“GAK!!! GAK BOLEH!! WIDURI GAK BOLEH HAMIL!!!” seru Mawar.
Wanita cantik itu telihat histeris dan dengan gegas berlari keluar kamar Widuri sambil membawa test packnya. Mawar turun dengan terburu dan langsung menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tengah. Ia membisu termenung di sana. Dadanya naik turun dengan napas yang tersenggal. Ini adalah mimpi buruk baginya. Orang yang harus dia singkirkan dari pernikahannya kini malah sedang mengandung anak dari suaminya.
“Apa Mas Emran sudah tahu?” Mawar berbicara sendiri. Kemudian dengan linglung menggelengkan kepala.
“Tidak. Sepertinya dia belum tahu. Aku yakin, Widuri baru saja melakukan pengecekan dan belum sempat memberitahu ke Mas Emran.”
Lagi-lagi Mawar menjawab tanyanya sendiri. Dia benar-benar seperti orang gila. Kemudian tanpa sebab, sebuah senyuman dengan seringai aneh terukir di wajah Mawar.
“Kalau Widuri belum memberitahu Mas Emran. Itu artinya dia belum t
“Apa yang kamu lakukan, Mawar? Kamu tahu kalau kamu tidak sedang hamil. Mengapa kamu berbohong?” seru Tante Karin. Emran baru saja keluar ruangan untuk membeli makanan di kantin dan kali ini Tante Karin langsung bertanya ke Mawar. Mawar hanya diam sambil menatap kosong ke depan. Tante Karin terlihat kesal dan berjalan menghampiri Mawar. “Lalu test pack punya siapa tadi yang kamu berikan ke Emran? Ini sudah kelewatan, Mawar!” Mawar berdecak dan menoleh ke arah mamanya. Sebuah senyuman aneh tersungging di wajah cantik Mawar. “Mama tidak perlu ikut campur urusanku kali ini. Biar aku yang menghandle semuanya dari sini. Lalu soal test pack milik siapa itu? Mama tidak perlu tahu. Yang pasti aku hanya ingin Mas Emran selalu di sisiku. Jadi milikku selamanya.” Tante Karin menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. “Kamu egois, Mawar!! Kamu sudah berubah. Apa ini Mawar putri Mama yang baik dan lemah lembut? Kamu tidak seperti yang Mama kenal.” Mawar langsung menoleh ke ara
“Selamat pagi!!” ucap Emran.Widuri sontak terkejut saat mendapati Emran sudah berada di kamarnya. Pria tampan itu juga sedang tersenyum berbaring di sebelah sambil menyangga kepala menatap ke arahnya. Widuri yang baru terjaga langsung tersenyum membalasnya.“Kok sudah di sini?” tanya Widuri dengan suara seraknya.Emran tersenyum, mendekatkan wajahnya sambil mengecup sekilas hidung Widuri.“Aku kangen. Apa tidak boleh aku datang sepagi ini?”Widuri mengulum senyum. Mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk bersandar di kepala ranjang. Tidak bisa dipungkiri kalau dia sangat senang pagi ini. Untung saja, Widuri sudah membeli test pack semalam. Dia juga sudah melakukan test ulang dan menyiapkan sebuah kejutan untuk Emran.“Apa Mawar baik-baik saja, Mas?” Widuri malah bertanya tentang Mawar kali ini. Dia memang sengaja mengalihkan topik pembicaraan. Widuri takut, Emran tergesa menagih kejutannya semen
“Mawar ... Mawar hamil, Widuri!!” ucap Emran.Emran mengatakannya dengan lembut dan tanpa ada tekanan di nada suaranya. Bahkan Widuri mendengarnya seperti rayuan saja. Namun, entah mengapa ucapan itu seakan langsung menusuk tajam ke dada Widuri. Ada sakit yang teramat sangat usai Widuri mendengarnya.Widuri membisu, tak bisa bersuara. Bahkan matanya hanya diam memandang datar ke arah Emran. Padahal dia baru saja ingin mengatakan kehamilannya. Mengapa Widuri malah mendengar kalau madunya juga tengah hamil? Apa mereka sedang janjian kali ini?“Widuri ... kenapa kamu diam saja? Kamu tidak senang mendengar kabar ini?”Widuri seketika menggelengkan kepala. Sebuah senyuman dengan terpaksa dia ukir di wajah. Widuri tidak mau merusak kebahagian Emran. Hari ini adalah hari ulang tahunnya dan dia berhak mendapat sesuatu yang spesial. Termasuk kado dari Mawar.“Jangan khawatir, itu tidak akan mengubah perasaanku padamu. Kamu sama
