“Ada hal apa sampai Anda ingin bicara empat mata dengan saya, Bu Nadia?” tanya Bintang, berbicara dengan sangat formal pada Nadia—yang tiba-tiba muncul ingin bicara empat mata dengannya. Terlihat jelas Bintang sangat tenang, sedangkan Nadia tampak menatapnya dengan tatapan tajam penuh dengan dendam. “Tidak di sini. Saya ingin bicara sama kamu berdua!” tegas Nadia menekankan, dan terus melayangkan tatapan tajam pada Bintang. Tangannya sudah mengepal kuat, seakan ingin meledakan amarah. Wilona yang menyadari Bintang dalam keadaan bahaya, dia langsung menarik Bintang agar jauh dari Nadia. “Maaf, Bu, Anda kalau tidak salah teman Pak Bara, kan?” Nadia mendelik menatap tajam Wilona. “Saya ini calon istri Pak Bara Gunawan! Bukan teman Pak Bara!” jawabnya penuh dengan percaya diri. Wilona menganggukkan kepalanya, memilih percaya akan ucapan wanita yang ada di hadapannya ini. “Baik, kalau memang Anda adalah calon istri Pak Bara Gunawan, kenapa Anda ingin bicara berdua dengan Bintang? Apa a
“Aww—” Bintang merintih di kala tubuhnya didorong oleh Nadia ke dalam gudang penyimpanan barang. Wanita cantik itu nyaris tersungkur, tetapi untungnya dia mampu menjaga keseimbangannya dengan baik. Jika tidak, sudah pasti tubuhnya akan tersungkur jatuh ke bawah. “Wanita penggoda! Saya tahu niat busukmu!” Nadia tampak sangat emosi, dan terus melayangkan tatapan tajam pada Bintang—menunjukkan jelas penuh kemarahan yang mendera di dalam dirinya. Bintang menghela napas dalam, berusaha untuk bersabar. “Kenapa Anda membawa saya ke sini, Bu Nadia? Bukankah saya sudah mengatakan pada Anda bahwa hubungan saya dan Bara tidak lebih dari atasan dan bawahan? Kenapa Anda masih menuduh saya macam-macam? Tindakan Anda ini bisa saya bawa ke ranah hukum!” jawabnya tenang, tapi tersirat tegas. Nadia tersenyum sinis mendengar apa yang Bintang katakan. “Kamu pikir saya akan takut dengan ancamanmu? Ck! Tidak sama sekali! Kamu itu wanita rendahan yang licik! Sekarang kamu harus mendapatkan pelajaran agar
Tubuh Bintang terasa lemas, tenggorokannya kering. Wanita cantik itu ingin berteriak lagi, tetapi dia sudah tak sanggup. Pun entah kenapa kepalanya pusing. Mungkin karena dirinya merasa kurang oksigen di dalam gudang penyimpanan barang. Debu-debu mulai berterbangan membuat Bintang sejak tadi terbatuk-batuk. “Apa yang harus aku lakukan?” gumam Bintang, berusaha mencari solusi. Dia kembali memeriksa ponselnya, tapi hasilnya nihil. Sinyal ponselnya tak kunjung ada. Hal itu membuat Bintang semakin kesal. Sebab, dia benar-benar merasa terjebak. Bintang memijat keningnya yang merasakan pusing. Jika saja ada Wilona, sudah pasti Wilona akan membantunya. Namun, jujur Bintang sendiri sama sekali tak menyangka akan tindakan gila yang dilakukan Nadia. Apalagi ini di perusahaan Bara. Dia pikir Nadia hanya sekadar bicara dengannya, tidak akan mungkin berbuat nekat. Sungguh! Bintang merasa benar-benar merasakan kesialan bertubi-tubi. Perlahan, Bintang mulai bangkit berdiri, dan bermaksud ingin me
