“Aku sepertinya pulang malam hari ini, Sayang. Kamu makan dulu saja, ya?” ucap Dandy.
Usai mendapat perintah dari Pak Jordan agar menemani Seline ke sebuah undangan resmi perusahaannya, Dandy menelepon memberi kabar ke Nilam.
[“Iya, Mas. Gak papa, kok. Hati-hati nyetirnya, ya?”]
Dandy tersenyum sambil menganggukkan kepala, tentu saja reaksinya tidak akan dilihat Nilam kali ini.
“Ya udah kalau gitu. Aku lanjut kerja dulu, ya!”
Di seberang sana Nilam sudah mengakhiri panggilannya, begitu juga dengan Dandy. Baru saja Dandy meletakkan ponsel di atas meja, tiba-tiba ponsel itu berdering kembali dan kali ini ada nama ayahnya di sana. Dandy menarik napas panjang. Ia sudah menduga kalau Pak Ridwan akan meneleponnya kali ini.
“Iya, Yah. Ada apa?” tanya Dandy mengawali panggilannya.
[“Dandy, ada apa dengan ibumu? Kenapa pulang dari rumahmu, tiba-tiba menangis sesenggukan di kamar? Padahal rencana Ayah akan menyusul ke sana akhir pekan besok. Ke
“Asal kamu tahu, Seline. Mencintaimu adalah sebuah kesalahan terbesar dalam hidupku dan aku menyesalinya,” ucap Dandy.Seline sontak membisu usai mendengar ucapan Dandy. Buru-buru ia memalingkan wajah dan memilih melihat pemandangan di luar melalui jendela di samping. Sesekali Seline menunduk sambil berusaha menahan rasa sakit yang tiba-tiba mendera dadanya.Padahal banyak waktu yang ia habiskan bersama Dandy dengan penuh cinta. Banyak hari indah yang telah ia lewati bersama pria manis di sampingnya ini. Mengapa Dandy malah berkata menyakitkan seperti itu?Apa hanya karena dia tidak mengabari keadaannya kala itu hingga membuat Dandy marah? Apa pria ini melakukan hal itu untuk menyembunyikan perasaannya yang sesungguhny? Andai saja Dandy tahu apa yang terjadi padanya usai kecelakaan, pasti Dandy tidak akan berkata kasar seperti ini padanya.Pukul tujuh tepat saat mobil Dandy tiba di sebuah hotel, tempat acara gathering itu berlangsung. Usai memarkir mobil,
“Golongan darah saya A. Apa saya bisa jadi pendonornya, Sus?” tanya Dandy.Sontak Seline dan suster itu menoleh ke arahnya. Dandy hanya bergeming di tempatnya. Dia sendiri juga tidak tahu mengapa malah berkata seperti itu. Mungkin sisi kemanusiaan yang membuat Dandy memutuskan hal ini.Suster itu tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Tentu, Tuan. Mari ikut saya!!”Dandy mengangguk, berjalan mendekat sambil menyerahkan ponsel Seline. Kemudian dia sudah mengekor langkah suster tersebut. Sesaat sebelum menjauh, Seline mencekal lengannya membuat Dandy menghentikan langkah.“Terima kasih, Dandy,” cicit Seline.Dandy tidak menjawab hanya tersenyum sambil mengangguk samar. Tak lama kemudian dia sudah melakukan donor darah. Ada dua kantong darah yang diambil darinya. Untuk beberapa saat, Dandy istirahat sejenak mengembalikan kondisinya.Seline sengaja menghampirinya dan melihat Dandy sedang sibuk memainkan ponsel. Bisa jadi, ia sedang menghubungi
“Jadi Kalina menemuimu, Emran?” tanya Pak Toni yang tak lain ayah Hasan.Hari itu Emran dan Widuri menyempatkan waktu untuk berkunjung ke rumah keluarga Hasan dan kebetulan bertemu dengan Pak Toni. Emran langsung mengangguk, mengiyakan pertanyaan Pak Toni.“Iya, Pak. Bahkan Kalina menunjukkan surat wasiat Hasan tempo hari. Saya sempat ... .”Emran sudah menceritakan sejak kedatangan Kalina di rumahnya beberapa bulan lalu. Lalu apa saja yang terjadi kemudian. Termasuk tentang status Kalina sebagai DPO polisi akibat beberapa kasus penipuan. Pak Toni hanya mendengarkan sambil berulang menganggukkan kepala.“Bapak sendiri tidak tahu kenapa juga dulu Hasan menikahinya. Dari awal kami sudah tidak senang dengannya. Entah, mungkin firasat orang tua dan ternyata terbukti kalau Kalina itu bukan wanita baik-baik.”“Memangnya di mana Hasan dulu bertemu dengannya, Pak?” Kini Widuri yang bertanya. Sepertinya Widuri penasaran dengan Kalina.“Katanya dulu t
