“Apa maksudmu, Van? Kamu kena kanker?” tanya Tuan Thomas.
Kini pria berambut putih itu melihat ke arah Ivan dengan tatapan bertanya. Ivan hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan Tuan Thomas.
“Iya, Pa. Maaf, aku sengaja merahasiakan hal ini dari Papa. Aku tidak mau Papa khawatir.”
Tuan Thomas membisu, bibirnya bergetar tangannya juga terlihat bergerak tidak teratur kemudian terulur dan langsung memeluk Ivan. Ivan tersenyum sambil membalas pelukan papanya. Mereka saling berangkulan dan melepas kerinduan.
“Maafkan Papa, Van. Papa selama ini tidak melakukan peran Papa dengan baik dan malah menuntutmu untuk berbuat lebih kepada Papa.”
Ivan menggeleng sambil mengelus punggung Tuan Thomas.
“Enggak. Papa gak salah. Aku yang salah, tidak pernah memberi kabar. Namun, itu semua kulakukan agar Papa tidak kepikiran. Aku takut Papa jatuh sakit kalau terlalu banyak berpikir.”
Tuan Thomas menangis seseng
“Bunda mana?” seru Emran.Usai menerima panggilan dari Alif tadi, Emran langsung pulang. Ia terpaksa sedikit ngebut sehingga dalam sekejap tiba di rumah. Alif hanya diam sambil menunjuk ke arah kamar Widuri. Emran langsung berjalan masuk dan melihat Luna sedang memeriksa Widuri.Sebelum menelepon Emran, Alif menelepon Luna lebih dulu. Setahu Alif, Luna seorang dokter jadi bisa dengan langsung mengobati ibunya. Memang hari ini asisten rumah tangga Widuri izin pulang kam
“Kamu tersenyum terus seharian ini, Lun. Ada apa? Apa ada sesuatu yang membuatmu bahagia?” tanya Fabian.Mereka kini sudah berada di dalam kamar. Luna baru saja mengantar Alif dan Alisha tidur di kamar tamu, kemudian menghampiri Fabian yang sedang berada di kamar. Luna mengulum senyum sambil berjalan menghampiri Fabian.Ia duduk di tepi kasur sementara Fabian duduk sambil bersandar di kepala ranjang.“Gak papa, Fabian. Aku … aku hanya gak sabar menunggu si Kecil lahir.” Luna berkata sambil mengelus perutnya yang mulai buncit.Fabian terdiam sambil melirik perut Luna yang sudah membesar. Jakunnya naik turun menelan saliva sambil menahan sebuah rasa aneh yang tiba-tiba menyergap di dadanya.“Kalau boleh jujur aku ingin sekali anak pertama kita laki-laki. Aku yakin, dia pasti akan setampan kamu. Juga sebaik dan pengertian seperti kamu. Akh … aku gak sabar menunggu dia lahir, Fabian.”Fabian hany
“FABIAN!! Ada apa?” tanya Luna.Dia sangat terkejut saat mendengar Fabian berteriak memanggil namanya berulang. Luna langsung berlarian menuju kamar dan melihat Fabian meringis menatapnya di kamar mandi.Luna berjalan menghampiri dan terlihat bingung menatap Fabian. Mata Luna tertuju ke kaki Fabian yang menapak ke lantai kamar mandi.“Apa yang terjadi? Kamu mau mandi?”Fabian tersenyum dan menggelengkan kepala.“Tidak. Aku … aku bisa merasakan kakiku, Lun.” Luna terperangah. Mulutnya terbuka dengan tangan yang sontak menutup di depannya.“Iya. Aku juga melihat kalau jari kakiku bergerak tadi. Aku bisa merasakannya, Luna.”Luna langsung duduk bersimpuh di depan Fabian dan menyentuh kaki kirinya yang menapak di lantai. Perlahan jari Luna menggelitik telapak kaki Fabian bahkan beberapa kali mencubitnya dan Fabian langsung bereaksi.“Kamu merasakannya?” tanya Luna.
“Van, surat perizinannya udah beres. Jadi kapan kita bisa eksekusi?” tanya Emran.Beberapa jam setelah menjemput Alif dan Alisha dari rumah Luna, Emran sudah berada di kantornya. Kali ini dia sedang melakukan panggilan dengan Ivan.“Ya udah, besok juga bisa. Kamu email saja surat perizinannya,” jawab Ivan.“Oke. Habis ini aku kirim. Terus, kamu jadi menetap di sana terus?”Ivan mengangguk sambil tersenyum, tapi tentu saja jawaban gestur tubuhnya itu tidak bisa dilihat Emran.“Iya, aku putuskan untuk menetap di sini. Aku sudah memindahkan beberapa berkas ke kantor lama.”Memang di kota tersebut, ada kantor lama milik ayahnya. Karena untuk menghindar dari penagih hutang dan ingin lebih fokus, Ivan sengaja pindah tempat kala itu. Namun, setelah semua kondisi membaik dia akan kembali berkantor di tempat yang lama.“Baguslah kalau begitu sehingga pengawasan proyek lebih maksimal.”