Bintang berlari di koridor rumah sakit, ditemani dengan Bara yang juga berlari. Dua insan itu menunjukkan jelas kepanikan di wajahnya. Tampak mata Bintang sudah sembab akibat menangis sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Sementara Bara terlihat berusaha tenang, meski pancaran matanya menunjukkan jelas kepanikan. “Mbok!” seru Bintang memanggil Mbok Inem yang berada di depan ruang IGD. Mbok Inem menoleh, menatap Bintang dengan tatapan panik. “Bu Bintang? Ya Tuhan, akhirnya ibu datang.” Bintang mendekat, menatap pelayannya itu dengan tatapan yang menunjukkan penuh rasa khawatir. “Mbok gimana ceritanya Bima bisa mimisan?” tanyanya meminta penjelasan. “Cepat ceritain kenapa Bima sampai mimisan,” sambung Bara yang sudah tak sabar. Tampak Bintang sedikit menoleh pada Bara, tapi dia kembali memfokuskan tatapannya pada Mbok Inem. Mbok Inem menundukkan kepalanya di hadapan Bara dan Bintang. “Tadi saya mengajak Den Bima bemain di taman. Awalnya semua baik-baik saja, Bu, tapi saat Den B
Bara duduk di kursi taman rumah sakit, dengan pikiran menerawang jauh ke depan. Begitu banyak hal yang dia pikirkan, dan sekarang ditambah Bima dalam keadaan kurang sehat. Hal itu membuat pikiran Bara benar-benar sangat kacau. Masalah pertama belum terpecahkan, sekarang sudah timbul masalah baru. Ya, Bara merasa seperti orang bodoh yang lamban dalam bergerak. Dia ingin sekali membongkar semua, tapi dia tetap berusaha untuk menahan diri. Sebab, ini bukan waktu yang tepat untuknya membongkar semuanya. “Pak Bara?” panggil Andi yang melangkah mendekat ke arah Bara. Bara mengalihkan pandangannya, menatap Andi yang sudah ada di hadapannya. Pria tampan itu sengaja meminta asisten pribadinya datang. Sebab, dalam kondisi seperti ini, dia sangat membutuhkan asisten pribadinya untuk berada di sisinya. “Andi, ada hal yang ingin saya tanyakan sama kamu,” ucap Bara, dengan nada dingin, dan tegas. Andi menatap sopan Bara. “Iya, Pak. Apa yang ingin Anda tanyakan?” Bara mengembuskan napas kas
Mata Bintang mulai bergerak, menandakan wanita itu akan segera membuka mata. Dalam hitungan detik, tepat di kala matanya sudah terbuka—dia melihat dirinya berada di ruang rawat yang sangat tercium aroma obat. Ya, otak Bintang langsung mencerna dirinya berada di rumah sakit. Bintang mengendarkan pandangannya ke sekitar, menatap sosok Bara yang tertidur di sofa. Dia langsung terdiam, berusaha mengingat kejadian yang menimpa dirinya hingga membuatnya berada di ruang rawat. Pun dia melihat selang infus terpasang di pergelangan tangannya. Bintang belum mengucapkan sepatah kata pun. Perlahan, kepingan memori di dalam otaknya mulai terkumpul satu per satu—dan sekarang dia mengingat di mana dirinya pingsan akibat tak makan seharian. Selain itu, kondisi Bima yang jatuh sakit membuat kesehatannya juga menurun. Hati ibu mana yang siap menerima anaknya sakit. Hal itu yang membuat pikiran Bintang sangat kacau. Bahkan dia sampai tak nafsu makan. Semua hal yang terjadi begitu tiba-tiba membuat B
Bara mengusap wajahnya kasar, menatap Bintang yang sedang diperiksa oleh dokter. Pria tampan itu tampak menunjukkan kekhawatiran. Pun bahkan pancaran matanya sudah seperti orang yang dilanda rasa putus asa hebat. Bertahan dengan kondisi seperti ini sangat sulit, tapi Bara tidak akan mungkin mengenal kata ‘Menyerah’ dalam hidupnya. “Bagaimana keadaannya?” tanya Bara seraya menatap sang dokter, dengan tatapan menuntut agar sang dokter menjawab pertanyaannya. Pria tampan itu sudah tidak lagi sabar, ingin segera tahu keadaan Bintang. “Bu Bintang terkejut dengan informasi yang saya berikan. Beliau akan segera pulih. Anda jangan khawatir,” ucap sang dokter pada Bara. Bara mengangguk, seraya mengembuskan napas kasar. “Apa solusi untuk Bima? Saya ingin memberikan pengobatan yang terbaik untuknya.” Sang dokter terdiam sebentar. “Pak, ada dua cara yang pasti memiliki kemungkinan Bima untuk sembuh. Pertama, Bima bisa menjalani kemoterapi, dan kedua Bima bisa menerima donor tulang sumsum bela
