. Namun, di kala dia membuka mata hanya ada Mbok Inem yang ada di dekatnya. Bima tidak ada. Begitu juga dengan Bara yang tidak ada. “Tadi Pak Bara terima telepon, Bu. Tapi karena sampai sekarang Pak Bara belum kembali, mungkin Pak Bara menemui dokter,” jawab Mbok Inem sopan. Bintang menganggukkan kepalanya. “Bara selalu ketemu dokter. Dia selalu cemas sama keadaanku, Mbok. Padahal aku baik-baik aja. Mungkin
Bara dan Bintang hanyut akan ciuman yang mereka ciptakan, sampai mereka benar-benar tak sadar bahwa Mario sejak tadi menatap mereka. Tentu adegan di mana Bara dan Bintang berciuman, telah membuat Mario tampak sangat hancur. Namun, meski tampak hancur, Mario nyatanya tetap diam tak bersuara sedikit pun. Perlahan, Mario memilih untuk meninggalkan tempat di mana dia berdiri. Pria berperawakan tampan itu menyadari bahwa dirinya hanya mengganggu Bara dan Bintang. Pergi adalah cara yang terbaik. Meski hatinya sekarang benar-benar kacau. “Pak Mario?” Andi yang kebetulan ada di depan ruang rawat Bintang, menyapa Mario. Mario menghentikan langkahnya, menatap Andi dengan tatapan tenang. “Saya ke sini ingin menjenguk Bintang. Saya baru saja mendapatkan kabar musibah yang dialami Bintang,” jawabnya dengan nada datar. Andi mengangguk sopan. “Baik, Pak. Kebetulan Bu Bintang sudah siuman. Bu Bintang sudah melewati masa kritisnya. Anda ingin bertemu dengan Bu Bintang sekarang?” tanyanya hati-hati
Bintang menatap hangat Bima yang kini terlelap di pelukan Mbok Inem. Putra kecilnya itu tadi sempat terlelap di pelukannya, tapi karena kondisi tubuhnya diperban menyulitkannya untuk memeluk erat tubuh Bima. Hal itu yang membuat Bima sekarang digendong oleh Mbok Inem. “Den Bima anak yang pintar dan kuat,” kata Mbok Inem seraya menimang tubuh Bima. Bintang tersenyum lembut. “Aku benar-benar beruntung memiliki putra yang pintar dan kuat seperti Bima, Mbok. Aku yakin di masa depan nanti Bima akan menjadi sosok pria yang hebat.” Mbok Inem mengangguk setuju. “Saya juga berpikir demikian, Bu. Perpaduan antara ibu dan Pak Bara sangat sempurna.” Bintang kembali tersenyum menanggapi ucapan Mbok Inem. “Bima tidur?” Bara masuk ke dalam ruang rawat Bintang, menatap Bima yang ada digendongan Mbok Inem. Senyuman di wajahnya terlukis, padahal tadi dia meminta Bima untuk menjaga Bintang, tapi malah putra kecilnya itu tertidur pulas. Mbok Inem mengangguk sopan. “Iya, Pak. Den Bima tidur.” Bara
“Mama! Mama!” Bima berlari masuk ke dalam ruang rawat Bintang, dan langsung dibantu Bara duduk di ranhang Bintang, memeluk ibunya itu. Tampak jelas kebahagiaan di wajah bocah laki-laki itu kala memeluk ibunya. Bintang tersenyum sambil mengusap punggung Bima. “Anak Mama yang tampan, Mama kangen banget!” bisiknya lembut. Bima mengurai pelukan itu. “Bima juga kangen sekali sama Mama! Bima takut Mama tinggalin Bima.” Bintang membelai lembut pipi bulat Bima. “Mama nggak akan tinggalin Bima. Mama janji akan selalu temani Bima.” Bima mengangguk, tetapi sedikit muram. “Papa juga bilang kayak gitu. Papa bilang kalau Mama nggak akan mungkin tinggalin Bima. Soalnya Mama udah janji selalu temenin Bima. Tapi, kemarin Mama nggak sadar. Mama juga punya banyak luka. Jadi, Bima takut.” “Mama nggak apa-apa. Luka Mama akan segera sembuh,” jawab Bintang hangat. “Bu, saya senang sekali ibu sudah siuman.” Mbok Inem yang ada di sana mendekat, menatap hangat Bintang. Bintang mengalihkan pandangannya,