“Apa benar ini rumah sakitnya?” tanya Dandy.Akhirnya Widuri terpaksa pergi ke rumah sakit diantar Dandy. Padahal, Widuri bersikeras menolak. Namun, Dandy berdalih kalau dia juga mengenal Emran dan Mawar. Tidak enak kalau dia tidak ikut menjenguk.Tadi sengaja Widuri menelepon Tante Karin untuk menanyakan di rumah sakit mana Mawar dirawat. Sepanjang pagi hingga siang, ponsel Emran tidak aktif. Widuri sendiri tidak tahu apa yang membuat suaminya sesibuk ini.“Iya, benar ini rumah sakitnya,” jawab Widuri.Dandy manggut-manggut kemudian melajukan mobilnya masuk ke dalam parkiran. Namun, dia sedikit tercengang. Karena parkiran rumah sakit di bagian depan penuh dan dia terpaksa parkir di area gedung yang lain.“Turunkan aku di lobby dulu, Dandy. Aku akan tunggu kamu di ruangan Mawar. Aku sudah kirim ke ponselmu tadi ruangannya.”Dandy mengangguk. Mungkin Widuri memang tidak mau terlihat bersama dirinya kali ini
“Apa itu, Mas?” tanya Mawar.Emran berjalan masuk sambil membawa buket buah yang ditemukannya. Dandy melirik buket buah yang dibawa Emran.“Di mana kamu menemukannya? Tadi Widuri yang membawanya.” Dandy bersuara.Emran tidak menjawab. Hanya diam sambil meletakkan buket buah itu di atas meja.“Apa Widuri sudah ke sini tadi dan kamu tidak tahu?” tebak Dandy.Emran masih membisu. Ia berpikir seperti itu bahkan Emran sudah menduga kalau Widuri mendengar semua pembicaraannya dengan Mawar.“Kalau begitu aku cari Widuri dulu. Sejak tadi pagi dia terlihat sakit. Siapa tahu dia sedang ke toilet atau ke mana.” Dandy gegas berlalu pergi tanpa menunggu jawaban dari Emran.Mawar hanya diam melihat kepergian Dandy. Kemudian matanya teralihkan ke Emran. Mawar melihat wajah suaminya terlihat muram. Apa mungkin Widuri tadi sudah datang dan mendengar semua percakapannya dengan Emran?Tanpa sadar se
“Aku ... aku mau menggugat cerai Emran,” ucap Widuri.Dandy semakin terkejut mendengarnya. Pria berwajah manis itu hanya terdiam menatap Widuri. Ia tidak pernah tahu apa yang terjadi pada rumah tangga Widuri, tapi Dandy yakin, Widuri pasti sudah menderita selama ini.Helaan napas panjang keluar perlahan dari bibir Dandy. Kemudian mulutnya sudah terbuka dan bersuara.“Kamu sudah yakin dengan keputusanmu?”Widuri terdiam sesaat, kemudian menganggukkan kepala.“Iya. Aku yakin. Harusnya aku lakukan ini sejak lama. Namun, sudahlah. Aku harap kamu mau membantuku untuk mengurus semuanya dan aku mohon rahasiakan semua ini dari Emran.”Dandy tidak bersuara, tapi kepalanya sudah mengangguk seakan mengiyakan semua permintaan Widuri. Sebenarnya ini sangat bertentangan dengan hati nurani Dandy, tapi dia juga tidak bisa menolak menolong wanita di depannya ini. Lagi-lagi Dandy berandai-andai. Mengapa bukan dia yang mengg
“Widuri!! Kok kamu gak memberi kabar kalau mau pulang?” seru Bu Nani.Sepuluh hari sebelum lebaran, Widuri pulang lebih dulu ke kampung halamannya. Dia sengaja mengajukan cuti lebih awal. Bahkan sebelumnya dia sudah minta izin ke Emran. Emran dengan terpaksa mengizinkannya.“Mana Emran? Kok kamu sendirian?”Widuri hanya tersenyum saat mendengar pertanyaan ibunya.“Mas Emran masih banyak kerjaan, Bu. Nanti dia nyusul pulang mendekati lebaran, kok,” jawab Widuri. Ia tidak mau orang tuanya tahu apa yang sedang terjadi padanya kali ini.“Oh, ya sudah. Ibu pikir kalian berantem.”Widuri tersenyum dan menggelengkan kepala. Andai saja, ibunya tahu apa yang sedang terjadi pada rumah tangganya kali ini. Widuri berani taruhan, mereka pasti terkejut.“Ayah mana, Bu?” Widuri mengalihkan topik pembicaraan.“Ada di taman samping, lagi ngasih makan ikannya.”Widuri
“Ayah ... Ibu!” seru Emran lirih.Ia gegas menurunkan Mawar dari gendongannya dan berdiri terdiam di tempatnya. Mawar tampak ketakutan dan berdiri diam di sebelahnya. Sementara dua sosok itu yang tak lain Nyonya Sari dan Tuan Sastro berjalan mendekat menghampirinya.Kemarahan terlihat jelas di wajah kedua orang tua Emran. Emran terdiam, tak berani menatap wajah kedua orang tuanya. Hal inilah yang selama ini dia takutkan. Harusnya saat pulang kemarin Emran mengatakan semuanya, tidak terus menunda hingga seperti ini.PLAK!! PLAK!!Dua kali tamparan langsung mendarat di pipi Emran. Emran terkejut saat melihat Tuan Sastro yang melakukannya. Selama ini Tuan Sastro tidak pernah berlaku kasar padanya. Sejak kecil, dia selalu dilimpahi kasih sayang. Tak pernah sekalipun Emran dipukul sekeras ini. Ini adalah pertama kali baginya.Mawar yang berdiri di sebelah Emran semakin ketakutan dan terus menunduk tanpa berani mengangkat kepala.&ldqu
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me