“Pesan dari siapa, Sayang?” tanya Emran.Widuri terdiam, menatap ke arah Emran sambil berulang menarik napas panjang. Tentu saja reaksi Widuri kali ini membuat Emran penasaran. Dia gegas menepikan mobilnya di sebuah rest area. Kemudian Emran gegas mengambil ponsel Widuri.Untuk beberapa saat dia terdiam. Alisnya mengernyit dan matanya berulang kali menatap Widuri usai membaca pesan itu.“Apa menurutmu yang mengirim pesan ini Kalina?” Kembali Emran bertanya. Dengan lesu, Widuri menganggukkan kepala.“Lalu siapa lagi yang menginginkan dirimu kalau bukan dia, Mas.”Emran membisu, menghela napas panjang dan bersiap hendak menghubungi seseorang melalui ponsel Widuri. Tepat bersamaan ponsel Widuri berdering dan ada nama Reno di sana.“Gimana, Ren? Kamu sudah tahu siapa yang jemput Alif di sekolah?” tanya Emran begitu panggilan terhubung.[“Iya, Pak. Tadi saya tanya gurunya dan berdasarkan ciri-ciri yang dijelaskan tadi. Orang yang menjemput
[“Suara siapa itu? Apa ada anak kecil di rumahmu?”] tanya Tante Karin.Tante Anita terkejut dan gegas memberi isyarat ke Kalina untuk membawa Alif gegas berlalu. Kalina menurut sambil membimbing Alif ke kamar mandi. Padahal Tante Karin hendak mengakhiri panggilannya, tapi gara-gara mendengar suara Alif ia urung melakukannya.“Eng ... bukan, Kak. Itu suara anak orang. Aku sekarang sedang berada di luar dan kebetulan ada temanku yang mengajak anaknya ikut serta.” Tante Anita sebisa mungkin memberi alasan untuk membuat Tante Karin percaya.[“Oh ya sudah. Kalau begitu nanti malam aku ke sana.”]Tante Karin mengakhiri panggilannya dan Tante Anita sedikit lega mendengarnya. Ia gegas berjalan menghampiri Kalina yang sedang mengantar Alif ke kamar mandi.“Kalau bisa kamu segera membawa anak ini pergi dari sini. Aku tidak mau kakakku tahu dan membuat semuanya berantakan.”Kalina menarik napas panjang sa
“Tante, Alif lapar. Apa tidak ada makanan?” rengek Alif.Kalina yang sedang sibuk mengirim pesan terlihat kesal dan berdecak menatap penuh jengkel ke arah Alif.“Kamu kan baru saja makan. Kenapa sudah lapar lagi?” ketus Kalina.“Itu tadi bukan makan, Tante. Itu camilan. Bukannya sekarang waktunya makan malam. Kata Bunda, Alif gak boleh terlambat makan biar gak sakit perutnya.”Kalina berdecak sebal sambil menatap Alif dengan jengkel. Kalau tidak demi Emran, dia tidak akan melakukan hal ini. Kalina paling malas berurusan dengan anak kecil. Itu juga mengapa dia sangat senang saat anaknya meninggal kemarin.Sesungguhnya tanpa sepengetahuan Widuri dan Emran, saat itu Kalina sengaja meminum obat penggugur kandungan. Meski hasilnya tidak bisa langsung, tapi akhirnya dia kehilangan bayinya. Kalina melakukan sebuah kesalahan saat menikah dengan Hasan tempo hari.Biasanya dia selalu mengenakan alat kotrasepsi saat berhubungan suami istri. Namun, saat
“Saya ucapkan terima kasih pada Anda, Pak Dandy. Semalam nyawa cucu saya sudah selamat berkat bantuan Anda,” ujar Pak Jordan pagi itu.Pak Jordan sengaja mampir ke kantor Dandy untuk menemuinya pagi itu. Pak Jordan tahu mengenai Dandy yang mendonorkan darahnya untuk David, putranya Seline. Dandy hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Kebetulan golongan darah saya sama, Pak. Itu sebabnya saya mengajukan diri sebagai pendonor.”Pak Jordan manggut-manggut sambil tersenyum. Kali ini mereka sedang duduk di sofa dalam ruangan Dandy.“Saya harap Anda tidak berasumsi buruk tentang Seline. Dia memang keponakan jauh saya hanya saja kebetulan dia yang memenangkan tender untuk bisa bekerja sama dengan perusahaan ini.”Dandy tersenyum dan menganggukkan kepala. Sepertinya Pak Jordan takut jika Dandy menyalah artikan tentang terpilihnya Seline sebagai relasi kerja mereka.“Iya, Pak. Saya tahu mengenai hal it
“Kok tumben jam segini sudah pulang, Mas,” sapa Nilam.Hari itu usai dari rumah sakit, Dandy langsung memutuskan pulang ke rumah. Dia tidak bisa konsentrasi bekerja dan memilih pulang saja.“Iya, aku sedang tidak enak badan, Sayang.” Dandy malah mencipta alibi pulang cepatnya kali ini.Nilam tampak terkejut, melihat ke arah Dandy dengan khawatir kemudian berjalan mendekat dan menempelkan tangannya di dahi Dandy.“Gak panas. Apa kamu kecapekan?”Dengan lesu, Dandy mengangguk. Nilam tersenyum melihat ulahnya, lalu menepuk gemas pipi Dandy. Dandy tersenyum meringis, membuka tangan dan menarik Nilam dalam pelukannya. Nilam terkekeh melihat ulah Dandy.“Aku baru tahu kamu bisa manja kalau sedang sakit.”Dandy hanya tersenyum dan menyembunyikan kepalanya di perut Nilam. Kali ini posisi Nilam memang berdiri di depan Dandy yang sedang duduk. Pelan, Nilam membelai lembut rambut Dandy. Dandy terdi
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me