Perlahan mata Bintang mulai bergerak, dan pelupuk matanya terbuka secara pelan. Keningnya sedikit mengerut di kala cahaya lampu menyorot ke matanya. Suara hangat dan tenang menyerukan namanya begitu terdengar di indra pendengarannya. Hal tersebut membuatnya terpaku beberapa saat, menyadari yang memanggilnya adalah Bara. “B-Bara,” panggil Bintang dengan susah payah. Bara tersenyum haru melihat Bintang sudah membuka mata. “Terima kasih sudah membuka matamu, Bintang.” “A-aku d-di mana?” tanya Bintang lemah, seakan dirinya tak memiliki energi untuk bicara dengan Bara. “Tunggu sebentar. Aku panggilin dokter. Kamu jangan banyak gerak.” Bara mulai khawatir, dan memutuskan untuk menekan tombol darurat guna memanggil tim medis. Tak selang lama, dokter datang bersama dengan perawat. Sang dokter yang melihat Bintang sudah membuka mata, langsung segera memeriksa Bintang. Pun tentu Bara yang ada di sana—sedikit menjauh agar sang dokter bisa leluasa dalam memeriksa keadaan Bintang. Bara tampa
Bara menatap Galih yang melangkah menghampirinya. Pria tampan itu melihat jelas aura kemarahan di wajah sang ayah. Hal itu menandakan bahwa memang ada yang membuat ayahnya itu marah, dan tentu dia tahu akar permasalahan yang membuat ayahnya itu murka. “Pa,” sapa Bara kala Galih tiba di hadapannya. “Bagaimana keadaan Bintang?” tanya Galih yang langsung menanyakan Bintang. Bara terdiam sebentar, dan mengembuskan napas kasar. “Bintang masih belum siuman. Aku harap setelah ini Bintang bisa segera siuman. Terlalu banyak penderitaan yang Bintang alami, setelah dia siuman aku berjanji akan memperbaiki segala kekacauan ini.” Galih menatap dingin, dan tegas Bara. “Beri tahu Papa, kenapa kamu lebih menyelamatkan mamamu daripada Bintang? Apa Bintang yang meminta semua ini?” tanyanya yang sudah menduga, tetapi demi memastikan dia harus bertanya agar tak salah. Bara memejamkan mata singkat, mendengar pertanyaan ayahnya. “Ya, ini semua atas permintaan Bintang. Saat gudang kebakaran, dia dan ma
Bara sudah cukup lega melihat kedatangan Mbok Inem yang dijemput oleh Andi. Paling tidak, ada yang membantunya untuk menjaga Bima dan menenangkan Bima. Selama ini Mbok Inem selalu menemani Bima. Itu yang membuatnya cukup lega, paling tidak hadirnya Mbok Inem bisa membuat Bima tak selalu berfokus pada keadaan Bintang. Bara kini berdiri di depan ruang rawat Bintang. Terdiam seraya memejamkan mata singkat. Pikirannya sangat kacau, tak sanggup untuk berpikir jernih. Dia ingin bertindak, tetapi pikirannya masih berantakan akibat mendengar ucapan sang dokter. “Pak Bara,” panggil Andi cepat seraya melangkah menghampiri Bara. Bara mengalihkan pandangannya, menatap Andi yang wajahnya babak belur mendekat ke arahnya. “Apa yang ingin kamu laporkan?” tanyanya sudah menduga akan ada yang dilaporkan oleh asisten pribadinya itu. Saat ini Bara hanya seorang diri saja di depan ruang rawat Bintang. Bima diajak Mbok Inem untuk ke kantin rumah sakit, karena Bima sejak tadi belum makan. Sementara ayah