Dokter melakukan pemeriksaan pada Bintang, Bara, dan Mario. Ya, pada akhirnya Bintang membiarkan Bara dan Mario untuk melakukan test kecocokan tulang sumsum belakang untuk Bima. Wanita cantik itu tidak bisa menolak, karena posisinya terjepit. Bara begitu mengancam, dan Mario tampak ingin menolong Bima. Hal itu yang membuat Bintang memilih membiarkan. “Hasil test akan segera saya beri tahu,” ucap sang dokter yang kini sudah selesai melakukan pemeriksaan. Bintang menatap sang dokter, dengan tatapan penuh rasa khawatir. “Aku adalah ibu kandung Bima, pasti ada kemungkinan besar tulang sumsum belakangku cocok dengan Bima, kan, Dok?” Sang dokter menatap Bintang sopan. “Bu, tulang sumsum belakang bukan test DNA yang di mana orang tua memiliki kecocokan. Kita tunggu hasilnya sampai keluar ya, Bu. Mohon ditunggu.” Bintang menghela napas gelisah, dan tampak tidak bisa tenang mendengar jawaban dari sang dokter—yang kini sudah pergi. Rasa khawatir terus menyelimuti di dalam dirinya, membuat o
Matahari menyinari bumi begitu terik dan indah. Cahayanya menembus sela-sela jendela. Bintang sudah terbangun di pagi hari, menatap ke arah jendela. Tubuhnya masih lemah di ranjang. Luka bakar yang dia derita cukup parah membuatnya masih belum bisa untuk pergi dari ruang rawatnya. “Bu, apa ibu ingin makan sesuatu?” tanya sang perawat yang kebetulan ada di sana. Sekitar lima menit lalu, Bara keluar untuk menjawab telepon. Sementara Bima dibawa oleh Mbok Inem berjemur di taman. Hanya ada perawat yang menemani Bintang, karena memang Bintang yang meminta Mbok Inem untuk membawa Bima berjemur di taman. Bintang menggelengkan kepalanya pelan. “Saya masih kenyang. Tadi sudah sarapan cukup banyak. Terima kasih sudah nawarin.” Tiba-tiba, pintu ruang rawat terbuka. Tatapan Bintang teralih pada Wilona yang ternyata datang. Ya, tentu dia sama sekali tak menyangka Wilona datang ke rumah sakit. Kejadian yang menimpa dirinya, membuatnya sempat hilang kontak dengan rekan kerja, karena kondisi pon
Bintang menatap Della yang kini meninggalkan ruang rawatnya dibantu oleh perawat yang sudah dipanggil. Permintaan maaf telah lolos di bibir Della. Sebuah perkataan yang tak pernah Bintang sangka akan dia dengar. Selama ini, dia sangat mengenal sifat ibu Bara itu, tetapi ternyata pada akhirnya ibu Bara menyadari kejahatan yang dilakukan. Bintang tak menaruh dendam sedikit pun pada Della. Bahkan meski dulu ibu Bara itu telah memisahkannya dengan Bara, tetap tidak membuat Bintang menaruh dendam. Kecewa ada, karena Bintang juga manusia biasa, tetapi untuk membenci, dia merasa sangat tidak pantas. Sebab, bagaimanapun ibu Bara hanya ingin yang terbaik untuk Bara. Alasan utama Bintang tak menaruh dendam, karena dulu dia menyadari akan posisinya. Bara bagaikan langit, sedangkan Bintang hanya bumi. Terlalu perbedaan yang sangat jauh. Oleh karena itu, dia berusaha mengerti bahwa memang Della menginginkan yang terbaik untuk Bara—meski dengan cara yang sangat salah. “Harusnya tadi kamu kasih t