“Apa maksudmu, Van? Kamu ingin membatalkan ucapanmu? Kamu sedang mempermainkan aku lagi?” seru Nina.Ivan membisu hanya matanya yang menatap Nina tajam. Untuk beberapa saat mereka saling terdiam, sibuk dengan benaknya masing-masing.“Sudah kuduga kamu memang pengecut. Pantas saja Luna lebih memilih Fabian dari pada kamu. Tak kusangka memang kamu menyebalkan, Van.”Ivan berdecak dan menatap Nina dengan sinis.“Kamu sudah tahu siapa aku. Kenapa juga masih memilih diriku? Sekarang kamu menyesal, kan?”Nina terdiam. Wajahnya terlihat tegang penuh amarah, bibirnya terkatup rapat dengan gerakan tubuh naik turun karena sibuk mengolah udara. Sepertinya Nina sedang berusaha menahan amarahnya.Kemudian tiba-tiba Nina tertawa dan ulahnya benar-benar membuat Ivan bingung. Ivan mengernyitkan alis dengan banyak tanya yang bermunculan di tatapannya.“Kamu gila? Kenapa tiba-tiba tertawa?” tanya Ivan pen
“Papa apa-apaan, sih? Kenapa mengambil fotoku tadi?” sungut Ivan.Ia sudah berhasil menemukan Tuan Thomas. Kali ini pria paruh baya yang rambutnya memutih semua itu terkekeh sambil menatap Ivan dengan penuh kemenangan.“Biar saja biar semua tahu kalau kamu punya pacar. Selama ini mereka menduga kamu itu kelainan bahkan berpikir kamu penyuka sesama jenis.”Ivan mendelik mendengar ucapan papanya. Memang Ivan tidak pernah menceritakan hubungannya dengan Luna dulu sehingga semua kerabat berkesimpulan seperti itu tentangnya.Ivan menarik napas panjang sambil menghembuskannya perlahan.“Jadi sekarang semua sudah tahu kalau aku lelaki normal. Papa senang?”Tuan Thomas tersenyum lebar sambil mengangguk. “Iya, dong. Mereka langsung ingin ikut semua untuk melamar Nina bulan depan.”Lagi-lagi mata Ivan terbelalak lebar.“Pa, itu cuman lamaran. Kenapa harus banyak orang? Nanti saja kala
“Kehamilan Gemeli? Apa maksudnya?” sahut Fabian.Ia melihat ke arah Dokter Risna dengan tatapan bertanya sedangkan Luna hanya diam dan ekspresinya terlihat datar. Dokter Risna tersenyum membalas tatapan Fabian. Ia juga melirik ke arah Luna yang terdiam.“Itu adalah istilah kedokteran untuk kehamilan kembar, Tuan.”Fabian sontak tercengang mendengar penjelasan Dokter Risna.“Berarti maksud Dokter, istri saya sedang hamil anak kembar?”Dokter Risna tidak menjawab hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum. Seketika Fabian langsung mendekatkan kursi roda ke arah Luna dan memeluknya. Luna hanya tersenyum membalas pelukan Fabian.“Tapi saya dan Luna tidak punya keturunan kembar. Kenapa bisa punya anak kembar, Dok?” Kembali Fabian bertanya.Dokter Risna tersenyum kembali. “Kadang dari pola makan dan cara kalian menjaga hidup sehat berpengaruh terhadap itu semua. Sekarang sudah umum pasa
“Nina, ada apa?” tanya Luna.Luna penasaran saat Nina menerima panggilan telepon dengan wajah tegang. Nina diam, tidak menjawab hanya menghela napas panjang. Belum sempat Tuan Thomas menyelesaikan kalimat, panggilannya terputus.“Gak tahu, panggilannya terputus.”Fabian dan Luna terdiam saling pandang satu sama lain kemudian melihat ke arah Nina secara bersamaan.“Nin, kalau Ivan membutuhkanmu lebih baik kamu pergi saja!! Aku dan Luna bisa pulang sendiri,” ucap Fabian. Tentu saja Luna langsung menganggukkan kepala, mengiyakan pernyataan Fabian.Nina terdiam, menoleh ke arah Fabian dan Luna dengan sendu.“Beneran kalian gak papa?”Fabian dan Luna tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Iya, kami bisa naik taxi. Tenang saja!!” Kini Luna yang menjawab.Nina tersenyum dan terlihat lega. Kemudian ia sudah berpamitan pergi meninggalkan Fabian dan Luna. Luna melanjutkan mendo
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me