“Mbok, di mana Bima?” tanya Bintang pada Mbok Inem yang menyuapinya makan. Tadi, beberapa menit lalu perawat mengantarkan makanan. Itu yang membuat Bintang sekarang sedang makan siang. Namun, dia dibantu oleh Mbok Inem, karena kondisinya masih lemah. “Den Bima tadi ke mini market membeli ice cream bersama Pak Galih,” jawab Mbok Inem sopan memberi tahu. Dia begitu cekatan menjaga Bintang.Bintang menganggukkan kepalanya pelan. “Lalu, di mana Bara? Aku dari tadi nggak lihat dia. Apa dia bertemu Andi?” tanyanya ingin tahu. Sekitar sepuluh menit lalu, Bintang baru saja bangun tidur. Namun, di kala dia membuka mata hanya ada Mbok Inem yang ada di dekatnya. Bima tidak ada. Begitu juga dengan Bara yang tidak ada. “Tadi Pak Bara terima telepon, Bu. Tapi karena sampai sekarang Pak Bara belum kembali, mungkin Pak Bara menemui dokter,” jawab Mbok Inem sopan. Bintang menganggukkan kepalanya. “Bara selalu ketemu dokter. Dia selalu cemas sama keadaanku, Mbok. Padahal aku baik-baik aja. Mungkin
Bara dan Bintang hanyut akan ciuman yang mereka ciptakan, sampai mereka benar-benar tak sadar bahwa Mario sejak tadi menatap mereka. Tentu adegan di mana Bara dan Bintang berciuman, telah membuat Mario tampak sangat hancur. Namun, meski tampak hancur, Mario nyatanya tetap diam tak bersuara sedikit pun. Perlahan, Mario memilih untuk meninggalkan tempat di mana dia berdiri. Pria berperawakan tampan itu menyadari bahwa dirinya hanya mengganggu Bara dan Bintang. Pergi adalah cara yang terbaik. Meski hatinya sekarang benar-benar kacau. “Pak Mario?” Andi yang kebetulan ada di depan ruang rawat Bintang, menyapa Mario. Mario menghentikan langkahnya, menatap Andi dengan tatapan tenang. “Saya ke sini ingin menjenguk Bintang. Saya baru saja mendapatkan kabar musibah yang dialami Bintang,” jawabnya dengan nada datar. Andi mengangguk sopan. “Baik, Pak. Kebetulan Bu Bintang sudah siuman. Bu Bintang sudah melewati masa kritisnya. Anda ingin bertemu dengan Bu Bintang sekarang?” tanyanya hati-hati
Bintang menatap hangat Bima yang kini terlelap di pelukan Mbok Inem. Putra kecilnya itu tadi sempat terlelap di pelukannya, tapi karena kondisi tubuhnya diperban menyulitkannya untuk memeluk erat tubuh Bima. Hal itu yang membuat Bima sekarang digendong oleh Mbok Inem. “Den Bima anak yang pintar dan kuat,” kata Mbok Inem seraya menimang tubuh Bima. Bintang tersenyum lembut. “Aku benar-benar beruntung memiliki putra yang pintar dan kuat seperti Bima, Mbok. Aku yakin di masa depan nanti Bima akan menjadi sosok pria yang hebat.” Mbok Inem mengangguk setuju. “Saya juga berpikir demikian, Bu. Perpaduan antara ibu dan Pak Bara sangat sempurna.” Bintang kembali tersenyum menanggapi ucapan Mbok Inem. “Bima tidur?” Bara masuk ke dalam ruang rawat Bintang, menatap Bima yang ada digendongan Mbok Inem. Senyuman di wajahnya terlukis, padahal tadi dia meminta Bima untuk menjaga Bintang, tapi malah putra kecilnya itu tertidur pulas. Mbok Inem mengangguk sopan. “Iya, Pak. Den Bima tidur.” Bara
“Mama! Mama!” Bima berlari masuk ke dalam ruang rawat Bintang, dan langsung dibantu Bara duduk di ranhang Bintang, memeluk ibunya itu. Tampak jelas kebahagiaan di wajah bocah laki-laki itu kala memeluk ibunya. Bintang tersenyum sambil mengusap punggung Bima. “Anak Mama yang tampan, Mama kangen banget!” bisiknya lembut. Bima mengurai pelukan itu. “Bima juga kangen sekali sama Mama! Bima takut Mama tinggalin Bima.” Bintang membelai lembut pipi bulat Bima. “Mama nggak akan tinggalin Bima. Mama janji akan selalu temani Bima.” Bima mengangguk, tetapi sedikit muram. “Papa juga bilang kayak gitu. Papa bilang kalau Mama nggak akan mungkin tinggalin Bima. Soalnya Mama udah janji selalu temenin Bima. Tapi, kemarin Mama nggak sadar. Mama juga punya banyak luka. Jadi, Bima takut.” “Mama nggak apa-apa. Luka Mama akan segera sembuh,” jawab Bintang hangat. “Bu, saya senang sekali ibu sudah siuman.” Mbok Inem yang ada di sana mendekat, menatap hangat Bintang. Bintang mengalihkan pandangannya,
Perlahan mata Bintang mulai bergerak, dan pelupuk matanya terbuka secara pelan. Keningnya sedikit mengerut di kala cahaya lampu menyorot ke matanya. Suara hangat dan tenang menyerukan namanya begitu terdengar di indra pendengarannya. Hal tersebut membuatnya terpaku beberapa saat, menyadari yang memanggilnya adalah Bara. “B-Bara,” panggil Bintang dengan susah payah. Bara tersenyum haru melihat Bintang sudah membuka mata. “Terima kasih sudah membuka matamu, Bintang.” “A-aku d-di mana?” tanya Bintang lemah, seakan dirinya tak memiliki energi untuk bicara dengan Bara. “Tunggu sebentar. Aku panggilin dokter. Kamu jangan banyak gerak.” Bara mulai khawatir, dan memutuskan untuk menekan tombol darurat guna memanggil tim medis. Tak selang lama, dokter datang bersama dengan perawat. Sang dokter yang melihat Bintang sudah membuka mata, langsung segera memeriksa Bintang. Pun tentu Bara yang ada di sana—sedikit menjauh agar sang dokter bisa leluasa dalam memeriksa keadaan Bintang. Bara tampa
Bara menatap Galih yang melangkah menghampirinya. Pria tampan itu melihat jelas aura kemarahan di wajah sang ayah. Hal itu menandakan bahwa memang ada yang membuat ayahnya itu marah, dan tentu dia tahu akar permasalahan yang membuat ayahnya itu murka. “Pa,” sapa Bara kala Galih tiba di hadapannya. “Bagaimana keadaan Bintang?” tanya Galih yang langsung menanyakan Bintang. Bara terdiam sebentar, dan mengembuskan napas kasar. “Bintang masih belum siuman. Aku harap setelah ini Bintang bisa segera siuman. Terlalu banyak penderitaan yang Bintang alami, setelah dia siuman aku berjanji akan memperbaiki segala kekacauan ini.” Galih menatap dingin, dan tegas Bara. “Beri tahu Papa, kenapa kamu lebih menyelamatkan mamamu daripada Bintang? Apa Bintang yang meminta semua ini?” tanyanya yang sudah menduga, tetapi demi memastikan dia harus bertanya agar tak salah. Bara memejamkan mata singkat, mendengar pertanyaan ayahnya. “Ya, ini semua atas permintaan Bintang. Saat gudang kebakaran, dia dan ma
Bara sudah cukup lega melihat kedatangan Mbok Inem yang dijemput oleh Andi. Paling tidak, ada yang membantunya untuk menjaga Bima dan menenangkan Bima. Selama ini Mbok Inem selalu menemani Bima. Itu yang membuatnya cukup lega, paling tidak hadirnya Mbok Inem bisa membuat Bima tak selalu berfokus pada keadaan Bintang. Bara kini berdiri di depan ruang rawat Bintang. Terdiam seraya memejamkan mata singkat. Pikirannya sangat kacau, tak sanggup untuk berpikir jernih. Dia ingin bertindak, tetapi pikirannya masih berantakan akibat mendengar ucapan sang dokter. “Pak Bara,” panggil Andi cepat seraya melangkah menghampiri Bara. Bara mengalihkan pandangannya, menatap Andi yang wajahnya babak belur mendekat ke arahnya. “Apa yang ingin kamu laporkan?” tanyanya sudah menduga akan ada yang dilaporkan oleh asisten pribadinya itu. Saat ini Bara hanya seorang diri saja di depan ruang rawat Bintang. Bima diajak Mbok Inem untuk ke kantin rumah sakit, karena Bima sejak tadi belum makan. Sementara ayah